Pandangan Alkitab
Haruskah Kita Menepati Nazar Kita?
SEPASANG suami-istri yang seharusnya berbahagia menghadapi suatu masalah yang menyiksa. Bertahun-tahun yang lalu, ketika mereka sangat terperosok dalam suatu dilema keluarga yang sulit, mereka bernazar untuk menyumbangkan sepersepuluh dari pendapatan mereka kepada Allah jika Ia bersedia melepaskan mereka dari berbagai kesulitan mereka. Sekarang, seraya usia bertambah dan problem keuangan yang tak terduga terus membebani, mereka bertanya-tanya, ”Apakah kita diharuskan memenuhi nazar ini?”
Kesulitan mereka menandaskan nasihat pria yang berhikmat terhadap ketergesa-gesaan dalam membuat pernyataan, ”Lebih baik engkau tidak bernazar dari pada bernazar tetapi tidak menepatinya. Janganlah mulutmu membawa engkau ke dalam dosa, dan janganlah berkata di hadapan utusan Allah bahwa engkau khilaf.”—Pengkhotbah 5:4, 5.
Jangan Membuat-buat Alasan
Meskipun sumpah yang sembrono dan janji yang sengaja dielakkan merupakan norma masyarakat yang serba boleh dewasa ini, kita tidak dapat berharap Allah akan mempercayai alasan yang dibuat-buat; bahkan kalangan bisnis pun tahu untuk tidak mempercayai alasan yang dibuat-buat. Artikel ”Integritas Bisnis: Kombinasi yang Berkontradiksi?” dalam buletin perdagangan Industry Week mengeluh, ”Kita tidak lagi percaya bahwa orang-orang berkata jujur, melakukan apa yang benar sebaliknya daripada mencari keuntungan sendiri, bertindak sesuai dengan komitmen mereka.” Meskipun dusta yang umum, seperti ”ceknya sedang dikirim” mungkin dapat mengulur waktu bagi para kreditur manusia, namun para malaikat tidak pernah dapat ditipu.
Tidak berarti bahwa Allah menggunakan para malaikat untuk menagih nazar secara paksa seperti cara seorang lintah darat yang tidak bermoral yang mungkin menggunakan penjahat yang kejam untuk memeras riba dari para korban yang malang. Sebaliknya, Allah dengan pengasih menjadikan malaikat-malaikat-Nya ”roh-roh yang melayani, [membangun] yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan”. (Ibrani 1: 14) Dalam keadaan demikian, para malaikat dapat dan memang memainkan peranan dalam menjawab doa-doa kita yang tulus.
Akan tetapi, jika kita terus membuat janji-janji kosong dalam doa-doa kita, pantaskah kita mengharapkan berkat-berkat Allah? Pria yang berhikmat mengatakan, ”Apakah perlu Allah menjadi murka atas ucapan-ucapanmu dan merusakkan [setidaknya sampai batas tertentu] pekerjaan tanganmu?”—Pengkhotbah 5:5b.
Jadi, daripada mencari-cari alasan hendaknya kita terdorong untuk memenuhi nazar kita bukan karena takut akan malaikat yang menuntut balas. Sebaliknya, kita harus menghargai hubungan baik dengan Allah dan sungguh-sungguh menginginkan perkenan Allah atas kegiatan kita. Seperti yang dinyatakan dengan indah oleh pasangan yang disebut di atas, ”Kami ingin memiliki hati nurani yang bersih di hadapan Allah dan ingin bertindak sesuai dengan kehendak-Nya.”
Memelihara Hati Nurani yang Baik
Agar memiliki hati nurani yang bersih sehubungan memenuhi nazar, kita harus jujur terhadap diri kita sendiri. Sebagai ilustrasi: Misalkan seseorang berutang sejumlah besar uang kepada Anda namun, karena suatu kemalangan, ia ternyata tidak dapat membayar kembali utangnya kepada Anda. Mana yang lebih menyenangkan Anda—jika orang itu tidak menghiraukan seluruh utang karena menganggap tidak mungkin melunasinya atau jika ia paling tidak mengatur untuk membayar Anda dalam jumlah sedikit namun teratur, menurut kemampuannya?
Dengan penalaran yang sama, misalkan kita benar-benar tidak dapat memenuhi suatu nazar yang kita buat dengan tergesa-gesa untuk membaktikan seluruh waktu atau sumber daya lain guna menunjang kegiatan Kristen. Tidakkah kita seharusnya merasa berkewajiban secara moral untuk berupaya memenuhi nazar kita sampai batas yang memungkinkan seraya keadaan mengizinkan? ’Jika kamu rela untuk memberi,’ tulis Paulus, ’maka pemberian kamu akan diterima’ tidak soal banyak atau hanya sedikit yang dapat kita berikan. (2 Korintus 8:12) Namun bagaimana dengan nazar yang dibuat sebelum seseorang mempunyai pengetahuan yang saksama tentang kebenaran Alkitab?
Nazar yang Keliru atau Tidak Berdasarkan Alkitab
Jika kita mengetahui bahwa suatu nazar adalah najis atau amoral, kita harus cepat-cepat membuangnya seolah-olah itu adalah arang panas di tangan kita! (2 Korintus 6:16-18) Contoh nazar yang najis adalah:
◻ Nazar yang dibuat kepada dewa atau dewi palsu, seperti ”ratu sorga” dari orang-orang Babel.—Yeremia 44:23, 25.
◻ Nazar yang melanggar hukum, seperti nazar dari 40 orang yang tidak akan makan dan minum sebelum mereka membunuh rasul Paulus.—Kisah 23:13, 14.
◻ Nazar orang-orang murtad yang mengikuti ”ajaran setan-setan, oleh . . . pendusta-pendusta . . . melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran”.—1 Timotius 4:1-3.
Maka, jelas, beberapa nazar di masa lalu perlu kita nyatakan tidak berlaku lagi. Namun nazar yang tidak melibatkan hal-hal yang berdasarkan Alkitab, untuk apa mencari-cari jalan keluar? Tidakkah pengetahuan kita yang saksama sekarang membuat kita memperlihatkan respek yang lebih besar daripada sebelumnya terhadap nazar-nazar di masa lalu?
Pertimbangkan Nazar Anda di Masa Lalu dan di Masa Depan
Itu juga berarti bahwa kita hendaknya berpikir masak-masak sebelum menambahkan nazar untuk masa depan kepada ibadat kita. Nazar hendaknya tidak digunakan sekadar untuk memotivasi seseorang agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu, seperti meningkatkan waktu yang digunakan dalam ibadat Kristen atau menahan diri dari kebiasaan makan terlalu banyak. Namun, Yesus tidak berkeberatan dengan segala sumpah, seperti, misalnya, pada waktu diminta di pengadilan. Tetapi jelas ia memberi batasan berkenaan sumpah yang sembarangan, sebab ia memperingatkan, ”Yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan [”Yehuwa”, NW]. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah.” (Matius 5:33, 34) Mengapa ia memiliki pendirian demikian? Apakah nazar telah menjadi kurang patut daripada sebelumnya?
Sumpah orang-orang yang setia di zaman purba sering berupa syarat. Dalam doa yang sungguh-sungguh mereka berjanji kepada Yehuwa, ’Jika Engkau menolong hamba melewati krisis ini, hamba akan melakukan hal ini dan itu demi kepentingan-Mu.’ Namun Yesus berkata, ”Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikanNya kepadamu dalam namaKu.” Sebaliknya daripada menganjurkan sumpah-sumpah bersyarat kepada orang-orang yang setia di zamannya, Yesus menjamin mereka, ”Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam namaKu. Mintalah maka kamu akan menerima.”—Yohanes 16:23, 24.
Keyakinan dalam nama, atau kedudukan dari Yesus hendaknya juga menghibur siapa pun yang masih merasa bersalah karena tidak dapat memenuhi apa yang dijanjikan ’bibirnya dengan teledor’ kepada Allah—meskipun ia telah berupaya. (Imamat 5:4-6) Maka, walaupun kita tidak menganggap ringan sumpah kita yang dahulu, sekarang kita bukan hanya dapat berdoa dalam nama Yesus tetapi kita juga dapat memohon kepada Allah untuk menerapkan korban tebusan Yesus atas dosa-dosa kita, dan kita dapat memohon pengampunan dalam nama Yesus. Dengan demikian kita dapat menerima ”keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat”.—Ibrani 10:21, 22.
[Keterangan Gambar di hlm. 28]
Priests taking vows at Montmartre