-
PERKARA YANG MENJIJIKKANPemahaman Alkitab, Jilid 2
-
-
Kata Ibrani syeʹqets secara eksklusif digunakan untuk binatang-binatang yang ”haram” atau ”najis”, sedangkan kata syiq·qutsʹ terutama digunakan untuk berhala dan praktek penyembahan berhala. Pada waktu Eksodus, Yehuwa memerintahkan orang Israel untuk membuang ”perkara-perkara menjijikkan” dan ”berhala-berhala tahi Mesir”, tetapi ada orang-orang yang tidak taat sehingga menodai nama Allah. (Yeh 20:6-9) Dalam perjalanan ke Tanah Perjanjian, Israel melewati daerah bangsa-bangsa kafir dan melihat ”perkara-perkara mereka yang menjijikkan dan berhala tahi mereka, yaitu kayu dan batu, perak dan emas”. Mereka diperintahkan agar ”benar-benar jijik” terhadap patung-patung keagamaan itu dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang ”dikhususkan untuk kebinasaan” dan menolak untuk membawanya ke rumah mereka. (Ul 29:16-18; 7:26) Dewa-dewi bangsa-bangsa itu, termasuk Milkom, atau Molekh, dan juga Khemos dan Astoret, disebut sebagai ’perkara-perkara yang menjijikkan’. (1Raj 11:5, 7; 2Raj 23:13) Sewaktu Israel mempraktekkan penyembahan berhala tersebut, Allah pun menjadi jijik terhadap mereka, dan Allah murka terhadap bangsa itu ketika belakangan bait dicemari dengan objek-objek penyembahan berhala, sehingga akhirnya bangsa itu ditelantarkan. (Yer 32:34, 35; Yeh 7:20-22; Hos 9:10) Dengan ”melayani kayu dan batu” seperti itu, mereka melakukan ”hubungan amoral”, atau percabulan rohani, dan memutuskan komunikasi mereka dengan Allah.—Yeh 20:30-32; bdk. Yer 13:27.
Hanya setelah beberapa raja melakukan tindakan yang penuh semangat dan berani untuk menyingkirkan penyembahan berhala dari negeri itu, bangsa itu menikmati periode penuh berkat. (2Raj 23:24; 2Taw 15:8-15) Allah menyatakan dengan jelas bahwa hanya setelah membersihkan diri mereka sama sekali dari praktek-praktek demikian, orang Israel bisa yakin bahwa mereka akan dipulihkan dari penawanan yang akan mereka alami serta kembali menjadi umat-Nya. (Yeh 11:17-21) Dalam nubuat serupa, Daud disebut sebagai raja atas bangsa yang telah dibersihkan ini dan sebagai ”satu gembala” serta ”pemimpin mereka sampai waktu yang tidak tertentu”; hal ini jelas menunjuk kepada penggenapan yang lebih besar atas bangsa Israel rohani, sidang jemaat Kristen, di bawah Ahli Waris terurap atas takhta Daud, yaitu Kristus Yesus.—Yeh 37:21-25; bdk. Luk 1:32; Yoh 10:16.
Di Nahum 3:6, dalam nubuat tentang ibu kota Asiria, Niniwe, disebutkan bahwa pelacuran politik dan internasionalnya akan berakhir dan bahwa Yehuwa akan ”melemparkan hal-hal yang menjijikkan [Ibr., syiq·qu·tsimʹ]” ke atasnya. Hal-hal menjijikkan itu tampaknya tidak memaksudkan objek-objek penyembahan berhala, tetapi hal-hal yang secara umum dianggap kotor atau menjijikkan, seperti kotoran dan sampah, sehingga kota yang buas itu akan dipandang hina oleh semua orang. (Nah 3:4-7) Perkara-perkara yang bernoda darah dan yang menjijikkan akan disingkirkan dari antara gigi orang Filistin (Za 9:6, 7), yang kemungkinan besar berkaitan dengan praktek kafir untuk makan daging binatang korban bersama darahnya.—Bdk. Yeh 33:25.
Meskipun orang Yahudi, dan khususnya para pemimpin agama mereka ketika Yesus ada di bumi, dengan sangat teliti menghindari apa pun yang berkaitan dengan berhala harfiah, mereka bersalah karena praktek-praktek yang menjijikkan seperti penyembahan diri sendiri, ketidaktaatan, kemunafikan, ketamakan, dan kepalsuan, dan Yesus mengatakan bahwa, seperti bapak-bapak leluhur mereka, mereka telah mengubah bait menjadi ”gua perampok”. (Mat 23:1-15, 23-28; Luk 16:14, 15; bdk. Mat 21:13 dan Yer 7:11, 30.) Keadaan dan sikap hati yang buruk ini akhirnya mengarah kepada tindakan pemberontakan besar, yaitu menolak Putra Allah sendiri, dan Yesus memperlihatkan bahwa sebagai akibatnya mereka pasti akan dibinasakan.—Mat 21:33-41; Luk 19:41-44.
’Perkara-Perkara Menjijikkan yang Menyebabkan Kehancuran.’ Nubuat Daniel menyebutkan tentang ’perkara-perkara menjijikkan’ yang berkaitan dengan kehancuran. (Dan 9:27) Berdasarkan ajaran turun-temurun orang Yahudi masa awal, orang-orang pada umumnya mengaitkan ungkapan itu dengan pencemaran bait Yehuwa di Yerusalem pada tahun 168 SM oleh Raja Antiokhus IV (Epifanes) dari Siria. Dalam upaya untuk melenyapkan ibadat kepada Yehuwa, Antiokhus mendirikan sebuah mezbah di atas mezbah besar Yehuwa dan mengorbankan di atasnya seekor babi bagi Zeus (Yupiter) dari Olimpus. Ungkapan serupa seperti yang terdapat dalam buku Daniel (yang mengaitkan perkara-perkara yang menjijikkan dengan kehancuran) muncul di buku 1 Makabe (1:54) dalam Apokrifa dan diterapkan pada peristiwa ini.
Namun, ajaran itu hanyalah penafsiran orang Yahudi, bukan penyingkapan terilham. Kristus Yesus memperlihatkan bahwa pendapat ini keliru sewaktu ia memperingatkan murid-muridnya, ”Karena itu, apabila terlihat olehmu perkara menjijikkan yang menyebabkan kehancuran, seperti yang diucapkan melalui nabi Daniel, berdiri di suatu tempat yang kudus, (hendaklah pembaca menggunakan daya pengamatan,) kemudian hendaklah orang-orang yang di Yudea mulai melarikan diri ke pegunungan.” (Mat 24:15, 16) Kata-kata ini memperlihatkan bahwa ”perkara menjijikkan yang menyebabkan kehancuran” tidak berkaitan dengan masa lampau tetapi dengan masa depan.
Pencemaran mezbah bait oleh Antiokhus yang kafir, meskipun menjijikkan di pandangan Allah, tidak mengakibatkan kehancuran—atas Yerusalem, atas bait, atau atas bangsa Yahudi. Tetapi 33 tahun setelah kematian Yesus, orang Kristen memang melihat ”perkara menjijikkan yang menyebabkan kehancuran . . . berdiri di suatu tempat yang kudus”. (Mat 24:15) Pada tahun 66 M, bala tentara Romawi yang kafir mengepung ”kota kudus”, Yerusalem, yang pada waktu itu adalah pusat pemberontakan orang Yahudi terhadap Roma. Jadi, tidak lama kemudian perkara yang menjijikkan itu akan ”menyebabkan kehancuran”, dan hal ini menjadi tanda terakhir bagi orang Kristen yang berpemahaman untuk ”melarikan diri ke pegunungan”. (Mat 4:5; 27:53; 24:15, 16; Luk 19:43, 44; 21:20-22) Setelah mereka melarikan diri, kota dan bangsa itu pun dihancurkan, Yerusalem dibinasakan pada tahun 70 M, dan benteng Yahudi yang terakhir, Masada, jatuh ke tangan orang Romawi pada tahun 73 M.—Bdk. Dan 9:25-27.
Nubuat-nubuat lain tentang perkara yang menjijikkan. Akan tetapi, hendaknya diperhatikan bahwa Daniel 11:31-35 dan 12:9, 11 mengaitkan ’perkara menjijikkan yang menyebabkan kehancuran’ dengan ”zaman akhir”. Masuk akal jika pada zaman akhir ini, perkembangan ungkapan ’perkara menjijikkan yang menyebabkan kehancuran’ yang disebutkan Daniel itu secara umum akan mengikuti pola yang sama dengan ”perkara menjijikkan” pada abad pertama M, meskipun tidak terbatas di tanah Israel saja.
Kehancuran Yerusalem pada tahun 70 M mengakhiri ”tempat kudus”, Yerusalem, ”kota kudus” itu. (Mat 27:53) Akan tetapi, Alkitab mengarahkan perhatian kita kepada ”Yerusalem surgawi”, yaitu Kerajaan Mesianik, yang diwakili di bumi oleh orang-orang Kristen terurap. (Ibr 12:22) Ada juga lembaga-lembaga lain yang mengaku-aku mewakili Kerajaan itu, dan Penyingkapan pasal 17 memperlihatkan bahwa ladang kegiatan keagamaan mereka akan dihancurkan oleh ”kesepuluh tanduk” (raja) dari ”binatang buas” simbolis.
Perkara-Perkara yang Menjijikkan dari Babilon Besar. Dalam penglihatan yang mengandung nubuat di Penyingkapan 17 digambarkan tentang wanita simbolis yang amoral, yakni Babilon Besar. Ia disebut ”ibu para sundal dan ibu dari perkara-perkara yang menjijikkan di bumi”. Ia memegang cawan emas ’yang penuh dengan perkara yang menjijikkan berupa percabulannya dengan raja-raja di bumi’. Meskipun ia menjilat kerajaan-kerajaan di bumi, duduk di atas binatang buas simbolis yang terdiri dari kerajaan-kerajaan tersebut, waktunya akan tiba manakala ”binatang” ini tidak mau ditunggangi olehnya, berbalik menyerangnya, dan menghancurkan dia sama sekali.—Lihat BABILON BESAR.
Dalam Penyingkapan 21:9, 10, 27 disebutkan bahwa orang-orang yang terus mempraktekkan ”perkara yang menjijikkan” sama sekali tidak boleh masuk ke dalam ”Yerusalem Baru”, yakni golongan ”pengantin perempuan” yang suci bagi Anak Domba.
-
-
PERKAWINAN IPARPemahaman Alkitab, Jilid 2
-
-
PERKAWINAN IPAR
Dikenal juga sebagai perkawinan levirat; kebiasaan yang mengatur agar seorang pria mengawini janda dari saudaranya yang meninggal tanpa anak laki-laki untuk menghasilkan keturunan guna meneruskan garis keturunan saudaranya itu. Kata kerja Ibrani yang berarti ”mengadakan perkawinan ipar” ialah ya·vamʹ, berkaitan dengan istilah Ibrani untuk ”ipar laki-laki” dan ”janda dari saudara laki-laki”.—Kej 38:8; Ul 25:5, Rbi8, ctk.; 25:7.
Hukum tentang perkawinan ipar di Ulangan 25:5, 6 berbunyi, ”Apabila pria-pria yang bersaudara tinggal bersama-sama dan salah seorang di antaranya mati dengan tidak mempunyai seorang putra, maka istri orang yang mati itu tidak boleh menjadi milik orang di luar lingkungan keluarga. Ipar laki-lakinya harus datang kepadanya, dan ia harus mengambil dia sebagai istrinya dan mengadakan perkawinan ipar dengan dia. Maka anak sulung yang dilahirkan perempuan itu harus meneruskan nama saudaranya yang sudah mati itu, agar namanya tidak terhapus dari antara orang Israel.” Tidak diragukan, hukum ini berlaku tidak soal saudaranya yang masih hidup itu sudah menikah atau belum.
Yehuwa adalah pribadi ”yang kepadanya setiap keluarga di surga dan di bumi berutang nama”. (Ef 3:15) Ia mempedulikan kelestarian garis keturunan dan nama keluarga. Prinsip itu diikuti pada zaman patriarkat dan belakangan dimasukkan ke dalam perjanjian Hukum dengan Israel. Wanita itu tidak boleh ”menjadi milik orang di luar lingkungan keluarga”. Sewaktu ipar laki-lakinya mengambil dia sebagai istri, anak sulung yang dilahirkan akan menyandang nama almarhum, bukan nama sang ipar laki-laki. Tidak berarti anak itu harus selalu menyandang nama diri yang sama, tetapi ia akan meneruskan garis keturunan keluarga dan milik pusaka akan tetap menjadi kepunyaan rumah tangga almarhum.
Ungkapan ”apabila pria-pria yang bersaudara tinggal bersama-sama” tampaknya tidak berarti mereka tinggal di rumah yang sama, tetapi di lingkungan yang sama. Akan tetapi, Misnah (Yevamot 2:1, 2) mengatakan bahwa itu tidak berarti di daerah yang sama, tetapi pada waktu yang sama. Memang, jika saudaranya tinggal berjauhan, akan sulit baginya untuk mengurus pusaka miliknya sendiri dan milik almarhum, hingga ada ahli waris yang melakukannya. Namun, milik-milik pusaka suatu keluarga biasanya berada di wilayah yang sama.
Salah satu contoh perkawinan ipar pada zaman patriarkat ialah kasus Yehuda. Ia mengambil Tamar untuk menjadi istri Er, anak sulungnya, dan sewaktu Er terbukti fasik di mata Yehuwa, Yehuwa membunuh dia. ”Maka Yehuda mengatakan kepada Onan [adik Er], ’Lakukanlah hubungan dengan istri kakakmu itu, adakanlah perkawinan ipar dengannya dan bangkitkanlah keturunan bagi kakakmu.’ Tetapi Onan tahu bahwa keturunan itu tidak akan menjadi miliknya; maka apabila ia melakukan hubungan dengan istri kakaknya, ia membuang maninya ke tanah agar tidak memberikan keturunan kepada kakaknya.” (Kej 38:8, 9) Karena Onan tidak mau memenuhi kewajibannya sehubungan dengan penyelenggaraan perkawinan ipar, Yehuwa membunuh dia. Yehuda kemudian memberi tahu Tamar untuk menunggu sampai Syela, putranya yang ketiga, menjadi dewasa, tetapi Yehuda tidak menuntut Syela melaksanakan tugasnya terhadap Tamar.
-