-
EBRONPemahaman Alkitab, Jilid 1
-
-
EBRON
Nama kota di perbatasan daerah yang dibagikan kepada Asyer. (Yos 19:24, 28) Karena banyak manuskrip Ibrani menyebut ”Abdon” di ayat ini, kebanyakan pakar pada umumnya menganggap ”Ebron” sebagai kesalahan dalam penulisan nama itu.—Lihat ABDON No. 5.
-
-
EDENPemahaman Alkitab, Jilid 1
-
-
EDEN
[Kesenangan].
1. Wilayah tempat sang Pencipta membuat sebuah taman sebagai tempat tinggal yang semula bagi pasangan manusia pertama. Pernyataan bahwa taman itu berada ”di Eden, ke arah timur” tampaknya menunjukkan bahwa taman itu hanya menempati sebagian dari wilayah yang disebut Eden. (Kej 2:8) Akan tetapi, taman itu kemudian disebut ”taman Eden” (Kej 2:15) dan di ayat-ayat yang lain disebut ”Eden, taman Allah” (Yeh 28:13), dan ”taman Yehuwa”.—Yes 51:3.
Septuaginta menerjemahkan kata Ibrani untuk ”taman” (gan) dengan kata Yunani pa·raʹdei·sos. Dari sinilah kata ”firdaus” dalam bahasa Indonesia diasosiasikan dengan taman Eden.
Kejadian 2:15 menyatakan bahwa ”Allah Yehuwa membawa manusia itu dan menempatkan dia di taman Eden”. Meskipun ayat ini seolah-olah menunjukkan bahwa manusia diciptakan di luar taman itu, ungkapan bahwa Allah ”membawa” manusia mungkin hanya memaksudkan bahwa Allah membentuk dan menciptakan dia dari unsur-unsur bumi, lalu menetapkan agar dia mula-mula mendiami taman tempat ia menjadi hidup. Tugas manusia adalah menggarap dan mengurus taman itu. Pepohonan dan tanaman di Eden menghasilkan panorama yang indah serta menyediakan makanan yang sangat beragam. (Kej 2:9, 15) Fakta ini saja menunjukkan bahwa taman itu meliputi daerah yang cukup luas.
Di taman itu terdapat beragam jenis binatang. Allah membawa kepada Adam ”semua binatang peliharaan dan makhluk terbang di langit dan setiap binatang liar di padang”, dan salah satu tugas awal Adam adalah menamai mereka. (Kej 2:19, 20) Tanah di Eden diairi oleh sungai ”yang mengalir dari Eden”. (Kej 2:10) Mengingat manusia masih telanjang, diperkirakan bahwa iklimnya nyaman dan menyenangkan.—Kej 2:25.
Apa buah terlarang di Eden?
Semua pohon di Eden tersedia bagi manusia untuk dimakan buahnya ”sampai puas”. (Kej 2:16) Hanya satu pohon, yakni ”pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat”, yang buahnya tidak boleh dimakan oleh pasangan manusia itu. Ketika mengutip larangan yang Yehuwa berikan kepada suaminya, Hawa menyebutkan bahwa mereka bahkan tidak boleh ’menyentuh’ pohon itu, dengan sanksi hukuman mati jika melanggar dan tidak merespek hukum ilahi tersebut. (Kej 2:17; 3:3) Ajaran turun-temurun mencoba menjelaskan buah terlarang itu dengan bermacam-macam cara: sebagai lambang hubungan seks, yang diwakili oleh sebuah ”apel”; sekadar kesadaran akan apa yang baik dan yang salah; dan sebagai pengetahuan yang diperoleh sewaktu mencapai kematangan dan juga melalui pengalaman, yakni pengetahuan yang dapat digunakan untuk hal yang baik atau yang jahat. Namun, ditinjau dari perintah Pencipta untuk ’beranak cucu dan bertambah banyak dan memenuhi bumi’ (Kej 1:28), buah pohon itu pastilah tidak melambangkan hubungan seks, karena dengan cara apa lagi manusia dapat beranak cucu dan bertambah banyak? Pastilah buah ini bukan sekadar memaksudkan kesanggupan untuk mengenali apa yang benar dan yang salah, karena untuk menaati perintah Allah, manusia yang tak berdosa harus sanggup menerapkan daya pengamatan moral tersebut. Ini juga tidak memaksudkan pengetahuan yang diperoleh saat mencapai kematangan, karena manusia tidak mungkin dianggap berdosa sewaktu mencapai keadaan ini, dan tidak masuk akal jika Pencipta mewajibkan manusia tetap dalam keadaan tidak matang.
Catatan Alkitab tidak mengatakan apa-apa tentang genus pohon itu. Tetapi tampaknya pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu melambangkan hak atau prerogatif ilahi, yang senantiasa dimiliki oleh Pencipta manusia, untuk menetapkan bagi makhluk-Nya apa yang ”baik” dan yang ”jahat”, kemudian dengan selayaknya menuntut mereka mempraktekkan apa yang dinyatakan baik dan menjauhkan diri dari apa yang dinyatakan jahat agar tetap diperkenan oleh Allah sebagai Penguasa Tertinggi. (Lihat POHON.) Baik larangan maupun pernyataan penghukuman yang kemudian diberikan kepada pasangan yang tidak taat itu menandaskan fakta bahwa dosa asal adalah tindakan ketidaktaatan berupa memakan buah terlarang tersebut.—Kej 3:3.
Meskipun beberapa kritikus modern mungkin menolak kesederhanaan catatan tentang Eden, kita dapat melihat dengan jelas bahwa mengingat keadaan saat itu, ujian yang sederhanalah yang paling tepat. Kehidupan pria dan wanita yang baru diciptakan itu sederhana, tidak rumit dan tidak dibebani segala problem, keadaan gawat, serta kebingungan yang kompleks, yang dialami oleh umat manusia sejak mereka tidak taat kepada Allah. Meskipun sederhana, ujian itu dengan lugas dan mengagumkan mengungkapkan kebenaran universal tentang kedaulatan Allah serta ketergantungan dan kewajiban manusia terhadap Allah. Dan harus diakui bahwa sekalipun sederhana, catatan peristiwa di Eden jauh lebih unggul daripada teori-teori yang menyatakan bahwa manusia berawal di sebuah gua, bukan di sebuah taman, serta menggambarkannya sebagai makhluk yang kasar, tidak memiliki pengetahuan dan perasaan moral. Kesederhanaan ujian di Eden mengilustrasikan prinsip yang dinyatakan ribuan tahun kemudian oleh Putra Allah, bahwa ”orang yang setia dalam perkara kecil juga setia dalam perkara besar, dan orang yang tidak adil-benar dalam perkara kecil juga tidak adil-benar dalam perkara besar”.—Luk 16:10.
-