Pasal 23
Utusan Injil Mendorong Ekspansi Seluas Dunia
KEGIATAN yang bergairah dari para utusan injil yang rela melayani di mana pun mereka dibutuhkan telah menjadi suatu faktor penting dalam pemberitaan Kerajaan Allah di seluruh dunia.
Lama sebelum Watch Tower Bible and Tract Society mendirikan sekolah untuk maksud ini, utusan-utusan injil telah diutus ke negeri-negeri lain. Presiden Lembaga yang pertama, C. T. Russell, menyadari kebutuhan akan orang-orang yang memenuhi syarat untuk merintis dan mengambil pimpinan dalam pemberitaan kabar baik di ladang-ladang luar negeri. Ia mengutus pria-pria untuk maksud tersebut—Adolf Weber ke Eropa, E. J. Coward ke daerah Karibia, Robert Hollister ke Negeri Timur, dan Joseph Booth ke Afrika bagian selatan. Sayangnya, Booth ternyata lebih berminat kepada rencana-rencananya sendiri; maka, pada tahun 1910, William Johnston diutus dari Skotlandia ke Nyasaland (kini Malawi), negeri yang teristimewa telah merasakan pengaruh yang buruk dari Booth. Setelah itu, Saudara Johnston ditugaskan mendirikan sebuah kantor cabang untuk Lembaga Menara Pengawal di Durban, Afrika Selatan, dan belakangan ia melayani sebagai pengawas cabang di Australia.
Sesudah perang dunia pertama, J. F. Rutherford bahkan mengutus lebih banyak utusan injil—misalnya, Thomas Walder dan George Phillips dari Inggris ke Afrika Selatan, W. R. Brown dari penugasan di Trinidad ke Afrika Barat, George Young dari Kanada ke Amerika Selatan dan Eropa, Juan Muñiz mula-mula ke Spanyol dan kemudian ke Argentina, George Wright dan Edwin Skinner ke India, diikuti oleh Claude Goodman, Ron Tippin, dan banyak lagi. Mereka adalah perintis-perintis sejati, menjangkau daerah-daerah yang hanya sedikit atau belum pernah mendapat pemberitaan kabar baik dan membubuh fondasi yang kuat untuk perkembangan organisasi di masa mendatang.
Ada orang-orang lain juga, yang digerakkan oleh semangat utusan injil untuk mengabar di luar negeri mereka sendiri. Di antara mereka terdapat Kate Goas dan putrinya Marion, yang bertahun-tahun berbakti dalam dinas yang bergairah di Kolombia dan Venezuela. Yang lain adalah Joseph Dos Santos, yang meninggalkan Hawaii dalam perjalanan pengabaran dan membawanya kepada pelayanan selama 15 tahun di Filipina. Ada pula Frank Rice, yang melakukan perjalanan dengan kapal barang dari Australia untuk membuka pemberitaan kabar baik di Pulau Jawa (kini di Indonesia).
Akan tetapi, pada tahun 1942 rencana disusun untuk sebuah sekolah dengan kurikulum yang khusus dirancang untuk melatih pria maupun wanita yang rela mengemban dinas utusan injil demikian di mana saja mereka dibutuhkan dalam ladang di seputar bumi.
Sekolah Gilead
Di tengah berkecamuknya perang dunia, mungkin tampaknya tidak praktis dari sudut pandangan manusia untuk merencanakan ekspansi kegiatan pemberitaan Kerajaan di ladang luar negeri. Namun, pada bulan September 1942, dengan bersandar kepada Yehuwa, para direktur kedua badan hukum utama yang digunakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa menyetujui proposal N. H. Knorr untuk mendirikan sebuah sekolah yang dirancang untuk melatih para utusan injil dan orang-orang lain untuk dinas khusus. Sekolah itu akan dinamakan Perguruan Tinggi Alkitab Gilead Menara Pengawal. Belakangan nama tersebut diubah menjadi Sekolah Alkitab Gilead Menara Pengawal. Tidak ada pungutan uang kuliah, dan siswa-siswa diasramakan dan makanan ditanggung Lembaga selama periode pelatihan mereka.
Di antara mereka yang diundang untuk membantu menyusun kurikulum pelajaran adalah Albert D. Schroeder, yang telah menimba banyak pengalaman dalam Departemen Dinas di kantor pusat Lembaga di Brooklyn dan sebagai pengawas cabang Lembaga di Inggris. Pandangannya yang positif, cara ia mengerahkan dirinya sendiri, dan minatnya yang hangat kepada para siswa membuat ia disayangi oleh siapa saja yang diajarnya dalam kurun waktu 17 tahun ia melayani sebagai panitera dan instruktur di sekolah tersebut. Pada tahun 1974, ia menjadi anggota Badan Pimpinan, dan tahun berikutnya ia ditugaskan untuk melayani sebagai anggota Panitia Pengajaran.
Saudara Schroeder dan rekan-rekannya sesama instruktur (Maxwell Friend, Eduardo Keller, dan Victor Blackwell) menyusun suatu kurikulum pelajaran selama lima bulan yang menitikberatkan pengajaran Alkitab itu sendiri dan organisasi teokratis, juga doktrin-doktrin Alkitab, berbicara kepada umum, pelayanan pengabaran, dinas utusan injil, sejarah agama, hukum ilahi, cara berurusan dengan pejabat-pejabat pemerintah, hukum internasional, memelihara catatan, dan satu bahasa asing. Selama bertahun-tahun telah dibuat modifikasi dalam kurikulumnya, tetapi pelajaran mengenai Alkitab itu sendiri dan pentingnya pekerjaan penginjilan senantiasa menjadi hal yang utama. Tujuan pendidikan itu adalah untuk menguatkan iman siswa-siswanya, membantu mereka mengembangkan sifat-sifat rohani yang dibutuhkan agar dapat menanggulangi tantangan dinas utusan injil dengan sukses. Ditekankan tentang pentingnya mengandalkan Yehuwa sepenuhnya dan loyal kepada-Nya. (Mzm. 146:1-6; Ams. 3:5, 6; Ef. 4:24) Kepada siswa tidak diberikan jawaban-jawaban yang tepat untuk segala sesuatunya tetapi mereka dilatih untuk mengadakan riset dan dibantu untuk menghargai mengapa Saksi-Saksi Yehuwa percaya hal-hal itu dan mengapa mereka berpaut kepada cara-cara tertentu dalam melaksanakan segala sesuatu. Mereka belajar memahami prinsip-prinsip yang dapat mereka gunakan dalam bekerja. Dengan demikian terbentuk suatu fondasi bagi perkembangan lebih lanjut.
Undangan kepada para calon siswa kelas pertama dikirim pada tanggal 14 Desember 1942. Pada pertengahan musim dingin, 100 siswa yang membentuk kelas tersebut mendaftarkan diri di fasilitas-fasilitas sekolah itu yang berlokasi di daerah utara negara bagian New York, di South Lansing. Mereka rela, bergairah, dan agak gugup. Walaupun pelajaran-pelajaran dalam kelas merupakan perhatian utama mereka, namun mereka tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya-tanya ke bagian ladang dunia mana kira-kira mereka akan diutus sesudah hari wisuda.
Dalam sebuah ceramah kepada kelas pertama tersebut pada tanggal 1 Februari 1943, hari pembukaan sekolah, Saudara Knorr berkata, ”Saudara-saudara akan dipersiapkan lebih lanjut untuk pekerjaan yang serupa dengan pekerjaan rasul Paulus, Markus, Timotius, dan orang-orang lain yang bepergian ke segala penjuru Kekaisaran Romawi untuk mengabarkan berita Kerajaan. Mereka harus dikuatkan dengan Firman Allah. Mereka harus mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai maksud-tujuan-Nya. Di banyak tempat mereka harus berdiri sendiri melawan kalangan atas dan yang berkuasa dari dunia ini. Bagian saudara mungkin sama; dan untuk itu Allah akan menjadi kekuatan saudara.
”Ada banyak tempat yang belum menerima cukup banyak kesaksian mengenai Kerajaan. Orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ini hidup dalam kegelapan, terbelenggu oleh agama. Di beberapa negeri yang hanya memiliki beberapa Saksi, diketahui bahwa orang-orang yang berkemauan baik senang mendengar dan akan menggabungkan diri dengan organisasi Tuhan, jika diajar dengan sepatutnya. Tentu ada ratusan dan ribuan orang lagi yang dapat dijangkau jika ada lebih banyak pekerja di ladang. Dengan kemurahan Tuhan, jumlah pekerja akan lebih banyak.
”Tujuan perguruan ini BUKAN untuk memperlengkapi saudara-saudara menjadi rohaniwan yang terlantik. Saudara sudah menjadi rohaniwan dan telah aktif dalam pelayanan selama bertahun-tahun. . . . Kurikulum pelajaran di perguruan ini semata-mata bertujuan mempersiapkan saudara menjadi rohaniwan yang lebih mahir di daerah yang menjadi tempat tujuan saudara. . . .
”Pekerjaan saudara yang utama adalah memberitakan injil Kerajaan ini dari rumah ke rumah sebagaimana dilakukan Yesus dan rasul-rasul. Sewaktu saudara menemukan orang yang suka mendengar, adakanlah kunjungan kembali, mulailah pengajaran di rumah, dan bentuklah sebuah kompi [sidang] yang terdiri dari semua orang yang seperti itu di kota besar atau kota kecil. Bukan hanya menyenangkan untuk mengorganisasi sebuah sidang, tetapi saudara harus membantu mereka memahami Firman, menguatkan mereka, berbicara kepada mereka dari waktu ke waktu, membantu mereka dalam pertemuan dinas mereka dan cara mereka mengorganisasi. Bila mereka kuat dan dapat melanjutkannya sendiri serta mengambil alih daerah, saudara dapat pergi ke kota lain untuk memberitakan Kerajaan. Dari waktu ke waktu saudara mungkin perlu datang kembali guna membina mereka dalam iman yang paling kudus dan meluruskan mereka dalam doktrin; dengan demikian pekerjaan saudara adalah memelihara ’domba-domba lain’ Tuhan, dan tidak meninggalkan mereka. (Yoh. 10:16) Pekerjaan saudara yang sesungguhnya adalah membantu orang-orang yang berkemauan baik. Saudara harus banyak berprakarsa, namun berpaling kepada bimbingan Allah.”a
Lima bulan kemudian anggota-anggota dari kelas pertama itu telah menyelesaikan pelatihan khusus mereka. Visa diperoleh, pengaturan perjalanan diadakan, dan mereka berangkat menuju sembilan negeri Amerika Latin. Tiga bulan sesudah mereka diwisuda, utusan-utusan injil pertama keluaran Gilead meninggalkan Amerika Serikat dan menuju Kuba. Menjelang tahun 1992, lebih dari 6.500 siswa dari 110 lebih negeri telah dilatih dan setelah itu melayani di lebih dari 200 negeri dan kepulauan.
Sampai saat kematiannya, 34 tahun sesudah peresmian Sekolah Gilead, Saudara Knorr menunjukkan minat pribadi yang dalam terhadap pekerjaan utusan injil. Setiap masa ajaran sekolah, ia beberapa kali mengunjungi kelas yang sedang berlangsung jika memang memungkinkan, memberi kuliah dan membawa serta anggota-anggota lain dari staf kantor pusat untuk berbicara kepada para siswa. Setelah lulusan Gilead memulai dinas mereka di luar negeri, secara pribadi ia mengunjungi kelompok-kelompok utusan injil, membantu mereka menanggulangi problem-problem, dan memberikan kepada mereka anjuran yang diperlukan. Seraya jumlah kelompok utusan injil berlipat ganda, ia mengatur agar saudara-saudara lain yang benar-benar memenuhi syarat dapat juga mengadakan kunjungan-kunjungan semacam itu, sehingga semua utusan injil, tidak soal di mana mereka melayani, mendapat perhatian pribadi secara tetap tentu.
Utusan-Utusan Injil Ini Berbeda
Misionaris-misionaris Susunan Kristen telah mendirikan rumah sakit, pusat penampungan pengungsi, dan panti asuhan untuk mengurus kebutuhan materi orang-orang. Dengan memainkan peranan sebagai pahlawan bagi orang-orang miskin, mereka juga telah menggerakkan revolusi dan berpartisipasi dalam perang gerilya. Sebagai kontras, para utusan injil lulusan Sekolah Gilead mengajarkan Alkitab kepada orang-orang. Sebaliknya daripada mendirikan gereja dan mengharapkan orang-orang datang kepada mereka, mereka berkunjung dari rumah ke rumah untuk menemukan dan mengajar mereka yang lapar dan haus akan keadilbenaran.
Dengan berpaut erat kepada Firman Allah, para utusan injil Saksi menunjukkan kepada orang-orang mengapa Kerajaan Allah merupakan jalan keluar yang sejati dan abadi atas masalah-masalah umat manusia. (Mat. 24:14; Luk. 4:43) Kontras antara pekerjaan ini dan pekerjaan para misionaris Susunan Kristen dinyatakan jelas kepada Peter Vanderhaegen pada tahun 1951 sewaktu ia dalam perjalanan ke tempat penugasannya di Indonesia. Satu-satunya penumpang lain di atas kapal barang yang ditumpanginya itu adalah seorang misionaris Baptis. Walaupun Saudara Vanderhaegen berusaha berbicara kepadanya tentang kabar baik mengenai Kerajaan Allah, penganut Baptis itu menegaskan bahwa minatnya yang berkobar-kobar adalah mendukung upaya Chiang Kai-shek di Taiwan untuk berkuasa kembali di daratan utama.
Meskipun demikian, banyak orang lain mulai menghargai nilai dari apa yang dinyatakan dalam Firman Allah. Di Barranquilla, Kolombia, ketika Olaf Olson memberi kesaksian kepada Antonio Carvajalino, yang adalah seorang pendukung gigih dari gerakan politik tertentu, Saudara Olson tidak berpihak kepadanya, dan juga tidak mendukung ideologi politik yang lain. Sebaliknya, ia menawarkan pengajaran Alkitab cuma-cuma kepada Antonio dan adik-adik perempuannya. Antonio segera menyadari bahwa Kerajaan Allah benar-benar merupakan satu-satunya harapan bagi orang-orang miskin di Kolombia dan orang-orang lain di dunia. (Mzm. 72:1-4, 12-14; Dan. 2:44) Antonio dan adik-adiknya menjadi hamba-hamba Allah yang bergairah.
Fakta bahwa para utusan injil Saksi terpisah dan berbeda dari sistem agama Susunan Kristen ditonjolkan dengan cara lain dalam suatu peristiwa di Rhodesia (kini Zimbabwe). Ketika Donald Morrison berkunjung ke rumah salah seorang misionaris Susunan Kristen di sana, sang misionaris mengeluh bahwa Saksi-Saksi tidak menaruh respek kepada batas-batas yang telah ditentukan. Batas-batas apa? Begini, agama-agama Susunan Kristen telah membagi-bagi negeri ini ke dalam beberapa daerah untuk dikerjakan oleh masing-masing tanpa diganggu oleh yang lain. Saksi-Saksi Yehuwa tidak dapat mengikuti penyelenggaraan demikian. Yesus pernah berkata bahwa berita Kerajaan harus diberitakan di seluruh bumi yang berpenduduk. Susunan Kristen pasti tidak melakukannya. Para utusan injil keluaran Gilead bertekad melaksanakannya dengan saksama, sebagai ketaatan kepada Kristus.
Para utusan injil ini diutus, bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Dalam banyak hal jelas bahwa inilah yang sebenarnya mereka upayakan. Tidaklah salah untuk menerima pemberian materi yang ditawarkan secara cuma-cuma (dan bukan hasil meminta-minta) sebagai penghargaan atas bantuan rohani. Namun untuk mencapai hati orang-orang di Alaska, John Errichetti dan Hermon Woodard mendapati bahwa adalah bermanfaat untuk menyisihkan sedikitnya beberapa jam untuk bekerja dengan tangan mereka guna menyediakan kebutuhan jasmani mereka, sebagaimana telah dilakukan oleh rasul Paulus. (1 Kor. 9:11, 12; 2 Tes. 3:7, 8) Kegiatan utama mereka adalah memberitakan kabar baik. Namun bila mereka menerima kemurahan hati, mereka juga membalasnya dengan pekerjaan-pekerjaan yang perlu dilakukan—misalnya, melapisi atap rumah seseorang dengan ter karena mereka menyadari bahwa ia membutuhkan bantuan. Dan sewaktu mereka melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dengan perahu, mereka ikut membantu membongkar muatan. Orang-orang segera menyadari bahwa para utusan injil ini sama sekali bukan seperti para pemimpin agama Susunan Kristen.
Di beberapa tempat, utusan injil Saksi perlu melakukan pekerjaan duniawi selama waktu tertentu hanya agar dapat menetap di suatu negeri sehingga mereka dapat melaksanakan pelayanan mereka di sana. Maka, sewaktu Jesse Cantwell pergi ke Kolombia, ia mengajar bahasa Inggris di fakultas kedokteran di sebuah universitas sampai situasi politik berubah dan pembatasan agama berakhir. Sesudah itu, ia dengan sepenuh waktu dapat menggunakan pengalamannya dalam pelayanan sebagai pengawas keliling bagi Saksi-Saksi Yehuwa.
Di banyak tempat, para utusan injil harus mulai dengan menggunakan visa turis yang memungkinkan mereka berada di sebuah negeri selama sebulan atau mungkin beberapa bulan. Kemudian mereka harus meninggalkan negeri itu dan masuk kembali. Namun mereka tetap bertekun, mengulang proses itu berkali-kali hingga surat izin tinggal dapat diperoleh. Mereka telah membulatkan hati untuk membantu orang-orang di negeri yang menjadi tempat penugasan mereka.
Utusan-utusan injil ini tidak memandang diri lebih unggul daripada penduduk setempat. Sebagai pengawas keliling, John Cutforth, yang pada mulanya seorang guru sekolah di Kanada, mengunjungi sidang-sidang maupun Saksi-Saksi yang terpencil di Papua Nugini. Ia duduk di lantai bersama mereka, makan bersama mereka, dan menerima undangan untuk tidur di tikar di lantai rumah mereka. Ia menikmati persaudaraan dengan mereka seraya berjalan bersama dalam pelayanan pengabaran. Namun hal ini mengagumkan bagi orang-orang bukan Saksi yang mengamatinya, sebab para pastor berbangsa Eropa dari berbagai misi Susunan Kristen memiliki reputasi suka menjaga jarak dalam pergaulan dengan penduduk setempat, berbaur dengan anggota gereja mereka hanya untuk waktu yang singkat di beberapa pertemuan mereka, namun tidak pernah makan bersama mereka.
Orang-orang yang dilayani oleh Saksi-Saksi ini merasakan adanya minat yang pengasih dari para utusan injil dan dari organisasi yang mengutus mereka. Untuk menanggapi sepucuk surat dari João Mancoca, seorang Afrika yang rendah hati yang ditawan di sebuah koloni bagi para narapidana di Afrika Barat Portugis (kini Angola), seorang utusan injil Menara Pengawal diutus untuk memberikan bantuan rohani. Sewaktu mengenang kunjungan tersebut, Mancoca belakangan berkata, ”Saya tidak ragu-ragu lagi bahwa inilah organisasi sejati yang didukung oleh Allah. Saya tidak pernah berpikir atau percaya bahwa ada organisasi agama lain mana pun yang akan berbuat demikian: tanpa bayaran, mengirim utusan injil dari jauh untuk mengunjungi seorang yang tak berarti hanya karena ia menulis sepucuk surat.”
Kondisi Kehidupan dan Adat Istiadat
Sering kali kondisi kehidupan di negeri tempat utusan injil dikirim tidak semakmur negeri asal mereka. Sewaktu Robert Kirk mendarat di Birma (kini Myanmar) pada awal tahun 1947, dampak perang masih tampak jelas, dan hanya beberapa rumah yang memiliki penerangan listrik. Di banyak negeri, para utusan injil mendapati bahwa baju dicuci satu demi satu dengan menggunakan papan cuci atau di atas batu karang di sungai sebaliknya daripada menggunakan mesin cuci listrik. Namun mereka datang untuk mengajarkan kebenaran Alkitab kepada orang-orang, maka mereka menyesuaikan diri dengan kondisi setempat dan sibuk dalam pelayanan.
Pada mulanya, sering tidak ada seseorang yang menunggu untuk menyambut kedatangan para utusan injil ini. Terserah kepada mereka untuk mencari tempat tinggal. Sewaktu Charles Eisenhower, beserta 11 orang lain, tiba di Kuba pada tahun 1943, mereka tidur di lantai pada malam pertama. Keesokan harinya mereka membeli tempat tidur dan membuat lemari pakaian serta lemari rias dari peti buah apel. Dengan menggunakan sumbangan apa pun yang mereka terima dari penempatan lektur, serta uang tunjangan sekadarnya yang disediakan oleh Lembaga Menara Pengawal bagi perintis istimewa, setiap kelompok utusan injil berharap agar Yehuwa memberkati upaya mereka untuk membayar uang sewa, memperoleh makanan, dan menutup biaya-biaya lain yang dibutuhkan.
Dalam mempersiapkan makanan kadang-kadang dibutuhkan perubahan dalam cara berpikir. Bila tidak ada lemari es, mereka perlu ke pasar setiap hari. Di banyak negeri, orang memasak dengan menggunakan arang atau kayu sebaliknya daripada kompor gas atau listrik. George dan Willa Mae Watkins, yang ditugaskan ke Liberia, mendapati bahwa kompor mereka tidak lain berupa tiga batu besar yang digunakan untuk menyangga sebuah ketel besi.
Bagaimana dengan air? Sewaktu memandang rumah barunya di India, Ruth McKay berkata, ’Rumah seperti ini belum pernah saya lihat. Dapurnya tidak mempunyai bak cuci, hanya sebuah keran air pada dinding di sudut, dengan batas yang disemen di bawahnya dan lebih tinggi dari lantai agar air tidak mengalir ke mana-mana. Air tidak mengalir 24 jam, tetapi air harus ditampung dan disimpan untuk waktu-waktu ketika aliran air berhenti.’
Karena tidak terbiasa dengan kondisi setempat, beberapa dari para utusan injil ini terserang penyakit selama bulan-bulan pertama penugasan mereka. Russell Yeatts berulang kali diserang penyakit disentri pada waktu ia tiba di Curaçao pada tahun 1946. Namun seorang saudara setempat telah memanjatkan doa yang sungguh-sungguh sebagai rasa syukur kepada Yehuwa atas kehadiran para utusan injil ini sehingga mereka tidak sampai hati untuk meninggalkannya. Setelah tiba di Volta Hulu (kini Burkina Faso), Brian dan Elke Wise segera merasakan iklim ganas yang berakibat buruk atas kesehatan seseorang. Mereka harus belajar menanggulangi suhu 43° C pada siang hari. Selama tahun pertama mereka, panas yang menyengat ditambah malaria menyebabkan Elke jatuh sakit selama beberapa minggu berturut-turut. Pada tahun berikutnya, Brian harus berbaring di tempat tidur selama lima bulan akibat penyakit hepatitis yang parah. Namun mereka segera mendapati bahwa mereka dapat memimpin sejumlah pengajaran Alkitab yang bagus semampu mereka—dan kemudian beberapa lagi. Kasih akan orang-orang tersebut membantu mereka bertekun; begitu pula fakta bahwa mereka memandang penugasan mereka sebagai hak istimewa dan pelatihan yang baik untuk apa pun yang Yehuwa sediakan bagi mereka di masa depan.
Seraya tahun-tahun berlalu, lebih banyak utusan injil disambut di tempat penugasan mereka oleh para utusan injil yang telah lebih dahulu ada di sana atau oleh Saksi-Saksi setempat. Beberapa ditugaskan ke negeri-negeri yang memiliki kota-kota utama yang cukup modern. Mulai tahun 1946, Lembaga Menara Pengawal juga berupaya menyediakan rumah yang layak dan perabotan yang pokok bagi setiap kelompok utusan injil serta dana untuk makanan, dengan demikian mereka tidak perlu memikirkan hal-hal ini lagi dan memungkinkan mereka mengarahkan lebih banyak perhatian kepada pekerjaan pengabaran.
Di sejumlah tempat, perjalanan menjadi pengalaman yang menguji ketahanan mereka. Sehabis hujan, ternyata tidak hanya satu saudari utusan injil di Papua Nugini yang harus membawa perbekalan dengan ransel di punggungnya seraya berjalan melintasi semak belukar di jalan setapak yang licin dan sangat berlumpur sehingga kadang-kadang sepatu mereka terlepas dari kaki. Di Amerika Selatan, cukup banyak utusan injil yang telah menempuh perjalanan yang menegakkan bulu roma dengan bus di jalan-jalan sempit pada ketinggian di Pegunungan Andes. Ini merupakan pengalaman yang tidak mudah terlupakan bila bus saudara, berada di sisi luar jalan, berpapasan dengan sebuah kendaraan besar dari arah yang berlawanan di sebuah tikungan tanpa pagar pengaman dan saudara merasa bus mulai terjungkir lewat tebing yang curam!
Revolusi politik agaknya menjadi rutin dalam kehidupan di tempat-tempat tertentu, tetapi para utusan injil Saksi mencamkan pernyataan Yesus bahwa murid-muridnya ”bukan bagian dari dunia”; karena itu mereka bersikap netral terhadap pertikaian-pertikaian demikian. (Yoh. 15:19, NW) Mereka belajar untuk menekan rasa ingin tahu yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam bahaya yang tak perlu. Sering kali yang terbaik justru adalah menghindari berada di jalan sampai situasi mereda. Sembilan orang utusan injil di Vietnam tinggal tepat di jantung kota Saigon (kini Kota Ho Chi Minh) ketika perang melanda kota tersebut. Mereka dapat melihat bom-bom berjatuhan, kebakaran di seluruh kota, dan ribuan orang lari menyelamatkan diri. Namun karena menghargai bahwa Yehuwa telah mengutus mereka untuk menyampaikan pengetahuan yang dapat memberi kehidupan kepada orang-orang yang lapar akan kebenaran, mereka berpaling kepada-Nya untuk perlindungan.
Bahkan sewaktu situasi relatif damai, sulit bagi para utusan injil untuk melaksanakan pelayanan mereka di beberapa bagian kota-kota di Asia. Tampilnya seorang asing di jalan-jalan sempit sebuah daerah miskin di Lahore, Pakistan, sudah cukup menarik perhatian sekelompok besar anak dari segala umur yang jarang mandi dan tidak bersisir. Sambil berteriak dan berdesak-desakan, mereka membuntuti utusan injil itu dari rumah ke rumah, sering kali menyerobot masuk ke dalam rumah mengikuti si penyiar. Seluruh jalan itu segera diberi tahu harga majalah dan bahwa orang asing tersebut ’mencari orang untuk dijadikan Kristen’. Dalam keadaan demikian, biasanya mereka harus meninggalkan daerah itu. Kepergian mereka sering kali diikuti teriakan, tepuk tangan, dan kadang-kadang, hujan batu.
Kebiasaan setempat sering menuntut adanya beberapa penyesuaian di pihak para utusan injil. Di Jepang mereka belajar menanggalkan sepatu mereka di teras bila masuk ke sebuah rumah. Dan mereka harus membiasakan diri, jika mungkin, untuk duduk di lantai di depan sebuah meja pendek pada waktu pengajaran Alkitab. Di beberapa daerah di Afrika, mereka belajar bahwa menggunakan tangan kiri untuk menawarkan sesuatu kepada orang lain dianggap sebagai penghinaan. Dan mereka mendapati bahwa di bagian dunia itu, mereka dianggap tidak sopan bila mencoba menjelaskan maksud kunjungan sebelum berbasa-basi dahulu—menanyakan kesehatan masing-masing dan menjawab pertanyaan seperti dari mana, mempunyai berapa anak, dan sebagainya. Di Brasil, para utusan injil biasanya harus bertepuk tangan di depan gerbang, bukan mengetuk pintu, untuk memanggil penghuni rumah.
Akan tetapi, di Lebanon para utusan injil menghadapi ragam kebiasaan yang lain. Hanya beberapa saudara membawa istri dan putri-putri mereka ke perhimpunan. Wanita-wanita yang hadir selalu duduk di bagian belakang, tidak pernah di antara para pria. Para utusan injil, karena tidak menyadari kebiasaan adat itu, menimbulkan kehebohan yang cukup besar pada perhimpunan pertama mereka. Sepasang suami-istri duduk di bagian muka, dan para saudari utusan injil yang masih lajang duduk di mana saja ada kursi kosong. Namun seusai perhimpunan suatu pembahasan mengenai prinsip-prinsip Kristen membantu menjernihkan suasana. (Bandingkan Ulangan 31:12; Galatia 3:28.) Pemisahan tidak terjadi lagi. Lebih banyak istri dan anak perempuan menghadiri perhimpunan. Mereka juga ikut serta dengan para saudari utusan injil dalam pelayanan dari rumah ke rumah.
Tantangan Berupa Bahasa Baru
Kelompok kecil utusan injil yang tiba di Martinik pada tahun 1949 hanya mengerti sedikit bahasa Prancis, tetapi mereka tahu bahwa orang-orang membutuhkan berita Kerajaan. Dengan iman yang sungguh-sungguh mereka mulai bekerja dari rumah ke rumah, dengan mencoba membacakan beberapa ayat Alkitab atau kutipan dari publikasi yang mereka tawarkan. Dengan penuh kesabaran, bahasa Prancis mereka lama-kelamaan membaik.
Walaupun para utusan injil ingin membantu Saksi-Saksi setempat dan orang-orang lain yang berminat, sering kali mereka sendirilah yang perlu dibantu lebih dahulu—dalam hal bahasa. Mereka yang diutus ke Togo mendapati bahwa tata bahasa Ewe, bahasa pribumi yang utama, cukup berbeda dibanding bahasa-bahasa Eropa, juga nada suara yang digunakan dalam mengucapkan sebuah kata dapat mengubah artinya. Maka, kata dengan dua huruf to, bila diucapkan dengan nada suara yang tinggi, dapat berarti telinga, gunung, mertua laki-laki, atau suku bangsa; dengan nada suara rendah, itu berarti kerbau. Para utusan injil yang melayani di Vietnam menghadapi suatu bahasa yang menggunakan enam variasi nada untuk setiap kata tertentu, masing-masing nada menghasilkan arti yang berlainan.
Edna Waterfall, yang ditugaskan ke Peru, tidak mudah melupakan rumah pertama tempat ia mencoba memberi kesaksian dalam bahasa Spanyol. Dengan berkeringat dingin, ia tersendat-sendat menyampaikan kesaksiannya yang dihafal, menawarkan lektur, dan mengatur suatu pengajaran Alkitab dengan seorang nyonya yang sudah berumur. Kemudian wanita itu berkata dalam bahasa Inggris yang sempurna, ”Baiklah, semuanya bagus sekali. Saya akan belajar dengan Anda dan kita akan melakukan semuanya dalam bahasa Spanyol untuk membantu Anda belajar bahasa Spanyol.” Dengan terkesima, Edna menjawab, ”Anda dapat berbahasa Inggris? Dan Anda membiarkan saya melakukan semua tadi dalam bahasa Spanyol saya yang tidak fasih?” ”Itu baik bagi Anda,” jawab wanita itu. Dan memang demikian! Sebagaimana segera disadari oleh Edna, benar-benar berbicara dalam bahasa itu merupakan bagian yang penting dalam belajar bahasa.
Di Italia, sewaktu George Fredianelli mencoba berbicara bahasa itu, ia mendapati bahwa kata-kata yang dianggapnya sebagai ungkapan Italia (namun sesungguhnya adalah kata-kata Inggris yang di-Italia-kan) tidak dimengerti. Untuk mengatasi problem itu, ia memutuskan untuk menulis seluruh khotbahnya kepada sidang-sidang dan menyampaikannya dengan membaca sebuah manuskrip. Namun banyak di antara hadirinnya mengantuk dan tertidur. Maka ia membuang manuskripnya, berbicara dengan kata-kata sendiri, dan meminta hadirin untuk membantunya bila ia terhenti. Dengan demikian mereka tetap terjaga, dan ini membantunya membuat kemajuan.
Untuk memberikan kepada para utusan injil suatu permulaan dengan bahasa mereka yang baru, kurikulum pelajaran di Sekolah Gilead untuk kelas-kelas awal mencakup bahasa-bahasa seperti bahasa Spanyol, Prancis, Italia, Portugis, Jepang, Arab, dan Urdu. Selama bertahun-tahun, lebih dari 30 bahasa diajarkan. Namun karena tidak semua lulusan dari suatu kelas tertentu pergi ke tempat-tempat yang menggunakan bahasa yang sama, maka kelas-kelas bahasa ini belakangan diganti dengan penyelenggaraan pelajaran bahasa di bawah pengawasan selama waktu yang intensif segera setelah mereka tiba di daerah penugasan mereka. Pada bulan pertama, para pendatang baru secara keseluruhan belajar bahasa selama 11 jam sehari; dan bulan berikutnya, setengah dari waktu mereka digunakan untuk belajar bahasa di rumah, dan setengah lagi dibaktikan untuk menggunakan pengetahuan tersebut dalam pelayanan pengabaran.
Akan tetapi, menurut pengamatan, mempraktekkan bahasa dalam pelayanan pengabaran merupakan kunci utama untuk membuat kemajuan; maka penyesuaian dibuat. Selama tiga bulan pertama dalam penugasan mereka, para utusan injil baru yang tidak mengerti bahasa setempat akan menggunakan empat jam sehari untuk belajar dengan seorang guru yang memenuhi syarat, dan sejak awal, mereka mempraktekkan apa yang mereka pelajari dengan memberi kesaksian kepada penduduk setempat tentang Kerajaan Allah.
Banyak kelompok utusan injil bekerja sebagai tim untuk memperbaiki daya tangkap bahasa mereka. Mereka membahas beberapa, atau sampai sebanyak 20 kata baru setiap hari pada waktu sarapan dan kemudian berupaya menggunakan kata-kata ini dalam pelayanan pengabaran mereka.
Mempelajari bahasa setempat ternyata merupakan faktor penting dalam hal memenangkan kepercayaan orang-orang. Di beberapa tempat, banyak yang merasa curiga terhadap orang asing. Hugh dan Carol Cormican telah melayani sewaktu masih lajang maupun sebagai suami-istri di lima negeri di Afrika. Mereka menyadari betul prasangka yang sering timbul antara orang Afrika dan orang Eropa. Namun mereka berkata, ”Berbicara dalam bahasa setempat cepat menyingkirkan perasaan ini. Selanjutnya, orang lain yang tidak suka mendengarkan kabar baik dari sesama bangsa mereka akan bersedia mendengarkan kami, mengambil lektur, dan belajar, karena kami telah berupaya untuk berbicara kepada mereka dalam bahasa mereka sendiri.” Agar dapat melakukan hal itu, Saudara Cormican belajar lima bahasa, selain bahasa Inggris, dan Saudari Cormican belajar enam bahasa.
Tentu saja, problem dapat timbul bila seorang berupaya belajar bahasa baru. Di Puerto Riko, seorang saudara yang sedang memutar berita Alkitab yang direkam kepada penghuni rumah langsung mematikan fonografnya dan pergi ke rumah berikut ketika penghuni rumah menjawab, ”¡Como no!” Baginya, kata itu kedengaran seperti ”Tidak”, dan setelah beberapa waktu ia baru mengetahui bahwa ucapan itu berarti ”Mengapa tidak!” Sebaliknya, para utusan injil kadang-kadang tidak mengerti sewaktu penghuni rumah berkata bahwa ia tidak berminat, sehingga mereka terus saja memberi kesaksian. Hasilnya beberapa penghuni rumah yang bertenggang rasa mendapat manfaat.
Ada pula situasi yang lucu. Leslie Franks, di Singapura, belajar bahwa ia harus berhati-hati untuk tidak bicara tentang kelapa bila ia memaksudkan kepala, dan rumput bila ia memaksudkan rambut. Seorang utusan injil di Samoa, karena salah mengucapkan, bertanya kepada seorang pribumi, ”Bagaimana dengan jenggot anda?” (padahal orang itu tidak berjenggot), sedangkan yang ia maksudkan adalah pertanyaan yang sopan tentang keadaan istri pria itu. Di Ekuador, sewaktu seorang pengemudi bus secara mendadak mulai menjalankan kendaraannya, Zola Hoffman, yang sedang berdiri di dalam bus, hilang keseimbangannya dan terduduk di pangkuan seorang pria. Dengan tersipu-sipu malu, ia mencoba meminta maaf. Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah, ”Con su permiso” (Dengan seizin Anda). Ketika pria itu dengan berbaik hati menjawab, ”Silakan, Nyonya,” penumpang-penumpang lain meledak tertawa.
Meskipun demikian, hasil-hasil baik dari pelayanan terlihat karena para utusan injil berupaya. Lois Dyer, yang tiba di Jepang pada tahun 1950, mengenang nasihat yang diberikan oleh Saudara Knorr, ”Lakukanlah sebaik-baiknya, dan, walaupun saudara-saudara membuat kesalahan, lakukanlah sesuatu!” Ia melakukannya, dan begitu pula dengan banyak orang lain. Selama 42 tahun berikutnya, para utusan injil yang diutus ke Jepang menyaksikan bagaimana jumlah pemberita Kerajaan di sana meningkat dari hanya beberapa menjadi lebih dari 170.000, dan pertumbuhan terus berlangsung. Betapa limpah pahala yang mereka peroleh, karena, setelah berpaling kepada Yehuwa untuk pengarahan-Nya, mereka rela berupaya!
Membuka Ladang Baru, Mengembangkan Ladang-Ladang Lain
Di puluhan negeri dan kepulauan, para utusan injil keluaran Sekolah Gilead-lah yang memulai pekerjaan pemberitaan Kerajaan atau memberikan dorongan yang dibutuhkan sesudah kesaksian diberikan sampai batas tertentu oleh orang-orang lain. Mereka terbukti sebagai Saksi-Saksi Yehuwa pertama yang memberitakan kabar baik di Somalia, Sudan, Laos, dan di banyak kepulauan di seputar bola bumi.
Pengabaran yang mula-mula telah dilakukan di tempat-tempat seperti Bolivia, Republik Dominika, Ekuador, El Salvador, Honduras, Nikaragua, Etiopia, Gambia, Liberia, Kamboja, Hong Kong, Jepang, dan Vietnam. Namun tidak seorang pun dari Saksi-Saksi Yehuwa yang melaporkan kegiatan di negeri-negeri ini ketika para utusan injil lulusan Sekolah Gilead pertama-tama tiba. Sedapat mungkin, para utusan injil mengerjakan negeri itu secara sistematis, dengan lebih dahulu berkonsentrasi pada kota-kota besar. Mereka tidak sekadar menempatkan lektur dan terus pindah ke tempat lain, sebagaimana dilakukan oleh para kolportir di masa lalu. Mereka dengan sabar mengunjungi kembali orang-orang berminat, memimpin pengajaran Alkitab dengan mereka, dan melatih mereka dalam pelayanan pengabaran.
Negeri-negeri lain hanya mempunyai kira-kira sepuluh pemberita Kerajaan (dan, sering kali, lebih sedikit) sebelum para utusan injil lulusan Sekolah Gilead tiba. Termasuk di antaranya adalah Kolombia, Guatemala, Haiti, Puerto Riko, Venezuela, Burundi, Pantai Gading, Kenya, Mauritius, Senegal, Afrika Barat Daya (kini Namibia), Sailan (kini Sri Lanka), Cina, dan Singapura, serta banyak kepulauan. Utusan-utusan injil memberikan contoh yang bergairah dalam pelayanan, membantu Saksi-Saksi setempat meningkatkan kemampuan mereka, mengorganisasi sidang-sidang, dan membantu saudara-saudara agar dapat memenuhi syarat untuk mengambil pimpinan. Sering kali mereka juga memulai pekerjaan penginjilan di daerah-daerah yang belum pernah dijamah sebelumnya.
Dengan bantuan ini jumlah Saksi mulai meningkat. Di kebanyakan negeri ini, kini terdapat ribuan Saksi yang aktif dari Yehuwa. Beberapa negeri di antaranya, memiliki puluhan ribu pemuji Yehuwa, atau bahkan lebih dari seratus ribu.
Beberapa Orang Ingin Sekali Mendengar
Di beberapa daerah, para utusan injil menemukan banyak orang yang bersedia dan ingin sekali belajar. Ketika Ted dan Doris Klein, lulusan kelas pertama Gilead, tiba di Kepulauan Virgin pada tahun 1947, ada begitu banyak orang yang ingin belajar Alkitab sehingga sering dinas mereka sehari selesai hingga tengah malam. Pada khotbah umum pertama yang disampaikan Saudara Klein di Lapangan Pasar Charlotte Amalie, ada seribu orang yang hadir.
Joseph McGrath dan Cyril Charles diutus ke daerah orang-orang Amis di Taiwan pada tahun 1949. Mereka harus tinggal dalam rumah-rumah beratap jerami dan berlantai tanah. Namun mereka berada di sana untuk membantu orang-orang. Beberapa pria suku Amis telah memperoleh lektur Menara Pengawal, telah menikmati bahan yang mereka baca itu, dan telah membagikan kabar baik kepada orang-orang lain. Kini para utusan injil ini berada di sana untuk membantu mereka bertumbuh secara rohani. Mereka diberi tahu bahwa ada 600 orang yang berminat akan kebenaran, tetapi sejumlah 1.600 orang menghadiri perhimpunan yang mereka adakan seraya mereka pindah dari desa ke desa. Orang-orang yang rendah hati ini mau belajar, tetapi mereka tidak mempunyai pengetahuan yang saksama mengenai banyak hal. Dengan sabar kedua saudara ini mulai mengajar mereka, satu pokok setiap kali belajar, sering kali membaktikan delapan jam atau lebih untuk pembahasan tanya jawab mengenai suatu pokok di setiap kampung. Pelatihan juga disediakan bagi 140 orang yang menyatakan keinginan untuk ikut memberi kesaksian dari rumah ke rumah. Sungguh suatu pengalaman yang membahagiakan bagi para utusan injil itu! Namun masih banyak yang perlu dilakukan untuk menghasilkan pertumbuhan rohani yang mantap.
Kira-kira 12 tahun kemudian, Harvey dan Kathleen Logan, utusan injil keluaran sekolah Gilead dan yang telah melayani di Jepang, ditugaskan untuk memberi bantuan lebih lanjut kepada saudara-saudara suku Amis. Saudara Logan menggunakan banyak waktu dalam membantu mereka memahami doktrin dan prinsip-prinsip dasar Alkitab dan juga hal-hal organisasi. Saudari Logan bekerja bersama saudari-saudari suku Amis dalam dinas pengabaran setiap hari, dan setelah itu ia berupaya mempelajari kebenaran-kebenaran dasar Alkitab bersama mereka. Kemudian, pada tahun 1963, Lembaga Menara Pengawal mengatur agar delegasi dari 28 negeri berkumpul bersama Saksi-Saksi setempat di desa Shou Feng, sehubungan dengan diadakannya sebuah kebaktian keliling dunia. Semua ini mulai membubuh fondasi yang kokoh untuk pertumbuhan lebih lanjut.
Pada tahun 1948, dua utusan injil, Harry Arnott dan Ian Fergusson, tiba di Rhodesia Utara (kini Zambia). Sudah ada 252 sidang dari Saksi-Saksi pribumi Afrika pada waktu itu, namun kini perhatian juga diberikan kepada orang-orang Eropa yang pindah ke situ karena dibukanya penambangan tembaga. Tanggapannya menggembirakan. Banyak lektur ditempatkan; mereka yang menerima pengajaran Alkitab maju dengan cepat. Pada tahun tersebut ada peningkatan 61 persen pada jumlah Saksi yang aktif dalam pelayanan pengabaran.
Di banyak tempat bukan hal yang luar biasa bila utusan injil mempunyai daftar tunggu orang-orang yang ingin mendapatkan pengajaran Alkitab. Kadang-kadang sanak-saudara, tetangga, dan teman-teman lain juga ikut hadir ketika pengajaran diadakan. Bahkan sebelum orang-orang dapat menerima pengajaran Alkitab secara pribadi, mereka mungkin sudah menghadiri perhimpunan di Balai Kerajaan secara tetap tentu.
Akan tetapi, di negeri-negeri lain, meskipun upaya besar dikerahkan oleh para utusan injil, hasil tuaiannya sangat terbatas. Sudah sejak tahun 1953, para utusan injil Menara Pengawal diutus ke Pakistan Timur (kini Bangladesh), yang penduduknya kini melebihi 115.000.000 dan terutama beragama Islam dan Hindu. Upaya sungguh-sungguh dikerahkan untuk membantu orang-orang. Namun, menjelang tahun 1992, hanya ada 42 penyembah Yehuwa di negeri tersebut. Akan tetapi, dalam pandangan para utusan injil yang melayani daerah-daerah semacam ini, setiap orang yang mulai menganut ibadat sejati teristimewa berharga—karena mereka begitu langka.
Bantuan Pengasih Bagi Rekan-Rekan Saksi
Pekerjaan para utusan injil pada dasarnya adalah menginjil, memberitakan kabar baik tentang Kerajaan Allah. Namun seraya mereka ikut serta secara pribadi dalam kegiatan ini, mereka juga dapat memberikan banyak bantuan kepada Saksi-Saksi setempat. Para utusan injil telah mengundang mereka agar ikut serta dalam pelayanan pengabaran dan telah memberikan saran-saran tentang cara menangani situasi-situasi sulit. Dengan mengamati utusan injil, Saksi-Saksi setempat sering kali belajar bagaimana melaksanakan pelayanan secara lebih terorganisasi dan bagaimana menjadi guru yang lebih efektif. Sebaliknya, para utusan injil dibantu oleh Saksi-Saksi setempat dalam menyesuaikan diri dengan kebiasaan setempat.
Sewaktu tiba di Portugal pada tahun 1948, John Cooke mengambil langkah-langkah untuk mengorganisasi pekerjaan dari rumah ke rumah secara sistematis. Walaupun mereka bersedia, banyak Saksi setempat membutuhkan pelatihan. Belakangan ia berkata, ”Saya tidak akan pernah lupa sewaktu pertama kali keluar dalam dinas dengan saudari-saudari di Almada. Ya, enam saudari masuk ke satu rumah bersama-sama. Bayangkan sekelompok orang yang terdiri dari enam wanita berdiri di depan pintu seraya salah seorang dari mereka menyampaikan sebuah khotbah pendek! Namun secara berangsur semuanya mulai menjadi tertib dan bergerak maju.”
Teladan keberanian para utusan injil membantu Saksi-Saksi di Kepulauan Leeward untuk menjadi berani, tidak mudah diintimidasi oleh penentang yang berupaya mengganggu pekerjaan ini. Iman yang diperlihatkan oleh seorang utusan injil membantu saudara-saudara di Spanyol memulai pelayanan dari rumah ke rumah, meskipun pada waktu itu mereka hidup di bawah kediktatoran Fasis Katolik. Para utusan injil yang melayani di Jepang sesudah Perang Dunia II memberikan teladan dalam berlaku bijaksana—tidak berbicara berulang-ulang tentang kegagalan agama nasional, sesudah kaisar Jepang melepaskan statusnya sebagai dewa, melainkan mengemukakan bukti yang meyakinkan untuk mempercayai Pencipta.
Saksi-Saksi setempat mengamati para utusan injil dan sering kali sangat terpengaruh oleh hal-hal yang mungkin pada waktu itu belum disadari oleh para utusan injil. Di Trinidad, beberapa peristiwa memperlihatkan kerendahan hati para utusan injil, kerelaan mereka untuk bersabar menahan keadaan-keadaan yang sulit, dan kerja keras mereka dalam dinas Yehuwa meskipun cuaca yang panas masih sering menjadi topik pembicaraan setelah bertahun-tahun kemudian. Saksi-Saksi di Korea sangat terkesan oleh semangat rela berkorban para utusan injil yang selama sepuluh tahun tidak meninggalkan negeri itu untuk mengunjungi keluarga mereka karena pemerintah tidak mau mengeluarkan izin masuk kembali kecuali dalam beberapa kasus darurat yang berdasarkan ”kemanusiaan”.
Selama dan sesudah mengenyam pendidikan Sekolah Gilead mereka yang pertama, kebanyakan utusan injil telah memandang dari dekat cara bekerja kantor pusat organisasi Yehuwa yang kelihatan. Mereka sering mendapat banyak kesempatan untuk bergaul dengan anggota-anggota Badan Pimpinan. Belakangan, dalam penugasan mereka sebagai utusan injil, mereka dapat menyampaikan kepada Saksi-Saksi setempat dan orang-orang yang baru berminat laporan pandangan mata mengenai cara organisasi berfungsi serta penghargaan mereka sendiri terhadapnya. Dalamnya penghargaan yang mereka perlihatkan berkenaan bekerjanya organisasi secara teokratis sering kali merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan yang dialami.
Di banyak tempat penugasan para utusan injil, tidak ada perhimpunan sidang sewaktu mereka tiba. Maka mereka membuat penyelenggaraan yang dibutuhkan, memimpin perhimpunan, dan menangani hampir semua bagian perhimpunan sampai ada saudara-saudara lain yang memenuhi syarat untuk ikut dalam hak-hak istimewa ini. Mereka terus-menerus melatih saudara-saudara lain agar dapat memenuhi syarat untuk mengambil alih tanggung jawab. (2 Tim. 2:2) Mula-mula perhimpunan biasanya diadakan di rumah utusan injil. Belakangan, pengaturan dibuat untuk Balai-Balai Kerajaan.
Di tempat-tempat yang sudah memiliki sidang, para utusan injil menyumbang dengan membuat perhimpunan lebih menarik dan instruktif. Komentar mereka yang dipersiapkan dengan baik dihargai dan segera memberikan pola yang kemudian ditiru oleh orang-orang lain. Dengan menerapkan pelatihan Gilead mereka, saudara-saudara memberikan teladan dalam hal berbicara kepada umum dan mengajar, dan mereka dengan senang hati menggunakan waktu bersama saudara-saudara setempat untuk membantu mereka mempelajari seni itu. Di negeri-negeri yang penduduknya secara tradisional bersifat santai dan tidak begitu memperhatikan ketepatan waktu, para utusan injil juga dengan sabar membantu mereka menghargai nilai dari perhimpunan yang dimulai tepat waktu dan menganjurkan setiap orang untuk hadir tepat waktu di sana.
Kondisi-kondisi yang mereka dapati di beberapa tempat menunjukkan bahwa bantuan diperlukan untuk membina penghargaan akan pentingnya berpaut kepada standar-standar Yehuwa yang adil-benar. Di Botswana, misalnya, mereka mendapati bahwa beberapa saudari masih mengikatkan benang atau manik-manik pada bayi mereka sebagai penangkal bahaya, tidak sepenuhnya menyadari bahwa kebiasaan ini berakar pada takhayul dan ilmu sihir. Di Portugal mereka mendapati keadaan-keadaan yang menimbulkan perpecahan. Dengan penuh kesabaran, bantuan yang pengasih, dan ketegasan bila perlu, kesehatan rohani yang membaik menjadi nyata.
Para utusan injil yang ditugaskan untuk menempati kedudukan sebagai pengawas di Finlandia membaktikan banyak waktu dan upaya untuk melatih saudara-saudara setempat agar dapat menangani problem-problem dengan penalaran berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab dan dengan demikian sampai kepada kesimpulan yang sesuai dengan pemikiran Allah sendiri. Di Argentina mereka juga membantu saudara-saudara untuk mempelajari nilai dari sebuah jadwal, cara menyimpan catatan, pentingnya menyimpan berkas-berkas. Di Jerman mereka membantu saudara-saudara yang loyal yang dalam beberapa segi memiliki pandangan yang agak terlalu kaku, sebagai akibat perjuangan hidup dalam kamp-kamp konsentrasi, untuk lebih sepenuhnya meniru cara-cara Yesus Kristus yang lemah lembut dalam menggembalakan kawanan domba Allah.—Mat. 11:28-30; Kis. 20:28.
Pekerjaan dari beberapa utusan injil mencakup berurusan dengan para pejabat pemerintah, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, dan mengajukan permohonan untuk pengakuan hukum atas pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa. Misalnya, selama jangka waktu hampir empat tahun, Saudara Joly, yang ditugaskan ke Kamerun bersama istrinya, berulang kali berupaya memperoleh pengakuan resmi. Ia sering berbicara kepada para pejabat berbangsa Prancis maupun Afrika. Akhirnya, sesudah ada perubahan pemerintahan, pengakuan resmi diberikan. Sampai saat ini Saksi-Saksi telah aktif di Kamerun selama 27 tahun dan sudah berjumlah lebih dari 6.000 orang.
Menghadapi Tantangan dalam Dinas Keliling
Beberapa utusan injil telah ditugaskan untuk melayani sebagai pengawas keliling. Ada kebutuhan khusus di Australia, di sana upaya beberapa saudara telah disimpangkan secara kurang bijaksana dari kepentingan Kerajaan kepada kepentingan duniawi selama Perang Dunia II. Pada waktunya, hal ini telah diluruskan, dan selama kunjungan Saudara Knorr pada tahun 1947, pentingnya untuk tetap mengutamakan pekerjaan pengabaran Kerajaan ditandaskan. Kemudian, kegairahan, teladan yang bagus, dan metode pengajaran dari para lulusan Gilead yang melayani sebagai pengawas wilayah dan distrik lebih lanjut membantu memupuk suasana rohani yang sesungguhnya di kalangan Saksi-Saksi di sana.
Ikut serta dalam dinas keliling demikian sering kali menuntut kerelaan untuk mengerahkan upaya yang besar dan menghadapi bahaya. Wallace Liverance mendapati bahwa satu-satunya cara untuk menemui satu keluarga yang terdiri dari penyiar-penyiar yang tinggal terpencil di Volcan, Bolivia, adalah dengan berjalan 90 kilometer pulang pergi melintasi daerah berbatu dan gersang di bawah terik matahari pada ketinggian kira-kira 3.400 meter, sambil membawa perlengkapan kantong tidur, makanan, dan air, serta lektur. Untuk melayani sidang-sidang di Filipina, Neal Callaway sering kali naik bus yang penuh sesak di daerah pedesaan, membagi tempat bukan hanya dengan manusia melainkan juga dengan hewan dan hasil bumi. Richard Cotterill mengawali pekerjaannya sebagai pengawas keliling di India sewaktu ribuan orang dibunuh karena kebencian agama. Ketika ia dijadwalkan untuk melayani saudara-saudara di suatu daerah yang bergolak, pegawai penjualan karcis kereta api mencoba membujuknya untuk tidak pergi ke sana. Perjalanan itu terbukti menjadi mimpi buruk bagi kebanyakan penumpang, tetapi Saudara Cotterill sangat mengasihi saudara-saudaranya, tidak peduli di mana mereka tinggal atau bahasa apa yang mereka gunakan. Dengan menaruh keyakinan kepada Yehuwa, ia menerangkan, ”Jika Yehuwa menghendaki, aku akan berupaya tiba di sana.”—Yak. 4:15.
Menganjurkan Orang Lain untuk Terjun Dalam Dinas Sepenuh Waktu
Sebagai hasil dari semangat bergairah yang diperlihatkan oleh para utusan injil, banyak orang yang mendapat pengajaran dari mereka telah meniru teladan mereka dengan terjun dalam dinas sepenuh waktu. Di Jepang, yang telah dilayani oleh 168 utusan injil, ada 75.956 perintis pada tahun 1992; lebih dari 40 persen jumlah penyiar di Jepang berada dalam corak tertentu dari dinas sepenuh waktu. Di Republik Korea, terdapat rasio yang serupa.
Dari negeri-negeri yang memiliki rasio yang cukup baik antara Saksi-Saksi dan penduduk, banyak rohaniwan sepenuh waktu telah diundang untuk menerima pelatihan di Sekolah Gilead dan kemudian telah diutus untuk melayani di tempat-tempat lain. Sejumlah besar utusan injil berasal dari Amerika Serikat dan Kanada; kira-kira 400 orang dari Inggris; lebih dari 240 orang dari Jerman; 150 orang lebih dari Australia; lebih dari 100 orang dari Swedia; selain itu utusan injil dengan jumlah yang cukup besar dari Belanda, Denmark, Finlandia, Hawaii, Selandia Baru, dan lain-lain. Beberapa negeri yang tadinya dibantu oleh para utusan injil belakangan menyediakan juga calon-calon utusan injil untuk dinas di negeri-negeri lain.
Memenuhi Kebutuhan Dalam Organisasi yang Berkembang
Seraya organisasi berkembang, para utusan injil juga mengemban berbagai tanggung jawab lain. Cukup banyak di antara mereka yang telah melayani sebagai penatua atau pelayan sidang dalam sidang-sidang yang mereka bantu. Di banyak negeri mereka menjadi pengawas wilayah dan distrik yang pertama. Seraya perkembangan lebih lanjut memungkinkan Lembaga bermanfaat untuk mendirikan kantor-kantor cabang yang baru, sejumlah utusan injil telah dipercayakan dengan tanggung jawab sehubungan dengan kegiatan kantor cabang. Dalam beberapa keadaan, mereka yang sudah menguasai bahasa dengan baik diminta untuk membantu menerjemahkan lektur Alkitab dan mengoreksi hasilnya sebelum dicetak.
Akan tetapi, mereka terutama merasa mendapat imbalan bila orang-orang yang telah belajar Firman Allah bersama mereka, atau saudara-saudara yang sedikit banyak telah mereka bantu bertumbuh secara rohani, dapat memenuhi syarat untuk mengemban berbagai tanggung jawab. Maka sepasang suami-istri di Peru gembira ketika melihat beberapa yang telah belajar dengan mereka melayani sebagai perintis istimewa, membantu memperkuat sidang-sidang baru dan membuka daerah baru. Satu pengajaran yang dipimpin oleh seorang utusan injil bersama sebuah keluarga di Sri Lanka telah menghasilkan seorang anggota Panitia Cabang bagi negeri ini. Banyak utusan injil lain telah menikmati sukacita yang serupa.
Mereka juga menghadapi tentangan.
Ketika Menghadapi Tentangan
Yesus mengatakan kepada para pengikutnya bahwa mereka akan dianiaya, bahkan seperti yang telah ia alami. (Yoh. 15:20) Karena utusan injil biasanya berasal dari luar negeri, sering kali bila penganiayaan hebat meledak di suatu negeri, ini berarti deportasi.
Pada tahun 1967, Sona Haidostian dan orang-tuanya ditangkap di Aleppo, Suriah. Mereka dijebloskan ke dalam penjara selama lima bulan dan kemudian diusir dari negeri itu tanpa membawa barang-barang milik mereka. Margarita Königer, dari Jerman, ditugaskan ke Madagaskar; tetapi deportasi demi deportasi mengakibatkan ia mendapat beberapa penugasan baru, di Kenya, Dahomey (Benin), dan Volta Hulu (Burkina Faso). Domenick Piccone dan istrinya, Elsa, diusir dari Spanyol pada tahun 1957 karena pengabaran mereka, kemudian dari Portugal pada tahun 1962, dan dari Maroko pada tahun 1969. Akan tetapi, di setiap negeri seraya berupaya agar perintah pengusiran tidak diberlakukan, ada hal-hal baik yang dicapai. Kesaksian diberikan kepada para pejabat. Di Maroko, misalnya, mereka mendapat kesempatan untuk memberi kesaksian kepada pejabat-pejabat yang duduk di Dewan Keamanan Nasional, seorang hakim di Mahkamah Agung, kepala polisi Tangier, dan konsul-konsul AS di Tangier dan Rabat.
Diusirnya utusan-utusan injil tidak menghentikan pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa, seperti diharapkan oleh beberapa pejabat. Benih-benih kebenaran yang sudah ditabur sering kali terus bertumbuh. Misalnya, empat utusan injil baru melaksanakan pelayanan mereka selama beberapa bulan di Burundi ketika pemerintah memaksa mereka pergi pada tahun 1964. Namun salah seorang di antara mereka terus berhubungan melalui surat dengan seorang peminat, yang menulis bahwa ia sedang belajar Alkitab bersama 26 orang. Seorang Saksi berbangsa Tanzania yang belum lama ini pindah ke Burundi juga tetap sibuk mengabar. Lambat laun jumlah mereka meningkat hingga ada ratusan orang yang membagikan berita Kerajaan kepada lebih banyak orang lagi.
Di tempat lain, sebelum mengeluarkan perintah deportasi, para pejabat menggunakan kekerasan yang kejam dalam upaya menjadikan setiap orang tunduk kepada tuntutan mereka. Di Gbarnga, Liberia, pada tahun 1963, beberapa tentara menangkap 400 pria, wanita, dan anak-anak yang sedang menghadiri sebuah kebaktian Kristen di sana. Tentara-tentara itu menggiring mereka ke kamp tentara, mengancam mereka, memukuli mereka, dan menuntut agar setiap orang—tidak peduli kebangsaan atau kepercayaan agama mereka—memberi salut kepada bendera Liberia. Di antara mereka yang ada dalam kelompok tersebut terdapat Milton Henschel, dari Amerika Serikat. Ada juga beberapa utusan injil, termasuk John Charuk dari Kanada. Salah seorang lulusan Gilead berkompromi, sebagaimana pernah ia lakukan sebelumnya (meskipun hal itu tidak pernah ia ungkapkan), dan ini pasti mempengaruhi orang-orang lain yang ada di kebaktian itu untuk ikut berkompromi. Maka jelaslah siapa yang benar-benar takut akan Allah dan siapa yang terjerat oleh takut akan manusia. (Ams. 29:25) Setelah itu, pemerintah menyuruh agar semua utusan injil Saksi yang berasal dari luar negeri pergi meninggalkan negeri, walaupun belakangan pada tahun itu juga sebuah perintah resmi dari presiden mengizinkan mereka untuk kembali.
Sering kali, tindakan yang diambil oleh pejabat-pejabat pemerintah terhadap para utusan injil disebabkan oleh adanya tekanan dari para pemimpin agama. Kadang-kadang tekanan itu dilancarkan tidak secara terang-terangan. Belakangan, setiap orang mengetahui siapa yang sengaja mengobarkan tentangan. George Koivisto tidak akan pernah melupakan pagi harinya yang pertama dalam dinas pengabaran di Medellín, Kolombia. Tiba-tiba segerombolan anak sekolah yang berteriak-teriak muncul, sambil melemparkan batu dan gumpalan tanah liat. Seorang wanita penghuni rumah, yang belum pernah bertemu dengannya, memaksanya masuk dan menutup semua jendela kayu, berkali-kali meminta maaf atas perbuatan massa di luar itu. Ketika polisi tiba, beberapa orang menyalahkan guru sekolah karena membiarkan murid-murid itu keluar. Tetapi yang lain berteriak, ”Bukan! Ini gara-gara imam itu! Melalui pengeras suara ia mengumumkan agar murid-murid dibiarkan ke luar untuk ’melempari Orang-Orang Protestan itu dengan batu’.”
Keberanian ilahi disertai kasih akan domba-domba diperlukan. Elfriede Löhr dan Ilse Unterdörfer ditugaskan ke lembah Gastein di Austria. Dalam waktu singkat, banyak lektur Alkitab ditempatkan kepada orang-orang yang lapar akan makanan rohani. Tetapi kemudian para pemimpin agama bereaksi. Mereka mendesak anak-anak sekolah untuk meneriaki para utusan injil tersebut di jalan-jalan dan lari mendahului mereka guna memperingatkan para penghuni rumah agar tidak mendengarkan mereka. Orang-orang menjadi takut. Namun dengan ketekunan yang pengasih, beberapa pengajaran yang baik dimulai. Ketika sebuah ceramah umum Alkitab diselenggarakan, imam paroki itu berdiri dengan gaya yang menantang tepat di depan tempat perhimpunan. Namun ketika para utusan injil pergi ke jalan untuk menyambut kedatangan orang-orang, imam tersebut menghilang. Ia memanggil seorang polisi dan kemudian kembali, dengan harapan dapat mengacaukan perhimpunan. Namun upayanya gagal. Pada waktunya sebuah sidang yang bagus terbentuk di sana.
Di kota-kota dekat Ibarra, Ekuador, Unn Raunholm dan Julia Parsons berulang kali menghadapi gerombolan yang didalangi oleh seorang imam. Karena imam tersebut menyebabkan kegaduhan setiap kali para utusan injil muncul di San Antonio, maka saudari-saudari tersebut memutuskan untuk memusatkan kegiatan di kota lain, yakni Atuntaqui. Namun suatu hari kepala polisi setempat dengan penuh kekhawatiran mendesak Saudari Raunholm untuk segera meninggalkan kota. ”Imam itu sedang mengorganisasi suatu unjuk rasa terhadap Anda, dan saya tidak mempunyai cukup banyak orang untuk membela Anda,” katanya. Saudari Raunholm masih mengingat jelas, ”Gerombolan itu mengejar kami! Bendera Vatikan berwarna putih dan kuning dilambai-lambaikan di depan kelompok seraya imam memekikkan slogan-slogan seperti ’Hidup Gereja Katolik!’ ’Matilah orang-orang Protestan!’ ’Hidup keperawanan Sang Perawan!’ ’Hidup pengakuan dosa!’ Setiap kali, gerombolan itu menggemakan slogan-slogan tersebut kata demi kata mengikuti sang imam.” Tepat pada waktu itu beberapa pria mengundang saudari-saudari Saksi tersebut masuk ke dalam Wisma Serikat Buruh setempat demi keselamatan mereka. Di sana para utusan injil itu sibuk memberi kesaksian kepada orang-orang yang masuk untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Mereka menempatkan semua lektur yang mereka bawa.
Kursus yang Dirancang untuk Memenuhi Kebutuhan Khusus
Selama tahun-tahun sejak para utusan injil yang pertama diutus dari Sekolah Gilead, organisasi Saksi-Saksi Yehuwa telah mengalami pertumbuhan dengan kegiatan yang mencengangkan. Pada tahun 1943, ketika sekolah dibuka, hanya ada 129.070 Saksi di 54 negeri (sebenarnya 103 negeri menurut cara pembagian peta pada awal tahun 1990-an). Menjelang tahun 1992, ada 4.472.787 Saksi di 229 negeri dan kepulauan di seluas dunia. Seraya pertumbuhan ini terjadi, kebutuhan organisasi pun berubah. Kantor-kantor cabang yang pada mulanya menangani kurang dari seratus Saksi yang tergabung dalam beberapa sidang kini mengawasi kegiatan dari puluhan ribu Saksi, dan banyak di antara kantor-kantor cabang ini merasa perlu untuk mencetak lektur di negeri setempat guna memperlengkapi mereka yang ikut ambil bagian dalam pekerjaan penginjilan.
Untuk memenuhi kebutuhan yang berubah-ubah ini, maka 18 tahun setelah Sekolah Gilead dibuka, suatu kursus pelatihan selama sepuluh bulan di kantor pusat sedunia dari Lembaga diselenggarakan khusus bagi saudara-saudara yang mengemban tanggung jawab berat di kantor-kantor cabang Lembaga Menara Pengawal. Beberapa di antara mereka sebelumnya telah mengikuti kursus utusan injil Gilead selama lima bulan; yang lainnya belum. Mereka semua dapat memperoleh manfaat dari pelatihan khusus untuk pekerjaan mereka ini. Pembahasan mengenai cara menangani berbagai situasi dan memenuhi kebutuhan organisasi yang selaras dengan prinsip-prinsip Alkitab memiliki dampak yang mempersatukan. Kurikulumnya mencakup penelitian analitis ayat demi ayat dari seluruh Alkitab. Ini juga mencakup tinjauan sejarah agama; pelatihan yang terperinci mengenai hal-hal yang tersangkut dalam menjalankan sebuah kantor cabang, Rumah Betel, dan percetakan; dan petunjuk mengenai pengawasan pelayanan pengabaran, mengorganisasi sidang baru, dan membuka ladang-ladang baru. Kursus-kursus ini (termasuk yang terakhir yang dipersingkat menjadi delapan bulan) diselenggarakan di kantor pusat sedunia, di Brooklyn, New York, dari tahun 1961 hingga 1965. Banyak di antara para lulusan diutus kembali ke negeri-negeri yang telah mereka layani; beberapa ditugaskan ke negeri-negeri lain; di sana mereka dapat memberikan sumbangan yang berharga kepada pekerjaan tersebut.
Sejak tanggal 1 Februari 1976, suatu penyelenggaraan baru diberlakukan di kantor-kantor cabang Lembaga untuk memperlengkapi ekspansi lebih lanjut yang telah diantisipasi sebelumnya sesuai dengan nubuat Alkitab. (Yes. 60:8, 22) Sebaliknya daripada hanya seorang pengawas cabang, beserta asistennya, yang mengawasi setiap cabang, Badan Pimpinan telah menunjuk tiga saudara atau lebih yang memenuhi syarat untuk melayani dalam setiap Panitia Cabang. Kantor cabang yang lebih besar dapat mempunyai sampai sebanyak tujuh orang anggota panitia. Untuk memberikan pelatihan bagi semua saudara ini, suatu kursus istimewa Gilead selama lima minggu diselenggarakan di Brooklyn, New York. Empat belas kelas yang terdiri dari anggota-anggota Panitia Cabang dari seluruh bagian dunia diberikan pelatihan khusus di kantor pusat sedunia sejak akhir tahun 1977 hingga tahun 1980. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk mempersatukan dan memurnikan tata-kerja.
Sekolah Gilead terus melatih mereka yang memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam pelayanan sepenuh waktu dan bersedia dan sanggup diutus ke luar negeri, namun lebih banyak yang dapat ditugaskan. Untuk memudahkan pelatihan, sekolah diselenggarakan di negeri-negeri lain sebagai perluasan dari Gilead sehingga siswa-siswa tidak perlu belajar bahasa Inggris dulu untuk dapat memenuhi syarat mengikutinya. Pada tahun 1980-81, Sekolah Budaya Gilead di Meksiko memberikan pelatihan bagi siswa-siswa berbahasa Spanyol yang membantu memenuhi kebutuhan mendesak akan pekerja-pekerja yang memenuhi syarat di Amerika Tengah dan Selatan. Pada tahun 1981-82, 1984, dan sekali lagi pada tahun 1992, kelas-kelas dari Sekolah Perluasan Gilead juga diselenggarakan di Jerman. Dari situ para lulusan diutus ke Afrika, Amerika Selatan, Eropa Timur, dan berbagai negeri di kepulauan. Kelas-kelas yang lain diadakan di India pada tahun 1983.
Seraya Saksi-Saksi setempat yang bergairah bergabung dengan para utusan injil dalam meluaskan kesaksian Kerajaan, jumlah Saksi-Saksi Yehuwa meningkat dengan pesat, dan hal ini mengarah kepada terbentuknya lebih banyak sidang. Antara tahun 1980 dan 1987, jumlah sidang di seluruh dunia meningkat sebanyak 27 persen, mencapai jumlah 54.911. Di beberapa daerah, walaupun banyak orang menghadiri perhimpunan dan ambil bagian dalam pelayanan pengabaran, kebanyakan saudara masih baru. Ada kebutuhan yang mendesak akan pria-pria Kristen yang berpengalaman untuk melayani sebagai gembala dan guru rohani, dan juga untuk mengambil pimpinan dalam pekerjaan penginjilan. Guna membantu memenuhi kebutuhan ini, pada tahun 1987 Badan Pimpinan mengadakan Sekolah Pelatihan Pelayanan sebagai suatu segmen dari program pendidikan Alkitab Sekolah Gilead. Kursus selama delapan minggu itu mencakup penelitian Alkitab secara sungguh-sungguh serta minat pribadi kepada perkembangan rohani setiap siswa. Masalah organisasi dan pengadilan sidang, serta tanggung jawab para penatua dan pelayan sidang, dibahas, dan pelatihan khusus diberikan dalam hal berbicara kepada umum. Tanpa mengganggu kelas-kelas yang secara teratur diadakan untuk melatih para utusan injil, sekolah ini diselenggarakan dengan menggunakan fasilitas-fasilitas lain, dan terdapat di berbagai negeri. Para lulusan kini memenuhi kebutuhan vital di banyak negeri.
Dengan demikian pelatihan yang diperluas dan yang diselenggarakan oleh Sekolah Alkitab Gilead Menara Pengawal ini telah mengikuti perkembangan kebutuhan yang berubah dari organisasi internasional yang bertumbuh dengan pesat.
”Ini Aku, Utuslah Aku!”
Semangat yang diperlihatkan oleh para utusan injil sama seperti semangat nabi Yesaya. Ketika Yehuwa menyiagakan dia untuk memanfaatkan kesempatan dalam dinas khusus, ia memberi tanggapan, ”Ini aku, utuslah aku!” (Yes. 6:8) Semangat kerelaan ini telah menggerakkan ribuan pria dan wanita muda untuk meninggalkan lingkungan yang akrab dan sanak-saudara untuk melayani demi memajukan kehendak Allah di mana pun mereka dibutuhkan.
Keadaan keluarga telah membawa perubahan dalam kehidupan banyak utusan injil. Beberapa yang memiliki anak-anak sesudah menjadi utusan injil dapat tinggal di negeri tempat mereka ditugaskan, melakukan pekerjaan duniawi sekadarnya dan bekerja dengan sidang-sidang. Beberapa, setelah bertahun-tahun dalam dinas, terpaksa kembali ke negeri asal mereka untuk mengurus orang-tua yang sudah lanjut usia, atau karena alasan-alasan lain. Namun mereka menganggap sebagai hak istimewa untuk ambil bagian dalam dinas utusan injil selama keadaan memungkinkan.
Yang lain telah berhasil menjadikan dinas utusan injil sebagai pekerjaan selama hidup mereka. Untuk dapat melakukannya, mereka semua telah berupaya mengatasi keadaan-keadaan yang penuh tantangan. Olaf Olson, yang telah menikmati karier yang panjang sebagai utusan injil di Kolombia, mengakui, ”Tahun pertama merupakan yang tersulit.” Hal itu terutama karena ketidakmampuan untuk mengungkapkan diri secara memadai dalam bahasanya yang baru. Ia menambahkan, ”Andai kata saya terus memikirkan negeri yang telah saya tinggalkan, saya tentu tidak akan berbahagia, tetapi saya telah mengambil keputusan untuk hidup secara fisik dan mental di Kolombia, untuk berteman dengan saudara-saudari yang ada dalam kebenaran di sana, untuk menjadikan diri sibuk dalam pelayanan dan kemudian saya menjadi betah di daerah penugasan saya.”
Ketekunan yang mereka perlihatkan dalam penugasan bukanlah karena mereka selalu mendapati lingkungan fisik yang ideal. Norman Barber, yang melayani di Birma (kini Myanmar) dan India, sejak tahun 1947 hingga akhir hayatnya pada tahun 1986, mengungkapkan sebagai berikut, ”Jika seseorang bersukacita karena digunakan oleh Yehuwa, maka tempat mana pun dianggap sama baiknya. . . . Terus terang, daerah beriklim tropis menurut pendapat saya bukanlah tempat tinggal yang ideal. Cara hidup orang-orang di daerah tropis juga bukan cara hidup yang akan saya pilih secara pribadi. Namun ada hal-hal yang lebih penting untuk dipertimbangkan daripada hal-hal sepele demikian. Mampu memberikan bantuan kepada orang-orang yang benar-benar miskin secara rohani merupakan suatu hak istimewa yang di luar kuasa manusia untuk mengungkapkannya.”
Lebih banyak lagi yang berpandangan seperti itu, dan semangat rela berkorban ini telah banyak menyumbang kepada penggenapan nubuat Yesus bahwa kabar baik tentang Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh bumi yang berpenduduk, sebagai kesaksian bagi segala bangsa, sebelum tiba kesudahannya.—Mat. 24:14.
[Catatan Kaki]
a The Watchtower, 15 Februari 1943, hlm. 60-4.
[Blurb di hlm. 523]
Ditekankan tentang pentingnya mengandalkan Yehuwa sepenuhnya dan loyal kepada-Nya
[Blurb di hlm. 534]
Rasa humor yang baik membantu!
[Blurb di hlm. 539]
Kesabaran, bantuan yang pengasih, dan ketegasan bila perlu
[Blurb di hlm. 546]
’Memberikan bantuan kepada orang-orang yang benar-benar miskin secara rohani merupakan suatu hak istimewa yang di luar kuasa manusia untuk mengungkapkannya’
[Kotak di hlm. 533]
Kelas-Kelas Gilead
1943-60: Sekolah di South Lansing, New York. Dalam 35 kelas, 3.639 siswa dari 95 negeri telah lulus, kebanyakan ditugaskan untuk dinas utusan injil. Pengawas wilayah dan distrik yang melayani di Amerika Serikat juga termasuk dalam kelas-kelas ini.
1961-65: Sekolah di Brooklyn, New York. Dalam 5 kelas, 514 orang siswa lulus dan diutus ke negeri-negeri yang mempunyai kantor cabang dari Lembaga Menara Pengawal; kebanyakan lulusan dipercayakan penugasan administratif. Empat kelas di antaranya berlangsung selama 10 bulan; satu selama 8 bulan.
1965-88: Sekolah di Brooklyn, New York. Dalam 45 kelas, masing-masing berlangsung selama 20 minggu, 2.198 siswa lain dilatih, kebanyakan untuk dinas utusan injil.
1977-80: Sekolah di Brooklyn, New York. Pendidikan Gilead selama lima minggu bagi anggota-anggota Panitia Cabang. Empat belas kelas diadakan.
1980-81: Sekolah Budaya Gilead di Meksiko; pendidikan 10 minggu; tiga kelas; 72 lulusan berbahasa Spanyol siap untuk dinas di Amerika Latin.
1981-82, 1984, 1992: Sekolah Perluasan Gilead di Jerman; pendidikan 10 minggu; empat kelas; 98 siswa berbahasa Jerman dari negeri-negeri Eropa.
1983: Kelas-kelas di India; pendidikan selama 10 minggu, diselenggarakan dalam bahasa Inggris; 3 kelompok; 70 siswa.
1987- : Sekolah Pelatihan Pelayanan, dengan pendidikan selama 8 minggu, diadakan di lokasi-lokasi penting di berbagai belahan dunia. Sampai tahun 1992, para lulusan sudah melayani di lebih dari 35 negeri di luar negeri asal mereka.
1988- : Sekolah di Wallkill, New York. Pendidikan selama dua puluh minggu sebagai persiapan bagi dinas utusan injil dewasa ini sedang diselenggarakan di sana. Sekolah itu direncanakan akan pindah ke Pusat Pendidikan Menara Pengawal di Patterson, New York, bila kompleks ini selesai dibangun.
[Kotak di hlm. 538]
Kelompok Siswa Internasional
Siswa-siswa yang telah mengikuti Sekolah Gilead mewakili puluhan bangsa dan berasal dari 110 negeri lebih.
Kelas keenam merupakan kelompok internasional pertama pada tahun 1945-46.
Permohonan diajukan kepada pemerintah AS agar siswa-siswa dari luar negeri diizinkan masuk dengan ketentuan visa pelajar nonimigran. Sebagai tanggapan, Kantor Pendidikan AS memberi pengakuan kepada Sekolah Gilead yang menyelenggarakan pendidikan yang dapat disamakan dengan perguruan tinggi dan lembaga pendidikan profesional. Maka, sejak tahun 1953, para konsul AS di seluruh dunia memasukkan Sekolah Alkitab Gilead Menara Pengawal dalam daftar lembaga pendidikan yang diakui. Sejak tanggal 30 April 1954, sekolah ini muncul dalam publikasi yang berjudul ”Lembaga-Lembaga Pendidikan yang Diakui Oleh Jaksa Agung”.
[Gambar di hlm. 522]
Siswa-siswa dari kelas pertama Sekolah Gilead
[Gambar di hlm. 524]
Albert Schroeder membahas ciri-ciri tabernakel bersama siswa-siswa Gilead
[Gambar di hlm. 525]
Maxwell Friend sedang memberi kuliah di amfiteater Sekolah Gilead
[Gambar di hlm. 526]
Hari-hari wisuda Gilead merupakan acara rohani yang penting
. . . beberapa di kebaktian-kebaktian besar (New York, 1950)
. . . beberapa di kampus sekolah; (tempat N. H. Knorr terlihat sedang berbicara di depan perpustakaan sekolah, pada tahun 1956)
[Gambar di hlm. 527]
Kampus Sekolah Gilead di South Lansing, New York, seperti yang tampak selama tahun 1950-an
[Gambar di hlm. 528]
Hermon Woodard (kiri) dan John Errichetti (kanan) melayani di Alaska
[Gambar di hlm. 529]
John Cutforth menggunakan bantuan visual untuk mengajar di Papua Nugini
[Gambar di hlm. 530]
Para utusan injil di Irlandia, bersama pengawas distrik, tahun 1950
[Gambar di hlm. 530]
Para lulusan ke penugasan utusan injil di Negeri-Negeri Timur tahun 1947
[Gambar di hlm. 530]
Beberapa utusan injil dan rekan sekerja di Jepang tahun 1969
[Gambar di hlm. 530]
Para utusan injil di Brasil tahun 1956
. . . di Uruguay tahun 1954
. . . di Italia tahun 1950
[Gambar di hlm. 530]
Empat utusan injil keluaran Sekolah Gilead yang pertama diutus ke Jamaika
[Gambar di hlm. 530]
Rumah utusan injil yang pertama di Salisbury (kini Harare, Zimbabwe), tahun 1950
[Gambar di hlm. 530]
Malcolm Vigo (Gilead, 1956-57) dengan istrinya Linda Louise; mereka telah melayani bersama-sama di Malawi, Kenya, dan Nigeria
[Gambar di hlm. 530]
Robert Tracy (kiri) dan Jesse Cantwell (kanan) bersama istri mereka—utusan-utusan injil dalam pekerjaan keliling di Kolombia tahun 1960
[Gambar di hlm. 532]
Kelas bahasa di rumah utusan injil di Pantai Gading
[Gambar di hlm. 535]
Ted dan Doris Klein menemukan banyak orang yang senang mendengar kebenaran Alkitab di Kepulauan Virgin AS pada tahun 1947
[Gambar di hlm. 536]
Harvey Logan (depan tengah) dengan Saksi-Saksi suku Amis di depan Balai Kerajaan, tahun 1960-an
[Gambar di hlm. 540]
Victor White, pengawas distrik keluaran Sekolah Gilead, sedang berbicara di Filipina, tahun 1949
[Gambar di hlm. 542]
Margarita Königer, di Burkina Faso, sedang memimpin suatu pengajaran Alkitab di rumah
[Gambar di hlm. 543]
Unn Raunholm, utusan injil sejak tahun 1958, harus menghadapi gerombolan yang dipimpin oleh imam di Ekuador
[Gambar di hlm. 545]
Sekolah Pelatihan Pelayanan
Kelas pertama, Coraopolis, Pa., AS, tahun 1987 (atas)
Kelas ketiga di Inggris, Manchester, tahun 1991 (kanan)