BAHASA
Sarana apa pun, baik melalui bunyi ujaran maupun cara lainnya, yang digunakan untuk mengekspresikan atau mengkomunikasikan perasaan atau buah pikiran. Namun, pada umumnya bahasa berarti sekumpulan kata dan metode merangkai kata-kata tersebut sehingga hasilnya dapat dipahami oleh suatu komunitas manusia. Kata Ibrani dan Yunani untuk ”lidah” memaksudkan ”bahasa”. (Yer 9:3; Kis 2:26) Istilah Ibrani untuk ”bibir” digunakan dengan cara yang serupa. (Kej 11:1, Rbi8, ctk.) Kadang-kadang ”bahasa” dalam Alkitab memaksudkan orang yang menggunakan bahasa tertentu.—Yes 66:18; Pny 5:9; 7:9; 13:7.
Tentu saja, bahasa mempunyai hubungan yang sangat penting dengan pikiran, yang menggunakan alat-alat ucap—kerongkongan, lidah, bibir, dan gigi—sebagai instrumennya. (Lihat LIDAH.) Karena itu, Encyclopædia Britannica (edisi 1959) menyatakan, ”Proses berpikir berjalan seiring dengan kata-kata. Agar dapat berpikir dengan jelas diperlukan nama-nama [atau kata-kata benda] dan bermacam-macam hubungannya satu dengan yang lain. . . . Memang, ada sedikit keberatan yang masuk akal, tetapi ada banyak sekali bukti . . . yang memperkuat argumen di atas—tanpa kata-kata, tidak ada pemikiran.” (Jil. 5, hlm. 740) Kata-kata adalah sarana utama bagi manusia untuk menerima, menyimpan, memanipulasi, dan meneruskan informasi.
Asal Mula Bahasa. Ketika manusia pertama, Adam, diciptakan, ia diperlengkapi dengan sejumlah kosakata, dan juga kesanggupan untuk menciptakan kata-kata baru, sehingga ia dapat mengembangkan kosakatanya. Tanpa kosakata yang diberikan Allah, manusia yang baru diciptakan ini tidak jauh berbeda dari binatang yang tak bernalar dalam hal memahami petunjuk-petunjuk lisan Penciptanya. (Kej 1:27-30; 2:16-20; bdk. 2Ptr 2:12; Yud 10.) Jadi, sekalipun manusia yang cerdas adalah satu-satunya makhluk di seluruh bumi yang memiliki kesanggupan bertutur kata, bahasa itu sendiri tidak berasal dari manusia tetapi dari Pencipta Yang Mahabijaksana, Allah Yehuwa.—Bdk. Kel 4:11, 12.
Mengenai asal mula bahasa, leksikograf terkenal bernama Ludwig Koehler menulis, ”Ada banyak spekulasi, terutama pada zaman dahulu, tentang proses ’tercipta’-nya bahasa manusia. Para penulis berupaya keras untuk menyelidiki ’bahasa binatang’, karena melalui bunyi dan rangkaian bunyi, binatang pun dapat mengekspresikan perasaan dan persepsi indra mereka, seperti rasa puas, rasa takut, emosi, ancaman, kemarahan, nafsu seksual serta kepuasannya sewaktu terpenuhi, dan mungkin hal-hal lain. Namun, seberapa pun banyaknya ekspresi [binatang] ini, . . . semuanya tidak mengandung konsep dan pemikiran, yakni unsur yang sangat penting dalam bahasa manusia.” Setelah memperlihatkan bagaimana manusia dapat menyelidiki aspek fisiologis bahasa manusia, ia menambahkan, ”Tetapi apa yang sebenarnya terjadi dalam proses terbentuknya ujaran benar-benar sangat sulit dipahami, bagaimana pancaran persepsi memicu semangat seorang anak, atau umat manusia pada umumnya, sehingga bisa menjadi kata yang diucapkan. Ujaran manusia merupakan suatu misteri; hal itu adalah karunia ilahi, suatu keajaiban.”—Journal of Semitic Studies, Manchester, 1956, hlm. 11.
Bahasa telah digunakan selama entah berapa abad sebelum manusia muncul di panggung jagat raya. Allah Yehuwa berkomunikasi dengan Putra sulung surgawi-Nya dan jelas memakai dia untuk berkomunikasi dengan putra-putra rohani-Nya yang lain. Oleh karena itu, sang Putra sulung disebut ”Firman”. (Yoh 1:1; Kol 1:15, 16; Pny 3:14) Di bawah ilham, rasul Paulus menyebutkan tentang ”bahasa manusia dan bahasa malaikat”. (1Kor 13:1) Allah Yehuwa berbicara kepada makhluk-makhluk malaikat-Nya dengan ”bahasa” mereka dan mereka ”melaksanakan firmannya”. (Mz 103:20) Karena Ia dan putra-putra rohani-Nya tidak bergantung pada atmosfer (yang memungkinkan terbentuknya gelombang dan getaran bunyi yang dibutuhkan untuk berkomunikasi dalam bahasa manusia), jelaslah bahwa bahasa malaikat berada di luar konsep atau jangkauan manusia. Oleh karena itu, sebagai utusan Allah, para malaikat menggunakan bahasa manusia untuk berbicara dengan mereka, dan berita-berita melalui malaikat dicatat dalam bahasa Ibrani (Kej 22:15-18), Aram (Dan 7:23-27), dan Yunani (Pny 11:15), dan ayat-ayat yang disebutkan itu masing-masing ditulis dalam bahasa-bahasa tersebut.
Apa yang menyebabkan timbulnya keanekaragaman bahasa?
Menurut Organisasi Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), ada sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia dewasa ini. Beberapa digunakan oleh ratusan juta orang, yang lainnya oleh kurang dari seribu orang. Sekalipun gagasan-gagasan yang diekspresikan dan dikomunikasikan bisa jadi sama, ada banyak cara untuk mengungkapkannya. Hanya sejarah Alkitablah yang menjelaskan asal usul keanekaragaman yang aneh dalam komunikasi antarmanusia.
Sampai suatu waktu tertentu setelah Air Bah global, seluruh umat manusia ”satu bahasanya [harfiah, ”bibir”] dan satu perbendaharaan katanya”. (Kej 11:1) Alkitab menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan ’satu bahasa’ adalah bahasa yang belakangan disebut bahasa Ibrani. (Lihat IBRANI, BAHASA.) Sebagaimana akan diperlihatkan, ini tidak berarti bahwa bahasa-bahasa lain berasal dari dan ada hubungannya dengan bahasa Ibrani, tetapi bahasa Ibrani ada lebih dahulu sebelum semua bahasa lain.
Kisah dalam buku Kejadian menggambarkan bagaimana sebagian dari keluarga manusia pasca-Air Bah bersatu dalam suatu proyek yang melawan kehendak Allah yang dinyatakan kepada Nuh dan putra-putranya. (Kej 9:1) Sebaliknya daripada menyebar dan ’memenuhi bumi’, mereka bertekad untuk menyentralisasi masyarakat manusia, memusatkan tempat kediaman mereka di satu tempat yang kemudian dikenal sebagai Dataran Syinar di Mesopotamia. Pastilah tempat ini juga direncanakan untuk menjadi pusat agama, dengan sebuah menara keagamaan.—Kej 11:2-4.
Allah Yang Mahakuasa menggagalkan proyek yang terlalu gegabah itu dengan menghentikan upaya mereka yang terpadu, dan Ia melakukan hal itu dengan mengacaukan bahasa yang sama yang mereka gunakan. Akibatnya, mereka tidak dapat mengerjakan proyek itu secara terpadu dan mereka pun menyebar ke semua bagian bumi. Kekacauan bahasa ini juga menghalangi atau memperlambat gerak maju mereka ke arah yang salah pada masa mendatang, yaitu ke arah yang melawan Allah, karena dengan dikacaukannya bahasa mereka, manusia akan sulit untuk menggabungkan kekuatan intelektual dan fisik mereka guna mewujudkan rancangan ambisius mereka, dan juga sulit untuk menarik manfaat dari kumpulan pengetahuan yang dimiliki orang-orang dari berbagai kelompok bahasa yang terbentuk itu—pengetahuan, bukan dari Allah, melainkan yang diperoleh melalui pengalaman dan riset manusia. (Bdk. Pkh 7:29; Ul 32:5.) Jadi, meskipun menjadi faktor pemecah belah utama masyarakat manusia, pengacauan bahasa manusia sebenarnya berfaedah bagi masyarakat manusia karena hal itu memperlambat tercapainya tujuan-tujuan mereka yang berbahaya dan membawa penderitaan. (Kej 11:5-9; bdk. Yes 8:9, 10.) Orang yang memperhatikan perkembangan-perkembangan tertentu pada zaman kita, hasil dari pengetahuan sekuler yang telah dihimpun manusia dan penyalahgunaannya, pasti akan menyadari apa yang bakal berkembang seandainya upaya di Babel itu diizinkan terus berlangsung tanpa dihalangi; hal inilah yang sudah diketahui jauh di muka oleh Allah.
Filologi, ilmu perbandingan bahasa, biasanya menggolongkan bahasa menurut ”keluarga-keluarga” yang berbeda. Bahasa ”induk” masing-masing keluarga utama itu biasanya tidak dapat diketahui; selain itu, ada sedikit sekali bukti yang menunjukkan bahwa ribuan bahasa yang sekarang digunakan bersumber pada satu bahasa ”induk”. Catatan Alkitab tidak mengatakan bahwa semua bahasa diturunkan, atau berkembang, dari bahasa Ibrani. Dalam apa yang biasanya disebut Daftar Bangsa-Bangsa (Kej 10), keturunan putra-putra Nuh (Sem, Ham, dan Yafet) didaftarkan dan setiap kali dikelompokkan ’menurut keluarga mereka, menurut bahasa mereka, di negeri mereka, sesuai dengan bangsa mereka’. (Kej 10:5, 20, 31, 32) Oleh karena itu, ketika Allah Yehuwa secara mukjizat mengacaukan bahasa manusia, tampaknya Ia tidak menciptakan dialek-dialek bahasa Ibrani, tetapi sejumlah bahasa yang sama sekali baru, masing-masing sanggup mengekspresikan semua perasaan dan pikiran manusia.
Dengan demikian, setelah Allah mengacaukan bahasa mereka, para pekerja pembangunan di Babel bukan hanya tidak memiliki ’satu perbendaharaan kata’ (Kej 11:1), satu kosakata yang sama, melainkan mereka juga tidak memiliki tata bahasa yang sama, yaitu cara yang sama dalam mengekspresikan hubungan antarkata. Profesor S. R. Driver menyatakan, ”Namun, bahasa tidak hanya berbeda dalam segi tata bahasa dan asal usulnya, tetapi juga . . . caranya gagasan disusun menjadi kalimat. Cara berpikir ras yang satu tidak sama dengan ras yang lain; dan karena itu, bentuk-bentuk kalimat dalam berbagai bahasa menjadi tidak sama.” (A Dictionary of the Bible, diedit oleh J. Hastings, 1905, Jil. IV, hlm. 791) Jadi, satu bahasa mempunyai pola berpikir yang cukup berbeda dengan bahasa yang lain, sehingga lebih sulit bagi orang yang baru belajar bahasa untuk ’berpikir dalam bahasa tersebut’. (Bdk. 1Kor 14:10, 11.) Itulah juga sebabnya penerjemahan harfiah sebuah ujaran atau tulisan dalam bahasa yang tidak dikenal bisa jadi tampaknya tidak masuk akal, dan sering membuat orang berkata, ”Tapi kalimat itu tidak masuk akal!” Jadi rupanya, pada waktu Allah Yehuwa mengacaukan bahasa orang-orang di Babel, pertama-tama Ia menghapus semua ingatan akan bahasa yang sebelumnya sama-sama mereka miliki, kemudian Ia memasukkan ke dalam pikiran mereka bukan hanya kosakata yang baru melainkan juga pola berpikir yang berbeda, yang menghasilkan sejumlah tata bahasa yang baru.—Bdk. Yes 33:19; Yeh 3:4-6.
Misalnya, kita mendapati bahwa bahasa-bahasa tertentu bersifat monosilabis (terdiri dari kata-kata yang hanya mengandung satu suku kata), seperti bahasa Cina. Sebagai kontras, kosakata sejumlah bahasa lain sebagian besar dibentuk melalui aglutinasi, yaitu dengan menggabungkan kata-kata yang ditempatkan berdampingan, seperti kata dalam bahasa Jerman Hausfriedensbruch, yang secara harfiah berarti ”melanggar kedamaian rumah”, atau dalam bentuk yang lebih dimengerti oleh pikiran pengguna bahasa Indonesia, ”memasuki daerah terlarang”. Dalam sintaksis sejumlah bahasa, urutan kata dalam kalimat sangatlah penting; dalam bahasa-bahasa lain, hal itu tidak begitu penting. Demikian pula, beberapa bahasa mempunyai banyak konjugasi (infleksi kata kerja); bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Cina, sama sekali tidak mempunyai fitur tersebut. Banyak sekali perbedaan yang dapat disebutkan, masing-masing menuntut penyesuaian dalam pola mental, sering kali dengan upaya yang besar.
Jelas bahwa seraya waktu berlalu, terbentuklah dialek-dialek turunan dari bahasa-bahasa yang dihasilkan oleh tindakan Allah di Babel, dan dialek-dialek tersebut sering kali berkembang menjadi bahasa-bahasa yang berbeda, dan hubungan antara bahasa-bahasa ini dengan dialek ”kerabat”-nya atau dengan bahasa ”induk”-nya kadang-kadang hampir tidak kelihatan lagi. Bahkan keturunan Sem, yang jelas tidak berada di antara kumpulan orang di Babel, mulai menggunakan bukan hanya bahasa Ibrani melainkan juga bahasa Aram, bahasa Akad, dan bahasa Arab. Secara historis, berbagai faktor turut menyebabkan perubahan dalam bahasa: keterpisahan karena jarak atau penghalang geografis, peperangan dan penaklukan, terputusnya komunikasi, dan imigrasi orang-orang yang berlainan bahasa. Karena faktor-faktor seperti itu, bahasa-bahasa kuno tertentu ada yang menyatu dengan bahasa-bahasa lain, dan beberapa bahasa lain lenyap sama sekali dan digantikan dengan bahasa dari bangsa penakluk yang masuk menyerbu.
Riset bahasa memberikan bukti yang selaras dengan keterangan di atas. The New Encyclopædia Britannica mengatakan, ”Catatan paling awal dari bahasa tertulis, yaitu satu-satunya fosil linguistik yang mungkin masih bisa didapatkan oleh manusia, tidak lebih tua daripada sekitar 4.000 atau 5.000 tahun.” (1985, Jil. 22, hlm. 567) Sebuah artikel dalam Science Illustrated terbitan bulan Juli 1948 (hlm. 63) menyatakan, ”Bentuk-bentuk yang lebih kuno dari bahasa-bahasa yang dikenal dewasa ini jauh lebih pelik daripada bahasa-bahasa modern turunannya . . . tampaknya manusia tidak mulai berbicara dengan bahasa yang sederhana, dan secara bertahap membuatnya menjadi lebih rumit; tetapi sebaliknya, mereka telah memiliki bahasa yang sangat rumit pada masa lampau yang tidak tercatat, dan secara bertahap menyederhanakannya menjadi bentuk-bentuk yang modern.” Pakar linguistik, Dr. Mason, juga menunjukkan bahwa ”gagasan tentang ’orang-orang tak beradab’ yang bercakap-cakap melalui serangkaian geraman, dan tidak dapat mengekspresikan banyak konsep ’yang beradab’, adalah sama sekali salah”, dan bahwa ”banyak bahasa dari bangsa-bangsa yang tidak melek huruf jauh lebih rumit daripada bahasa-bahasa Eropa modern”. (Science News Letter, 3 September 1955, hlm. 148) Jadi, bukti yang ada menyanggah gagasan bahwa ujaran atau bahasa-bahasa kuno mengalami proses evolusi.
Sehubungan dengan titik awal tersebarnya bahasa-bahasa kuno, Sir Henry Rawlinson, pakar bahasa Timur, mengamati, ”Seandainya kita hanya dibimbing oleh persilangan jalur-jalur linguistik, dan sama sekali tanpa rujukan ke catatan Alkitab, kita akan tetap digiring untuk menetapkan Dataran Syinar sebagai titik awal terpencarnya bermacam-macam bahasa.”—The Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, London, 1855, Jil. 15, hlm. 232.
”Keluarga-keluarga” bahasa utama yang didaftarkan para ahli filologi modern di antaranya adalah bahasa Indo-Eropa, Sino-Tibet, Afro-Asia, Jepang dan Korea, Dravidi, Melayu-Polinesia, dan Afrika Hitam. Ada banyak bahasa yang sampai sekarang sulit diklasifikasikan. Dalam setiap keluarga utama ada banyak subdivisi, atau keluarga-keluarga yang lebih kecil. Sebagai contoh, keluarga bahasa Indo-Eropa mencakup bahasa Germanika, Romanika (Italika), Balto-Slavia, Indo-Iran, Yunani, Keltika, Albania, dan Armenia. Selanjutnya, kebanyakan dari keluarga-keluarga bahasa yang lebih kecil ini juga mempunyai beberapa anggota. Misalnya, bahasa-bahasa Germanika mencakup bahasa Norwegia, Dansk, Swedia, Jerman dan Inggris; bahasa-bahasa Romanika mencakup bahasa Prancis, Spanyol, Portugis, Italia, dan Rumania.
Dari Abraham dan Seterusnya. Abraham, sebagai orang Ibrani, jelas tidak mengalami kesulitan sewaktu bercakap-cakap dengan orang Hamitik dari Kanaan. (Kej 14:21-24; 20:1-16; 21:22-34) Tidak ada catatan bahwa mereka menggunakan jasa juru bahasa, sewaktu Abraham pergi ke Mesir pun tidak. (Kej 12:14-19) Ia mungkin mengenal bahasa Akad (Asiria-Babilonia) karena ia pernah tinggal di Ur, kota orang Khaldea. (Kej 11:31) Untuk suatu waktu, bahasa Akad adalah bahasa internasional. Mungkin saja, bangsa Kanaan, yang tinggal cukup dekat dengan bangsa Semitik di Siria dan Arab, sampai tingkat tertentu bilingual. Selain itu, abjadnya memberikan bukti yang jelas bahwa bahasa tersebut berasal dari bahasa Semitik, dan hal ini bisa juga besar pengaruhnya atas penggunaan bahasa-bahasa Semitik oleh pengguna bahasa lain, terutama para penguasa dan pejabat.—Lihat KANAAN No. 2 (Bahasa); TULIS, MENULIS.
Tampaknya Yakub pun tidak mengalami kesulitan sewaktu berkomunikasi dengan orang-orang Aram, kerabatnya (Kej 29:1-14), sekalipun istilah-istilah mereka kadang-kadang berbeda.—Kej 31:46, 47.
Yusuf, yang kemungkinan besar telah belajar bahasa Mesir sewaktu menjadi budak Potifar, menggunakan juru bahasa pada waktu untuk pertama kali berbicara dengan saudara-saudara Ibraninya, ketika mereka tiba di Mesir. (Kej 39:1; 42:6, 23) Musa, yang dibesarkan di lingkungan istana Firaun, tidak diragukan lagi mengenal beberapa bahasa: bahasa Ibrani, bahasa Mesir, mungkin bahasa Akad, dan mungkin bahasa-bahasa lain juga.—Kel 2:10; bdk. ayat 15-22.
Lambat laun, bahasa Aram menggantikan bahasa Akad sebagai lingua franca, atau bahasa internasional, dan digunakan bahkan dalam korespondensi dengan Mesir. Namun, pada waktu Raja Sanherib dari Asiria menyerang Yehuda (732 SM), bahasa Aram (Siria Kuno) tidak dimengerti oleh mayoritas orang Yahudi, sekalipun para pejabat Yehuda memahaminya. (2Raj 18:26, 27) Demikian juga bahasa Khaldea yang digunakan orang Babilonia Semitik, yang akhirnya menaklukkan Yerusalem pada tahun 607 SM, kedengaran seperti ujaran orang-orang ”yang menggagap” di telinga orang Yahudi. (Yes 28:11; Dan 1:4; bdk. Ul 28:49.) Sekalipun Babilon, Persia, dan kuasa-kuasa dunia lain mendirikan imperium raksasa dan berkuasa atas orang-orang dari berbagai bahasa, mereka tidak menyingkirkan penghalang yang memecah belah, yaitu perbedaan bahasa.—Dan 3:4, 7; Est 1:22.
Nehemia memperlihatkan keprihatinan yang dalam ketika mengetahui bahwa putra-putra hasil perkawinan campur di kalangan orang Yahudi yang kembali tidak mengenal ”bahasa Yahudi” (bahasa Ibrani). (Neh 13:23-25) Kerisauannya menyangkut ibadat murni, karena ia menyadari pentingnya memahami Tulisan-Tulisan Suci (yang sampai pada waktu itu hanya ada dalam bahasa Ibrani) sewaktu dibacakan dan didiskusikan. (Bdk. Neh 13:26, 27; 8:1-3, 8, 9.) Mempunyai satu bahasa juga merupakan kekuatan pemersatu bagi bangsa itu. Tidak diragukan bahwa Kitab-Kitab Ibrani merupakan faktor utama dalam stabilitas bahasa Ibrani. Selama seribu tahun masa penulisannya, hampir tidak tampak adanya perubahan dalam bahasa.
Sewaktu Yesus berada di bumi, sebagian besar daerah Palestina telah menjadi wilayah multilingual. Ada bukti kuat bahwa orang Yahudi masih tetap menggunakan bahasa Ibrani, tetapi bahasa Aram dan Koine juga digunakan. Bahasa Latin juga muncul pada inskripsi-inskripsi resmi para penguasa Romawi di negeri itu (Yoh 19:20) dan tidak diragukan lagi digunakan oleh para prajurit Romawi yang ditempatkan di sana. Tentang bahasa yang umumnya digunakan Yesus, lihat ARAM, BAHASA; juga IBRANI, BAHASA.
Pada hari Pentakosta, 33 M, roh kudus dicurahkan atas murid-murid Kristen di Yerusalem, dan mereka tiba-tiba mulai berbicara dalam berbagai bahasa yang belum pernah mereka pelajari. Di Babel, Allah Yehuwa telah mempertunjukkan kesanggupan-Nya yang menakjubkan untuk memasukkan kosakata dan tata bahasa yang berbeda ke dalam pikiran orang-orang. Pada hari Pentakosta, Ia melakukannya lagi tetapi dengan cara yang sangat berbeda; orang-orang Kristen yang tiba-tiba dikaruniai kesanggupan berbicara dalam bahasa-bahasa baru tidak melupakan bahasa asli mereka, yakni bahasa Ibrani. Pada kesempatan itu, roh Allah juga mencapai tujuan yang sangat berbeda, yakni bukan untuk mengacaukan dan menyerakkan melainkan untuk memberi pencerahan dan mengumpulkan orang-orang yang berhati jujur ke dalam persatuan Kristen. (Kis 2:1-21, 37-42) Sejak saat itu, umat perjanjian Allah adalah umat yang multilingual, namun penghalang yang ditimbulkan oleh perbedaan bahasa bisa diatasi karena pikiran mereka diisi dengan bahasa kebenaran yang sama. Secara terpadu mereka berbicara untuk memuji Yehuwa dan maksud-tujuan-Nya yang adil-benar melalui Kristus Yesus. Dengan demikian, janji yang terdapat di Zefanya 3:9 mengalami penggenapannya seraya Allah Yehuwa memberikan ”perubahan kepada bangsa-bangsa ke suatu bahasa yang murni, supaya mereka semua berseru kepada nama Yehuwa, untuk melayani dia bahu-membahu”. (Bdk. Yes 66:18; Za 8:23; Pny 7:4, 9, 10.) Agar hal ini bisa terjadi, mereka ’semua harus selaras dalam hal berbicara’ dan ”bersatu dengan sepatutnya dalam pikiran yang sama dan dalam jalan pikiran yang sama”.—1Kor 1:10.
Bahasa yang digunakan sidang Kristen adalah ”murni” karena juga bebas dari kata-kata kebencian, kemarahan, kemurkaan, teriakan, dan kata-kata cacian, dan juga bebas dari tipu daya, perkataan cabul, dan kebejatan. (Ef 4:29, 31; 1Ptr 3:10) Orang Kristen harus menggunakan bahasa dengan cara yang paling luhur, yakni untuk memuji Pencipta mereka dan membina sesama mereka dengan perkataan yang sehat dan benar, terutama dengan kabar baik tentang Kerajaan Allah. (Mat 24:14; Tit 2:7, 8; Ibr 13:15; bdk. Mz 51:15; 109:30.) Seraya waktu bagi Allah untuk melaksanakan keputusan hukum-Nya atas semua bangsa di dunia semakin dekat, Yehuwa memungkinkan lebih banyak orang lagi untuk berbicara dengan bahasa murni itu.
Pada mulanya Alkitab ditulis dalam bahasa Ibrani, dan beberapa bagian kemudian ditulis dalam bahasa Aram. Lalu, pada abad pertama Tarikh Masehi, selebihnya dari Tulisan-Tulisan Suci ditulis dalam bahasa Koine, atau bahasa Yunani sehari-hari (walaupun Matius mula-mula menulis Injilnya dalam bahasa Ibrani). Pada waktu itu, sudah ada sebuah terjemahan Kitab-Kitab Ibrani dalam bahasa Yunani. Terjemahan itu disebut Septuaginta, yang sekalipun tidak terilham, banyak dikutip oleh orang-orang Kristen yang menulis Alkitab. (Lihat ILHAM.) Demikian juga, Kitab-Kitab Yunani Kristen dan akhirnya seluruh Alkitab mulai diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain; yang paling awal di antaranya adalah terjemahan ke dalam bahasa Latin, Siria, Etiopia, Arab, dan Persia. Dewasa ini, Alkitab, secara keseluruhan atau sebagian, tersedia dalam lebih dari 2.000 bahasa. Hal ini telah memperlancar pemberitaan kabar baik dan dengan demikian telah membantu mengatasi penghalang berupa perbedaan bahasa dengan tujuan mempersatukan orang-orang dari berbagai negeri dalam ibadat murni kepada Pencipta mereka.