EKSODUS
Pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Setelah berjanji bahwa benih Abraham akan mewarisi negeri Kanaan, Yehuwa berfirman kepada Abraham (sebelum 1933 SM), ”Engkau dapat mengetahui dengan pasti bahwa benihmu akan menjadi penduduk asing di suatu negeri yang bukan milik mereka, dan mereka akan melayani orang-orangnya, dan orang-orang itu pasti akan membuat mereka menderita selama empat ratus tahun. Tetapi bangsa yang mereka layani akan kuhakimi, dan setelah itu mereka akan keluar dengan banyak harta benda. . . . Tetapi pada generasi yang keempat, mereka akan kembali ke sini, karena kesalahan orang Amori belum genap.”—Kej 15:13-16.
Jelaslah bahwa mulainya periode 400 tahun penderitaan harus menunggu munculnya ’benih’ yang dijanjikan itu. Sewaktu bala kelaparan terjadi di Kanaan, Abraham pernah berkunjung ke Mesir dan mengalami kesulitan dengan Firaun di sana; ketika itu ia belum mempunyai anak. (Kej 12:10-20) Tidak lama setelah Allah mengucapkan pernyataan tentang 400 tahun penderitaan, ketika Abraham berumur 86 tahun (pada tahun 1932 SM), budak perempuan asal Mesir yang juga menjadi gundiknya, melahirkan baginya seorang anak laki-laki, Ismael. Tetapi baru 14 tahun kemudian (1918 SM) Sara, istri Abraham yang merdeka, melahirkan baginya seorang anak laki-laki bernama Ishak, dan Allah menyebutkan bahwa melalui anak laki-laki yang inilah Benih yang dijanjikan akan datang. Namun, saatnya belum lagi tiba bagi Allah untuk memberikan tanah Kanaan kepada Abraham atau benihnya, dan dengan demikian mereka menjadi ”penduduk asing di suatu negeri yang bukan milik mereka”, sebagaimana telah dinubuatkan.—Kej 16:15, 16; 21:2-5; Ibr 11:13.
Waktu Eksodus. Oleh karena itu, kapankah 400 tahun penderitaan dimulai, dan kapankah itu berakhir? Menurut kisah turun-temurun orang Yahudi, penghitungannya dimulai sejak kelahiran Ishak. Namun, penderitaan yang sesungguhnya pertama kali terjadi pada hari Ishak disapih. Bukti menunjuk kepada tahun 1913 SM sebagai tahun mulainya penderitaan, sewaktu Ishak berumur kira-kira 5 tahun dan Ismael kira-kira 19 tahun. Pada waktu itulah Ismael ”pribadi yang lahir menurut daging mulai menganiaya pribadi yang lahir menurut roh”. (Gal 4:29) Ismael, yang berdarah campuran Mesir, karena perasaan cemburu dan benci, mulai ’mengolok-olok’ Ishak yang masih kecil, dan itu bukan sekadar perselisihan anak-anak. (Kej 21:9) Terjemahan-terjemahan lain menggambarkan tindakan Ismael sebagai ”mencemooh”. (Yg; Ro, ctk.) Penderitaan benih Abraham berlanjut selama masa hidup Ishak. Meskipun Yehuwa memberkati Ishak sewaktu sudah dewasa, ia ditindas oleh penduduk Kanaan dan terpaksa berpindah-pindah tempat karena berbagai kesulitan akibat ulah mereka terhadapnya. (Kej 26:19-24, 27) Akhirnya, pada tahun-tahun terakhir kehidupan Yakub, putra Ishak, ’benih’ yang dijanjikan datang ke Mesir dan tinggal di sana. Beberapa waktu kemudian, mereka diperbudak.
Apa yang menjadi bukti internal Alkitab dalam menentukan bilamana terjadinya Eksodus Israel dari Mesir?
Periode 400 tahun penderitaan berlangsung dari tahun 1913 sampai tahun 1513 SM. Periode itu juga adalah masa kebaikan hati, atau toleransi ilahi, yang diulurkan kepada orang Kanaan, yang suku utamanya adalah orang Amori. Menjelang tahun 1513 SM, kesalahan orang Kanaan akan genap; mereka benar-benar pantas diusir sepenuhnya dari negeri itu. Sebagai langkah awal pelaksanaan pengusiran itu, Allah memalingkan perhatian-Nya kepada umat-Nya di Mesir, membebaskan mereka dari perbudakan dan mengatur agar mereka memulai perjalanan kembali ke Tanah Perjanjian.—Kej 15:13-16.
Periode 430 tahun. Cara penghitungan yang lain terdapat dalam pernyataan di Keluaran 12:40, 41, ”Putra-putra Israel yang tinggal di Mesir, telah tinggal di sana selama empat ratus tiga puluh tahun. Pada akhir dari keempat ratus tiga puluh tahun itu, bahkan pada hari ini juga segenap bala tentara Yehuwa keluar dari tanah Mesir.” Sehubungan dengan ungkapan ”yang tinggal” [Ing., ”who had dwelt”] di Keluaran 12:40 (Rbi8), catatan kaki ayat tersebut menyatakan, ”Dalam bahasa Ibr[ani] kata kerja ini dalam bentuk jamak. Pronomina relatif ʼasyerʹ, ’yang’, dapat menunjuk kepada ’putra-putra Israel’ dan bukan menunjuk kepada ’lamanya tinggal’”. Septuaginta Yunani menerjemahkan ayat 40, ”Tetapi lamanya putra-putra Israel tinggal di tanah Mesir dan di tanah Kanaan [adalah] empat ratus tiga puluh tahun.” Pentateukh Samaria berbunyi, ”. . . di tanah Kanaan dan di tanah Mesir”. Semua terjemahan itu menunjukkan bahwa periode 430 tahun tidak saja mencakup periode orang Israel tinggal di Mesir, tetapi lebih panjang daripada itu.
Rasul Paulus memperlihatkan bahwa periode 430 tahun itu (di Kel 12:40) mulai pada waktu perjanjian Abraham disahkan dan berakhir sewaktu Eksodus. Paulus berkata, ”Selanjutnya, aku mengatakan hal ini: Sehubungan dengan perjanjian [Abraham] yang telah disahkan sebelumnya oleh Allah, itu tidak dibatalkan oleh Hukum yang muncul empat ratus tiga puluh tahun kemudian [pada tahun yang sama dengan Eksodus], dengan maksud meniadakan janji itu. . . . sedangkan Allah dengan baik hati telah memberikannya kepada Abraham melalui suatu janji.”—Gal 3:16-18.
Kalau begitu, berapa lamakah waktunya sejak perjanjian Abraham disahkan sampai orang Israel pindah ke Mesir? Di Kejadian 12:4, 5 kita membaca bahwa Abraham berumur 75 tahun ketika ia meninggalkan Haran dan menyeberangi S. Efrat dalam perjalanan ke Kanaan (pada tahun 1943 SM), pada waktu mulai berlakunya perjanjian Abraham, yaitu janji yang sebelumnya telah diberikan kepadanya di Ur, kota orang Khaldea. Kemudian, rujukan-rujukan silsilah di Kejadian 12:4; 21:5; 25:26; dan pernyataan Yakub di Kejadian 47:9, memperlihatkan bahwa ada 215 tahun di antara waktu pengesahan perjanjian Abraham dan saat kepindahan Yakub bersama keluarganya ke Mesir. Hal ini memperlihatkan bahwa orang Israel sesungguhnya tinggal di Mesir selama 215 tahun (1728-1513 SM). Angka tersebut cocok dengan data kronologi lainnya.
Dari Eksodus sampai pembangunan bait. Dua pernyataan kronologi lainnya selaras dengan pandangan itu dan meneguhkannya. Salomo mulai membangun bait pada tahun keempat pemerintahannya sebagai raja (1034 SM), dan menurut 1 Raja-Raja 6:1 itu adalah ”tahun keempat ratus delapan puluh” sejak Eksodus (1513 SM).
’Kira-kira 450 tahun.’ Selain itu, dalam ceramah kepada para pendengar di Antiokhia di Pisidia yang dicatat di Kisah 13:17-20, Paulus menunjuk kepada periode ”kira-kira empat ratus lima puluh tahun”. Pembahasannya mengenai sejarah orang Israel dimulai dengan waktu manakala Allah ”telah memilih bapak-bapak leluhur kita”, yaitu sejak Ishak lahir sebagai benih yang dijanjikan (1918 SM). (Kelahiran Ishak pastilah menyelesaikan persoalan yang selama ini tidak terjawab sehubungan dengan siapa yang akan diakui oleh Allah sebagai benih itu mengingat kemandulan Sara.) Dari titik awal ini Paulus selanjutnya mengisahkan berbagai tindakan Allah demi kepentingan umat pilihan-Nya sampai masa manakala Allah ”memberi mereka hakim-hakim hingga zaman nabi Samuel”. Oleh karena itu, periode ”kira-kira empat ratus lima puluh tahun”, tampaknya berlangsung sejak kelahiran Ishak pada tahun 1918 SM sampai tahun 1467 SM, atau 46 tahun setelah Eksodus pada tahun 1513 SM (40 tahun digunakan untuk mengembara di padang belantara dan 6 tahun untuk menaklukkan tanah Kanaan). (Ul 2:7; Bil 9:1; 13:1, 2, 6; Yos 14:6, 7, 10) Dengan demikian, jumlah seluruhnya cocok sekali dengan bilangan bulat yang disebutkan sang rasul, yaitu ”kira-kira empat ratus lima puluh tahun”. Oleh karena itu, kedua sumber kronologi tersebut mendukung tahun 1513 SM sebagai tahun Eksodus dan juga selaras dengan kronologi Alkitab mengenai raja-raja dan hakim-hakim Israel.—Lihat KRONOLOGI (Dari tahun 1943 SM sampai Eksodus).
Pandangan-pandangan lainnya. Penetapan tahun 1513 SM untuk Eksodus, dan tentunya penyerbuan orang Israel ke Kanaan dan jatuhnya Yerikho pada tahun 1473 SM, yang terjadi 40 tahun setelah Eksodus, dianggap terlalu dini oleh beberapa kritikus; mereka memperkirakan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut terjadi jauh setelah itu, yaitu pada abad ke-14 atau bahkan abad ke-13 SM. Akan tetapi, meskipun beberapa arkeolog menetapkan bahwa Yerikho jatuh pada abad ke-13 SM, pandangan mereka tidak berdasarkan dokumen-dokumen sejarah kuno mana pun atau kesaksian tentang hal itu, tetapi berdasarkan penemuan tembikar. Perhitungan periode waktu berdasarkan tembikar demikian jelaslah sangat spekulatif, dan hal ini diperlihatkan oleh riset yang dilakukan di Yerikho. Temuan-temuan di sana membuat para arkeolog mendapat kesimpulan dan tanggal-tanggal yang bertentangan.—Lihat ARKEOLOGI (Perbedaan dalam penentuan tanggal); KRONOLOGI (Penentuan Tanggal Arkeologis).
Demikian pula halnya dengan para Egiptolog (pakar kebudayaan Mesir), karena tanggal yang mereka masing-masing tentukan untuk dinasti-dinasti Mesir berbeda sampai berabad-abad, tanggal-tanggal mereka untuk periode spesifik mana pun tidak bisa digunakan. Itulah sebabnya mustahil menyebutkan dengan pasti siapa nama Firaun pada waktu Eksodus; ada yang mengatakan Tutmose III, yang lainnya mengatakan Amenhotep II, Ramses II, dan sebagainya, tetapi semua tanpa dasar yang kuat.
Keautentikan Catatan Eksodus. Salah satu keberatan terhadap catatan Eksodus adalah bahwa para Firaun Mesir sama sekali tidak membuat catatan tentang Eksodus. Akan tetapi, hal ini bukan sesuatu yang tidak lazim, karena para raja pada masa-masa yang lebih modern hanya mencatat kemenangan mereka sedangkan kekalahan mereka tidak. Mereka juga sering mencoba menyingkirkan bukti sejarah apa pun yang bertentangan dengan citra pribadi atau citra nasional mereka ataupun yang bertentangan dengan ideologi yang ingin mereka tanamkan dalam diri rakyat mereka. Bahkan pada masa-masa belakangan, para penguasa berupaya melenyapkan hasil karya dan reputasi pendahulu mereka. Segala sesuatu yang dianggap memalukan atau yang tidak mereka sukai tidak dicantumkan dalam inskripsi-inskripsi Mesir atau dihapus sesegera mungkin. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi dengan nama dan gambar Ratu Hatsyepsut. Penerusnya, Tutmose III, menghapus nama dan gambar tersebut dari relief yang terdapat pada sebuah batu monumen yang ditemukan di Deir al-Bahri, Mesir.—Lihat Archaeology and Bible History, karya J. P. Free, 1964, hlm. 98 dan foto di sebelah hlm. 94.
Maneto, seorang imam Mesir yang rupanya membenci orang Yahudi, membuat tulisan dalam bahasa Yunani kira-kira pada tahun 280 SM. Yosefus, sejarawan Yahudi, mengutip kata-kata Maneto bahwa nenek moyang orang Yahudi ”masuk ke Mesir dalam jumlah berlaksa-laksa dan menaklukkan penduduknya”, dan selanjutnya Yosefus mengatakan bahwa Maneto ”kemudian mengakui bahwa mereka belakangan diusir dari negeri itu, menduduki apa yang sekarang adalah Yudea, mendirikan Yerusalem, dan membangun bait”.—Against Apion, I, 228 (26).
Meskipun catatan Maneto secara keseluruhan sama sekali tidak berdasarkan sejarah, fakta yang penting adalah ia mengatakan bahwa orang Yahudi berada di Mesir dan keluar dari sana, dan dalam karya tulis selanjutnya, menurut Yosefus, ia menganggap Musa sama dengan Osarsif, seorang imam Mesir, yang menunjukkan bahwa, walaupun monumen-monumen Mesir tidak mencatat fakta itu, orang-orang Yahudi memang berada di Mesir dan Musa adalah pemimpin mereka. Yosefus berbicara tentang sejarawan Mesir lainnya, Khaeremon, yang mengatakan bahwa Yusuf dan Musa diusir dari Mesir pada waktu yang sama; Yosefus juga menyebut seseorang bernama Lisimakhus yang menceritakan kisah yang serupa.—Against Apion, I, 228, 238 (26); 288, 290 (32); 299 (33); 304-311 (34).
Jumlah Orang yang Ikut dalam Eksodus. Di Keluaran 12:37 disebutkan angka bulat 600.000 ”laki-laki yang berjalan kaki” selain ”anak-anak”. Menurut catatan di Bilangan 1:2, 3, 45, 46, jumlah orang yang terdaftar dalam sensus yang benar-benar diadakan kira-kira satu tahun setelah Eksodus ada 603.550 laki-laki mulai dari yang berumur 20 tahun ke atas selain orang-orang Lewi (Bil 2:32, 33), yang berjumlah 22.000 laki-laki mulai dari yang berumur satu bulan ke atas. (Bil 3:39) Istilah Ibrani geva·rimʹ (laki-laki) tidak mencakup kaum wanita. (Bdk. Yer 30:6.) Ungkapan ”anak-anak” berasal dari kata Ibrani taf dan memaksudkan orang yang berjalan dengan langkah-langkah kecil. (Bdk. Yes 3:16.) Kebanyakan di antara ”anak-anak” ini harus digendong atau setidaknya mereka tidak sanggup untuk terus-menerus berjalan selama seluruh perjalanan.
”Pada generasi yang keempat.” Kita hendaknya ingat bahwa Yehuwa memberi tahu Abraham bahwa pada generasi yang keempat keturunannya akan kembali ke Kanaan. (Kej 15:16) Dalam kurun waktu 430 tahun sejak berlakunya perjanjian Abraham sampai Eksodus ada lebih dari empat generasi, bahkan jika kita memperhitungkan bahwa pada waktu itu orang menikmati masa hidup yang panjang, sebagaimana disebutkan dalam catatan Alkitab. Namun, orang Israel sesungguhnya berada di Mesir hanya selama 215 tahun. ’Empat generasi’ setelah mereka masuk ke Mesir dapat dihitung sebagai berikut, menggunakan satu suku Israel saja sebagai contoh, yaitu suku Lewi: (1) Lewi, (2) Kohat, (3) Amram, dan (4) Musa.—Kel 6:16, 18, 20.
Fakta bahwa ada 600.000 laki-laki yang keluar dari Mesir, selain wanita dan anak-anak, menunjukkan bahwa jumlah totalnya mungkin lebih dari tiga juta orang. Meskipun ada yang membantah, jumlah tersebut sama sekali tidak mustahil. Karena, walaupun hanya ada empat generasi dari Lewi sampai Musa, jika ditinjau dari masa hidup pria-pria yang berumur panjang ini, masing-masing bisa saja melihat kelahiran beberapa generasi atau beberapa turunan selama masa hidup mereka. Bahkan dewasa ini seorang pria yang berumur 60 atau 70 tahun sering kali mempunyai cucu dan bahkan cicit (jadi empat generasi hidup pada waktu yang sama).
Peningkatan yang luar biasa. Catatan Alkitab melaporkan, ”Putra-putra Israel beranak cucu dan bergerombol dalam jumlah besar; mereka terus berlipat ganda dan menjadi makin perkasa secara sangat luar biasa, sehingga negeri itu dipenuhi dengan mereka.” (Kel 1:7) Malah, mereka menjadi begitu banyak sehingga raja Mesir mengatakan, ”Lihat! Orang-orang Israel lebih banyak jumlahnya dan lebih perkasa daripada kita.” ”Namun semakin ditindas, semakin berlipat ganda dan semakin tersebar luaslah mereka, sehingga orang-orang merasa gentar sampai mual akibat putra-putra Israel.” (Kel 1:9, 12) Selain itu, apabila kita mempertimbangkan bahwa ada yang berpoligami dan mempunyai gundik, juga ada orang Israel yang mengawini wanita-wanita Mesir, jelaslah bagaimana jumlah laki-laki dewasa bisa meningkat sampai 600.000.
Anggota keluarga dekat Yakub, yang pergi ke Mesir atau yang dilahirkan di sana tidak lama setelah itu, berjumlah tujuh puluh jiwa. (Kej 46) Dari jumlah 70 orang tersebut bisa jadi hanya tersisa 50 orang jika kita tidak menghitung Yakub, ke-12 putranya, putrinya yang bernama Dina, cucu perempuannya yang bernama Serah, tiga putra Lewi, dan mungkin beberapa kepala keluarga yang mulai berlipat ganda di Mesir. (Putra-putra Lewi tidak dihitung karena orang-orang Lewi tidak termasuk dalam penghitungan yang belakangan, 603.550.) Jadi, apabila kita mulai dengan angka yang sangat konservatif, yaitu 50 kepala keluarga, dan mempertimbangkan pernyataan Alkitab bahwa, ”putra-putra Israel beranak cucu dan bergerombol dalam jumlah besar; mereka terus berlipat ganda dan menjadi makin perkasa secara sangat luar biasa, sehingga negeri itu dipenuhi dengan mereka” (Kel 1:7), kita dapat dengan mudah memperlihatkan bagaimana 600.000 pria yang sanggup berperang, berusia antara 20 dan 50 tahun, bisa ada pada waktu Eksodus. Pertimbangkan penjelasan berikut ini:
Mengingat keluarga-keluarga besar pada waktu itu dan keinginan orang Israel untuk mempunyai anak guna menggenapi janji Allah, masuk akal bagi kita untuk menghitung setiap laki-laki yang menjadi kepala keluarga, secara pukul rata, membesarkan sepuluh anak (kira-kira setengahnya adalah anak laki-laki) selama periode usia antara 20 dan 40 tahun. Dengan angka yang sangat konservatif, kita dapat menganggap bahwa 50 kepala keluarga yang mula-mula, masing-masing baru mempunyai anak setelah mereka berada di Mesir selama 25 tahun. Dan, mengingat kematian atau keadaan-keadaan lainnya dapat menyebabkan beberapa anak laki-laki tidak pernah mencapai usia produktif, atau mereka berhenti mendapat anak sebelum mencapai batas usia 40 tahun yang kita tetapkan, kita juga dapat mengurangi 20 persen dari jumlah laki-laki yang dilahirkan dan yang menjadi ayah. Secara sederhana, ini berarti bahwa dalam periode 20 tahun hanya 200 putra, dan bukannya 250, yang dilahirkan bagi ke-50 kepala keluarga yang mula-mula kita tetapkan akan menghasilkan keluarga-keluarga mereka sendiri.
Dekret Firaun. Faktor lain lagi yang dapat dipertimbangkan: Dekret Firaun yang menetapkan agar semua anak laki-laki dibunuh pada waktu dilahirkan. Dekret ini tampaknya tidak terlalu efektif dan hanya berlaku untuk waktu yang singkat. Harun lahir kira-kira tiga tahun sebelum Musa (atau pada tahun 1597 SM), dan ketika itu tampaknya belum berlaku dekret semacam itu. Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa dekret Firaun tidak terlalu berhasil. Dua wanita Ibrani, Syifra dan Pua, yang kemungkinan besar mengepalai bidan-bidan lainnya, tidak menjalankan perintah raja. Tampaknya, instruksi yang diberikan kepada mereka tidak disampaikan kepada para bidan bawahan. Hasilnya: ”Bangsa itu terus bertambah besar dan menjadi sangat perkasa.” Firaun kemudian memerintahkan seluruh rakyatnya untuk melemparkan setiap anak laki-laki Israel yang baru lahir ke dalam S. Nil. (Kel 1:15-22) Akan tetapi, tampaknya rakyat Mesir tidak membenci orang-orang Ibrani sampai sejauh itu. Bahkan putri Firaun sendiri menyelamatkan Musa. Selain itu, Firaun bisa jadi segera menyimpulkan bahwa ia akan kehilangan budak-budak yang berharga jika dekretnya tetap diberlakukan. Kita tahu bahwa, belakangan, Firaun yang memerintah pada waktu Eksodus menolak untuk membiarkan orang-orang Ibrani pergi justru karena ia menganggap mereka berharga sebagai budak pekerja.
Akan tetapi, untuk membuat angka kita lebih konservatif lagi, kita dapat menguranginya dengan hampir sepertiga dari jumlah anak laki-laki yang masih hidup selama periode lima tahun sebagai kemungkinan dampak dekret Firaun yang tidak berhasil itu.
Penghitungan. Bahkan apabila kita memperhitungkan semua hal di atas, jumlah penduduk akan tetap meningkat pesat, apalagi dengan adanya berkat Allah. Jumlah anak yang dilahirkan setiap lima tahun sejak dan setelah tahun 1563 SM (yaitu, 50 tahun sebelum Eksodus) sampai tahun 1533 (atau 20 tahun sebelum Eksodus) adalah sebagai berikut:
PERTAMBAHAN JUMLAH LAKI-LAKI
SM Anak Lelaki yang Lahir
dari 1563 sampai 1558 47.350
dari 1558 sampai 1553 62.300
dari 1553 sampai 1548 81.800
dari 1548 sampai 1543 103.750
dari 1543 sampai 1538 133.200
dari 1538 sampai 1533 172.250
Total 600.650*
* Perkiraan jumlah laki-laki dari usia 20 sampai 50 tahun pada waktu Eksodus (1513 SM)
Hendaknya diperhatikan bahwa sedikit saja penyesuaian dalam metode penghitungan, misalnya, apabila kita menambahkan satu anak pada jumlah rata-rata anak laki-laki yang lahir bagi orang tua laki-laki, akan membuat jumlahnya naik menjadi satu juta lebih.
Berapa banyak orang yang meninggalkan Mesir di bawah pimpinan Musa?
Selain 600.000 laki-laki yang disebutkan dalam Alkitab, ada sejumlah besar pria lanjut usia, bahkan wanita dan anak-anak dalam jumlah yang lebih besar, serta ”suatu kumpulan yang sangat besar” yang terdiri dari orang-orang non-Israel. (Kel 12:38) Jadi, jumlah populasi yang keluar dari Mesir mungkin lebih dari tiga juta orang. Tidak mengherankan bahwa keluarga raja Mesir sangat tidak suka untuk membiarkan kumpulan budak yang begitu besar jumlahnya pergi. Mereka kehilangan aset ekonomi yang sangat berharga.
Catatan Alkitab membenarkan bahwa laki-laki yang sanggup berperang jumlahnya menakutkan, ”Orang Moab menjadi sangat takut kepada bangsa itu, karena mereka banyak; dan orang Moab merasa gentar sampai mual terhadap putra-putra Israel.” (Bil 22:3) Tentu saja, perasaan takut orang Moab sebagian karena fakta bahwa Yehuwa telah melaksanakan bagi Israel berbagai keajaiban, tetapi juga karena jumlah mereka yang begitu banyak. Jika hanya beberapa ribu orang saja, mereka tidak akan begitu takut. Populasi orang Israel sebenarnya hanya berubah sedikit sekali selama perjalanan di padang belantara karena banyak sekali yang mati di padang belantara akibat tidak setia.—Bil 26:2-4, 51.
Dalam sensus yang diadakan tidak lama setelah Eksodus, orang Lewi dihitung terpisah, dan mereka yang berumur satu bulan ke atas berjumlah 22.000. (Bil 3:39) Mungkin timbul pertanyaan berkenaan dengan mengapa di antara segenap 12 suku lainnya hanya terdapat 22.273 anak sulung laki-laki dari yang berumur satu bulan ke atas. (Bil 3:43) Hal ini mudah dimengerti apabila kita memahami fakta bahwa para kepala keluarga tidak dihitung, bahwa oleh karena berpoligami seorang pria bisa saja mempunyai banyak putra tetapi hanya satu putra sulung, dan bahwa yang dihitung adalah putra sulung dari sang pria bukan dari wanita.
Faktor-Faktor yang Terkait. Menurut janji Allah kepada Abraham, waktu yang Ia tentukan untuk membebaskan bangsa Israel dari ”tanur besi” Mesir telah tiba. Yehuwa menganggap Israel sebagai putra sulung-Nya oleh karena janji kepada Abraham. Ketika Yakub pergi ke Mesir bersama rumah tangganya, ia pergi dengan sukarela tetapi keturunannya belakangan menjadi budak. Sebagai suatu bangsa, mereka menjadi kesayangan Yehuwa bagaikan putra sulung, dan Yehuwa secara hukum berhak membebaskan mereka dari Mesir tanpa harus membayar.—Ul 4:20; 14:1, 2; Kel 4:22; 19:5, 6.
Firaun, yang menentang maksud-tujuan Yehuwa, tidak mau kehilangan bangsa besar itu yang menjadi budak pekerja. Selain itu, ketika Musa datang atas nama Yehuwa untuk meminta agar orang Israel dibiarkan pergi guna merayakan suatu perayaan bagi Dia di padang belantara, Firaun menjawab, ”Siapakah Yehuwa itu, sehingga aku harus menaati perkataannya untuk membiarkan Israel pergi? Aku sama sekali tidak mengenal Yehuwa.” (Kel 5:2) Firaun menganggap dirinya suatu allah dan tidak mengakui wewenang Yehuwa, meskipun ia tentu telah mendengar orang-orang Ibrani menggunakan nama tersebut berkali-kali. Sejak awal, umat Yehuwa telah mengetahui nama-Nya; Abraham bahkan menyapa Allah dengan nama Yehuwa.—Kej 2:4; 15:2.
Akibat sikap dan tindakan Firaun, timbullah sengketa Keilahian. Kini Allah Yehuwa harus meninggikan diri-Nya di atas allah-allah Mesir, termasuk Firaun, yang disanjung sebagai suatu allah. Ia melakukan hal ini dengan menimpakan Sepuluh Tulah atas Mesir, yang menghasilkan pembebasan Israel. (Lihat DEWA DAN DEWI [Sepuluh Tulah].) Pada waktu tulah yang terakhir, yaitu kematian putra sulung, orang Israel diperintahkan agar pada perjamuan Paskah bersiap-siap untuk keluar dari Mesir. Meskipun mereka pergi dengan tergesa-gesa karena didesak oleh orang-orang Mesir yang mengatakan, ”Kami semua sama seperti sudah mati!” mereka tidak pergi dengan tangan kosong. (Kel 12:33) Mereka membawa lembu-sapi serta kambing-domba, adonan tepung sebelum diragi, dan baskom adonan mereka. Selain itu, orang Mesir memberikan kepada orang Israel apa yang mereka minta, barang-barang dari perak dan barang-barang dari emas serta pakaian. Ini bukanlah merampok Mesir. Mereka tidak berhak memperbudak bangsa Israel, maka mereka wajib membayar upah kepada bangsa itu.—Kel 12:34-38.
”Suatu kumpulan yang sangat besar dari orang-orang dari berbagai bangsa” juga keluar bersama Israel. (Kel 12:38) Mereka semua adalah penyembah Yehuwa, karena mereka sudah harus bersiap-siap untuk pergi bersama Israel sementara orang-orang Mesir menguburkan orang-orang yang mati. Mereka tentu telah merayakan Paskah, kalau tidak mereka pasti sedang sibuk dengan upacara perkabungan dan penguburan orang Mesir. Bisa jadi, kumpulan ini sebagian besar terdiri atas orang-orang yang dengan satu atau lain cara bertalian keluarga dengan orang Israel melalui perkawinan. Misalnya, banyak pria Israel memperistri wanita Mesir, dan banyak wanita Israel menikah dengan pria Mesir. Salah satu contoh adalah orang yang dihukum mati di padang belantara oleh karena mengumpat nama Yehuwa. Ia adalah putra seorang pria Mesir dan ibunya bernama Syelomit dari suku Dan. (Im 24:10, 11) Hendaknya juga diperhatikan bahwa Yehuwa memberikan instruksi-instruksi yang permanen berkenaan dengan persyaratan untuk makan Paskah yang berlaku bagi penduduk asing dan budak-budak pada waktu Israel memasuki Tanah Perjanjian.—Kel 12:25, 43-49.
Rute Eksodus. Orang-orang Israel tentu berada di berbagai lokasi ketika mereka mulai keluar dari Mesir; jadi pada mulanya mereka berangkat bukan dalam satu rombongan. Bisa jadi, beberapa orang bergabung dengan rombongan utama seraya mereka berjalan. Rameses, nama sebuah kota atau sebuah distrik, merupakan titik pangkal, dan etape pertama perjalanan menuju Sukot. (Kel 12:37) Beberapa pakar berpendapat bahwa, walaupun Musa memulai perjalanan dari Rameses, orang-orang Israel berdatangan dari seluruh tanah Gosyen dan bertemu di Sukot.—PETA, Jil. 1, hlm. 536.
Orang-orang Israel meninggalkan Mesir dengan tergesa-gesa, didesak oleh orang-orang Mesir; meskipun demikian, tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak terorganisasi, karena ”putra-putra Israel pergi dalam formasi tempur, keluar dari tanah Mesir”, maksudnya, mungkin seperti sepasukan tentara yang terdiri dari lima bagian, dengan barisan depan, barisan belakang, bagian utama dan dua sayap. Selain kepemimpinan Musa yang andal, Yehuwa sendiri menyatakan kepemimpinan-Nya, setidaknya sejak mereka berkemah di Etham, dengan menyediakan sebuah tiang awan untuk menuntun mereka pada waktu siang, dan pada waktu malam tiang itu menjadi tiang api untuk menerangi mereka.—Kel 13:18-22.
Rute darat yang paling pendek kira-kira 400 km dari daerah di sebelah utara Memfis sampai ke, misalnya, Lakhis di Tanah Perjanjian. Namun, rute tersebut akan membawa orang Israel menyusuri pantai L. Tengah dan melintasi negeri orang Filistin. Pada masa lalu, bapak-bapak leluhur mereka, Abraham dan Ishak, mengalami kesulitan dengan orang Filistin. Karena tahu bahwa serangan orang Filistin dapat membuat mereka kecil hati, mengingat mereka belum pernah berperang dan mereka juga membawa keluarga serta kawanan ternak, Allah memerintahkan agar Israel berputar dan berkemah sebelum Pihahirot di antara Migdol dan laut yang ada di depan Baal-zefon. Di sini mereka berkemah di dekat laut.—Kel 14:1, 2.
Rute persisnya yang ditempuh orang Israel dari Rameses ke L. Merah tidak dapat ditelusuri dengan pasti dewasa ini, karena lokasi berbagai tempat yang disebutkan dalam kisah itu tidak dapat dipastikan. Menurut kebanyakan karya referensi, orang Israel melintasi daerah yang dikenal sebagai Wadi Tumilat di daerah Delta Mesir. Akan tetapi, rute ini terutama didasarkan atas anggapan bahwa Rameses adalah sebuah tempat di ujung timur laut daerah Delta. Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Profesor Egiptologi John A. Wilson, ”Sayang sekali, para pakar tidak sependapat sehubungan dengan lokasi Rameses yang tepat. Para Firaun yang bernama Ramses, khususnya Ramses II, menggunakan nama mereka untuk banyak kota. Selain itu, rujukan-rujukan ke kota ini telah digali di kota-kota di daerah Delta tetapi tidak dapat digunakan untuk menentukan lokasinya.”—The Interpreter’s Dictionary of the Bible, diedit oleh G. Buttrick, 1962, Jil. 4, hlm. 9.
Berbagai tempat telah diajukan, menjadi populer untuk sementara waktu, tetapi kemudian ditolak karena ada kemungkinan yang lain. Situs Tanis (San el-Hagar modern) yang terletak 56 km di sebelah barat daya Port Said, kota pesisir L. Tengah, populer, tetapi demikian pula dengan Qantir, kira-kira 20 km lebih ke selatan. Mengenai situs pertama, Tanis, hendaknya diperhatikan bahwa salah satu teks Mesir menyebutkan Tanis dan (Per-)Rameses sebagai tempat yang terpisah, tidak sama, dan bahwa sekurang-kurangnya sebagian dari benda-benda yang ditemukan dalam penggalian di Tanis membuktikan bahwa benda-benda tersebut berasal dari tempat-tempat lain. Oleh karena itu, John A. Wilson lebih jauh menyatakan bahwa ”tidak ada jaminan bahwa inskripsi-inskripsi yang memuat nama Rameses berasal dari sana”. Mengenai Tanis dan juga Qantir dapat dikatakan bahwa inskripsi-inskripsi yang berkaitan dengan Ramses II yang ditemukan di tempat-tempat ini hanya memperlihatkan adanya suatu hubungan dengan Firaun tersebut, tetapi tidak membuktikan bahwa salah satu situs itu adalah lokasi Raamses yang disebutkan dalam Alkitab, yang bahkan sebelum kelahiran Musa sudah dibangun oleh orang-orang Israel sebagai tempat penyimpanan. (Kel 1:11) Sebagaimana ditunjukkan dalam artikel RAAMSES, RAMESES, hanya ada sedikit bukti yang membenarkan pandangan bahwa Ramses II adalah Firaun pada waktu Eksodus.
Rute melalui Wadi Tumilat juga lebih disukai oleh karena teori modern yang populer bahwa penyeberangan di L. Merah tidak benar-benar terjadi di L. Merah tetapi di sebuah tempat di sebelah utaranya. Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa penyeberangan terjadi di atau dekat D. Serbonis di sepanjang pesisir L. Tengah, sehingga setelah meninggalkan Wadi Tumilat orang Israel berputar ke utara ke arah pantai. Pandangan ini bertentangan sekali dengan pernyataan yang spesifik dalam Alkitab bahwa Allah sendiri yang membimbing orang Israel menjauhi rute yang menuju negeri orang Filistin. (Kel 13:17, 18) Ada juga yang menyetujui rute yang melalui Wadi Tumilat tetapi berpendapat bahwa penyeberangan ”laut” terjadi di daerah D. Pahit di sebelah utara Suez.
Laut Merah, bukan ’laut teberau’. Pandangan yang disebutkan belakangan didasarkan atas argumen bahwa kata Ibrani yam-sufʹ (diterjemahkan ”L. Merah”) secara harfiah berarti ”laut kercut, atau, teberau, rumput semu besar”, dan karena itu orang Israel menyeberangi, bukan teluk yang sempit di L. Merah yang dikenal sebagai Tel. Suez, melainkan laut yang penuh teberau, sebuah tempat berawa-rawa seperti daerah D. Pahit. Akan tetapi, pandangan mereka ini tidak sama dengan pandangan para penerjemah Septuaginta Yunani kuno yang menerjemahkan yam-sufʹ dengan nama Yunani e·ry·thraʹ thaʹlas·sa, yang secara harfiah berarti, ”Laut Merah”. Namun, yang jauh lebih penting, baik Lukas, penulis buku Kisah (yang mengutip Stefanus), maupun rasul Paulus menggunakan nama Yunani yang sama ini ketika mengisahkan peristiwa-peristiwa sewaktu Eksodus.—Kis 7:36; Ibr 11:29; lihat LAUT MERAH.
Selain itu, bukanlah mukjizat besar andaikan hanya rawa-rawa yang diseberangi, dan orang-orang Mesir tidak bisa ”ditelan habis” di L. Merah ketika ”air yang bergelora kemudian menutupi mereka” sehingga mereka turun ’ke tempat yang dalam bagaikan sebuah batu’. (Ibr 11:29; Kel 15:5) Belakangan mukjizat yang memukau itu tidak saja disebutkan oleh Musa dan Yosua tetapi rasul Paulus juga mengatakan bahwa orang-orang Israel dibaptis dalam Musa dengan perantaraan awan dan laut. Hal itu menunjukkan bahwa mereka sepenuhnya dikelilingi air, karena laut berada di kedua sisi mereka, dan awan ada di atas dan di belakang mereka. (1Kor 10:1, 2) Hal ini juga menunjukkan bahwa airnya begitu dalam sehingga tidak dapat diseberangi dengan berjalan kaki.
Rute Eksodus sebagian besar bergantung pada dua faktor: letak ibu kota Mesir pada waktu itu, dan perairan yang diseberangi. Karena Kitab-Kitab Yunani Kristen menggunakan ungkapan ”Laut Merah”, kita mempunyai alasan kuat untuk percaya bahwa itulah perairan yang diseberangi orang Israel. Mengenai ibu kota Mesir, kemungkinan besar lokasinya adalah Memfis, pusat pemerintahan yang utama selama sebagian besar sejarah Mesir. (Lihat MEMFIS.) Jika demikian, titik awal perjalanan Eksodus harus cukup dekat dengan Memfis sehingga Musa dapat dipanggil menghadap Firaun pada hari Paskah setelah lewat tengah malam dan kemudian sampai di Rameses tepat pada waktunya untuk memulai perjalanan ke Sukot sebelum berakhirnya hari ke-14 bulan Nisan. (Kel 12:29-31, 37, 41, 42) Kisah turun-temurun tertua orang Yahudi, yang dicatat Yosefus, menyatakan bahwa perjalanan itu dimulai tidak jauh dari sebelah utara Memfis.—Jewish Antiquities, II, 315 (xv, 1).
Rute melalui Wadi Tumilat terlalu jauh di sebelah utara Memfis sehingga peristiwa-peristiwa di atas mustahil terjadi. Oleh karena itu, banyak komentator pada masa yang lebih awal memperkirakan salah satu rute ”musafir” yang terkenal melalui Mesir, misalnya rute el Haj yang mulai dari Kairo menyeberang ke Suez (Clysma kuno, belakangan Kolsum) di ujung Tel. Suez.
Di manakah L. Merah terbelah sehingga orang Israel dapat menyeberang?
Hendaknya diperhatikan bahwa, setelah mencapai etape kedua perjalanan mereka, Etham ”di tepi padang belantara”, Allah memerintahkan Musa untuk ”berbalik dan berkemah sebelum Pihahirot . . . di dekat laut”. Manuver itu akan menyebabkan Firaun mengira bahwa orang Israel ”mengembara dalam kebingungan”. (Kel 13:20; 14:1-3) Para pakar yang lebih mendukung rute el Haj menunjukkan bahwa kata kerja Ibrani ”berbalik” bersifat penandasan dan tidak berarti sekadar ”menyimpang” atau ”berbelok”, tetapi lebih memaksudkan kembali atau setidaknya penyimpangan yang mencolok. Mereka memperkirakan bahwa, setelah sampai di suatu tempat di ujung utara Tel. Suez, orang Israel berputar dan berjalan ke sebelah timur Jabal Ataqah, pegunungan yang berbatasan dengan sisi barat Tel. Suez. Rombongan yang besar, seperti halnya orang Israel, dalam posisi demikian tidak mungkin meloloskan diri dengan cepat jika dikejar dari arah utara, dan oleh karena itu mereka akan tertahan mengingat laut menghambat perjalanan mereka.
Kisah turun-temurun orang Yahudi dari abad pertama M juga memberikan gambaran demikian. (Lihat PIHAHIROT.) Akan tetapi, yang lebih penting, situasi demikian cocok dengan gambaran umum yang dilukiskan dalam Alkitab, meskipun pandangan populer dari banyak pakar tidak seperti itu. (Kel 14:9-16) Jelaslah, penyeberangan itu terjadi cukup jauh dari ujung Tel. Suez (atau cabang barat L. Merah) sehingga pasukan Firaun tidak dapat sekadar mengitari ujung teluk itu dan dengan mudah mencapai orang Israel yang berada di sisi lainnya.—Kel 14:22, 23.
Firaun berubah pikiran sehubungan dengan pembebasan orang Israel segera setelah ia tahu bahwa mereka telah pergi. Kehilangan satu bangsa budak pasti merupakan pukulan berat bagi Mesir secara ekonomi. Tidaklah sukar bagi kereta-keretanya untuk mengejar segenap bangsa itu yang sedang dalam perjalanan, khususnya karena mereka telah ”berbalik”. Kini, didorong oleh pikiran bahwa Israel mengembara dalam kebingungan di padang belantara, ia mengejar mereka dengan penuh keyakinan. Dengan pasukan elit yang terdiri dari 600 kereta perang pilihan, kereta-kereta Mesir lainnya yang dinaiki para pejuang, juga para prajurit kavalerinya, serta semua pasukan militernya, ia mendatangi Israel di Pihahirot.—Kel 14:3-9.
Dari sudut strategi, posisi orang Israel kelihatannya sangat buruk. Tampaknya mereka terkepung oleh laut dan gunung-gunung, sedangkan jalan kembali diblokade oleh orang-orang Mesir. Dalam posisi mereka yang seolah-olah terjebak, perasaan takut mencekam hati orang Israel dan mereka mulai mengeluh kepada Musa. Kini Allah bertindak untuk melindungi Israel dengan memindahkan awan dari bagian depan ke bagian belakang. Di satu sisi, ke arah orang-orang Mesir, awan itu menyebabkan kegelapan; di sisi lainnya, awan itu terus memberikan terang bagi orang Israel pada malam hari. Seraya awan itu menahan orang Mesir agar tidak dapat mengadakan serangan, Musa mengangkat tongkatnya atas perintah Yehuwa, dan air laut pun terbelah sehingga orang Israel dapat berjalan di atas dasar laut yang kering.—Kel 14:10-21.
Lebar dan dalamnya tempat penyeberangan. Karena Israel menyeberangi laut dalam satu malam, mustahil beranggapan bahwa hanya ada alur yang sempit pada waktu air terbelah. Sebaliknya, lebar alur itu bisa jadi satu kilometer atau lebih. Meskipun dalam formasi yang cukup rapat, rombongan seperti itu, disertai pedati-pedati mereka, barang-barang dan ternak mereka, bahkan jika agak berdekatan, akan menutupi daerah yang mungkin luasnya 8 km2 atau lebih. Oleh karena itu, tampaknya alur yang terbentuk sewaktu laut terbelah membuat orang Israel dapat menyeberang di atas permukaan tanah yang cukup lebar. Jika lebar barisan itu kira-kira 1,5 km, panjang barisan orang Israel mungkin bisa kira-kira 5 km atau lebih. Jika lebarnya kira-kira 2,5 km, panjangnya bisa jadi kira-kira 3 km atau lebih. Butuh waktu beberapa jam bagi barisan tersebut untuk masuk ke dasar laut dan menyeberanginya. Meskipun tidak berjalan dalam keadaan panik, tetapi tetap dalam formasi perang, tentulah mereka bergerak cukup cepat.
Andaikan tidak ada awan itu, orang-orang Mesir dengan mudah dapat mengejar mereka dan membunuh banyak orang. (Kel 15:9) Pada waktu orang-orang Israel turun ke laut, awan di belakang mereka bergerak maju untuk menyingkapkan hal tersebut kepada orang-orang Mesir yang kemudian melakukan pengejaran. Sekali lagi ditandaskan perlunya dasar-laut kering yang cukup lebar dan panjang, sebab Firaun mempunyai pasukan militer yang besar. Karena bertekad untuk membinasakan dan menangkap kembali bekas budak-budak mereka, seluruh pasukan melakukan pengejaran sampai ke tengah dasar laut itu. Kemudian, selama giliran jaga pagi, kira-kira dari pukul 2.00 sampai pukul 6.00, Yehuwa memandang dari awan dan mulai mengacaubalaukan pasukan tentara Mesir, melepaskan roda-roda kereta mereka.—Kel 14:24, 25.
Menjelang matahari terbit, orang-orang Israel tiba dengan selamat di seberang, di pantai timur L. Merah. Kemudian Musa diperintahkan untuk merentangkan tangannya supaya air kembali dan melanda orang-orang Mesir. Setelah itu, ”laut kembali kepada keadaannya yang biasa”, dan orang-orang Mesir lari menjauhinya. Hal itu juga menunjukkan bahwa laut yang terbelah membentuk alur yang lebar, karena alur yang sempit pasti akan membuat mereka terlanda air dengan cepat. Orang-orang Mesir melarikan diri ke tepi barat agar tidak tertimpa dinding-dinding air yang runtuh, tetapi air terus menyatu kembali hingga semua kereta perang dan para prajurit kavaleri dalam pasukan militer Firaun sama sekali tenggelam; tidak ada seorang pun yang terluput.
Pastilah penenggelaman yang luar biasa seperti itu mustahil terjadi di rawa-rawa. Selain itu, di rawa-rawa yang dangkal mayat-mayat tidak akan terdampar di pantai, sebagaimana yang sesungguhnya terjadi, sehingga ”orang Israel melihat orang-orang Mesir mati di tepi laut”.—Kel 14:22-31; PETA dan GAMBAR, Jil. 1, hlm. 537.
Air ”membeku”. Menurut uraian Alkitab, air yang bergelora membeku sehingga orang Israel bisa lewat. (Kel 15:8) Kata ”membeku” ini digunakan dalam Terjemahan Baru (”berbekulah”, TL), American Standard Version, King James Version, dan terjemahan-terjemahan karya J. N. Darby, I. Leeser, R. Knox, dan J. Rotherham. Menurut definisi Webster’s Third New International Dictionary (1981), membeku (Ing., ”congeal”) artinya ”berubah dari zat cair menjadi zat padat karena atau seakan-akan karena hawa dingin . . . : menjadi beku . . . : untuk membuat (zat cair) menjadi kental atau menjadi suatu kekentalan atau menjadi suatu zat seperti agar-agar: kental, menggumpal”. Kata Ibrani yang diterjemahkan ”membeku” di ayat tersebut, di Ayub 10:10 digunakan sehubungan dengan susu yang mengental. Dengan demikian, tidak berarti bahwa dinding air tersebut harus membeku menjadi zat padat, tetapi bisa jadi menjadi zat yang kental seperti gelatin atau dadih. Tidak tampak ada sesuatu yang menahan air L. Merah di kedua sisi orang-orang Israel, oleh karena itu air kelihatannya seperti beku, kaku, atau mengental sehingga dapat tetap berdiri seperti dinding di kedua sisi dan tidak runtuh menimpa orang-orang Israel dan tidak membinasakan mereka. Begitulah yang Musa lihat ketika suatu angin timur membelah air dan mengeringkan cekungan (basin) sehingga tidak berlumpur, ataupun beku, tetapi mudah dilintasi orang banyak itu.
Jalan di laut yang telah disibakkan itu cukup lebar sehingga orang-orang Israel, yang mungkin berjumlah tiga juta orang, semuanya dapat menyeberang ke tepi timur menjelang matahari terbit. Kemudian air yang membeku itu mulai dilepas dan mengalir kembali dari kedua sisi, melanda dan menenggelamkan orang-orang Mesir seraya Israel berdiri di tepi timur memperhatikan tindakan Yehuwa yang tiada bandingnya untuk membebaskan segenap bangsa itu dari suatu kuasa dunia. Mereka menyadari penggenapan harfiah dari kata-kata Musa, ”Orang-orang Mesir yang kamu lihat hari ini tidak akan kamu lihat lagi, tidak, tidak pernah lagi.”—Kel 14:13.
Jadi, melalui pertunjukan kuasa yang spektakuler, Yehuwa meninggikan nama-Nya dan membebaskan Israel. Setelah mereka aman di pantai timur L. Merah, Musa memimpin putra-putra Israel dalam menyanyikan suatu nyanyian, sedangkan kakaknya, nabiah Miriam, mengambil rebana di tangannya dan memimpin para wanita yang membawa rebana sambil menari seraya dia menyanyi bersahut-sahutan dengan para pria. (Kel 15:1, 20, 21) Israel telah sepenuhnya dipisahkan dari musuh-musuh mereka. Ketika mereka keluar dari Mesir, manusia ataupun binatang tidak dibiarkan mencelakakan mereka; bahkan anjing tidak menggeram atau menggerak-gerakkan lidahnya kepada orang-orang Israel. (Kel 11:7) Meskipun narasi di buku Keluaran tidak menyebutkan bahwa Firaun juga masuk ke laut bersama pasukan militernya dan dibinasakan, Mazmur 136:15 menyatakan bahwa Yehuwa ”mengebaskan Firaun dan pasukan militernya ke dalam Laut Merah”.
Gambaran untuk Peristiwa-Peristiwa Selanjutnya. Ketika membawa Israel keluar dari Mesir sesuai janji-Nya kepada Abraham, Allah menganggap bangsa Israel sebagai putra-Nya, tepat seperti yang Ia firmankan kepada Firaun, ’Israel adalah anak sulung-Ku’. (Kel 4:22) Belakangan, Yehuwa mengatakan, ”Pada waktu Israel masih anak-anak, aku mengasihi dia, dan dari Mesir aku memanggil putraku.” (Hos 11:1) Acuan balik kepada Eksodus ini juga adalah sebuah nubuat yang digenapi pada zaman Herodes ketika Yusuf dan Maria kembali dari Mesir bersama Yesus setelah kematian Herodes dan tinggal di Nazaret. Sejarawan Matius menerapkan nubuat Hosea untuk kejadian ini, dengan mengatakan tentang Yusuf, ”Ia tinggal di sana sampai Herodes wafat, agar tergenap apa yang diucapkan Yehuwa melalui nabinya, yang berbunyi, ’Dari Mesir aku memanggil putraku.’”—Mat 2:15.
Rasul Paulus menyebutkan Eksodus di antara hal-hal yang dia katakan telah dialami Israel sebagai contoh atau gambaran. (1Kor 10:1, 2, 11) Oleh karena itu, hal tersebut tampaknya melambangkan sesuatu yang lebih besar. Israel jasmani digunakan dalam Alkitab untuk melambangkan Israel rohani, Israel milik Allah. (Gal 6:15, 16) Selain itu, Musa berbicara tentang nabi yang akan datang, yang seperti dia. (Ul 18:18, 19) Orang-orang Yahudi menantikan pribadi ini untuk menjadi pemimpin dan pembebas yang agung. Rasul Petrus mengidentifikasi Yesus Kristus sebagai Musa yang Lebih Besar. (Kis 3:19-23) Oleh karena itu, pembebasan Israel di L. Merah dan pembinasaan pasukan Mesir pasti memiliki makna yang penting sehubungan dengan pembebasan Israel rohani dari musuh-musuh mereka, Mesir simbolis, melalui mukjizat besar di tangan Yesus Kristus. Dan sebagaimana mukjizat yang Allah adakan di L. Merah menyebabkan nama-Nya ditinggikan, penggenapan yang lebih besar lagi atas peristiwa-peristiwa itu akan mendatangkan kemasyhuran yang lebih besar dan jauh lebih luas bagi nama Yehuwa.—Kel 15:1.