TAHU SEBELUMNYA; TETAPKAN SEBELUMNYA
Tahu sebelumnya, atau tahu di muka, berarti tahu tentang sesuatu sebelum hal itu terjadi atau ada; juga disebut pra-pengetahuan. Dalam Alkitab kesanggupan ini terutama dikaitkan dengan Allah Yehuwa, sang Pencipta, serta maksud-tujuan-Nya, meskipun tidak secara eksklusif. Tetapkan sebelumnya, atau tetapkan di muka, berarti menetapkan, menentukan atau memutuskan sesuatu di muka; atau sifat atau keadaan ditetapkan sebelumnya.
Kata-Kata Bahasa Aslinya. Kata-kata yang umumnya diterjemahkan sebagai ”tahu sebelumnya”, ”diketahui sebelumnya”, dan ”tetapkan sebelumnya” terdapat dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen, tetapi gagasan dasar yang sama dinyatakan dalam Kitab-Kitab Ibrani.
Kata Yunani proʹgno·sis (dari kata pro, sebelum, dan kata gnoʹsis, pengetahuan) diterjemahkan menjadi ”apa yang telah diketahui sebelumnya”. (Kis 2:23; 1Ptr 1:2) Kata kerja yang terkait, pro·gi·noʹsko, dalam dua kasus digunakan untuk manusia: dalam pernyataan Paulus bahwa orang Yahudi tertentu ”sebelumnya mengenal” dia (sudah tahu tentang dia sebelum itu), dan dalam kata-kata Petrus kepada orang-orang yang ia surati untuk kedua kali, ”Kamu telah mengetahui ini sebelumnya.” (Kis 26:4, 5; 2Ptr 3:17) Dalam kasus terakhir, jelas bahwa apa yang mereka ketahui sebelumnya tidaklah tanpa batas; maksudnya, tidak berarti orang-orang Kristen itu mengetahui semua perincian tentang waktu, tempat, dan keadaan dari peristiwa serta keadaan yang masih akan terjadi yang Petrus bahas. Tetapi mereka memang memiliki gambaran umum tentang apa yang dapat diantisipasi, yang mereka dapatkan karena Allah mengilhami Petrus dan para penulis Alkitab lainnya.
”Tetapkan sebelumnya” adalah terjemahan dari kata Yunani pro·o·riʹzo (dari kata pro, sebelum, dan kata ho·riʹzo, tandai atau tetapkan batas-batas). (Kata bahasa Indonesia ”horizon” berasal dari kata Yunani ho·riʹzon, yang artinya ”pembatasan”.) Sebagai gambaran tentang arti kata kerja Yunani ho·riʹzo, kita membaca pernyataan Yesus Kristus bahwa, sebagai ”Putra manusia”, ia ”akan pergi sesuai dengan apa yang [telah] ditetapkan [ditandai, ho·ri·smeʹnon]”. Paulus mengatakan bahwa Allah telah ”menetapkan [menandai, ho·riʹsas] waktu-waktu yang telah ditentukan dan batas-batas yang tetap untuk tempat tinggal manusia”. (Luk 22:22; Kis 17:26) Kata kerja yang sama digunakan untuk menyatakan keputusan manusia, seperti ketika murid-murid ”menentukan [hoʹri·san]” untuk mengirimkan bantuan kepada saudara-saudara mereka yang membutuhkan. (Kis 11:29) Tetapi penetapan sebelumnya, yang secara spesifik disebutkan dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen, hanya berlaku bagi Allah.
Faktor-Faktor yang Harus Dipahami. Untuk memahami pokok tentang mengetahui dan menetapkan sesuatu di muka yang terkait dengan Allah, tentu ada faktor-faktor yang harus dipahami.
Pertama-tama, kemampuan Allah untuk mengetahui dan menetapkan sesuatu di muka jelas dinyatakan dalam Alkitab. Untuk membuktikan Keilahian-Nya, Yehuwa sendiri mengungkapkan kemampuan-Nya untuk mengetahui dan menetapkan di muka peristiwa-peristiwa penyelamatan dan pembebasan, maupun tindakan penghakiman dan penghukuman, dan kemudian mewujudkan kejadian-kejadian tersebut. Umat pilihan-Nya adalah saksi dari fakta-fakta itu. (Yes 44:6-9; 48:3-8) Kemampuan Allah untuk mengetahui dan menetapkan sesuatu di muka merupakan dasar bagi semua nubuat sejati. (Yes 42:9; Yer 50:45; Am 3:7, 8) Allah menantang bangsa-bangsa penentang umat-Nya untuk membuktikan keilahian yang menurut mereka dimiliki oleh pribadi-pribadi perkasa dan allah-allah berhala mereka; Ia menyuruh mereka meramalkan tindakan penyelamatan atau penghakiman yang sama dan kemudian mewujudkannya. Ketidakberdayaan mereka dalam hal itu memperlihatkan bahwa berhala-berhala mereka ’hanyalah angin dan kesia-siaan belaka’.—Yes 41:1-10, 21-29; 43:9-15; 45:20, 21.
Faktor kedua yang harus dipertimbangkan ialah bahwa makhluk-makhluk cerdas Allah memiliki kebebasan untuk memilih. Alkitab menunjukkan bahwa Allah memberi makhluk-makhluk tersebut hak istimewa untuk membuat pilihan, untuk menggunakan kebebasan mereka sebagai makhluk bermoral (Ul 30:19, 20; Yos 24:15), namun juga membuat mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka. (Kej 2:16, 17; 3:11-19; Rm 14:10-12; Ibr 4:13) Jadi, mereka bukan robot belaka. Manusia tidak mungkin benar-benar diciptakan menurut ”gambar Allah” jika ia tidak memiliki kebebasan memilih. (Kej 1:26, 27; lihat MERDEKA, KEMERDEKAAN.) Secara masuk akal, tidak boleh ada konflik antara kemampuan Allah untuk mengetahui (maupun menetapkan) sesuatu sebelumnya dan kebebasan yang dimiliki makhluk-makhluk cerdas-Nya untuk membuat pilihan.
Faktor ketiga yang harus dipertimbangkan, yang kadang-kadang diabaikan, ialah standar moral dan sifat-sifat Allah, termasuk keadilan, kejujuran, sikap tidak berat sebelah, kasih, belas kasihan, dan kebaikan hati-Nya. Karena itu, pemahaman apa pun tentang cara Allah menggunakan kuasa-Nya untuk mengetahui dan menetapkan sesuatu di muka harus selaras, bukan hanya dengan beberapa faktor tetapi, dengan semuanya. Jelaslah, apa pun yang Allah ketahui sebelumnya tak pelak lagi pasti terjadi, sehingga Allah dapat menyebut ”hal-hal yang tidak ada seolah-olah ada”.—Rm 4:17.
Apakah Allah tahu sebelumnya segala sesuatu yang akan dilakukan manusia?
Maka timbul pertanyaan: Apakah Ia secara tak terbatas menggunakan kuasa-Nya untuk mengetahui sesuatu di muka? Apakah Ia sudah melihat dan mengetahui semua yang akan dilakukan setiap ciptaan-Nya, baik makhluk roh maupun manusia, di masa depan? Selain itu, apakah Ia sudah menetapkan di muka semua tindakan tersebut, atau bahkan menakdirkan akhir kehidupan semua makhluk ciptaan-Nya, bahkan sebelum mereka ada?
Atau, apakah Ia menggunakan kuasa-Nya itu secara selektif dan bijaksana, sehingga apabila Ia memutuskan untuk melihat dan mengetahui sesuatu sebelumnya, Ia akan berbuat demikian, tetapi jika tidak, Ia tidak melakukannya? Dan sehubungan dengan akhir kekal makhluk-makhluk ciptaan-Nya, apakah Allah menentukan hal itu sebelum eksistensi mereka atau apakah Ia menunggu sampai Ia telah menilai haluan hidup mereka serta sikap yang mereka nyatakan di bawah ujian? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tentu harus datang dari Alkitab sendiri dan informasi yang diberikannya tentang tindakan serta cara Allah berurusan dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya, termasuk apa yang telah disingkapkan melalui Putra-Nya, Kristus Yesus.—1Kor 2:16.
Paham takdir. Pandangan bahwa Allah menggunakan kuasa-Nya untuk mengetahui sesuatu di muka secara tak terbatas dan bahwa Ia memang telah menetapkan sebelumnya haluan dan akhir kehidupan orang perorangan, dikenal sebagai takdir. Para pendukung pendapat tersebut bernalar bahwa mengingat keilahian dan kesempurnaan-Nya, Allah pasti mengetahui segala sesuatu, tidak hanya mengenai masa lampau dan masa sekarang tetapi juga tentang masa depan. Menurut konsep itu, jika Ia tidak mengetahui di muka semua hal sampai perincian yang terkecil, berarti Ia tidak sempurna. Contoh-contoh seperti kasus Esau dan Yakub, anak-anak kembar Ishak, dikemukakan sebagai bukti bahwa Allah telah menetapkan di muka berbagai hal tentang makhluk-makhluk ciptaan-Nya sebelum mereka lahir (Rm 9:10-13); dan ayat-ayat seperti Efesus 1:4, 5 disebutkan sebagai bukti bahwa Allah mengetahui dan menetapkan di muka masa depan semua makhluk ciptaan-Nya bahkan sebelum awal penciptaan.
Supaya benar, pendapat itu tentu harus selaras dengan semua faktor yang disebutkan sebelumnya, termasuk apa yang dikemukakan Alkitab tentang sifat, standar, dan maksud-tujuan Allah, maupun jalan-jalan-Nya yang adil-benar dalam berurusan dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. (Pny 15:3, 4) Maka tepatlah jika kita mempertimbangkan implikasi dari paham takdir itu.
Berdasarkan konsep itu, sebelum menciptakan para malaikat atau manusia di bumi, Allah menggunakan kuasa-Nya untuk mengetahui dan melihat sesuatu di muka, dan Allah sudah mengetahui di muka segala hal yang akan timbul akibat penciptaan tersebut, termasuk pemberontakan salah seorang putra rohani-Nya, pemberontakan pasangan manusia pertama yang terjadi setelah itu di Eden (Kej 3:1-6; Yoh 8:44), dan semua akibat buruk pemberontakan tersebut sampai zaman sekarang dan setelahnya. Hal itu tentu berarti bahwa semua kefasikan yang tercatat dalam sejarah (kejahatan dan perbuatan amoral, penindasan dan penderitaan yang diakibatkannya, dusta dan kemunafikan, ibadat palsu dan penyembahan berhala) sudah ada, sebelum penciptaan dimulai, hanya dalam pikiran Allah, dalam bentuk apa yang telah Ia ketahui di muka tentang masa depan sampai semua perinciannya yang terkecil.
Jika sang Pencipta umat manusia benar-benar menggunakan kuasa-Nya untuk mengetahui di muka semua hal yang telah terjadi dalam sejarah sejak penciptaan manusia, berarti semua kefasikan yang terjadi setelah itu sepenuhnya dipicu oleh Allah dengan sengaja ketika Ia berfirman, ”Mari kita membuat manusia.” (Kej 1:26) Fakta-fakta tersebut menimbulkan pertanyaan apakah konsep takdir masuk akal dan konsisten; khususnya karena Yakobus, sang murid, menunjukkan bahwa kekacauan dan hal-hal keji lainnya tidak berasal dari hadirat surgawi Allah tetapi berasal dari ’bumi, bersifat binatang, berkaitan dengan hantu-hantu’.—Yak 3:14-18.
Kuasa untuk mengetahui sesuatu di muka digunakan secara tak terbatas? Argumen bahwa Allah tidak sempurna jika Ia tidak mengetahui di muka semua peristiwa dan keadaan di masa depan secara terperinci, sebenarnya merupakan pandangan yang tak berdasar tentang kesempurnaan. Kesempurnaan, menurut definisi yang tepat, tidak perlu absolut, mencakup segala-galanya, mengingat bahwa sesuatu disebut sempurna apabila hal itu sepenuhnya memenuhi standar keunggulan yang ditetapkan oleh pribadi yang kompeten untuk menentukan nilainya. (Lihat SEMPURNA, KESEMPURNAAN.) Jadi, kehendak Allah sendiri dan apa yang menyenangkan Dia itulah, dan bukan pendapat atau konsep manusia, yang menentukan apakah sesuatu itu sempurna.—Ul 32:4; 2Sam 22:31; Yes 46:10.
Sebagai gambaran, kemahakuasaan Allah tidak disangkal lagi adalah sempurna dan karena itu, kesanggupan-Nya tidak terbatas. (1Taw 29:11, 12; Ayb 36:22; 37:23) Namun, kekuatan-Nya yang sempurna tidak menuntut Dia untuk sepenuhnya menggunakan kemahakuasaan-Nya, dalam suatu atau semua hal. Ia jelas tidak berbuat demikian; andaikata begitu, tidak hanya kota-kota kuno tertentu dan beberapa bangsa yang telah dibinasakan, tetapi bumi dan segala isinya sudah lama lenyap karena pelaksanaan penghakiman Allah, yang disertai manifestasi yang perkasa dari ketidaksenangan dan kemurkaan, seperti pada waktu Air Bah dan pada peristiwa lainnya. (Kej 6:5-8; 19:23-25, 29; bdk. Kel 9:13-16; Yer 30:23, 24.) Dengan demikian, penggunaan keperkasaan Allah bukan sekadar pelampiasan kuasa yang tak terbatas melainkan selalu dikendalikan oleh maksud-tujuan-Nya dan, apabila layak, diimbangi oleh belas kasihan-Nya.—Neh 9:31; Mz 78:38, 39; Yer 30:11; Rat 3:22; Yeh 20:17.
Demikian pula, jika, dalam hal-hal tertentu, Allah memilih untuk menggunakan kesanggupan-Nya yang tak terbatas untuk mengetahui sesuatu di muka secara selektif dan sampai taraf yang menyenangkan Dia, tentu tidak ada manusia atau malaikat yang berhak mengatakan, ”Apa yang kaulakukan?” (Ayb 9:12; Yes 45:9; Dan 4:35) Karena itu, masalahnya bukanlah kemampuan, apa yang dapat Allah lihat, ketahui, dan tetapkan sebelumnya, sebab ”bagi Allah semua perkara mungkin” (Mat 19:26), melainkan apa yang Allah anggap patut untuk dilihat, diketahui, dan ditetapkan sebelumnya, karena ”dia melakukan segala sesuatu yang disenanginya”.—Mz 115:3.
Menggunakan kuasa untuk mengetahui sesuatu di muka secara selektif. Paham yang berbeda dengan paham takdir, yaitu bahwa Allah menggunakan kuasa-Nya untuk mengetahui sesuatu di muka secara selektif atau bijaksana, harus selaras dengan standar keadilbenaran Allah sendiri dan konsisten dengan apa yang Ia singkapkan tentang diri-Nya dalam Firman-Nya. Bertentangan dengan teori takdir, sejumlah ayat menunjukkan bahwa Allah melakukan pemeriksaan atas situasi yang ada pada waktu itu dan membuat keputusan berdasarkan pemeriksaan tersebut.
Sebagai contoh, di Kejadian 11:5-8 diuraikan bahwa Allah mengarahkan perhatian-Nya ke bumi, menyelidiki situasi di Babel, dan, pada waktu itu, memutuskan tindakan yang harus diambil untuk menggagalkan proyek yang tidak adil-benar di sana. Setelah kefasikan berkembang di Sodom dan Gomora, Yehuwa memberi tahu Abraham tentang keputusan-Nya untuk menyelidiki (melalui para malaikat-Nya) guna ”melihat apakah mereka benar-benar bertindak sesuai dengan keluhan tentangnya yang telah sampai kepadaku, dan jika tidak, aku dapat mengetahuinya”. (Kej 18:20-22; 19:1) Allah mengatakan bahwa Ia ’telah mengenal Abraham’, dan setelah Abraham nyaris mempersembahkan Ishak sebagai korban, Yehuwa berfirman, ”Karena sekarang aku tahu bahwa engkau takut akan Allah sehingga engkau tidak menahan dariku putramu, putramu satu-satunya.”—Kej 18:19; 22:11, 12; bdk. Neh 9:7, 8; Gal 4:9.
Menggunakan kuasa untuk mengetahui sesuatu sebelumnya secara selektif berarti bahwa Allah dapat memilih untuk tidak secara membabi buta mengetahui sebelumnya semua hal yang akan dilakukan makhluk ciptaan-Nya di masa depan. Hal itu berarti bahwa, seluruh sejarah sejak penciptaan bukanlah sekadar penayangan ulang dari apa yang sudah dilihat dan ditetapkan sebelumnya, melainkan, Allah dengan penuh ketulusan hati dapat menaruh di hadapan pasangan manusia pertama prospek kehidupan abadi di bumi yang bebas dari kefasikan. Dengan demikian, instruksi-Nya kepada putra dan putri manusia-Nya yang pertama untuk menjadi sarana-Nya yang sempurna dan tanpa dosa demi memenuhi bumi dengan keturunan mereka dan menjadikannya suatu firdaus, maupun untuk berkuasa atas binatang, dapat diungkapkan sebagai karunia berupa hak istimewa yang benar-benar pengasih dan sebagai keinginan-Nya yang tulus terhadap mereka—bukan sekadar pemberian tugas yang, di pihak mereka, sudah ditakdirkan akan gagal. Ujian yang Allah adakan melalui ”pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” dan diciptakan-Nya ”pohon kehidupan” di taman Eden juga akan menjadi tidak berarti atau merupakan tindakan sinis seandainya Ia sudah mengetahui sebelumnya bahwa pasangan manusia itu akan berbuat dosa dan tidak pernah dapat makan dari ”pohon kehidupan”.—Kej 1:28; 2:7-9, 15-17; 3:22-24.
Menawarkan sesuatu yang sangat diinginkan kepada orang lain dengan syarat-syarat yang sebelumnya sudah diketahui akan mustahil dipenuhi adalah sesuatu yang munafik dan juga kejam. Prospek kehidupan abadi dikemukakan dalam Firman Allah sebagai tujuan bagi semua orang, suatu tujuan yang dapat dicapai. Setelah mendesak para pendengarnya untuk ’terus meminta dan mencari’ hal-hal baik dari Allah, Yesus menunjukkan bahwa seorang ayah tidak akan memberikan batu atau ular kepada anaknya yang meminta roti atau ikan. Untuk menunjukkan pandangan Bapaknya sehubungan dengan mengecewakan harapan yang patut dimiliki seseorang, Yesus kemudian mengatakan, ”Karena itu, jika kamu, meskipun fasik, tahu bagaimana memberikan pemberian yang baik kepada anak-anakmu, betapa terlebih lagi Bapakmu yang di surga akan memberikan hal-hal yang baik kepada mereka yang meminta kepadanya!”—Mat 7:7-11.
Jadi, undangan dan kesempatan untuk menerima manfaat dan berkat abadi yang Allah ulurkan kepada semua orang benar-benar dapat dipercaya. (Mat 21:22; Yak 1:5, 6) Ia dapat dengan setulus-tulusnya mendesak manusia untuk ’berbalik dari semua pelanggaran dan tetap hidup’, sebagaimana yang Ia lakukan terhadap umat Israel. (Yeh 18:23, 30-32; bdk. Yer 29:11, 12.) Secara masuk akal, hal itu tidak mungkin Ia lakukan jika Ia sebelumnya sudah mengetahui bahwa mereka secara pribadi telah ditakdirkan untuk mati dalam kefasikan. (Bdk. Kis 17:30, 31; 1Tim 2:3, 4.) Sebagaimana Yehuwa katakan kepada Israel, ”Aku juga tidak mengatakan kepada benih Yakub, ’Carilah aku dengan percuma, hai, kamu sekalian.’ Akulah Yehuwa, yang mengatakan apa yang adil-benar, memberitahukan apa yang benar. . . . Berpalinglah kepadaku dan perolehlah keselamatan, kamu semua yang berada di ujung-ujung bumi.”—Yes 45:19-22.
Dengan nada serupa, rasul Petrus menulis, ”Yehuwa tidak lambat sehubungan dengan janjinya [tentang hari perhitungan yang akan datang], seperti anggapan beberapa orang, tetapi ia sabar kepada kamu karena ia tidak ingin seorang pun dibinasakan tetapi ingin agar semuanya bertobat.” (2Ptr 3:9) Jika Allah sudah mengetahui dan menetapkan sebelumnya dengan tepat, beberapa milenium di muka, siapa yang akan menerima keselamatan abadi dan siapa yang akan menerima kebinasaan abadi, tentu patut dipertanyakan apa gunanya ’kesabaran’ Allah dan seberapa tuluskah keinginan-Nya agar ’semuanya bertobat’. Di bawah ilham, rasul Yohanes menulis bahwa ”Allah adalah kasih”, dan rasul Paulus menyatakan bahwa kasih ”mempunyai harapan akan segala sesuatu”. (1Yoh 4:8; 1Kor 13:4, 7) Selaras dengan sifat ilahi yang luar biasa itulah Allah menunjukkan keterbukaan dan kebaikan hati yang tulus kepada semua orang, karena Ia ingin agar mereka memperoleh keselamatan, selama mereka tidak membuktikan diri tidak layak, tidak dapat diharapkan lagi. (Bdk. 2Ptr 3:9; Ibr 6:4-12.) Karena itu, rasul Paulus berbicara tentang ”sifat baik hati dari Allah [yang] mencoba menuntun engkau kepada pertobatan”.—Rm 2:4-6.
Akhirnya andaikata, melalui apa yang Allah ketahui di muka, telah ditetapkan bahwa kesempatan untuk menerima manfaat korban tebusan Kristus Yesus sudah tertutup rapat bagi beberapa, atau mungkin jutaan orang, bahkan sebelum kelahiran mereka, dan hal itu tak dapat dibatalkan lagi, sehingga orang-orang tersebut tidak pernah dapat membuktikan diri layak, tidaklah dapat benar-benar dikatakan bahwa tebusan itu tersedia bagi semua orang. (2Kor 5:14, 15; 1Tim 2:5, 6; Ibr 2:9) Sikap tidak berat sebelah Allah jelas bukan sekadar kata-kata kiasan. ”Orang dari bangsa mana pun yang takut kepada [Allah] dan mengerjakan keadilbenaran diperkenan olehnya.” (Kis 10:34, 35; Ul 10:17; Rm 2:11) Semua orang benar-benar dan sungguh-sungguh boleh memilih untuk ”mencari Allah, jika mereka mungkin mencari-cari dia dan benar-benar menemukan dia, meskipun dia sebenarnya tidak jauh dari kita masing-masing”. (Kis 17:26, 27) Karena itu, anjuran serta undangan ilahi pada akhir buku Penyingkapan bukanlah harapan hampa atau janji kosong, ”Siapa pun yang mendengar, biarlah ia mengatakan, ’Marilah!’ Dan siapa pun yang haus, biarlah ia datang; dan siapa pun yang ingin, biarlah ia mengambil air kehidupan dengan cuma-cuma.”—Pny 22:17.
Hal-Hal yang Diketahui dan Ditetapkan Sebelumnya. Dalam seluruh catatan Alkitab, penggunaan kuasa Allah untuk mengetahui dan menetapkan sesuatu sebelumnya, secara konsisten terkait dengan maksud-tujuan serta kehendak-Nya. ”Mempunyai maksud-tujuan” berarti menetapkan sesuatu di hadapan diri sendiri sebagai tujuan atau sasaran yang harus dicapai. (Kata Yunani proʹthe·sis, yang diterjemahkan ”maksud-tujuan”, secara harfiah berarti, ”tindakan menaruh atau menetapkan [sesuatu] di hadapan”.) Karena maksud-tujuan Allah pasti tercapai, Ia dapat mengetahui di muka hasilnya, perwujudan akhir dari maksud-tujuan-Nya, dan dapat menetapkan sebelumnya maksud-tujuan tersebut maupun langkah-langkah yang Ia anggap perlu diambil untuk mencapainya. (Yes 14:24-27) Maka dikatakan bahwa Yehuwa ’membentuk’ (dari kata Ibrani ya·tsarʹ, yang berkaitan dengan kata untuk ”tukang tembikar” [Yer 18:4]) maksud-tujuan-Nya berkenaan dengan peristiwa atau tindakan tertentu di masa depan. (2Raj 19:25; Yes 46:11; bdk. Yes 45:9-13, 18.) Sebagai Tukang Tembikar Agung, Allah ”melaksanakan segala sesuatu menurut apa yang diputuskan oleh kehendaknya”, selaras dengan maksud-tujuan-Nya (Ef 1:11), dan ”membuat semua perbuatannya bekerja sama” demi kebaikan orang-orang yang mengasihi-Nya. (Rm 8:28) Maka, khususnya berkenaan dengan maksud-tujuan yang telah Ia tetapkan sebelumnya, Allah memberi tahu ’sejak awal kesudahannya, dan dari masa lampau, hal-hal yang belum terlaksana’.—Yes 46:9-13.
Pada waktu Allah menciptakan pasangan manusia pertama, mereka sempurna, dan Allah dapat memandang hasil semua pekerjaan penciptaan-Nya dan mendapatinya ”sangat baik”. (Kej 1:26, 31; Ul 32:4) Ia tidak memiliki perasaan tidak percaya kepada pasangan manusia itu, dan Ia juga tidak mengkhawatirkan apa yang akan mereka lakukan di masa depan, tetapi sebaliknya, menurut catatan, Ia ”mulai beristirahat”. (Kej 2:2) Ia dapat berbuat demikian karena Ia mahakuasa dan memiliki hikmat yang unggul, sehingga tindakan, keadaan, atau kemungkinan apa pun di masa depan tidak ada yang dapat menjadi rintangan yang tak teratasi atau problem yang tak terpecahkan yang akan menghalangi perwujudan maksud-tujuan-Nya yang sangat mulia. (2Taw 20:6; Yes 14:27; Dan 4:35) Karena itu, tidak ada dasar Alkitab bagi argumentasi dari paham takdir bahwa jika Allah dengan cara demikian menahan diri untuk menggunakan kuasa-Nya untuk mengetahui segala sesuatu sebelumnya, hal itu akan membahayakan maksud-tujuan Allah, sebab ”selalu akan ada kemungkinan [maksud-tujuan-Nya] digagalkan karena kurangnya pandangan ke depan, dan [bahwa] Ia harus terus membenahi sistem-Nya yang dikacaukan oleh tindakan tak terduga dari makhluk-makhluk bermoral”. Selain itu, penggunaan kuasa-Nya secara selektif untuk melihat sesuatu sebelumnya juga tidak memberi makhluk ciptaan-Nya kuasa untuk ”menggagalkan tindakan [Allah], sehingga membuat-Nya senantiasa mengubah pikiran-Nya, membuat-Nya kesal, dan membuat-Nya bingung”, demikian pengakuan para penganut paham takdir. (Cyclopaedia karya M’Clintock dan Strong, 1894, Jil. VIII, hlm. 556) Jika hamba-hamba Allah di bumi saja sebenarnya tidak perlu ”khawatir mengenai hari berikutnya” terlebih pula Pencipta mereka, yang bagi-Nya bangsa-bangsa yang perkasa adalah bagaikan ”setitik air dari timba”, tentu tidak pernah memiliki kekhawatiran demikian.—Mat 6:34; Yes 40:15.
Mengenai kelompok-kelompok orang. Contoh-contoh juga dikemukakan, yang menunjukkan bahwa Allah memang mengetahui sebelumnya haluan yang akan diambil oleh kelompok atau bangsa tertentu, ataupun mayoritas umat manusia, dan berdasarkan itu Ia menubuatkan haluan dasar tindak tanduk mereka di masa depan dan menetapkan sebelumnya tindakan tepat yang akan diambil-Nya terhadap mereka. Tetapi hal-hal yang diketahui atau ditetapkan di muka tersebut tidak membuat orang perorangan dalam kelompok kolektif itu kehilangan kebebasan memilih haluan tertentu yang ingin mereka ikuti. Hal ini dapat dilihat dari contoh-contoh berikut:
Sebelum Air Bah pada zaman Nuh, Yehuwa mengumumkan maksud-tujuan-Nya untuk melaksanakan pembinasaan itu, yang akan mengakibatkan hilangnya nyawa manusia maupun binatang. Tetapi, menurut catatan Alkitab, keputusan ilahi tersebut dibuat setelah keadaan berkembang sedemikian rupa, termasuk kekerasan dan kejahatan lain, sehingga menuntut tindakan demikian. Selain itu, Allah, yang dapat ”mengetahui hati putra-putra manusia”, melakukan pemeriksaan dan mendapati bahwa ”setiap kecenderungan niat hati [umat manusia] selalu jahat semata-mata”. (2Taw 6:30; Kej 6:5) Namun, individu-individu, Nuh dan keluarganya, mendapat perkenan Allah dan luput dari pembinasaan.—Kej 6:7, 8; 7:1.
Demikian pula, Allah memberi bangsa Israel kesempatan untuk menjadi ”suatu kerajaan imam dan suatu bangsa yang kudus” apabila mereka memenuhi perjanjian-Nya, namun sekitar 40 tahun kemudian, ketika bangsa itu berada di perbatasan Tanah Perjanjian, Yehuwa menubuatkan bahwa mereka akan melanggar perjanjian-Nya, dan sebagai bangsa, akan ditinggalkan oleh-Nya. Tetapi apa yang diketahui di muka itu bukanlah tanpa dasar, karena bangsa tersebut sudah memperlihatkan diri membangkang dan memberontak. Oleh karena itu, Allah berfirman, ”Sebab aku tahu benar kecenderungan yang mereka perkembangkan pada hari ini sebelum aku membawa mereka masuk ke negeri yang telah kujanjikan dengan sumpah.” (Kel 19:6; Ul 31:16-18, 21; Mz 81:10-13) Allah dapat mengetahui sebelumnya bahwa kecenderungan yang nyata demikian akan mengakibatkan meningkatnya kefasikan, tanpa membuat-Nya bertanggung jawab atas kondisi tersebut, sama seperti orang yang mengetahui sebelumnya bahwa bangunan tertentu yang didirikan dengan bahan-bahan yang rendah mutunya dan dibuat secara asal-asalan akan hancur, tidak membuat orang itu bertanggung jawab atas kehancuran tersebut. Aturan ilahi berlaku, yaitu ’apa yang ditabur, ini juga yang akan dituai’. (Gal 6:7-9; bdk. Hos 10:12, 13.) Nabi-nabi tertentu menyampaikan peringatan-peringatan yang bersifat nubuat tentang pernyataan penghakiman yang telah Allah tetapkan di muka, yang semuanya didasarkan atas kondisi yang ada dan sikap hati yang dipertunjukkan pada waktu itu. (Mz 7:8, 9; Ams 11:19; Yer 11:20) Namun sekali lagi dalam hal ini, orang perorangan dapat dan ada yang memang menyambut nasihat, teguran, dan peringatan Allah, sehingga layak mendapat perkenan-Nya.—Yer 21:8, 9; Yeh 33:1-20.
Putra Allah, yang juga dapat membaca hati orang (Mat 9:4; Mrk 2:8; Yoh 2:24, 25), dianugerahi Allah kuasa untuk mengetahui dan menubuatkan keadaan, peristiwa, dan pernyataan penghakiman ilahi di masa depan. Ia menubuatkan vonis Gehena bagi para penulis dan orang Farisi sebagai kelompok (Mat 23:15, 33) tetapi sehubungan dengan hal itu ia tidak mengatakan bahwa setiap orang Farisi atau penulis secara perorangan sudah ditakdirkan untuk dibinasakan, seperti diperlihatkan dalam kasus rasul Paulus. (Kis 26:4, 5) Yesus meramalkan bencana bagi Yerusalem dan kota-kota lain yang tidak bertobat, tetapi ia tidak menunjukkan bahwa Bapaknya telah menetapkan sebelumnya bahwa setiap orang di kota-kota itu akan menderita bencana tersebut. (Mat 11:20-23; Luk 19:41-44; 21:20, 21) Ia juga mengetahui apa akibat kecenderungan dan sikap hati umat manusia dan menubuatkan keadaan yang pasti akan berkembang di antara umat manusia pada masa ”penutup sistem ini”, maupun pelaksanaan maksud-tujuan Allah sendiri. (Mat 24:3, 7-14, 21, 22) Rasul-rasul Yesus juga memberitakan nubuat-nubuat yang memanifestasikan apa yang sudah Allah ketahui di muka tentang kelompok-kelompok tertentu, seperti ”antikristus” (1Yoh 2:18, 19; 2Yoh 7), dan juga akhir yang sudah ditetapkan bagi kelompok tersebut.—2Tes 2:3-12; 2Ptr 2:1-3; Yud 4.
Mengenai individu-individu. Selain hal-hal yang diketahui di muka tentang kelompok-kelompok, individu-individu tertentu secara khusus terkait dalam prakiraan ilahi. Mereka antara lain adalah Esau dan Yakub (yang disebutkan sebelumnya), Firaun pada waktu Eksodus, Simson, Salomo, Yosia, Yeremia, Kores, Yohanes Pembaptis, Yudas Iskariot, dan Putra Allah sendiri, Yesus.
Dalam kasus Simson, Yeremia, dan Yohanes Pembaptis, Yehuwa menggunakan kuasa-Nya untuk mengetahui hal-hal tertentu sebelum mereka lahir. Pengetahuan tersebut tidak mencakup perincian tentang bagaimana akhir kehidupan mereka kelak, namun atas dasar itu, Yehuwa menetapkan sebelumnya bahwa Simson harus menjalani kehidupan sesuai dengan ikrar Kenaziran dan harus mulai membebaskan Israel dari orang Filistin, bahwa Yeremia harus melayani sebagai nabi, dan bahwa Yohanes Pembaptis harus melakukan pekerjaan persiapan sebagai pembuka jalan bagi sang Mesias. (Hak 13:3-5; Yer 1:5; Luk 1:13-17) Oleh karena hak istimewa tersebut, mereka sangat diperkenan, tetapi hal itu tidak menjamin bahwa mereka akan memperoleh keselamatan kekal atau bahwa mereka akan tetap setia sampai mati (meskipun ketiga-tiganya memang tetap setia). Sebagai contoh, Yehuwa menubuatkan bahwa salah seorang dari banyak putra Daud akan dinamai Salomo dan Ia menetapkan sebelumnya bahwa Salomo akan digunakan untuk membangun bait. (2Sam 7:12, 13; 1Raj 6:12; 1Taw 22:6-19) Akan tetapi, walaupun mendapat perkenan dalam hal ini dan bahkan mendapat hak istimewa untuk menulis buku-buku tertentu dalam Tulisan-Tulisan Kudus, pada akhir tahun-tahun kehidupannya Salomo menjadi murtad.—1Raj 11:4, 9-11.
Demikian pula dengan Esau dan Yakub, pengetahuan yang Allah miliki tidak menentukan akhir kekal mereka, tetapi menentukan atau menetapkan sebelumnya kelompok bangsa mana dari keturunan kedua putra itu yang akan menduduki posisi yang lebih dominan atas kelompok bangsa satunya. (Kej 25:23-26) Posisi dominan yang telah dinubuatkan itu juga menunjukkan bahwa Yakub akan memperoleh hak kesulungan, yaitu hak yang erat kaitannya dengan hak istimewa untuk berada dalam garis keturunan yang melaluinya ’benih’ Abraham akan muncul. (Kej 27:29; 28:13, 14) Melalui hal itu Allah Yehuwa membuat jelas bahwa dalam memilih individu-individu yang akan digunakan secara khusus, Ia tidak terikat pada kebiasaan atau prosedur umum yang sesuai dengan harapan manusia. Hak-hak istimewa yang Allah tetapkan juga tidak diberikan semata-mata atas dasar perbuatan, yang bisa membuat seseorang merasa ’berhak’ memperoleh hak-hak istimewa demikian ’sebagai imbalan’. Rasul Paulus menandaskan pokok tersebut ketika menunjukkan mengapa Allah, melalui kebaikan hati yang tidak selayaknya diperoleh, dapat mengaruniakan kepada bangsa-bangsa non-Yahudi hak-hak istimewa yang tampaknya pernah dikhususkan bagi Israel.—Rm 9:1-6, 10-13, 30-32.
Paulus mengutip kata-kata yang menyebutkan bahwa Yehuwa ’mengasihi Yakub [Israel] dan membenci Esau [Edom]’ dari Maleakhi 1:2, 3, yang ditulis lama setelah zaman Yakub dan Esau. Jadi, Alkitab tidak secara pasti mengatakan bahwa Yehuwa telah memiliki pandangan demikian tentang anak-anak kembar itu sebelum kelahiran mereka. Menurut fakta yang telah diteguhkan secara ilmiah, sebagian besar watak dan temperamen dasar seorang anak ditentukan pada saat pembuahan oleh faktor-faktor genetika yang berasal dari kedua orang tuanya. Fakta bahwa Allah dapat melihat faktor-faktor tersebut sudah sangat jelas; Daud mengatakan bahwa Yehuwa melihat ”bahkan ketika aku masih embrio”. (Mz 139:14-16; lihat juga Pkh 11:5.) Sejauh mana pemahaman ilahi tersebut mempengaruhi penetapan di muka yang Yehuwa lakukan atas kedua anak tersebut, tidak dapat dikatakan, tetapi bagaimanapun, tindakan-Nya memilih Yakub dan bukan Esau tidak secara otomatis berarti bahwa Esau atau keturunannya, orang Edom, telah ditetapkan untuk binasa. Bahkan pribadi-pribadi dari antara orang Kanaan yang terkutuk mendapat hak istimewa untuk bergabung dengan umat perjanjian Allah dan menerima berkat. (Kej 9:25-27; Yos 9:27; lihat KANAAN No. 2.) Tetapi ”perubahan pikiran” yang dengan sungguh-sungguh Esau mohonkan dengan air mata hanyalah suatu usaha yang sia-sia untuk mengubah keputusan ayahnya, Ishak, bahwa berkat khusus bagi anak sulung tetap dan sepenuhnya diberikan kepada Yakub. Jadi, hal itu menunjukkan bahwa Esau tidak bertobat di hadapan Allah sehubungan dengan sikapnya yang materialistis.—Kej 27:32-34; Ibr 12:16, 17.
Dalam nubuat Yehuwa berkenaan dengan Yosia disebutkan bahwa salah seorang keturunan Daud akan dinamai demikian, dan bahwa ia akan mengambil tindakan terhadap ibadat palsu di kota Betel. (1Raj 13:1, 2) Lebih dari tiga abad kemudian, seorang raja yang diberi nama Yosia menggenapi nubuat itu. (2Raj 22:1; 23:15, 16) Tetapi ia tidak mengindahkan ”perkataan Nekho yang berasal dari mulut Allah”, sehingga ia tewas. (2Taw 35:20-24) Maka, sekalipun telah diketahui sebelumnya oleh Allah dan ditetapkan sebelumnya untuk melakukan pekerjaan tertentu, Yosia tetap adalah makhluk bermoral dengan kebebasan memilih, untuk mengindahkan atau mengabaikan saran.
Demikian pula, hampir dua abad sebelumnya, Yehuwa menubuatkan bahwa Ia akan menggunakan seorang penakluk bernama Kores untuk membebaskan orang Yahudi dari Babilon. (Yes 44:26-28; 45:1-6) Tetapi Alkitab tidak menyatakan bahwa orang Persia yang kemudian bernama demikian sebagai penggenapan nubuat ilahi belakangan menjadi penyembah sejati Yehuwa, dan menurut sejarah sekuler, ia tetap menyembah allah-allah palsu.
Maka kasus-kasus di atas, tentang pengetahuan yang dimiliki sebelum kelahiran individu-individu tersebut, tidak bertentangan dengan sifat dan standar Allah yang telah dinyatakan. Selain itu, tidak ada petunjuk apa pun bahwa Allah memaksa individu-individu itu untuk bertindak bertentangan dengan kehendak mereka sendiri. Dalam kasus Firaun, Yudas Iskariot, dan Putra Allah sendiri, tidak ada bukti bahwa Yehuwa menggunakan pengetahuan yang Ia miliki di muka sebelum eksistensi orang yang bersangkutan. Dalam kasus-kasus khusus itu digambarkan prinsip-prinsip tertentu sehubungan dengan kuasa Allah untuk mengetahui dan menetapkan sesuatu di muka.
Salah satu prinsip itu ialah Allah menguji individu-individu dengan menyebabkan atau membiarkan terjadinya keadaan atau peristiwa tertentu, atau dengan membuat orang-orang tersebut mendengar berita-Nya yang terilham. Hasilnya, mereka mau tidak mau menggunakan kebebasan mereka untuk membuat keputusan dan dengan demikian menyingkapkan sikap hati tertentu, yang terbaca oleh Yehuwa. (Ams 15:11; 1Ptr 1:6, 7; Ibr 4:12, 13) Sesuai dengan tanggapan orang-orang tersebut, Allah juga dapat membentuk mereka selaras dengan haluan yang telah mereka pilih atas kehendak sendiri. (1Taw 28:9; Mz 33:13-15; 139:1-4, 23, 24) Jadi, ”hati manusia” mula-mula mempunyai kecenderungan untuk menempuh suatu jalan tertentu sebelum Yehuwa mengarahkan langkah-langkahnya. (Ams 16:9; Mz 51:10) Di bawah ujian, keadaan hati seseorang dapat menjadi keras, karena ketidakadilbenaran dan pemberontakan, atau menjadi teguh dalam pengabdian yang tak terpatahkan kepada Allah Yehuwa dan dalam melakukan kehendak-Nya. (Ayb 2:3-10; Yer 18:11, 12; Rm 2:4-11; Ibr 3:7-10, 12-15) Setelah sampai pada tahap itu berkenaan dengan pilihannya sendiri, hasil akhir haluan individu tersebut kini dapat diketahui sebelumnya dan dinubuatkan tanpa ada ketidakadilan, dan tanpa melanggar kebebasan manusia untuk memilih yang disertai tanggung jawab.—Bdk. Ayb 34:10-12.
Kasus Abraham yang setia, sebagaimana sudah dibahas, menggambarkan prinsip-prinsip tersebut. Kontrasnya adalah kasus Firaun, yang hidup pada zaman Eksodus, yang tidak tanggap. Yehuwa sudah tahu sebelumnya bahwa Firaun tidak akan mengizinkan orang Israel pergi ”kecuali dipaksa dengan tangan yang kuat” (Kel 3:19, 20), dan Ia telah menetapkan sebelumnya tulah yang mengakibatkan kematian anak sulung. (Kel 4:22, 23) Pembahasan rasul Paulus tentang cara Allah berurusan dengan Firaun sering dipahami secara keliru, yaitu bahwa Allah sengaja mengeraskan hati orang-orang sesuai dengan maksud-tujuan yang telah Ia tetapkan sebelumnya, tanpa mengindahkan kecenderungan, atau sikap hati, yang sebelumnya telah diperlihatkan orang tersebut. (Rm 9:14-18) Demikian pula, menurut banyak terjemahan, Allah memberi tahu Musa bahwa Ia akan ”mengeraskan hati [Firaun]”. (Kel 4:21, TB; bdk. Kel 9:12; 10:1, 27.) Tetapi dalam mengalihbahasakan catatan Ibrani itu, beberapa terjemahan menyatakan bahwa Yehuwa ”membiarkan hati [Firaun] menjadi keras seperti lilin” (Ro); ”membiarkan hati [Firaun] menjadi keras” (NW). Untuk mendukung terjemahan demikian, apendiks dalam terjemahan Rotherham menunjukkan bahwa dalam bahasa Ibrani alasan atau diizinkannya suatu peristiwa sering dikemukakan seolah-olah sebagai penyebab peristiwa itu, dan bahwa ”bahkan perintah-perintah positif adakalanya harus dipahami sekadar sebagai izin belaka”. Oleh karena itu, di Keluaran 1:17 teks Ibrani aslinya secara harfiah menyatakan bahwa bidan-bidan ”menyebabkan anak-anak lelaki itu hidup”, sedangkan kenyataannya adalah, mereka mengizinkan anak-anak itu hidup dengan tidak membunuh mereka. Setelah mengutip para pakar Ibrani, yaitu M. M. Kalisch, H. F. W. Gesenius, dan B. Davies, sebagai dukungan, Rotherham menyatakan bahwa dalam bahasa Ibrani arti ayat-ayat yang berkaitan dengan Firaun ialah bahwa ”Allah mengizinkan Firaun mengeraskan hatinya sendiri—tidak menghukum dia—memberinya kesempatan, alasan, untuk mengeluarkan kefasikan yang ada dalam dirinya. Hanya itu”.—The Emphasised Bible, apendiks, hlm. 919; bdk. Yes 10:5-7.
Yang meneguhkan pengertian itu adalah fakta bahwa catatan itu secara pasti menunjukkan bahwa Firaun sendiri ’mengeraskan hatinya’. (Kel 8:15, 32, TL, KJ; ”tetap berkeras hati”, TB; ”membuat hatinya tidak tanggap”, NW) Jadi, ia menjalankan kehendaknya sendiri dan mengikuti kecenderungannya sendiri yang keras, dan akibatnya telah Yehuwa lihat sebelumnya dan ramalkan dengan saksama. Kesempatan yang berulang kali Yehuwa berikan kepadanya memaksa Firaun untuk membuat keputusan, dan dengan berbuat demikian sikapnya menjadi keras. (Bdk. Pkh 8:11, 12.) Sebagaimana diperlihatkan oleh rasul Paulus dengan mengutip Keluaran 9:16, Yehuwa membiarkan masalahnya berkembang dengan cara itu sampai kesepuluh tulah itu seluruhnya terjadi untuk memanifestasikan kuasa-Nya dan agar nama-Nya diumumkan di seluruh bumi.—Rm 9:17, 18.
Apakah Allah menakdirkan Yudas untuk mengkhianati Yesus demi menggenapi nubuat?
Pengkhianatan Yudas Iskariot menggenapi nubuat ilahi dan memperlihatkan kuasa Yehuwa maupun Putra-Nya untuk mengetahui hal-hal di muka. (Mz 41:9; 55:12, 13; 109:8; Kis 1:16-20) Namun, tidak dapat dikatakan bahwa Allah menetapkan sebelumnya atau menakdirkan bahwa Yudas yang akan melakukan tindakan tersebut. Nubuat-nubuat menyatakan bahwa seorang kenalan akrab Yesus akan mengkhianatinya, tetapi tidak memerinci siapa di antara kenalan-kenalan itu yang akan menjadi pengkhianat. Sekali lagi, prinsip-prinsip Alkitab menepis anggapan bahwa Allah telah menetapkan sebelumnya tindakan Yudas. Standar ilahi yang dinyatakan oleh sang rasul adalah, ”Jangan sekali-kali meletakkan tanganmu secara tergesa-gesa ke atas siapa pun; juga jangan mengambil bagian dalam dosa orang-orang lain; jagalah dirimu murni.” (1Tim 5:22; bdk. 3:6.) Sebagai bukti bahwa ia dengan sungguh-sungguh memikirkan pemilihan ke-12 rasulnya, agar bijaksana dan tepat, Yesus berdoa sepanjang malam kepada Bapaknya sebelum memberitahukan keputusannya. (Luk 6:12-16) Jika Yudas sudah Allah tetapkan sebelumnya untuk menjadi pengkhianat, berarti pengarahan dan bimbingan yang Allah berikan tidak konsisten dan, menurut peraturan, berarti Allah memiliki andil dalam dosa yang dilakukan seseorang.
Jadi, nyatalah bahwa pada waktu Yudas dipilih sebagai rasul, tidak ada bukti yang pasti bahwa ia memiliki kecenderungan untuk berkhianat. Ia membiarkan ’akar beracun tumbuh’ dan mencemarinya, yang mengakibatkan ia menyimpang dan menerima, bukan petunjuk dari Allah, melainkan dari si Iblis yang menuntunnya ke pencurian dan pengkhianatan. (Ibr 12:14, 15; Yoh 13:2; Kis 1:24, 25; Yak 1:14, 15; lihat YUDAS No. 4.) Pada waktu penyimpangan tersebut sampai pada tahap tertentu, Yesus sendiri dapat membaca hati Yudas dan menubuatkan pengkhianatannya.—Yoh 13:10, 11.
Memang, dalam catatan di Yohanes 6:64, pada waktu beberapa murid tersandung oleh ajaran-ajaran tertentu yang Yesus sampaikan, kita membaca bahwa ”sejak semula [”dari mulanya”, TL, BIS; Yn., ar·kheʹ] Yesus tahu siapa saja yang tidak percaya dan siapa yang akan mengkhianatinya”. Meskipun kata ar·kheʹ yang diterjemahkan ”sejak awal” di 2 Petrus 3:4 digunakan untuk saat dimulainya penciptaan, kata itu juga dapat memaksudkan waktu-waktu lain. (Luk 1:2; Yoh 15:27) Misalnya, ketika rasul Petrus menyatakan bahwa roh kudus turun ke atas orang-orang non-Yahudi ”sama seperti yang juga terjadi atas kita pada mulanya”, ia jelas tidak memaksudkan awal mula ia menjadi murid atau rasul tetapi suatu saat penting dalam pelayanannya, yaitu hari Pentakosta, tahun 33 M, pada awal mula pencurahan roh kudus untuk tujuan tertentu. (Kis 11:15; 2:1-4) Karena itu, komentar berikut tentang Yohanes 6:64 dalam Commentary on the Holy Scriptures karya Lange (hlm. 227) menarik untuk diperhatikan, ”Awal mula . . . tidak berarti, secara metafisik sejak awal mula segala sesuatu, . . . juga bukan sejak awal mula Ia [Yesus] berkenalan dengan setiap [murid], . . . juga bukan sejak awal mula Ia mengumpulkan murid-murid kepada-Nya, atau awal mula pelayanan Mesianik-Nya, . . . melainkan sejak bibit-bibit ketidakpercayaan pertama yang bersifat rahasia [yang menyebabkan beberapa murid tersandung]. Demikian pula, Ia mengetahui pengkhianat-Nya sejak awal mula.”—Diterjemahkan dan diedit oleh P. Schaff, 1976; bdk. 1Yoh 3:8, 11, 12.
Penetapan Mesias di muka. Allah Yehuwa sudah mengetahui sebelumnya dan menubuatkan tentang penderitaan sang Mesias, kematian yang akan ia alami, dan kebangkitannya setelah itu. (Kis 2:22, 23, 30, 31; 3:18; 1Ptr 1:10, 11) Terwujudnya hal-hal yang telah ditentukan oleh Allah yang menggunakan kemampuan-Nya untuk mengetahui sesuatu di muka, sebagian bergantung pada kuasa yang Allah sendiri gunakan dan sebagian lagi pada tindak tanduk manusia sendiri. (Kis 4:27, 28) Tetapi orang-orang tersebut dengan sukarela membiarkan diri dikalahkan oleh Musuh Allah, Setan si Iblis. (Yoh 8:42-44; Kis 7:51-54) Karena itu, sebagaimana orang-orang Kristen pada zaman Paulus ”bukannya tidak mengetahui siasat [Setan]”, Allah telah melihat sebelumnya keinginan dan cara-cara fasik yang dirancang si Iblis terhadap Yesus Kristus, Pribadi Terurap Allah. (2Kor 2:11) Jelas bahwa kuasa Allah juga dapat menggagalkan atau bahkan menghalangi serangan atau upaya fasik apa pun atas sang Mesias yang tidak selaras dengan cara atau waktu yang dinubuatkan.—Bdk. Mat 16:21; Luk 4:28-30; 9:51; Yoh 7:1, 6-8; 8:59.
Pernyataan rasul Petrus bahwa Kristus, sebagai Anak Domba Allah yang akan dikorbankan, ”telah diketahui sebelumnya, yaitu sebelum dunia [koʹsmou] dijadikan [bentuk kata Yunani ka·ta·bo·leʹ]”, menurut penafsiran para pendukung paham takdir, berarti bahwa Allah menggunakan pengetahuan di muka sebelum penciptaan manusia. (1Ptr 1:19, 20) Kata Yunani ka·ta·bo·leʹ, yang diterjemahkan ”dijadikan”, secara harfiah berarti ”melempar ke bawah” dan dapat memaksudkan ”mengandung benih”, seperti di Ibrani 11:11. Walaupun dunia umat manusia ”dijadikan” ketika Allah menciptakan pasangan manusia pertama, seperti diperlihatkan di Ibrani 4:3, 4, setelah itu, pasangan tersebut kehilangan kedudukan mereka sebagai anak-anak Allah. (Kej 3:22-24; Rm 5:12) Namun, melalui kebaikan hati Allah yang tidak selayaknya diperoleh, mereka diizinkan untuk mengandung benih dan menghasilkan keturunan, yang salah satu di antaranya secara spesifik ditunjukkan dalam Alkitab memperoleh perkenan Allah dan memperlihatkan diri layak mendapat pengampunan dan keselamatan, yaitu Habel. (Kej 4:1, 2; Ibr 11:4) Patut diperhatikan bahwa di Lukas 11:49-51 Yesus berbicara tentang ”darah semua nabi yang ditumpahkan sejak dunia dijadikan” dan menyejajarkan hal itu dengan kata-kata ”sejak darah Habel terus sampai ke darah Zakharia”. Jadi, Yesus menghubungkan Habel dengan ’dijadikannya dunia’.
Sang Mesias, atau Kristus, akan menjadi Benih yang dijanjikan dan melaluinya semua orang yang adil-benar dari semua keluarga di bumi akan diberkati. (Gal 3:8, 14) ’Benih’ itu untuk pertama kali disebutkan setelah pemberontakan di Eden dimulai, tetapi sebelum kelahiran Habel. (Kej 3:15) Hal itu terjadi sekitar 4.000 tahun sebelum ”rahasia suci” disingkapkan dengan dinyatakannya siapa ’benih’ Mesianik itu. Jadi, ”rahasia suci” itu benar-benar ”dibiarkan bungkam untuk waktu yang lama”.—Rm 16:25-27; Ef 1:8-10; 3:4-11.
Pada waktu yang ditetapkan-Nya, Allah Yehuwa menugasi Putra sulung-Nya untuk memenuhi peran sebagai ’benih’ yang telah dinubuatkan itu dan menjadi Mesias. Tidak ada bukti apa pun bahwa Putra itu telah ”ditakdirkan” untuk menjalani peranan tersebut, apalagi sebelum ia diciptakan atau sebelum pemberontakan timbul di Eden. Fakta bahwa Allah akhirnya memilih dia sebagai pribadi yang ditugasi untuk menggenapi nubuat-nubuat juga tidak Ia lakukan tanpa dasar yang sudah ada sebelumnya. Melalui pergaulan yang akrab antara Allah dan Putra-Nya selama suatu periode tertentu sebelum sang Putra diutus ke bumi, tidak diragukan, Yehuwa ”mengenal” Putra-Nya sampai taraf Ia dapat yakin bahwa Putra-Nya akan dengan setia menggenapi janji-janji serta gambaran nubuat.—Bdk. Rm 15:5; Flp 2:5-8; Mat 11:27; Yoh 10:14, 15; lihat YESUS KRISTUS (Diuji dan Disempurnakan).
Penetapan di muka atas ’orang-orang pilihan yang terpanggil’. Masih ada ayat-ayat yang membahas tentang orang-orang Kristen ”pilihan”, atau yang ”terpanggil”. (Yud 1; Mat 24:24) Disebutkan bahwa mereka ’dipilih menurut apa yang telah diketahui sebelumnya oleh Allah’ (1Ptr 1:1, 2), ’dipilih sebelum dunia dijadikan’, ’ditetapkan sebelumnya untuk diangkat menjadi putra-putra Allah’ (Ef 1:3-5, 11), ’dipilih sejak awal untuk diselamatkan dan dipanggil untuk tujuan ini’ (2Tes 2:13, 14). Pengertian akan ayat-ayat itu bergantung pada apakah ayat-ayat itu memaksudkan penetapan di muka atas orang-orang tertentu secara perorangan atau menguraikan penetapan di muka atas suatu kelompok orang, yaitu sidang Kristen, ”satu tubuh” (1Kor 10:17) yang terdiri dari orang-orang yang akan menjadi sesama ahli waris bersama Kristus Yesus dalam Kerajaan surgawinya.—Ef 1:22, 23; 2:19-22; Ibr 3:1, 5, 6.
Seandainya kata-kata tersebut berlaku atas individu-individu tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya untuk memperoleh keselamatan kekal, mereka tentu tidak pernah akan terbukti tidak setia atau gagal dalam panggilan mereka, sebab pengetahuan yang Allah miliki sebelumnya tentang mereka tidak mungkin terbukti tidak akurat dan penetapan di muka yang Ia lakukan atas mereka untuk tujuan tertentu mustahil gagal atau digagalkan. Tetapi rasul-rasul yang sama, yang diilhami untuk menulis kata-kata di atas, menunjukkan bahwa beberapa orang akan jatuh dan mustahil ditobatkan kembali dan mendatangkan kebinasaan atas diri sendiri, padahal mereka telah ’dibeli’ dan ’disucikan’ oleh darah korban tebusan Kristus dan telah ”mengecap karunia surgawi cuma-cuma” dan ”telah mengambil bagian dari roh kudus . . . dan kuasa dari sistem yang akan datang”. (2Ptr 2:1, 2, 20-22; Ibr 6:4-6; 10:26-29) Para rasul secara terpadu mendesak orang-orang yang mereka surati, ’Berupayalah sebisa-bisanya untuk menjadikan panggilan dan pemilihanmu pasti bagi dirimu; karena jika kamu terus melakukan perkara-perkara ini kamu tidak akan tersandung dan jatuh’; selain itu, ”Teruslah upayakan keselamatanmu dengan takut dan gemetar.” (2Ptr 1:10, 11; Flp 2:12-16) Paulus, yang ”dipanggil untuk menjadi rasul Yesus Kristus” (1Kor 1:1), jelas tidak menganggap bahwa ia secara pribadi telah ditakdirkan untuk keselamatan kekal, sebab ia menyatakan tentang upayanya yang keras dalam perjuangan untuk mencapai ”tujuan, yaitu hadiah berupa panggilan ke atas dari Allah” (Flp 3:8-15), dan tentang kekhawatirannya, jangan-jangan ia sendiri ”karena satu atau lain hal menjadi tidak diperkenan”.—1Kor 9:27.
Demikian pula, ”mahkota kehidupan” yang ditawarkan kepada orang-orang tersebut akan diberikan asalkan mereka setia sampai mati di bawah ujian. (Pny 2:10, 23; Yak 1:12) Mahkota mereka, yaitu kedudukan sebagai raja bersama Putra Allah, dapat hilang. (Pny 3:11) Rasul Paulus menyatakan keyakinan bahwa ’mahkota keadilbenaran tersedia baginya’, tetapi ia baru menyatakan hal itu setelah yakin bahwa ia sudah mendekati akhir kehidupannya, setelah ia ’berlari [menjalani kehidupannya] sampai garis akhir’.—2Tim 4:6-8.
Sebaliknya, jika ayat-ayat yang dikutip di atas dianggap berlaku atas suatu kelompok, yaitu atas sidang Kristen, atau ’bangsa kudus’ yang terdiri dari orang-orang terpanggil secara keseluruhan (1Ptr 2:9), berarti Allah sudah mengetahui dan menetapkan sebelumnya bahwa kelompok tersebut (tetapi bukan individu-individu tertentu dalam kelompok itu) akan terbentuk. Selain itu, ayat-ayat tersebut mengartikan bahwa Ia telah menetapkan sebelumnya ”pola” yang harus diikuti oleh semua orang yang pada waktunya akan dipanggil untuk menjadi anggota kelompok itu, semuanya sesuai dengan maksud-tujuan-Nya. (Rm 8:28-30; Ef 1:3-12; 2Tim 1:9, 10) Ia juga menetapkan sebelumnya pekerjaan yang diharapkan akan dilaksanakan oleh orang-orang tersebut dan fakta bahwa mereka akan diuji karena penderitaan yang akan ditimpakan oleh dunia ke atas mereka.—Ef 2:10; 1Tes 3:3, 4.
Mengenai ayat-ayat yang menyebutkan tentang ’nama-nama yang tertulis dalam buku kehidupan’, lihat NAMA.
Paham Fatalisme dan Takdir. Di kalangan orang-orang kafir pada zaman dahulu, termasuk orang Yunani dan Romawi, nasib seseorang, khususnya panjang kehidupannya, sering kali dianggap telah ditentukan sebelumnya oleh para dewa. Menurut mitologi Yunani, nasib manusia ditentukan oleh tiga dewi: Kloto (pemintal), yang memintal benang kehidupan; Lakhesis (pembuang undi), yang menentukan panjangnya kehidupan; dan Atropos (tidak fleksibel), yang memotong kehidupan apabila waktunya sudah habis. Tiga serangkai yang serupa didapati di kalangan dewa-dewi orang Romawi.
Menurut sejarawan Yahudi bernama Yosefus (abad pertama M), orang Farisi berupaya menyelaraskan gagasan tentang takdir dengan keyakinan mereka akan Allah dan dengan kebebasan memilih yang dikaruniakan kepada manusia sebagai makhluk yang bermoral. (The Jewish War, II, 162, 163 [viii, 14]; Jewish Antiquities, XVIII, 13, 14 [i, 3]) Menurut The New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge, ”Sebelum Agustinus [dari abad keempat dan kelima M] tidak ada perkembangan yang serius dalam Kekristenan sehubungan dengan teori takdir.” Sebelum Agustinus, orang-orang yang disebut ”Bapak-Bapak Gereja” masa awal seperti Yustin, Origenes, dan Ireneus ”tidak tahu apa-apa tentang takdir mutlak; mereka mengajarkan kebebasan untuk memilih”. (Encyclopædia of Religion and Ethics karya Hastings, 1919, Jil. X, hlm. 231) Tentang mereka dikatakan bahwa dalam menyanggah Gnostikisme, mereka secara konsisten mengungkapkan keyakinan akan kebebasan manusia untuk memilih yang disertai tanggung jawab, sebagai ”ciri khas kepribadian manusia, dasar bagi tanggung jawab moral, karunia ilahi yang membuat manusia dapat memilih apa yang menyenangkan Allah”, dan mereka berbicara tentang ”otonomi manusia dan kehendak Allah yang tidak bersifat mengekang”.—The New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge, diedit oleh S. Jackson, 1957, Jil. IX, hlm. 192, 193.