-
PERGAMUSPemahaman Alkitab, Jilid 2
-
-
”Ajaran Bileam.” Akan tetapi, sidang jemaat itu dirongrong oleh pengaruh dari orang-orang yang ”berpegang erat pada ajaran Bileam”. (Pny 2:14) Ungkapan ini mengingatkan kita kepada nabi Bileam dari Mesopotamia yang, setelah upayanya untuk mengutuk Israel gagal, menyarankan agar wanita-wanita kafir digunakan guna memikat pria-pria Israel untuk melakukan ibadat yang cabul kepada allah-allah palsu. Sebagai konsekuensi amoralitas seksual dan penyembahan berhala tersebut, 24.000 orang Israel mati. (Bil 25:1-18; 1Kor 10:8; lihat BILEAM No. 1.) Rupanya beberapa orang dalam sidang jemaat di Pergamus, yang ”berpegang erat pada ajaran Bileam”, menyetujui percabulan. (Yud 4, 11; 2Ptr 2:14, 15) Pergamus terkenal dengan kuil indah untuk Afrodit (Venus), dewi cinta seksual, dan praktek-praktek keagamaan yang sensual merupakan hal yang lazim.
Beberapa orang dalam sidang jemaat itu juga terpengaruh oleh ajaran ”sekte Nikolaus”, dan mereka didesak untuk bertobat.—Pny 2:15, 16.
-
-
PERGAULANPemahaman Alkitab, Jilid 2
-
-
PERGAULAN
Rasul Paulus menggunakan kata benda Yunani ho·mi·liʹa sewaktu memperingatkan orang Kristen tentang bahayanya ”pergaulan” yang buruk. (1Kor 15:33) Kata Yunani ini berkaitan dengan kata kerja ho·mi·leʹo, yang artinya ”bercakap-cakap”. (Kis 20:11) Kata ini memaksudkan pergaulan atau interaksi dengan orang lain, biasanya melalui percakapan tetapi kadang-kadang melalui hubungan seks. Septuaginta Yunani memakai kata ini guna menerjemahkan kata Ibrani untuk ’kemampuan untuk meyakinkan’ di Amsal 7:21 dan ’hak pernikahan’ di Keluaran 21:10.
Orang-orang yang ingin mendapatkan perkenan Allah memilih orang yang setia kepada keadilbenaran serta kebenaran sebagai teman bergaul. (2Tim 2:22) Mereka juga tidak lagi ”bergaul [harfiah, menggabungkan diri]” secara sosial dengan anggota-anggota sidang yang jalan hidupnya akan mengakibatkan mereka mendapat teguran resmi karena tingkah laku yang tidak tertib. Meskipun terus menunjukkan kasih kepada orang-orang seperti itu, mereka menyatakan dengan jelas bahwa mereka tidak suka dengan tingkah laku orang-orang yang tidak tertib itu. (2Tes 3:6-15) Teman yang baik memang dapat memberikan bantuan yang berarti agar seseorang terus berjalan selaras dengan hikmat ilahi, tetapi tidak dapat dibantah bahwa pergaulan yang buruk bisa mendatangkan akibat yang merusak. Peribahasa yang terilham menyatakan, ”Ia yang berjalan dengan orang-orang berhikmat akan menjadi berhikmat, tetapi ia yang berurusan dengan orang-orang bebal akan mengalami kemalangan.” (Ams 13:20; bdk. Ams 22:24, 25; 28:7; 29:3.) Kata Ibrani ra·ʼahʹ, yang diterjemahkan menjadi ”berurusan dengan” di Amsal 13:20, juga diterjemahkan menjadi ”menyertai” dan berkaitan dengan kata Ibrani reʹaʽ, yang artinya ”sesama; teman”.—Hak 14:20; Im 19:18; Mz 15:3.
Banyak contoh Alkitab menunjukkan dengan jelas bahwa teman yang buruk dapat benar-benar merusak kesejahteraan seseorang. Putri Yakub, Dina, secara tidak bijaksana memilih gadis-gadis Kanaan sebagai teman bergaulnya, dan akhirnya ia diperkosa oleh Syikhem, putra seorang pemimpin dari suku Hewi. (Kej 34:1, 2) Putra Daud, Amnon, mendengarkan nasihat buruk temannya, Yehonadab, lalu memperkosa adik tirinya sendiri, Tamar. Karena itu, Amnon dibenci oleh Absalom, kakak kandung Tamar, yang belakangan mengatur agar ia dibunuh. (2Sam 13:3-29) Bertentangan dengan perintah Yehuwa, orang Israel mulai bergaul dengan orang Kanaan, membentuk ikatan pernikahan dengan mereka, dan mengikuti bentuk ibadat mereka yang bejat, sehingga Yehuwa tidak memperkenan dan meninggalkan mereka. (Ul 7:3, 4; Hak 3:5-8) Salomo pun berpaling dari ibadat kepada Yehuwa sewaktu ia memperistri banyak penyembah allah palsu. (Neh 13:26) Ahab menjadi lebih buruk daripada semua raja Israel sebelum dia karena pengaruh Izebel yang menyembah Baal. (1Raj 21:25) Pergaulan erat dengan keluarga Raja Ahab hampir membuat Yehosyafat yang saleh kehilangan nyawanya, dan ikatan pernikahan yang ia bentuk dengan Ahab belakangan nyaris memusnahkan keluarga Raja Daud.—2Taw 18:1-3, 29-31; 22:10, 11.
Segenap persatuan orang Kristen sejati, meskipun terdiri atas kelompok-kelompok kecil, sidang-sidang, atau orang-orang yang secara fisik terpencil, membentuk ”segenap persekutuan saudara-saudara”, atau persaudaraan, yang ditunjukkan dengan istilah Yunani a·del·foʹtes. (1Ptr 2:17; 5:9) Agar tetap menjadi bagian dari persaudaraan itu, orang Kristen sejati menghindari segala bentuk pergaulan dengan siapa pun di antara mereka sendiri yang menjadi pendukung ajaran yang palsu serta memecah belah. (Rm 16:17, 18) Rasul Kristen Yohanes memerintahkan rekan-rekan seimannya agar jangan sekali-kali menerima guru palsu demikian ke dalam rumah mereka atau memberikan salam kepadanya, yang akan memberinya kesempatan untuk menyampaikan doktrinnya yang menyimpang dan rusak. Memberikan salam kepada orang seperti itu berarti menunjukkan tanda setuju dan membuat seseorang ikut dalam ”perbuatannya yang fasik”. (2Yoh 10, 11) Meskipun memiliki banyak sekali bukti yang memberikan kepastian tentang kebangkitan orang mati, rasul Paulus tahu bahwa pergaulan dengan orang-orang yang menolak ajaran Kristen ini akan menghancurkan iman. Itulah sebabnya ia menulis, ”Janganlah disesatkan. Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang berguna.”—1Kor 15:12-22, 33; lihat MURTAD, KEMURTADAN.
-
-
PERHIASANPemahaman Alkitab, Jilid 2
-
-
PERHIASAN
Lihat HIASAN; PERHIASAN; serta PERMATA DAN BATU BERHARGA.
-
-
PERI TIDAK BERKEMATIANPemahaman Alkitab, Jilid 2
-
-
PERI TIDAK BERKEMATIAN
Kata Yunani a·tha·na·siʹa terbentuk dari awalan negatif a diikuti suatu bentuk kata untuk ”kematian” (thaʹna·tos). Jadi, arti dasarnya adalah ”keadaan tidak berkematian”, dan memaksudkan mutu kehidupan yang dinikmati, yaitu keadaannya yang tanpa akhir dan tidak dapat dibinasakan. (1Kor 15:53, 54, Rbi8, ctk.; 1Tim 6:16, Rbi8, ctk.) Kata Yunani a·fthar·siʹa, yang artinya ”ketidakfanaan”, berkaitan dengan sesuatu yang tidak dapat menjadi busuk atau rusak, sesuatu yang tidak dapat musnah.—Rm 2:7; 1Kor 15:42, 50, 53; Ef 6:24; 2Tim 1:10.
Ungkapan ”tidak berkematian” atau ”peri tidak berkematian” tidak muncul dalam Kitab-Kitab Ibrani. Namun, Kitab-Kitab itu memperlihatkan bahwa Allah Yehuwa, sebagai Sumber segala kehidupan, tidak terancam kematian, jadi, tidak berkematian. (Mz 36:7, 9; 90:1, 2; Hab 1:12) Fakta ini juga ditegaskan oleh rasul Kristen Paulus sewaktu ia menyebut Allah sebagai ”Raja kekekalan, yang tidak fana”.—1Tim 1:17.
Sebagaimana diperlihatkan dalam artikel JIWA, Kitab-Kitab Ibrani juga menjelaskan bahwa peri tidak berkematian bukanlah kodrat manusia. Ada banyak sekali ayat yang menyebutkan bahwa jiwa (Ibr., neʹfes) manusia dapat mati, menuju kuburan, dan dibinasakan. (Kej 17:14; Yos 10:32; Ayb 33:22; Mz 22:29; 78:50; Yeh 18:4, 20) Tentu saja, Kitab-Kitab Yunani Kristen selaras dengan gagasan itu dan juga menyebutkan bahwa jiwa (Yn., psy·kheʹ) berkematian. (Mat 26:38; Mrk 3:4; Kis 3:23; Yak 5:20; Pny 8:9; 16:3) Oleh karena itu, Kitab-Kitab Yunani Kristen tidak membantah atau mengubah ajaran terilham Kitab-Kitab Ibrani bahwa manusia, jiwa manusia, itu berkematian, takluk kepada kematian. Akan tetapi, Kitab-Kitab Yunani Kristen memang memuat penyingkapan maksud-tujuan Allah untuk mengaruniakan peri tidak berkematian kepada beberapa di antara hamba-hamba-Nya.
Dalam arti apa Yesus adalah ”pribadi satu-satunya yang mempunyai peri tidak berkematian”?
Pribadi pertama yang Alkitab katakan diupahi karunia berupa peri tidak berkematian adalah Yesus Kristus. Bukti bahwa ia tidak memiliki peri tidak berkematian sebelum ia dibangkitkan oleh Allah adalah kata-kata terilham sang rasul di Roma 6:9, ”Kristus, setelah ia dibangkitkan dari antara orang mati, tidak akan mati lagi; kematian tidak menjadi majikan lagi atasnya.” (Bdk. Pny 1:17, 18.) Untuk alasan ini, sewaktu menyebut dia sebagai ”Raja atas mereka yang memerintah sebagai raja dan Tuan atas mereka yang memerintah sebagai tuan”, 1 Timotius 6:15, 16 memperlihatkan bahwa Yesus berbeda dari semua raja dan tuan lainnya karena ia adalah ”pribadi satu-satunya yang mempunyai peri tidak berkematian”. Karena berkematian, raja-raja dan tuan-tuan lainnya dapat mati, seperti halnya para imam besar Israel. Akan tetapi, Yesus yang telah dimuliakan, Imam Besar yang dilantik seperti Melkhizedek oleh Allah, memiliki ”kehidupan yang tidak dapat dibinasakan”.—Ibr 7:15-17, 23-25.
Ungkapan ”tidak dapat dibinasakan” di ayat itu adalah terjemahan dari istilah Yunani a·ka·taʹly·tos, yang secara harfiah berarti ”tidak dapat larut”. (Ibr 7:16, Rbi8, ctk.) Kata tersebut adalah gabungan dari awalan negatif a dengan kata-kata lain yang berkaitan dengan tindakan ”melepaskan”, seperti dalam pernyataan Yesus mengenai melepaskan atau merobohkan batu-batu bait di Yerusalem (Mat 24:1, 2), serta dalam keterangan Paulus tentang melepaskan ”kemah” bumiah orang-orang Kristen, yakni pemusnahan kehidupan bumiah mereka dalam tubuh manusia. (2Kor 5:1) Jadi, kehidupan tidak berkematian yang dikaruniakan kepada Yesus setelah kebangkitannya bukan hanya tanpa akhir melainkan tidak dapat merosot atau hancur dan tidak dapat binasa.
Para Ahli Waris Kerajaan Dikaruniai Peri Tidak Berkematian. Bagi orang-orang Kristen terurap yang dipanggil untuk memerintah bersama Kristus di surga (1Ptr 1:3, 4), berlakulah janji bahwa mereka ikut dengan Kristus dalam kebangkitannya yang sama. (Rm 6:5) Dengan demikian, seperti halnya Tuan dan Kepala mereka, para anggota terurap sidang Kristen yang mati dalam keadaan setia menerima kebangkitan kepada kehidupan roh yang tidak berkematian, sehingga ”yang berkematian mengenakan peri tidak berkematian”. (1Kor 15:50-54) Seperti halnya Yesus, arti peri tidak berkematian dalam kasus mereka bukan sekadar kehidupan abadi, atau semata-mata kebebasan dari kematian. Bahwa mereka juga dikaruniai ”kuasa dari kehidupan yang tidak dapat dibinasakan” sebagai sesama ahli waris bersama Kristus terlihat dari pernyataan rasul Paulus sewaktu ia mengaitkan ketidakfanaan dengan peri tidak berkematian yang mereka capai. (1Kor 15:42-49) Atas mereka, ”kematian kedua tidak mempunyai wewenang”.—Pny 20:6; lihat KETIDAKFANAAN.
Karunia berupa peri tidak berkematian bagi para ahli waris Kerajaan ini semakin lebih mengagumkan, mengingat fakta bahwa para malaikat Allah pun berkematian, meskipun mereka memiliki tubuh roh, bukan tubuh jasmani. Fakta bahwa para malaikat berkematian tampak dari penghukuman berupa kematian yang dijatuhkan ke atas putra rohani yang menjadi Musuh Allah, atau Setan, dan juga ke atas malaikat-malaikat lainnya yang mengikuti haluan yang bersifat setan itu dan ”tidak mempertahankan kedudukan mereka yang semula tetapi meninggalkan tempat tinggal mereka sendiri yang cocok”. (Yud 6; Mat 25:41; Pny 20:10, 14) Jadi, dikaruniakannya ”kehidupan yang tidak dapat dibinasakan” (Ibr 7:16) atau ”kehidupan yang tidak dapat larut” kepada orang-orang Kristen yang memperoleh hak istimewa memerintah bersama Putra Allah dalam Kerajaan surgawi secara menakjubkan memperlihatkan keyakinan Allah akan mereka.—Lihat HIDUP, KEHIDUPAN; LANGIT DAN SURGA (Jalan menuju kehidupan surgawi).
-