Mengamati Dunia
’Lubang Hitam dalam Kebudayaan Orang Italia’
Alkitab merupakan ”lubang hitam besar dalam kebudayaan orang Italia, suatu bangsa religius yang tidak biasa membaca langsung dari Firman Allah”. Menurut La Repubblica, sebuah surat kabar Italia, ini merupakan kesimpulan yang dicapai pada suatu seminar yang diadakan Oktober yang lalu di Bologna, ketika sejumlah profesor dan sarjana Alkitab menyampaikan tema umum ”Alkitab, Kebudayaan, dan Sekolah di Italia”. Seorang sarjana menjelaskan, ketidakpedulian akan Alkitab di Italia, disebabkan oleh pelarangan untuk membaca Alkitab secara pribadi, yang dikeluarkan pada abad ke-16 oleh Dewan Trent. ”Tetapi bahkan setelah Dewan Vatikan Kedua,” sarjana yang sama menegaskan, ”buku itu masih merupakan buku pedoman yang hanya digunakan dalam komunitas Kristen sebaliknya daripada menjadi buku pedoman hikmat kehidupan, sebuah buku yang tidak membutuhkan pengantar yang rumit agar dapat dimengerti.”
Anak-Anak dan Senjata
Setiap hari sekitar 8 orang anak—kira-kira 3.000 setahun—tewas akibat tembakan di Amerika Serikat. Luka-luka disebabkan senjata api yang tidak membahayakan diperkirakan lima kali lebih besar. Mengapa? ”Kira-kira setengah dari seluruh rumah warga Amerika menyimpan senjata,” kata University of California, Berkeley, Wellness Letter. ”Pikirkanlah!: ketika anak-anak Anda atau cucu-cucu Anda mengunjungi tetangga, kemungkinan 50% akan ada sebuah senjata dalam rumah tersebut, dan di antaranya, bisa jadi setengahnya adalah pistol. Dan senjata itu kemungkinan terlalu mudah dijangkau.” Anak-anak berada dalam risiko yang tinggi bukan hanya karena mereka biasa dengan senjata-senjata mainan yang menyerupai yang asli, tetapi karena mereka terpengaruh oleh penggunaan senjata yang biasa dan begitu sering di bioskop-bioskop dan TV. Hanya sedikit anak yang mengetahui cara memegang senjata dengan aman, dan ketika terluka, anak-anak mengalami luka lebih parah, karena organ-organ dalam mereka lebih tersusun rapat dan secara proporsional mereka memiliki kepala lebih besar daripada orang dewasa. ”Agar aman, jangan membeli atau menyimpan senjata di rumah Anda,” adalah nasihat dari Wellness Letter.
”Pada Allah Kami Percaya”—Benarkah?
Kata-kata ”Pada Allah Kami Percaya” telah muncul pada uang logam Amerika selama 127 tahun. ”Bagaimana sehingga Allah dan uang Amerika dikaitkan?” tanya majalah Time. Ini dimulai dengan bait terakhir dari lagu kebangsaan, ”The Star Spangled Banner”, yang menyatakan, ”Dan ini menjadi motto kami, ’Pada Allah Rasa Percaya Kami’.” Kemudian, pada permulaan Perang Saudara (1861-65), M. R. Watkinson, seorang pendeta Baptis, mengajukan petisi yaitu jika Union, yang mewakili negara bagian utara, dikalahkan, haruslah ditinggalkan koin-koin yang mengakui ketergantungannya kepada Allah. Presiden Abraham Lincoln serta Sekretaris Bendahara Salmon Chase setuju, dan frasa pendek ”Pada Allah Kami Percaya” mulai dicetak pada koin-koin pada tahun 1864. Akan tetapi, frasa tersebut tidak muncul pada mata uang kertas yang lebih besar sampai pada tahun 1955, dan tahun berikutnya frasa itu dibuat menjadi motto nasional. Meskipun penggunaan motto itu telah ditentang di pengadilan, kebanyakan setuju dengan mantan Hakim Peradilan Tertinggi, William Brennan, yang menulis bahwa slogan itu telah ”kehilangan arti religius yang sesungguhnya”.
Dalam Pencarian akan Suatu Tatanan Dunia Baru
Untuk pertama kalinya dalam waktu lebih dari 40 tahun, Perserikatan Bangsa-Bangsa dihidupkan kembali sebagai sarana keamanan bersama. Pada tanggal 31 Januari, New York City menjadi ajang bagi pertemuan bersejarah dari mereka yang berkedudukan tinggi dan kuat serta mereka yang berkedudukan rendah dan miskin seraya para kepala negara membuka konferensi tingkat tinggi pertama dari Dewan Keamanan PBB. Pertemuan satu hari dari Dewan Keamanan yang unik ini adalah untuk mencari apa yang para pemimpin dunia sebut sebagai suatu tatanan dunia baru untuk menggantikan bahaya dari konfrontasi perang dingin. Perdana Menteri Inggris, John Majors, menyebutkan konferensi itu sebagai suatu ”titik balik dalam dunia dan pada Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Para pemimpin dunia ingin meningkatkan kapasitas pemeliharaan perdamaian dari PBB. Jadi, deklarasi konferensi tingkat tinggi menyatakan, ”Para anggota Dewan setuju bahwa sekarang dunia memiliki kesempatan terbaik untuk mencapai perdamaian dan keamanan internasional sejak didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa.”
Di Tepi Perbatasan Perang Nuklir
Tiga puluh tahun yang lalu dunia berada di tepi perbatasan perang nuklir, menurut informasi yang dinyatakan bulan Januari lalu oleh seorang perwira tinggi militer Soviet pada konferensi tertutup di Havana. Selama krisis peluru kendali Kuba tahun 1962, Kuba memiliki persenjataan nuklir dengan hulu ledak yang sebanding dengan antara 6 sampai 12 ribu ton TNT. Uni Soviet telah mengirimkan peluru-peluru berkepala nuklir ke Kuba dan telah memberi kuasa penggunaannya apabila ada penyerangan militer oleh Amerika ke pulau itu. Menurut The New York Times, Robert S. McNamara, sekretaris keamanan di bawah Presiden John F. Kennedy, pada pertemuan tersebut menunjukkan bahwa tidak disangsikan bahwa ”Kennedy pada waktu itu akan memerintahkan penyerangan balasan ke Kuba—dan mungkin juga Uni Soviet—jika senjata nuklir ditembakkan ke pasukan Amerika”. Dunia merasa lega ketika Soviet setuju untuk menarik mundur peluru berjarak menengah tersebut. Ketika mengenang kembali, Philip Brenner, seorang profesor di American University serta seorang partisipan di konferensi tersebut berkomentar, ”Kita telah lebih dekat dengan perang nuklir daripada yang pernah orang bayangkan.”
”Para Pembunuh Bayi”
Penyakit pernafasan, seperti bronkhitis, pneumonia, serta berbagai bentuk penyakit flu, merupakan ”pembunuh anak-anak balita nomor satu”, sebagaimana diperlihatkan statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa. ”Delapan anak mati setiap menit karena penyakit-penyakit ini, menjadikan total empat juta anak mati setiap tahun,” lapor suplemen mingguan Corriere salute. Bagaimana mengatasinya? Menurut para ahli, ”penggunaan antibiotik secara dini, dan, sebagai tambahan, membangun daya tahan anak-anak, memperbaiki gizi mereka, dan menggunakan vaksinasi secara lebih luas”.
ASI dan AIDS
”ASI (air susu ibu) dalam waktu dekat dapat menjadi pembunuh utama anak-anak di negara-negara Dunia Ketiga,” demikian peringatan majalah Time International. Sekali lagi, AIDS-lah yang dipersalahkan. Menurut penelitian terbatas yang dilakukan di Afrika tengah dan dilaporkan di New England Journal of Medicine, 8 dari 15 bayi yang terkena AIDS selama penelitian terjangkit akibat ASI. Jika hasil penelitian ini terbukti benar, para petugas kesehatan akan menghadapi dilema: Apakah mereka harus menganjurkan susu botol, yang dalam keadaan tidak bersih meningkatkan mortalitas bayi sebesar 500 persen, atau haruskah mereka terus menganjurkan ASI dengan risikonya menularkan virus AIDS? Dr. Jean Mayer, seorang ahli gizi, mengeluh, ”Tidak ada jalan keluar yang baik . . . Ini adalah malapetaka tingkat pertama.”
Gereja Spanyol Dicerca
Apakah Gereja Katolik Roma memberikan bimbingan yang memuaskan dalam berurusan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan keluarga? Hanya 35 persen dari antara orang-orang Spanyol percaya bahwa halnya memang demikian, menurut survai baru-baru ini yang diselenggarakan oleh Centro de Investigaciones sobre la Reliadad Social (Pusat Penyelidikan terhadap Sikap Sosial). Bagaimana dengan memuaskan kebutuhan rohani masyarakat? Hanya 42 persen dari orang-orang yang mengisi angket menganggap bahwa gereja memenuhi tanggung jawab ini. Di sisi lain, Alkitab—buku yang dapat memuaskan kebutuhan rohani dan yang dapat memberikan bimbingan yang jelas sehubungan caranya menikmati kehidupan keluarga yang bahagia—secara tetap tentu dibaca oleh hanya 4 persen dari masyarakat.