-
CEMBURU, KECEMBURUANPemahaman Alkitab, Jilid 1
-
-
Kecemburuan yang Paulus bicarakan di sidang Korintus bukan kecemburuan yang adil-benar. Kecemburuan itu bukan demi pengabdian yang eksklusif kepada Yehuwa, melainkan suatu bentuk penyembahan berhala, berasal dari hantu-hantu, dan menimbulkan kedengkian serta percekcokan. Alkitab berkali-kali memperingatkan tentang kecemburuan demikian, dengan memperlihatkan bahwa sifat itu mempengaruhi hati. Saudara tiri Yesus, Yakobus, menulis, ”Jika ada kecemburuan yang pahit dan sifat suka bertengkar dalam hatimu, janganlah membual dan berdusta menentang kebenaran. Ini bukan hikmat yang datang dari atas, melainkan bumiah, bersifat binatang, berkaitan dengan hantu-hantu. Karena jika ada kecemburuan dan sifat suka bertengkar, di sana ada kekacauan dan segala perkara keji.”—Yak 3:14-16; Rm 13:13; Gal 5:19-21.
Kecemburuan yang salah dapat merusak kesehatan jasmani, sebab ”hati yang tenang adalah kehidupan bagi tubuh, tetapi kecemburuan adalah kebusukan bagi tulang”. (Ams 14:30) Kecemburuan timbul karena memupuk kecurigaan atau kekesalan dalam hati, dan bisa lebih merusak daripada kemurkaan atau kemarahan karena kecemburuan lebih berurat berakar, lebih bertahan lama serta sulit dihilangkan, dan tidak mudah diredakan. Biasanya akal sehat tidak digunakan lagi. (Ams 27:4) Dan kecemburuan seorang pria yang dengan adil-benar murka terhadap pria lain yang berzina dengan istrinya tidak akan menerima alasan atau tebusan apa pun!—Ams 6:32-35.
Kecemburuan yang salah bahkan dapat membuat seseorang berbuat dosa terhadap Allah, seperti halnya kesepuluh saudara tiri Yusuf. (Kej 37:11; Kis 7:9) Kecemburuan demikian dapat mengakibatkan kematian seseorang dan orang-orang lain yang terlibat, seperti halnya dalam kasus Datan dan Abiram serta para anggota rumah tangga mereka. (Mz 106:16, 17) Dan yang lebih buruk lagi, kecemburuan mendorong orang-orang Yahudi yang tidak percaya untuk melakukan kejahatan yang serius terhadap para rasul dan, selain itu, hujah dan percobaan pembunuhan.—Kis 13:45, 50; 14:19.
Kecemburuan dalam Perkawinan. Cemburu terhadap teman hidup adalah baik jika itu adalah cemburu yang patut, yaitu gairah demi kepentingan dan kesejahteraan teman hidup. Tetapi kecemburuan yang tidak patut, atau kurangnya kepercayaan tanpa alasan, adalah salah dan tidak pengasih, dan dapat mengakibatkan hancurnya perkawinan.—1Kor 13:4, 7.
Di bawah Hukum Musa, ada ketentuan untuk kasus-kasus kecemburuan, yaitu apabila sang suami mencurigai istrinya telah melakukan perzinaan tersembunyi. Jika tidak ada dua saksi untuk membuktikan tuduhan itu sehingga hakim-hakim manusia dapat bertindak menjatuhkan hukuman mati, Hukum menetapkan suatu prosedur bahwa pasangan itu harus maju ke hadapan wakil Yehuwa, yakni imam. Ini adalah tindakan naik banding kepada Yehuwa, yang mengetahui semua fakta, untuk melaksanakan penghakiman. Jika wanita itu memang berzina, ia akan kehilangan kemampuan untuk menghasilkan keturunan sebagai hukuman langsung dari Yehuwa. Jika kecemburuan sang suami tidak berdasar, ia harus mengakui bahwa istrinya tidak bersalah dengan melakukan hubungan seks dengannya sehingga dia dapat melahirkan anak.—Bil 5:11-31.
Hamba-Hamba Allah Diperingatkan terhadap Persaingan. Persaingan atau kompetisi, yang begitu umum dalam sistem ini, tidaklah patut. Penulis buku Pengkhotbah mengatakan, ”Aku telah melihat semua kerja keras dan semua kemahiran dalam pekerjaan, bahwa itu berarti persaingan [Ibr., qin·ʼathʹ] seorang terhadap yang lain; ini pun kesia-siaan dan perjuangan mengejar angin.”—Pkh 4:4; bdk. Gal 5:26.
Karena cemburu akan keberhasilan, harta milik, atau prestasi orang lain, hamba Allah mungkin mengembangkan kedengkian serta ketamakan, bahkan hingga taraf mendengki orang yang jahat tetapi makmur. Alkitab memperingatkan bahwa kecemburuan demikian tidak boleh dikembangkan; meskipun orang jahat tampaknya menikmati kemakmuran untuk waktu yang lama, mereka akan segera menerima penghakiman pada waktu yang Allah tetapkan, karena ada tertulis, ”Janganlah panas hati karena para pelaku kejahatan. Janganlah dengki kepada orang-orang yang melakukan ketidakadilbenaran. Karena seperti rumput, mereka akan segera layu, dan seperti rumput hijau yang baru, mereka akan lenyap.” (Mz 37:1, 2) Kedengkian terhadap orang-orang seperti itu dapat menyebabkan seseorang meniru jalan-jalan mereka yang penuh kekerasan, yang memuakkan bagi Yehuwa.—Ams 3:31, 32; 23:17; 24:1, 19; bdk. Mz 73:2, 3, 17-19, 21-23.
-
-
CENDANAPemahaman Alkitab, Jilid 1
-
-
CENDANA
[Ibr., ʼal·gum·mimʹ (2Taw 2:8; 9:10, 11); ʼal·mug·gimʹ (1Raj 10:11, 12)].
Salah satu pohon yang Salomo minta kepada Hiram dari Tirus sewaktu ia membutuhkan kayu untuk pembangunan bait. Kayu cendana itu kemudian digunakan untuk membuat tangga dan penopang serta harpa dan alat musik bersenar.
Pohon cendana yang disebutkan dalam catatan ini tidak dapat ditentukan dengan pasti jenisnya. Menurut kisah turun-temurun, pohon cendana ini sama dengan cendana jenggi (Pterocarpus santalinus) yang sekarang dapat ditemukan di India dan Sri Lanka, meskipun ada yang lebih mendukung cendana putih (Santalum album), mungkin karena pernyataan Yosefus bahwa pohon itu berwarna keputih-putihan. (Jewish Antiquities, VIII, 177 [vii, 1]) Cendana jenggi tumbuh setinggi kira-kira 7,5 sampai 9 m dan mempunyai kayu yang keras, berurat halus serta berwarna cokelat kemerah-merahan yang dapat dipoles hingga sangat mengilap. Konon kayunya cocok untuk membuat jenis-jenis alat musik yang disebutkan dalam catatan Alkitab. Kayunya memiliki aroma yang harum dan sangat tahan terhadap serangga.
Cendana jenggi tidak tumbuh di Lebanon sekarang. Akan tetapi, catatan Alkitab tidak menyebutkan secara pasti apakah pohon-pohon ”cendana” merupakan tanaman asli Lebanon atau tidak. Bagaimanapun, belakangan Hiram merasa perlu untuk mendatangkannya dari Ofir, dan dalam kasus ini juga, kayu-kayunya bisa jadi merupakan barang impor di Ofir, karena kota itu letaknya strategis sebagai pusat perdagangan yang menjalin hubungan dengan India, Mesir, dan tempat-tempat lain di Afrika. (1Raj 10:11, 22) Bukti bahwa kayu yang dikirim oleh Hiram itu langka dan berharga ditunjukkan oleh pernyataan bahwa ”kayu-kayu cendana seperti itu tidak datang atau kelihatan lagi sampai hari ini”.—1Raj 10:12.
-
-
CERAI, PERCERAIANPemahaman Alkitab, Jilid 1
-
-
CERAI, PERCERAIAN
Pembubaran resmi perkawinan. Jadi, pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri. Berbagai istilah bahasa asli untuk ”perceraian” secara harfiah berarti ”menyuruh pergi” (Ul 22:19, Rbi8, ctk.), ”membebaskan” atau ”membiarkan pergi” (Mat 1:19, Int; 19:3, Rbi8, ctk.), ”menghalau; mengusir” (Im 22:13, Rbi8, ctk.), dan ”memutuskan”.—Bdk. Ul 24:1, 3; istilah ”surat cerai” di ayat itu secara harfiah berarti ”buku pemutusan”.
Sewaktu Yehuwa mempersatukan Adam dan Hawa dalam ikatan perkawinan, Ia tidak membuat pengaturan untuk perceraian. Yesus Kristus menjelaskan hal ini ketika menjawab orang Farisi yang bertanya, ”Apakah menurut hukum seorang pria diperbolehkan menceraikan istrinya atas dasar apa pun?” Kristus memperlihatkan bahwa Allah bermaksud agar pria meninggalkan bapaknya dan ibunya serta berpaut pada istrinya, dan keduanya menjadi satu daging. Kemudian Yesus menambahkan, ”Sehingga mereka bukan lagi dua, melainkan satu daging. Oleh karena itu, apa yang telah Allah letakkan di bawah satu kuk hendaknya tidak dipisahkan manusia.” (Mat 19:3-6; bdk. Kej 2:22-24.) Lalu orang Farisi bertanya, ”Kalau begitu, mengapa Musa menetapkan untuk memberikan surat cerai dan menceraikan wanita itu?” Kristus menjawab, ”Musa, oleh karena kedegilan hatimu, membuat kelonggaran bagimu untuk menceraikan istrimu, tetapi halnya tidak demikian sejak semula.”—Mat 19:7, 8.
Walaupun ada kelonggaran bagi orang Israel untuk bercerai dengan berbagai alasan, Allah Yehuwa membuat peraturan sehubungan dengan perceraian dalam Hukum yang Ia berikan kepada Israel melalui Musa. Ulangan 24:1 berbunyi, ”Apabila seorang pria mengambil seorang wanita dan menjadikan dia miliknya, sebagai istrinya, dan jika dia tidak mendapat perkenan di matanya karena ia menemukan sesuatu yang tidak pantas padanya, maka ia harus menulis surat cerai bagi dia dan menaruh itu di tangannya dan menyuruh dia pergi dari rumahnya.” Apa persisnya ”sesuatu yang tidak pantas” (harfiah, ”keadaan telanjang”) tidak dinyatakan secara spesifik. Hal itu bukan perzinaan sebab hukum Allah kepada Israel menetapkan bahwa orang yang bersalah karena melakukan perzinaan harus dihukum mati, bukan sekadar diceraikan. (Ul 22:22-24) Tidak diragukan, pada mulanya ’perbuatan tidak pantas’ yang dapat dijadikan dasar oleh suami Ibrani untuk menceraikan istrinya itu menyangkut masalah-masalah serius, mungkin sang istri memperlihatkan sikap yang sangat tidak respek kepada suaminya atau mendatangkan aib atas rumah tangga. Karena Hukum menyebutkan secara eksplisit bahwa ”engkau harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri”, tidaklah masuk akal untuk berasumsi bahwa kesalahan-kesalahan sepele dapat digunakan seenaknya sebagai dalih untuk menceraikan istri.—Im 19:18.
Pada zaman Maleakhi, banyak suami Yahudi mengkhianati istri mereka, menceraikannya dengan segala macam alasan, menyingkirkan istri masa muda mereka, mungkin agar dapat mengawini wanita kafir yang lebih muda. Bukannya menjunjung hukum Allah, para imam membiarkan hal ini sehingga Yehuwa sangat tidak senang. (Mal 2:10-16) Pria-pria Yahudi menggunakan banyak alasan untuk bercerai sewaktu Yesus Kristus berada di bumi, yang ditunjukkan oleh pertanyaan orang Farisi kepada Yesus, ”Apakah menurut hukum seorang pria diperbolehkan menceraikan istrinya atas dasar apa pun?”—Mat 19:3.
Seorang pria Israel biasa membayar maskawin untuk wanita yang akan menjadi istrinya, dan wanita itu dianggap sebagai miliknya. Walaupun istri menikmati banyak berkat dan hak istimewa, peranannya dalam perkawinan adalah sebagai bawahan. Kedudukannya diperlihatkan lebih lanjut dalam Ulangan 24:1-4, yang menunjukkan bahwa suami dapat menceraikan istri tetapi tidak disebutkan bahwa istri dapat menceraikan suami. Karena dianggap sebagai milik suami, istri tidak dapat menceraikan suami. Dalam sejarah sekuler, peristiwa pertama yang dicatat tentang wanita di Israel yang mencoba menceraikan suaminya adalah ketika Salome, saudara Raja Herodes, mengirimkan kepada suaminya, gubernur Idumea, surat cerai yang membubarkan perkawinan mereka. (Jewish Antiquities, XV, 259 [vii, 10]) Petunjuk bahwa wanita telah mulai mengajukan perceraian sewaktu Yesus berada di bumi atau bahwa ia menubuatkan perkembangannya terlihat dari kata-kata Kristus, ”Seandainya seorang wanita, setelah menceraikan suaminya, menikah dengan orang lain, ia berbuat zina.”—Mrk 10:12.
-