Myanmar (Birma)
TERLETAK di antara luasnya India dan Cina, Myanmar adalah negeri yang penuh perbedaan.a Yangon (yang sebelumnya dikenal dengan Rangoon), kota terbesarnya, penuh dengan gedung-gedung bertingkat tinggi, toko-toko yang ramai, dan lalu lintas yang padat. Tetapi, di luar Yangon, terdapat pedesaan yang penduduknya membajak tanah dengan kerbau, memandangi turis asing dengan kagum, dan menjalani kehidupan yang sederhana dan tenang.
Myanmar masa kini mencerminkan Asia masa lalu. Di sini bus-bus reyot melaju di jalan-jalan berlubang, melewati gerobak sapi yang mengangkut panenan ke pasar dan para gembala kambing yang sedang mengurus kawanan di padang. Kebanyakan pria Myanmar masih mengenakan sarung tradisional (lungi). Para wanita mengoleskan lumatan kulit pohon (thanaka) pada muka mereka sebagai riasan. Masyarakatnya sangat religius. Para penganut agama Buddha lebih menyanjung biksu daripada selebriti dan setiap hari menempelkan persembahan stiker emas pada patung-patung Buddha yang berkilauan.
Orang-orang Myanmar lembut, bertimbang rasa, dan selalu ingin tahu. Di negeri ini, ada delapan kelompok etnik utama yang terbagi-bagi lagi menjadi setidaknya 127 kelompok kecil. Setiap kelompok memiliki bahasa, pakaian, makanan, dan budaya yang khas. Sebagian besar penduduknya tinggal di dataran tengah yang luas yang dialiri Sungai Ayeyarwady (Irrawaddy), yang panjangnya 2.170 kilometer mulai dari Pegunungan Himalaya yang penuh es hingga Laut Andaman yang suam-suam kuku. Jutaan orang lainnya tinggal di daerah pesisir yang luas dan di dataran tinggi yang berbatasan dengan Bangladesh, Cina, India, Laos, dan Thailand.
Selama hampir 100 tahun, Saksi-Saksi Yehuwa di Myanmar telah membuktikan iman dan ketekunan yang tak tergoyahkan. Selama masa yang penuh kekerasan dan pergolakan politik, mereka tetap mempertahankan kenetralan. (Yoh. 17:14) Meski adanya kemiskinan, tentangan dari agama, dan kontak yang terbatas dengan persaudaraan internasional mereka, Saksi-Saksi Yehuwa di Myanmar tanpa lelah memberitakan kabar baik Kerajaan Allah. Penuturan berikut menunjukkan kisah mereka yang menghangatkan hati.
Selama hampir 100 tahun, Saksi-Saksi Yehuwa di Myanmar telah membuktikan iman dan ketekunan yang tak tergoyahkan
Membuka Pekerjaan Pengabaran
Pada 1914 yang bersejarah, dua pria Inggris melangkah turun dari kapal uap ke pelabuhan Yangon yang panas menyengat. Hendry Carmichael dan rekan perintisnya berangkat dari India untuk menjalankan tugas sulit, yakni mengabar di Birma. Daerah pengabaran mereka mencakup seluruh negeri itu.
”Boleh saja, tapi ke dunia barunya juga diwakili, ya”
Hendry dan rekannya mulai di Yangon. Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan dua pria Anglo-India yang menunjukkan minat tulus akan kabar Kerajaan.b Bertram Marcelline dan Vernon French segera memutuskan hubungan dengan gereja mereka dan mulai mengabar secara tidak resmi kepada teman-teman mereka. Tidak lama kemudian, sekitar 20 orang mulai berkumpul secara rutin di rumah Bertram untuk mempelajari Alkitab dengan bantuan The Watch Tower.c
Pada 1928, perintis Inggris lainnya dari India, George Wright, mengunjungi Birma dan berkeliling negeri selama lima bulan, membagikan banyak publikasi Alkitab. Bibit-bibit kebenaran yang dibagikan pasti termasuk buku kecil tahun 1920 berjudul Millions Now Living Will Never Die!—publikasi Kristen pertama kita yang diterjemahkan ke bahasa Birma.
Dua tahun kemudian, perintis bernama Claude Goodman dan Ronald Tippin tiba di Yangon untuk menemui sekelompok saudara yang dengan setia terus mengadakan perhimpunan tetapi sama sekali tidak melakukan pengabaran yang terorganisasi. ”Kami menyarankan saudara-saudara itu untuk memberi kesaksian setiap Minggu,” kata Claude. ”Salah seorang saudara bertanya apakah ia boleh diwakili dalam mengabar, jadi ia cuma membantu para perintis secara keuangan. Ron menjawab, ’Boleh saja, tapi ke dunia barunya juga diwakili, ya.’” Nasihat yang blakblakan itu memang sangat cocok untuk kelompok tersebut. Tidak lama kemudian, Claude dan Ronald memiliki banyak rekan dinas.
”Rachel, Aku Menemukan Kebenaran!”
Pada tahun itu juga, Ron dan Claude bertemu dengan Sydney Coote, kepala stasiun kereta di Yangon. Sydney menerima apa yang disebut koleksi pelangi, yaitu sepuluh buku kita yang berwarna-warni terang. Setelah membaca beberapa bagian dari salah satu buku, Sydney mengatakan kepada istrinya, ”Rachel, aku menemukan kebenaran!” Tidak lama kemudian, seluruh keluarga Coote melayani Yehuwa.
Sydney adalah pelajar Alkitab yang rajin. Putrinya, Norma Barber, utusan injil kawakan yang sekarang melayani di cabang Inggris, menjelaskan, ”Ayah saya menyusun sendiri buku referensi ayat. Setiap kali ketemu ayat yang menjelaskan ajaran Alkitab, ia menuliskannya dalam buku itu di bawah judul yang cocok. Buku itu ia sebut Di Mana Ayatnya?”
Sydney tidak hanya ingin mempelajari Alkitab tetapi juga ingin membagikan beritanya kepada orang lain. Maka, ia menulis ke cabang India dan bertanya apakah ada Saksi di Birma. Tidak lama kemudian, ia menerima peti kayu besar berisi publikasi dan daftar nama. ”Ayah menyurati setiap orang dalam daftar itu untuk mengundang mereka datang ke rumah selama sehari,” kata Norma. ”Lalu, lima atau enam saudara datang ke rumah dan menunjukkan caranya mengabar secara tidak resmi. Orang tua saya langsung membagikan publikasi kepada teman dan tetangga. Mereka juga mengirim surat dan publikasi kepada semua kerabat kami.”
Ketika Daisy D’Souza, kakak Sydney yang tinggal di Mandalay, menerima surat dan buku kecil The Kingdom, the Hope of the World dari Sydney, ia langsung membalas suratnya untuk meminta publikasi lainnya serta Alkitab. ”Ibu saya sangat senang mempelajari publikasi-publikasi sampai subuh,” kata putrinya Phyllis Tsatos. ”Ia kemudian mengumpulkan enam anaknya dan mengumandangkan pengumuman ini: ’Saya akan meninggalkan Gereja Katolik, karena saya telah menemukan kebenaran!’” Belakangan, suami dan anak-anak Daisy juga menerima kebenaran. Sekarang, empat generasi keluarga D’Souza melayani Yehuwa dengan setia.
Perintis-Perintis Pemberani
Pada awal 1930-an, perintis-perintis yang bersemangat mulai menyebarkan kabar baik di sepanjang jalur utama kereta api di sebelah utara dari Yangon sampai Myitkyina, sebuah kota dekat perbatasan Cina. Mereka juga mengabar di Mawlamyine (Moulmein) dan Sittwe (Akyab), kota pesisir di sebelah timur dan barat Yangon. Sebagai hasilnya, sidang-sidang kecil bermunculan di Mawlamyine dan Mandalay.
Sejak 1938, pengawasan atas pekerjaan di Birma tidak lagi dilakukan dari cabang India tetapi dari cabang Australia, sehingga perintis dari Australia dan Selandia Baru mulai berdatangan ke Birma. Para pekerja yang setia dan tak kenal lelah itu termasuk Fred Paton, Hector Oates, Frank Dewar, Mick Engel, serta Stuart Keltie. Semua saudara-saudara ini benar-benar merintis daerah yang baru.
Fred Paton mengenang, ”Selama empat tahun saya di Birma, saya mengabar di sebagian besar negeri tersebut. Selama itu, saya kena malaria, tifoid, disentri, dan masalah kesehatan lainnya. Setelah seharian berdinas, saya sering tidak punya tempat untuk tidur. Tetapi, Yehuwa selalu menyediakan kebutuhan saya dan terus menguatkan saya melalui roh kudusnya.” Frank Dewar yang tangguh dari Selandia Baru mengatakan, ”Saya harus berhadapan dengan bandit, pemberontak, dan kalangan berwenang yang mengintimidasi. Tetapi, saya mendapati bahwa rintangan yang sulit pun akan berlalu jika saya bersikap sopan, lembut, rendah hati, dan lentuk. Kebanyakan orang belakangan menyadari bahwa Saksi-Saksi Yehuwa tidak berbahaya.”
Para perintis sangat berbeda dengan orang asing lainnya, yang biasanya memandang hina penduduk lokal. Para perintis memperlakukan orang-orang dengan respek dan kasih. Pendekatan mereka yang ramah disukai oleh orang Birma yang rendah hati, yang lebih menghargai kelemahlembutan dan keramahtamahan daripada pendekatan yang blakblakan dan penuh konfrontasi. Melalui perkataan dan tindakan, para perintis itu menunjukkan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa adalah orang Kristen sejati.—Yoh. 13:35.
Kebaktian Bersejarah
Beberapa bulan setelah kedatangan para perintis, kantor cabang Australia menyiapkan kebaktian di Yangon. Tempatnya di Balai Kota Yangon, gedung megah dengan tangga marmer dan pintu-pintu besar tembaga. Para delegasi kebaktian berasal dari Thailand, Malaysia, dan Singapura, sedangkan Alex MacGillivray, hamba cabang Australia, membawa rombongan saudara-saudari dari Sydney.
Seiring dengan mendekatnya perang, khotbah umum yang berjudul ”Perang Universal Mendekat” secara luas diumumkan dan berhasil menarik perhatian masyarakat. ”Saya baru pertama kali melihat sebuah gedung dipenuhi hadirin sebegitu cepatnya,” kata Fred Paton. ”Ketika saya membuka pintu masuk, orang-orang berhamburan menaiki tangga dan memasuki auditorium. Kurang dari sepuluh menit, lebih dari 1.000 orang menjejali gedung berkapasitas 850 kursi itu.” ”Kami harus menutup pintu depan karena yang ingin masuk semakin banyak. Akibatnya, 1.000 orang lainnya terpaksa berada di luar,” tambah Frank Dewar. ”Bahkan, beberapa pria muda nekat menyelinap masuk melalui pintu-pintu samping yang kecil.”
Saudara-saudara merasa takjub bukan saja karena minat yang tinggi itu tetapi juga karena keragaman hadirinnya, termasuk banyak kelompok etnik setempat. Sebelumnya, sedikit sekali penduduk setempat yang berminat akan kebenaran, karena kebanyakan adalah penganut agama Buddha yang taat. Penduduk setempat yang mengaku Kristen—kebanyakan orang Kayin (Karen), Kachin, dan Chin—tinggal di daerah terpencil yang nyaris tidak pernah dikabari. Tampaknya, ladang pribumi itu sudah siap dipanen. Tak lama lagi, banyak kelompok etnik Birma akan menjadi bagian dari ”kumpulan besar” dari berbagai bangsa yang dinubuatkan Alkitab.—Pny. 7:9.
Orang Kayin Pertama yang Menjadi Murid
Pada 1940, seorang perintis bernama Ruby Goff sedang mengabar di Insein, sebuah kota kecil di pinggiran Yangon. Karena hari itu tidak banyak yang berminat, Ruby berdoa, ”Yehuwa, tolong bantu saya menemukan satu ’domba’ saja sebelum pulang.” Tepat pada rumah berikutnya, ia bertemu dengan Hmwe Kyaing, seorang Kayin dari gereja Baptis, yang langsung mendengarkan kabar Kerajaan. Tidak lama kemudian, Hmwe Kyaing dan putri-putrinya, Chu May (Daisy) serta Hnin May (Lily), mulai mempelajari Alkitab dan membuat kemajuan yang pesat. Walau Hmwe Kyaing meninggal tidak lama setelah itu, Lily, putrinya yang lebih kecil, belakangan menjadi orang Kayin pertama yang menjadi Saksi Yehuwa terbaptis. Daisy juga dibaptis.
Lily dan Daisy menjadi perintis yang bersemangat dan meninggalkan warisan yang langgeng. Sekarang, anak cucu dan pelajar Alkitab mereka, yang jumlahnya mencapai ratusan, melayani Yehuwa di Myanmar dan luar negeri.
Perjuangan Selama Perang Dunia II
Pada 1939, Perang Dunia II pecah di Eropa, yang pengaruhnya mencapai seluruh dunia. Saat kengerian perang terus memuncak, para pemimpin agama Susunan Kristen di Birma mempergencar tekanan mereka terhadap pemerintahan kolonial untuk melarangkan publikasi kita. Sebagai tanggapan, Mick Engel, yang mengawasi depot lektur di Yangon, mendekati seorang perwira senior AS dan akhirnya mendapatkan surat kuasa untuk mengangkut sekitar dua ton lektur dengan truk tentara melewati Jalan Birma ke Cina.
Fred Paton dan Hector Oates membawa lektur ke stasiun kereta di Lashio, sebuah kota dekat perbatasan Cina. Ketika mereka bertemu dengan petugas yang mengawasi konvoi ke Cina itu, si petugas murka! ”Apa?” teriaknya. ”Masa tempat di truk ini dipakai untuk risalah kalian yang tidak penting itu? Perlengkapan militer dan obat-obatan yang penting saja tidak muat!” Fred diam saja, mengeluarkan surat kuasa dari kopernya, dan memberi tahu si petugas bahwa jika ia mengabaikan perintah resmi dari Yangon, ia bisa mendapat masalah serius. Akhirnya, sang petugas bersedia memberikan truk yang lebih kecil, berikut sopir dan perlengkapan, kepada saudara-saudara. Mereka menempuh perjalanan sejauh kira-kira 2.400 kilometer menuju Chongqing (Chungking) di Cina bagian tengah-selatan. Di sana, mereka mendistribusikan lektur yang sangat bernilai itu dan bahkan memberikan kesaksian secara langsung kepada Chiang Kai-shek, presiden pemerintah Nasionalis Cina.
Ketika kalangan berwenang tiba, lekturnya sudah lenyap
Akhirnya, pada Mei 1941, pemerintahan kolonial di India mengirim telegram ke Yangon, memerintahkan kalangan berwenang setempat untuk menyita lektur kita. Dua saudara yang bekerja di kantor telegram melihat pesan itu dan segera memberi tahu Mick Engel. Mick memanggil Lily dan Daisy, lalu mereka segera bergegas ke depot. Di depot, mereka mengambil 40 kardus lektur yang tersisa dan menyembunyikannya di rumah-rumah yang aman di sekitar Yangon. Ketika kalangan berwenang tiba, lekturnya sudah lenyap.
Pada 11 Desember 1941, empat hari setelah Jepang menyerang Pearl Harbor, Jepang menghujani Birma dengan bom. Pada pekan itu, sekelompok kecil Saksi berkumpul di sebuah ruangan kecil di atas Stasiun Kereta Api Pusat di Yangon. Di sanalah Lily, setelah pembahasan Alkitab yang serius, dengan khidmat dibaptis di sebuah bak mandi.
Dua belas minggu kemudian, tentara Jepang memasuki Yangon tetapi kota itu sudah kosong. Ratusan ribu orang telah lari ke India. Ribuan mati dalam perjalanan akibat kelaparan, kelelahan, dan penyakit. Sydney Coote, yang lari bersama keluarganya, meninggal akibat malaria otak di dekat perbatasan India. Seorang saudara ditembak tentara Jepang, sedangkan seorang saudara lain kehilangan istri dan anak-anaknya karena rumah mereka dibom.
Hanya sejumlah kecil Saksi yang tetap tinggal di Birma. Lily dan Daisy pindah ke Pyin Oo Lwin (Maymyo), kota kecil yang tenang di lereng bukit dekat Mandalay, tempat mereka menaburkan benih kebenaran yang belakangan berbuah. Saksi ketiga, Cyril Gay, menetap di Thayarwaddy, desa kecil sekitar 100 kilometer sebelah utara Yangon, tempat ia hidup tenang hingga perang usai.
Reuni yang Menyenangkan
Ketika perang berakhir, kebanyakan saudara-saudari yang lari ke India mulai pulang ke Birma. Pada April 1946, Sidang Yangon memiliki delapan penyiar aktif. Pada akhir tahun itu, setelah sidang tersebut memiliki 24 penyiar, saudara-saudara memutuskan untuk mengadakan kebaktian.
Kebaktian dua hari itu diadakan di sebuah sekolah di Insein. ”Saat saya pulang dari India, saya ditugaskan untuk memberikan khotbah umum selama satu jam,” kenang Theo Syriopoulos, yang belajar kebenaran di Yangon pada 1932. ”Sebelumnya, saya hanya pernah berkhotbah dua kali, itu pun hanya lima menit, di perhimpunan di India. Namun, kebaktian itu berjalan sukses, dan hadirinnya 100 lebih.”
Beberapa minggu kemudian, seorang pemimpin komunitas Kayin, yang berminat pada kebenaran, menawarkan kepada sidang sebidang tanah di Ahlone, yang terletak di pinggir sungai dekat pusat kota Yangon. Di sana, saudara-saudara membangun Balai Kerajaan dari bambu dengan tempat duduk untuk seratus orang. Sidang itu sangat bersukacita. Saudara-saudari berhasil melewati perang tanpa kehilangan iman dan siap mengabar dengan semangat.
Utusan Injil Pertama Tiba
Pada awal 1947, sekelompok saudara dengan antusias berkumpul di pelabuhan Yangon untuk menyambut Robert Kirk, utusan injil lulusan Gilead pertama yang ditugaskan ke Birma. Tidak lama kemudian, tiga utusan injil lainnya tiba—Norman Barber, Robert Richards, dan Hubert Smedstad—bersama Frank Dewar, yang telah merintis di India selama masa perang.
Para utusan injil tiba di kota yang telah diporak-porandakan perang. Banyak sekali bangunan sudah menjadi rangka yang hangus terbakar. Ribuan orang tinggal di gubuk bambu yang rapuh di pinggir-pinggir jalan. Orang-orang memasak, mencuci, dan tinggal di jalanan. Tapi, para utusan injil datang untuk mengajarkan kebenaran Alkitab, jadi mereka menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut dan langsung sibuk berdinas.
Pada 1 September 1947, kantor cabang Lembaga Menara Pengawal didirikan di rumah utusan injil di Jalan Signal Pagoda, dekat pusat kota. Robert Kirk ditugaskan sebagai pengawas cabang. Tidak lama kemudian, Sidang Yangon pindah dari balai bambu di Ahlone ke apartemen lantai atas di Jalan Bogalay Zay. Jaraknya hanya beberapa menit jalan kaki dari Sekretariat, sebuah bangunan megah tempat pemerintahan kolonial Inggris—pemerintahan yang akan segera berakhir!
Perang Sipil Pecah!
Pada 4 Januari 1948, Inggris menyerahkan kekuasaan ke pemerintahan Birma yang baru. Setelah 60 tahun dijajah, Birma akhirnya merdeka. Tetapi negara itu dilanda perang sipil.
Berbagai kelompok etnik berjuang untuk mendirikan negara bagian yang independen, sedangkan pasukan sewaan dan geng-geng kriminal memperebutkan daerah kekuasaan. Pada awal 1949, pasukan pemberontak menguasai sebagian besar negeri, dan pertempuran pecah di pinggiran kota Yangon.
Seiring dengan pasang-surutnya peperangan, saudara-saudara mengabar dengan hati-hati. Kantor cabang dipindahkan dari rumah utusan injil di Jalan Signal Pagoda ke apartemen tingkat atas yang luas di Jalan 39, daerah yang aman dengan beberapa kedutaan asing dan hanya berjarak tiga menit jalan kaki dari kantor pos umum.
Perlahan-lahan, tentara Birma mengukuhkan kekuasaannya, mengusir pemberontak ke pegunungan. Pada pertengahan 1950-an, pemerintah telah memegang kendali di hampir seluruh negara tersebut. Tetapi, perang sipil masih belum berakhir. Itu terus berlangsung dalam satu atau lain bentuk sampai hari ini.
Mengabar dan Mengajar di Birma
Sampai pertengahan 1950-an, saudara-saudara di Birma sering kali mengabar dengan bahasa Inggris, bahasa yang digunakan orang-orang terpelajar di kota-kota besar. Tetapi, jutaan lainnya hanya bisa berbahasa Birma (Myanmar), Kayin, Kachin, Chin, atau bahasa setempat lainnya. Bagaimana supaya mereka bisa dikabari?
Pada 1934, Sydney Coote mengatur agar seorang guru sekolah dari etnik Kayin menerjemahkan beberapa buku kecil ke dalam bahasa Birma dan Kayin. Kemudian, penyiar-penyiar lain menerjemahkan buku ”Karena Allah Itu Benar Adanya” dan beberapa buku kecil lain ke dalam bahasa Birma. Lalu, pada 1950, Robert Kirk mengundang Ba Oo untuk menerjemahkan artikel pelajaran Menara Pengawal dalam bahasa Birma. Hasil terjemahan yang ditulis tangan tadi disusun hurufnya dan dicetak oleh percetakan komersial di Yangon lalu dibagikan kepada hadirin di perhimpunan. Kemudian, kantor cabang membeli mesin tik dengan huruf bahasa Birma untuk mempercepat penerjemahan.
Para penerjemah pada masa awal itu menghadapi banyak tantangan. ”Saya bekerja seharian untuk menafkahi keluarga lalu menerjemahkan artikel-artikel hingga larut malam di bawah cahaya redup lampu bohlam,” kenang Naygar Po Han, yang meneruskan pekerjaan terjemahan ketika Ba Oo tidak sanggup lagi mengerjakannya. ”Pengetahuan bahasa Inggris saya sangat terbatas, jadi hasil terjemahannya pasti tidak begitu akurat. Tapi, kami benar-benar ingin agar majalah ini tersedia bagi sebanyak mungkin orang.” Sewaktu Robert Kirk meminta Doris Raj menerjemahkan Menara Pengawal ke bahasa Birma, Doris begitu kewalahan sehingga ia menangis. ”Saya hanya mengenyam pendidikan dasar dan tidak punya pengalaman menerjemahkan,” jelas Doris. ”Tapi, Saudara Kirk memotivasi saya untuk mencobanya. Lalu, saya berdoa kepada Yehuwa dan mulai mengerjakannya.” Sekarang, hampir 50 tahun kemudian, Doris masih bekerja sebagai penerjemah di Betel Yangon. Demikian juga, Naygar Po Han, yang kini 93 tahun, melayani di Betel dan masih antusias seperti dulu untuk memajukan pekerjaan Kerajaan.
Pada 1956, Nathan Knorr dari kantor pusat mengunjungi Birma dan mengumumkan dirilisnya Menara Pengawal bahasa Birma. Ia juga mendesak para utusan injil untuk belajar bahasa itu agar dapat mengabar dengan lebih efektif. Termotivasi oleh imbauan itu, para utusan injil semakin berupaya belajar bahasa Birma. Pada tahun berikutnya, Frederick Franz, tamu lainnya dari kantor pusat, menjadi pembicara utama selama kebaktian lima hari yang diadakan di Balai Institut Kereta Api Yangon. Ia memotivasi saudara-saudara untuk meluaskan pekerjaan pengabaran lebih lanjut lagi dengan mengutus para perintis ke kota-kota besar. Kota pertama yang didatangi para perintis baru ini adalah Mandalay, bekas ibu kota dan kota terbesar kedua di Birma.
Hasil-Hasil di Mandalay
Pada awal 1957, enam perintis istimewa baru tiba di Mandalay, bergabung dengan pasangan utusan injil yang baru menikah, Robert Richards dan istrinya yang berasal dari etnik Kayin, Baby, yang sudah lebih dulu tiba di sana. Para perintis mendapati bahwa daerahnya sulit dikerjakan. Kota Mandalay merupakan pusat penganut agama Buddha dan setengah populasi biksu Buddha tinggal di sana. Namun, para perintis menyadari bahwa sama seperti di kota Korintus zaman dahulu, akan ada ”banyak orang di kota ini” yang menyembah Yehuwa.—Kis. 18:10.
Salah satunya adalah Robin Zauja, seorang pelajar berusia 21 tahun dari etnik Kachin. Ia mengenang, ”Pada suatu pagi, Robert dan Baby Richards mendatangi rumah saya dan memperkenalkan diri sebagai Saksi-Saksi Yehuwa. Mereka bilang mereka sedang memberitakan kabar baik dari rumah ke rumah, sesuai dengan perintah Yesus untuk mengabar. (Mat. 10:11-13) Mereka menyampaikan berita mereka dan memberikan alamat serta beberapa majalah dan buku. Sore harinya, saya membaca salah satu buku. Saya membacanya semalaman dan baru selesai menjelang pagi. Siang harinya, saya pergi ke rumah Robert dan mengajukan banyak sekali pertanyaan selama beberapa jam. Ia menjawab tiap pertanyaan dari Alkitab.” Robin Zauja segera menjadi orang Kachin pertama yang menerima kebenaran. Belakangan, ia melayani bertahun-tahun sebagai perintis istimewa di Birma bagian utara, membantu hampir seratus orang belajar kebenaran. Dua dari anak-anaknya sekarang melayani di Betel Yangon.
Murid lain yang bersemangat adalah Pramila Galliara, seorang gadis berusia 17 tahun yang belum lama belajar kebenaran di Yangon. ”Ayah saya, anggota dari agama Jain, dengan sengit menentang,” kata Pramila. ”Sudah dua kali ia membakar Alkitab dan publikasi saya, dan beberapa kali ia memukuli saya di depan umum. Ia juga mengurung saya di rumah agar saya tidak bisa berhimpun, dan bahkan ia mengancam akan membakar rumah Saudara Richards! Tapi, saat ia menyadari bahwa ia tidak bisa mematahkan iman saya, perlahan-lahan ia berhenti menentang.” Pramila meninggalkan kuliahnya di universitas lalu menjadi perintis yang bersemangat dan akhirnya menikah dengan Dunstan O’Neill, seorang pengawas wilayah. Sejak saat itu, ia membantu 45 orang masuk dalam kebenaran.
Sementara pengabaran terus maju di Mandalay, kantor cabang juga menugaskan utusan injil dan perintis ke kota-kota besar lain, termasuk Pathein (Bassein), Kalaymyo, Bhamaw, Myitkyina, Mawlamyine, dan Myeik (Mergui). Yehuwa memang memberkati pekerjaan pengabaran, karena di tiap-tiap kota ini terbentuk sidang yang kuat.
Utusan Injil Diusir!
Sementara pekerjaan pengabaran terus meluas, ketegangan politik dan etnik lambat laun memuncak. Akhirnya, pada Maret 1962, angkatan bersenjata mengambil alih pemerintahan. Ratusan ribu orang India dan Anglo-India dideportasi ke India dan Bangladesh (yang saat itu masih disebut Pakistan Timur), dan orang asing hanya mendapat visa kunjungan 24 jam. Birma menutup pintu bagi dunia luar.
Menyaksikan berbagai perkembangan ini, saudara-saudara merasa cemas. Pemerintah militer menjamin kebebasan beragama, asalkan agama tidak ikut campur dengan politik. Seperti biasa, para utusan injil dari gereja-gereja Kristen terus ikut campur dalam urusan politik. Akhirnya, pada Mei 1966, pemerintah sudah tidak bisa menoleransi lagi—semua utusan injil asing harus keluar dari negeri itu! Para utusan injil Saksi benar-benar tidak ikut politik, tapi tetap saja dideportasi.
Saudara-saudara setempat terguncang tapi tidak kecil hati. Mereka tahu bahwa Allah Yehuwa menyertai mereka. (Ul. 31:6) Tapi, beberapa saudara bertanya-tanya bagaimana caranya pengabaran Kerajaan akan dilanjutkan.
Mereka tidak perlu lama-lama menunggu untuk mendapatkan jawabannya. Maurice Raj, yang pernah menjadi pengawas wilayah dan telah menerima pelatihan di kantor cabang, segera dilantik untuk mengawasi kantor cabang. Meski Maurice orang India, ia tidak dideportasi sebagaimana yang terjadi dengan orang-orang India lainnya. ”Beberapa tahun sebelumnya, saya mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Birma,” ia menjelaskan. ”Tapi, saya kekurangan uang sebesar 450 kyatd untuk membayar biaya surat bukti kewarganegaraan, jadi saya menundanya. Suatu hari, saat saya melewati kantor perusahaan tempat saya pernah bekerja beberapa tahun sebelumnya, bekas bos saya melihat saya. Ia berteriak, ’Hei Raj, sini. Ambil dulu uangmu. Kamu lupa ambil uang pensiun.’ Uang itu berjumlah 450 kyat.
”Sepulangnya saya dari kantor, saya memikirkan bahwa uang sebesar 450 kyat bisa digunakan untuk banyak hal. Tapi, karena jumlah itu pas untuk mendapatkan surat bukti kewarganegaraan, saya merasa bahwa Yehuwa ingin agar saya menggunakannya untuk tujuan itu. Dan keputusan itu ternyata memang tepat. Ketika orang-orang India lainnya diusir dari Birma, saya malah bisa tetap tinggal di negeri itu, bebas bepergian, mengimpor lektur, dan melakukan tugas-tugas lainnya yang penting untuk pengabaran kita, semua itu karena saya warga negara Birma.”
Maurice, bersama Dunstan O’Neill, memulai perjalanan keliling negeri untuk menguatkan setiap sidang dan kelompok terpencil. ”Kami mengatakan kepada saudara-saudara, ’Jangan khawatir, Yehuwa beserta kita. Jika kita loyal kepada-Nya, Ia akan menolong kita,’” kata Maurice. ”Dan Yehuwa memang menolong kami! Tak lama kemudian, banyak perintis istimewa dilantik, dan pengabaran meluas lebih cepat lagi.”
Kini, sekitar 46 tahun kemudian, Maurice, seorang anggota Panitia Cabang, masih mengadakan perjalanan ke seluruh Myanmar untuk menguatkan sidang-sidang. Seperti Kaleb yang lanjut usia di Israel dulu, semangat Maurice untuk pekerjaan Allah tidak pernah padam.—Yos. 14:11.
Meluas ke Negara Bagian Chin
Salah satu daerah paling awal yang dilayani oleh perintis istimewa adalah Negara Bagian Chin, daerah yang bergunung-gunung yang berbatasan dengan Bangladesh dan India. Di daerah ini banyak terdapat orang yang mengaku Kristen, warisan dari para utusan injil gereja Baptis pada masa kolonial Inggris. Jadi, kebanyakan orang Chin sangat menghormati Alkitab dan guru Alkitab.
Menjelang akhir 1966, Lal Chhana, bekas tentara tapi kini perintis istimewa, tiba di Falam, yang saat itu merupakan kota terbesar di Negara Bagian Chin. Di sana, ia bergabung dengan Dunstan dan Pramila O’Neill serta Than Tum, yang juga bekas tentara yang baru saja dibaptis. Para pekerja yang bersemangat ini menemukan beberapa keluarga yang berminat dan tak lama kemudian mendirikan sebuah sidang yang kecil namun aktif.
Pada tahun berikutnya, Than Tum pindah ke Hakha, kota di sebelah selatan Falam, tempat ia mulai merintis dan mendirikan kelompok kecil. Lalu, ia mengabar ke seluruh Negara Bagian Chin dan membantu mendirikan sidang di Vanhna serta Surkhua, juga di Gangaw dan daerah lainnya. Sekarang, 45 tahun kemudian, Than Tum masih aktif sebagai perintis istimewa di desa kelahirannya, Vanhna.
Ketika Than Tum meninggalkan Hakha, Donald Dewar, perintis istimewa berusia 20-an, menggantikannya. Karena orang tua Donald, Frank dan Lily (dulu Lily May) Dewar dideportasi belum lama ini, adik Donald yang berusia 18 tahun, Samuel, tinggal bersamanya di sana. ”Kami tinggal di gubuk seng kecil yang pengap di musim panas tapi dingin membeku di musim dingin,” kata Donald. ”Namun, yang lebih berat lagi adalah rasa kesepian. Saya sering dinas sendirian dan hampir tidak bisa bicara bahasa setempat, Hakha Chin. Hanya Samuel dan saya serta satu atau dua penyiar lain yang menghadiri perhimpunan. Lambat laun, saya depresi dan bahkan berpikir untuk meninggalkan tugas.
”Pada waktu itu, saya baca sebuah kisah yang menggugah di Buku Tahunan tentang saudara-saudara kita di Malawi yang tetap setia meski dianiaya secara brutal.e Saya bertanya kepada diri sendiri, ’Kalau saya tidak tahan dengan kesepian, bagaimana saya bisa tahan dengan penganiayaan?’ Saya mencurahkan kekhawatiran saya kepada Yehuwa dalam doa dan mulai merasa lega. Saya juga dikuatkan karena membaca dan merenungkan Alkitab serta artikel-artikel Menara Pengawal. Tak disangka-sangka, saya dikunjungi oleh Maurice Raj dan Dunstan O’Neill. Saat itu saya merasa seolah-olah melihat dua malaikat! Perlahan tapi pasti, saya kembali bersukacita.”
Kemudian, saat melayani sebagai pengawas keliling, Donald menggunakan pengalamannya untuk menguatkan Saksi-Saksi lainnya yang terpencil. Kerja kerasnya di Hakha juga membuahkan hasil. Di Hakha terdapat sebuah sidang yang maju pesat dan kebaktian-kebaktian Kristen rutin diadakan di sana. Dua dari penyiar yang berhimpun di Hakha, Johnson Lal Vung dan Daniel Sang Kha, menjadi perintis istimewa yang bersemangat yang membantu meluaskan kabar baik ke sebagian besar Negara Bagian Chin.
”Berjalan Kaki di Pegunungan”
Negara Bagian Chin terletak 900 hingga 1.800 meter di atas permukaan laut dengan beberapa puncak yang menjulang hingga 3.000 meter. Banyak gunung ditutupi hutan lebat yang penuh dengan pohon jati, tumbuhan konifera, tumbuhan rhododendron yang berwarna-warni, dan anggrek yang elok. Medannya liar dan curam sehingga sulit dilalui. Kota-kota di wilayah ini dihubungkan dengan jalan-jalan tanah yang berkelok-kelok yang nyaris tak dapat dilalui jika basah dan sering kali terhalang oleh tanah longsor. Banyak desa-desa yang terpencil hanya bisa dicapai dengan jalan kaki. Tetapi, segala hambatan ini tidak menggentarkan hamba-hamba Yehuwa, yang bertekad untuk menyampaikan kabar baik kepada sebanyak mungkin orang.
Aye Aye Thit, yang melayani bersama suaminya dalam pekerjaan wilayah di Negara Bagian Chin, mengisahkan, ”Saya dibesarkan di Delta Ayeyarwady yang datar-datar saja dan terpukau dengan indahnya Bukit-Bukit Chin. Saya mendaki bukit yang pertama dengan bersemangat, namun akhirnya roboh kehabisan napas di puncak bukit. Setelah beberapa bukit dilalui, saya sangat kelelahan sampai-sampai saya pikir saya akan mati. Akhirnya, saya jadi tahu cara untuk jalan kaki di pegunungan—yakni dengan perlahan dan menghemat tenaga. Tak lama kemudian, saya sanggup berjalan hingga 32 kilometer sehari dalam perjalanan selama enam hari atau lebih.”
Selama bertahun-tahun, saudara-saudara di Negara Bagian Chin menggunakan berbagai bentuk transportasi, termasuk keledai, kuda, sepeda, dan baru-baru ini, sepeda motor, truk penumpang, serta kendaraan roda empat. Tapi, umumnya, mereka jalan kaki. Misalnya, untuk menjangkau desa-desa di sekitar Matupi, perintis istimewa Kyaw Win dan David Zama terseok-seok berjalan kaki berkilo-kilometer naik-turun gunung. Untuk pergi ke kebaktian di Hakha, yang jaraknya lebih dari 270 kilometer, saudara-saudari Sidang Matupi berjalan kaki selama enam sampai delapan hari. Pulangnya, mereka juga harus berjalan kaki selama enam hingga delapan hari lagi. Selama perjalanan, mereka menyanyikan lagu Kerajaan yang menggema di antara bukit-bukit yang indah.
Dalam perjalanan yang sulit tadi, saudara-saudari harus menghadapi bukan hanya cuaca gunung yang ekstrem tetapi juga sekawanan besar nyamuk dan berbagai jenis serangga yang berkeriapan dan menyeramkan, terutama selama musim hujan. ”Ketika sedang berjalan menembus hutan, saya melihat lintah-lintah merayap menaiki kaki saya,” kata Myint Lwin, seorang pengawas wilayah. ”Ketika saya cabut sampai lepas, ada dua lagi yang memanjat. Saya lompat ke pohon yang tumbang, tetapi sekawanan besar lintah mulai merayap menaiki kayu tersebut. Karena ketakutan, saya lari terbirit-birit melewati hutan. Ketika akhirnya saya sampai di jalan, seluruh tubuh saya sudah dipenuhi lintah-lintah.”
Tetapi, bukan cuma lintah yang harus mereka hadapi. Di Myanmar juga ada babi hutan, beruang, macan tutul, harimau, dan menurut sebuah sumber, ada lebih banyak spesies ular berbisa dibandingkan negara lain mana pun di dunia. Ketika melewati pegunungan untuk mencapai sidang-sidang di Negara Bagian Chin, pengawas distrik Gumja Naw dan istrinya, Nan Lu, membuat lingkaran api pada malam hari agar binatang-binatang liar tidak mendekat!
Para penginjil yang tidak kenal lelah itu meninggalkan warisan yang bertahan lama. ”Mereka melayani Yehuwa dengan seluruh kemampuan mereka,” kata Maurice Raj. ”Bahkan setelah mereka meninggalkan Negara Bagian Chin, mereka rela kembali. Kerja keras mereka benar-benar memuliakan Yehuwa!” Sekarang, walaupun menjadi salah satu wilayah yang paling jarang penduduknya di Myanmar, Negara Bagian Chin memiliki tujuh sidang dan beberapa kelompok yang terpencil.
”Tidak Ada ’Domba’ di Myitkyina”
Pada 1966, beberapa perintis istimewa tiba di Myitkyina, kota kecil indah yang terletak di lengkungan Sungai Ayeyarwady di Negara Bagian Kachin, dekat Cina. Enam tahun sebelumnya, Robert dan Baby Richards pernah mengabar sebentar di sana. Mereka melaporkan, ”Tidak ada ’domba’ di Myitkyina.” Namun, perintis-perintis yang baru telah menemukan orang-orang yang lapar akan kebenaran.
Salah satunya adalah Mya Maung, anggota gereja Baptis berusia 19 tahun yang sering berdoa kepada Allah agar ia dibantu memahami Alkitab. Ia mengenang, ”Ketika seorang perintis mengunjungi saya di tempat kerja dan menawarkan pelajaran Alkitab, saya sangat senang. Saya merasa itu adalah jawaban dari doa saya selama ini. Saya dan adik laki-laki saya, San Aye, belajar dua kali seminggu, dan kami membuat kemajuan rohani yang pesat.
”Kami dibantu oleh guru yang hebat—Wilson Thein. Ia tidak sekadar memberi tahu kami apa yang harus dilakukan, tetapi juga menunjukkan caranya! Melalui sesi pelatihan dan pertunjukan, kami belajar cara menggunakan Alkitab dengan efektif, mengabar dengan berani, menghadapi tentangan, menyiapkan dan memberikan khotbah di sidang. Wilson Thein mendengarkan tiap kali kami berlatih menyampaikan khotbah dan memberi saran untuk meningkatkan mutu khotbah kami. Pelatihan pengasih yang ia berikan memotivasi kami untuk mengejar tujuan-tujuan rohani.
”Sekarang, kota Namti, Hopin, Mohnyin, dan Katha di sepanjang jalur kereta api memiliki sidang-sidang yang berkembang pesat”
”Pada 1968, San Aye dan saya mulai merintis, sehingga jumlah perintis di Myitkyina menjadi delapan. Pelajar Alkitab pertama kami termasuk ibu dan tujuh kakak-adik kami, yang semuanya akhirnya menerima kebenaran. Kami juga mengabar di berbagai kota dan desa di sepanjang jalur kereta api Myitkyina-Mandalay, yang perjalanannya memakan waktu satu sampai tiga hari. Belakangan, benih-benih kabar baik yang kami tanamkan membuahkan hasil. Sekarang, kota Namti, Hopin, Mohnyin, dan Katha di sepanjang jalur kereta api memiliki sidang-sidang yang berkembang pesat.”
Ketika mengerjakan wilayah bisnis di Myitkyina, San Aye bertemu dengan Phum Ram, seorang pria anggota gereja Baptis asal etnik Kachin yang bekerja di kantor pemerintah. Phum Ram menerima kebenaran dengan bersemangat dan pindah ke Putao, kota kecil di kaki Pegunungan Himalaya. Di sana ia mengabar kepada banyak kerabatnya, dan tidak lama kemudian, 25 orang menghadiri perhimpunan. Selama melayani sebagai perintis, Phum Ram membantu istri dan tujuh anaknya dan juga banyak kerabat belajar kebenaran. Sekarang, ia melayani sebagai penatua dan perintis di Myitkyina.
Gerbong Kereta yang Hilang
Karena pertumbuhan rohani di Negara Bagian Kachin sangat pesat, kantor cabang berencana mengadakan Kebaktian Internasional ”Damai di Bumi” pada 1969 di Myitkyina, bukannya di Yangon, seperti biasanya. Untuk membawa para delegasi kebaktian dari Yangon ke Myitkyina, yang jaraknya lebih dari 1.100 kilometer ke arah utara, kantor cabang mengajukan permohonan ke Perusahaan Kereta Api Birma untuk menyewa enam gerbong kereta. Permintaan ini sungguh tidak lazim. Negara Bagian Kachin adalah kantongnya para pemberontak, dan apa pun yang masuk dan keluar benar-benar diawasi dengan ketat. Namun, betapa herannya saudara-saudara ketika perusahaan kereta api itu menyetujui permintaan mereka.
Pada hari ketika kereta kebaktian dijadwalkan untuk tiba di Myitkyina, Maurice Raj dan sekelompok saudara pergi ke stasiun kereta untuk menyambut para delegasi. Maurice menceritakan, ”Ketika kami sedang menunggu, kepala stasiun bergegas memberi tahu kami bahwa ada telegram yang baru saja masuk yang menyatakan bahwa pihak berwenang telah melepaskan enam gerbong kereta yang mengangkut para delegasi kita, sehingga mereka tertinggal di antara Mandalay dan Myitkyina. Tampaknya, kereta tidak sanggup menarik keenam gerbong tambahan itu ke atas bukit.
”Apa yang harus kami lakukan? Kami langsung berpikir untuk mengganti tanggal kebaktian. Tapi, itu berarti meminta berbagai izin lagi, yang butuh waktu berminggu-minggu! Tepat ketika kami sedang berdoa dengan khusyuk kepada Yehuwa, kereta memasuki stasiun. Kami sangat terkejut—ternyata keenam gerbongnya berisi saudara-saudari kita! Mereka tersenyum dan melambai-lambaikan tangan. Sewaktu kami tanya apa yang terjadi, seorang delegasi menjelaskan, ’Memang, mereka melepaskan enam gerbong, tapi bukan enam gerbong kami!’”
’Mereka melepaskan enam gerbong, tapi bukan enam gerbong kami!’
Kebaktian di Myitkyina sangatlah sukses. Selama acara, tiga publikasi baru dirilis dalam bahasa Birma dan lima dalam bahasa Inggris. Tiga tahun sebelumnya, saat utusan injil diusir, aliran makanan rohani yang masuk ke Birma menjadi bagaikan tetes-tetes air. Sekarang, tetesan itu berubah menjadi aliran yang deras!
Mengajar Orang Naga
Empat bulan setelah kebaktian di Myitkyina, kantor cabang menerima surat dari petugas kantor pos di Khamti, kota di pinggiran sungai di bawah bukit-bukit yang menjulang yang berbaris di sepanjang perbatasan Birma-India di sebelah barat laut. Daerah ini adalah tempat tinggal orang Naga, yang terdiri atas berbagai suku yang dahulu sangat ditakuti karena suka berburu kepala orang. Dalam suratnya, petugas itu, Ba Yee, bekas anggota Gereja Adven Hari Ketujuh, memohon bantuan rohani. Kantor cabang segera mengutus dua perintis istimewa, Aung Naing dan Win Pe.
Win Pe menceritakan, ”Di lapangan terbang Khamti, kami sangat cemas ketika melihat para prajurit Naga yang garang sedang berdiri dengan hanya mengenakan cawat. Lalu, Ba Yee berlari ke depan untuk menyambut kami dan membawa kami cepat-cepat untuk menemui beberapa peminat. Kami langsung memandu lima PAR.
”Akan tetapi, kalangan berwenang setempat mengira kami pastor Gereja Baptis yang berhubungan dengan pemberontak setempat. Walaupun kami berupaya meyakinkan mereka bahwa kami netral secara politik, mereka memerintahkan kami meninggalkan daerah itu dalam waktu kurang dari sebulan sejak kami tiba.”
Tiga tahun kemudian, ketika para pejabat sudah diganti dengan yang baru, Biak Mawia, perintis berusia 18 tahun, melanjutkan upaya para perintis sebelumnya. Tak lama kemudian, Ba Yee berhenti dari kantor pos dan mulai merintis. Lalu beberapa perintis lainnya tiba. Kelompok yang bersemangat ini segera mendirikan sebuah sidang di Khamti dan beberapa kelompok kecil di desa-desa tetangga. Biak Mawia mengenang, ”Saudara-saudari orang Naga tidak berpendidikan dan buta huruf. Tapi mereka mengasihi Firman Allah dan bersemangat mengabar. Mereka terampil menggunakan gambar-gambar yang ada dalam publikasi kita. Mereka juga hafal banyak ayat dan lagu Kerajaan.”
Kini, kebaktian distrik secara teratur diadakan di Khamti. Sejumlah hadirin datang dari tempat-tempat yang sangat jauh, seperti Homalin di sebelah selatan, kota yang jarak tempuhnya 15 jam dengan perahu bermotor.
Tentangan di ”Segitiga Emas”
Sementara itu, di bagian lain negeri itu, pengabaran juga meluas hingga ke dataran tinggi yang berbatasan dengan Cina, Laos, dan Thailand. Inilah jantungnya Segitiga Emas, daerah yang indah dengan bukit-bukit kecil yang landai dan lembah-lembah subur yang dicemari oleh produksi opium, pemberontakan, dan kegiatan ilegal lainnya. Para perintis yang mengabar ke daerah yang rawan ini berhati-hati dan bijaksana. (Mat. 10:16) Namun, pengabaran mereka terus-menerus ditentang oleh satu kelompok—para pemimpin gereja!
Ketika perintis Robin Zauja dan David Abraham tiba di Lashio, kota yang ramai di Negara Bagian Shan, para pemimpin agama setempat segera menuduh bahwa mereka adalah pemberontak. Robin mengatakan, ”Kami ditangkap dan diseret ke penjara. Di sana, kami memperlihatkan dokumen rohaniwan kami kepada polisi. Tak lama kemudian, seorang mayor melangkah masuk. ’Halo Pak Zauja,’ ia berseru. ’Rupanya Saksi Yehuwa sudah datang ke Lashio, ya!’ Sang mayor, yang adalah teman sekolah saya dulu, langsung membebaskan kami.”
Kedua perintis itu mulai mengabar dan tak lama kemudian mendirikan sidang yang cukup besar. Lalu mereka membangun sebuah Balai Kerajaan. Dua tahun kemudian, mereka dipanggil ke kantor pusat pemerintah setempat. Di sana lebih dari 70 pejabat militer, kepala suku, dan pemimpin agama sudah berkumpul. ”Para pemimpin agama dengan geram menuduh bahwa kami memaksa orang-orang untuk meninggalkan tradisi agama mereka,” kenang Robin. ”Saat ketua pertemuan meminta tanggapan kami, saya bertanya apakah saya boleh menggunakan Alkitab untuk memberikan pembelaan. Ia setuju. Saya segera berdoa dalam hati lalu menjelaskan pandangan Alkitab terhadap tradisi agama palsu, dinas militer, dan upacara kebangsaan. Ketika saya selesai, sang ketua berdiri dan menyatakan bahwa undang-undang Birma mengizinkan semua agama beribadat dengan leluasa. Kami dibebaskan dan diizinkan untuk melanjutkan pengabaran. Betapa kecewanya para pemimpin agama itu.”
Belakangan, di Mongpaw, desa kecil dekat perbatasan Cina, segerombolan orang dari gereja Baptis mengamuk dan membakar habis Balai Kerajaan. Karena tindakan mereka yang jahat ini tidak berhasil mengintimidasi para Saksi setempat, mereka membakar habis rumah seorang perintis istimewa dan mulai meneror saudara-saudari di rumah-rumah mereka. Saudara-saudara mengadukan peristiwa ini kepada sang penguasa daerah, tapi ia mendukung gereja Baptis. Namun akhirnya, pemerintah turun tangan dan memberi izin kepada saudara-saudara untuk membangun Balai Kerajaan yang baru—bukan di tempat semula di pinggir desa, melainkan tepat di tengah desa!
Lebih jauh ke arah selatan, di Leiktho, desa pegunungan yang terpencil di Negara Bagian Kayin, yang berbatasan dengan Segitiga Emas, Gregory Sarilo menghadapi tentangan keras dari Gereja Katolik. ”Sang imam di desa itu memerintahkan kawanannya untuk menghancurkan kebun sayuran saya,” kata Gregory. ”Lalu, mereka memberikan makanan kepada saya, tapi seorang teman memperingatkan bahwa makanan itu diracun. Suatu hari, beberapa anak buah sang imam menanyakan kepada saya jalan mana yang akan saya lalui pada hari berikutnya. Pada hari tersebut, saya lewat jalan lain, sehingga terhindar dari rencana mereka untuk menyergap dan membunuh saya. Sewaktu saya melaporkan upaya pembunuhan ini, pihak berwenang dengan tegas memerintahkan sang imam dan para pengikutnya untuk tidak mengganggu saya lagi. Yehuwa melindungi saya dari orang-orang yang ’memburu jiwa saya’.”—Mz. 35:4.
Mempertahankan Kenetralan
Selama bertahun-tahun, integritas saudara-saudari di Birma diuji melalui cara lain. Peperangan etnik dan pergolakan politik sering menguji kenetralan Kristen mereka.—Yoh. 18:36.
Di kota Thanbyuzayat di sebelah selatan, yang terkenal dengan stasiun kereta yang dibangun pada Perang Dunia II, perintis istimewa Hla Aung menghadapi situasi yang sulit. Ia berada di tengah-tengah peperangan antara pemberontak separatis dan pasukan pemerintah. ”Tentara menyerbu pedesaan pada malam hari untuk mengumpulkan para pria dan membawa mereka dengan paksa ke lokasi perang sebagai pengangkut perlengkapan militer,” jelasnya. ”Banyak yang tidak pernah pulang. Pada suatu malam, tentara mulai menyerbu desa kami ketika saya dan Donald Dewar sedang mengobrol di rumah saya. Istri saya langsung berteriak memperingatkan kami, sehingga kami sempat kabur ke hutan. Belakangan, saya membuat tempat persembunyian rahasia di rumah. Jadi, saya bisa langsung bersembunyi di situ apabila tentara datang lagi.”
Ketika perintis istimewa Rajan Pandit sampai di Dawei, sebuah kota di sebelah selatan Thanbyuzayat, ia segera memulai beberapa pelajaran Alkitab di desa dekat kota itu, yang merupakan markas para pemberontak. ”Saat kembali dari desa, saya ditangkap dan dipukuli oleh para tentara yang menuduh saya bersekongkol dengan para pemberontak,” katanya. ”Waktu saya bilang bahwa saya seorang Saksi Yehuwa, mereka ingin tahu cara saya bisa sampai ke Dawei. Saya menunjukkan tiket pesawat, yang saya simpan sebagai kenang-kenangan. Itu membuktikan bahwa saya datang dengan pesawat, sarana transportasi yang tidak pernah digunakan oleh para pemberontak. Saya tidak dipukuli lagi dan akhirnya dibebaskan. Tetapi, para tentara kemudian menginterogasi salah seorang pelajar Alkitab saya, namun sang pelajar meneguhkan bahwa kami hanya belajar Alkitab. Setelah itu, para tentara tidak mengganggu saya lagi dan beberapa bahkan menerima majalah dari saya secara rutin.”
Kadang-kadang pejabat kota berusaha menekan saudara-saudara agar berkompromi dengan memberikan suara dalam pemilu atau ambil bagian dalam upacara kebangsaan. Di Zalun, sebuah kota di pinggir sungai sekitar 130 kilometer sebelah utara Yangon, para pejabatnya menekan Saksi-Saksi setempat untuk memberikan suara dalam pemilu. Namun, para Saksi tetap teguh dan mengutip Alkitab sebagai dasar sikap mereka. (Yoh. 6:15) Para pejabat itu naik banding ke tingkat regional. Tetapi, kalangan berwenang regional tahu benar bahwa Saksi-Saksi Yehuwa netral secara politik. Saudara-saudari segera dikecualikan dari pemilu.
Ketika 23 anak Saksi di Khampat, sebuah kota di perbatasan Birma-India, menolak untuk membungkuk pada bendera nasional, kepala sekolah setempat mengeluarkan mereka dari sekolah. Ia kemudian memanggil dua penatua untuk menghadap sekelompok besar pejabat, termasuk hakim kota dan komandan militer. ”Ketika kami menjelaskan alasan Alkitab atas sikap kami, beberapa pejabat kelihatan sangat geram,” kata salah satu penatua, Paul Khai Khan Thang. ”Kemudian kami menunjukkan kepada mereka salinan surat keputusan pemerintah yang menyatakan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa diizinkan untuk ’berdiri dengan tenang dan respek selama upacara bendera’. Para pejabat itu tersentak. Mereka terdiam. Lalu, komandan militer memerintahkan sang kepala sekolah untuk menerima kembali para murid yang dikeluarkan. Kepala sekolah itu juga membagikan salinan surat keputusan tadi ke semua departemen sekolah.”
Dewasa ini, para pejabat di tingkat tertinggi pemerintahan Myanmar sudah tahu benar soal kenetralan politik Saksi-Saksi Yehuwa. Dengan berpaut pada prinsip Alkitab, hamba-hamba Yehuwa telah memberikan kesaksian yang baik, seperti yang telah Yesus nubuatkan.—Luk. 21:13.
Personel Militer Menjadi Kristen
Sepanjang sejarah modern Myanmar yang bergejolak, banyak penduduknya pernah menjadi tentara atau pemberontak. Seperti perwira pasukan Romawi Kornelius, beberapa di antara mereka ”saleh dan takut akan Allah”. (Kis. 10:2) Setelah mengetahui kebenaran, mereka berusaha keras untuk membuat banyak perubahan dalam hidup karena mereka ingin menyenangkan Yehuwa.
Dibebaskan dari kebencian, kedua pria ini sekarang dipersatukan oleh ikatan kasih persaudaraan, semuanya berkat kuasa yang memerdekakan dari Firman Allah
Salah satunya adalah Hlawn Mang, mantan perwira angkatan laut yang mengenal kebenaran ketika ditugaskan di Mawlamyine. ”Saya ingin langsung mengabar,” katanya. ”Tetapi, ketika saya baru mau mengundurkan diri dari angkatan laut, ternyata saya dipertimbangkan untuk mendapatkan promosi dan beasiswa militer di sebuah sekolah di negeri Barat yang makmur! Namun, saya bertekad untuk bekerja bagi Allah. Para atasan saya kaget ketika saya mengajukan surat pengunduran diri dan mulai melayani Yehuwa. Sekarang, sekitar 30 tahun kemudian, saya tetap yakin bahwa pilihan yang saya buat sudah tepat. Apakah ada yang lebih berharga daripada hak istimewa melayani Allah yang benar?”
La Bang Gam sedang dirawat di rumah sakit militer ketika Robin Zauja menunjukkan kepadanya buku Dari Firdaus Hilang Sampai Firdaus Dipulihkan.f La Bang Gam terkagum-kagum dengan buku itu dan bertanya apakah ia boleh memilikinya. Tetapi, karena Robin hanya punya satu, ia setuju untuk meminjamkannya selama satu malam saja. Keesokan harinya, ketika Robin datang lagi, La Bang Gam berseru, ”Ini bukumu. Sekarang saya punya sendiri!” Ternyata, ia tidak tidur semalaman karena menyalin ke-250 halaman buku itu ke beberapa buku catatan! Tidak lama kemudian, La Bang Gam meninggalkan militer dan menggunakan buku ”Firdaus” itu untuk membantu banyak orang belajar kebenaran.
Di Negara Bagian Shan yang berbukit-bukit, Sa Than Htun Aung, kapten angkatan bersenjata Birma, dan Aik Lin, seorang komandan Angkatan Bersenjata Persatuan Negara Bagian Wa, saling berperang di beberapa pertempuran yang sengit di hutan. Ketika kedua pasukan itu akhirnya melakukan gencatan senjata, kedua pria tadi menetap di Negara Bagian Shan. Belakangan, mereka belajar kebenaran di tempat yang berbeda, mengundurkan diri dari militer, dan dibaptis. Kedua pria yang tadinya bermusuhan ini bertemu lagi di kebaktian distrik, dan mereka berpelukan dengan hangat sebagai saudara Kristen! Dibebaskan dari kebencian, mereka sekarang dipersatukan oleh ikatan kasih persaudaraan, semuanya berkat kuasa yang memerdekakan dari Firman Allah.—Yoh. 8:32; 13:35.
Menjelaskan Kebenaran kepada ”Segala Macam Orang”
Antara 1965 dan 1976, jumlah penyiar di Birma meningkat lebih dari 300 persen. Sebagian besar orang baru yang menyambut pengabaran Saksi berasal dari gereja-gereja. Tetapi, saudara-saudara tahu bahwa Allah ingin agar ”segala macam orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan yang saksama tentang kebenaran”. (1 Tim. 2:4) Maka, mulai pertengahan 1970, mereka meningkatkan upaya untuk mengabar kepada banyak orang dari kelompok agama lainnya di Birma, termasuk penganut Buddha, Hindu, dan animisme.
Ada banyak tantangan. Orang Buddha tidak percaya adanya Allah atau Pencipta, orang Hindu menyembah jutaan Allah, dan penganut animisme di Birma menyembah makhluk-makhluk gaib yang kuat yang disebut nat. Takhayul, tenung, dan spiritisme banyak terdapat dalam agama-agama ini. Dan, walaupun kebanyakan pengikutnya memandang Alkitab sebagai kitab suci, mereka biasanya tidak tahu sama sekali atau hanya tahu sedikit tentang tokoh, sejarah, budaya, dan konsep Alkitab.
Tetapi, saudara-saudara tahu bahwa kekuatan kebenaran dari Firman Allah bisa menyentuh hati semua manusia. (Ibr. 4:12) Mereka hanya perlu mengandalkan roh kudus Allah dan menggunakan ”seni mengajar”—yaitu, penjelasan masuk akal yang menyentuh hati dan memotivasi orang-orang untuk mengubah hidup mereka.—2 Tim. 4:2.
Misalnya, perhatikan bagaimana Rosaline, seorang perintis istimewa kawakan, menggunakan penjelasan yang masuk akal sewaktu berbicara dengan orang Buddha. Ia menceritakan, ”Sewaktu saya mengatakan kepada orang Buddha bahwa ada Pencipta, mereka biasanya bertanya, ’Jadi, siapa yang menciptakan pencipta?’ Orang Buddha menganggap binatang adalah reinkarnasi dari manusia, jadi saya menggunakan binatang peliharaan mereka sebagai ilustrasi.
”’Apakah binatang peliharaan tahu kalau majikannya ada?’ tanya saya.
”’Tahu.’
”’Tetapi, apa dia tahu tentang pekerjaan, perkawinan, atau latar belakang majikannya?’
”’Tidak.’
”’Nah, karena manusia berbeda dari Allah, yang adalah Roh, apakah masuk akal bagi kita untuk memahami segala sesuatu tentang keberadaan atau asal mula Allah?’
”’Tidak.’”
”Kasih yang diperlihatkan oleh saudara-saudari bagaikan sirup dan madu”
Penjelasan demikian telah meyakinkan banyak orang Buddha yang berhati jujur untuk mempertimbangkan bukti-bukti lainnya tentang keberadaan Allah. Ketika penjelasan yang masuk akal digabungkan dengan kasih Kristen yang tulus, itu dapat menghasilkan pengaruh yang kuat atas hati orang-orang. Ohn Thwin, yang tadinya beragama Buddha, mengenang, ”Ketika membandingkan kepercayaan Buddhis tentang Nirwana dengan janji Alkitab tentang Firdaus di bumi, saya merasa bahwa Firdaus lebih menarik. Tetapi, karena saya pikir ada banyak jalan menuju kebenaran, saya tidak melakukan tindakan apa-apa. Kemudian, saya mulai menghadiri perhimpunan Saksi-Saksi Yehuwa. Kasih yang diperlihatkan oleh saudara-saudari bagaikan sirup dan madu. Kasih itu menggerakkan saya untuk bertindak sesuai dengan kebenaran yang telah saya pelajari.”
Memang, dibutuhkan kecerdikan dan kesabaran saat membantu orang lain mengubah kepercayaan mereka. Sewaktu Kumar Chakarabani berusia sepuluh tahun, ayahnya, seorang Hindu yang taat, mengizinkan pekerja Betel Jimmy Xavier untuk mengajar Kumar membaca. Ia mengenang, ”Ayah memperingatkannya agar dia hanya mengajarkan membaca, bukan agama. Kemudian Jimmy mengatakan kepada Ayah bahwa Buku Cerita Alkitab adalah alat yang bagus untuk mengajar anak-anak membaca. Jadi, setelah mengajar saya membaca, Jimmy menyempatkan diri untuk berbicara kepada Ayah dan menunjukkan minat yang tulus kepadanya. Saat ayah saya mulai bertanya tentang agama, Jimmy dengan cerdik mengatakan, ’Alkitab punya jawabannya. Coba kita lihat sama-sama.’ Pada waktunya, bukan hanya ayah saya yang menerima kebenaran tetapi 63 anggota keluarga kami juga menjadi Saksi-Saksi Yehuwa.”
Mengadakan Kebaktian pada Masa Perlawanan Rakyat
Pada pertengahan 1980-an, keadaan politik di Birma semakin tidak stabil. Akhirnya, pada 1988, puluhan ribu orang turun ke jalan-jalan untuk memprotes pemerintah. Namun, kegiatan mereka itu segera ditanggapi dengan kekerasan oleh pemerintah, dan hukum militer diberlakukan di sebagian besar negeri itu.
”Kalangan berwenang memberlakukan jam malam yang ketat, dan pertemuan lebih dari lima orang dilarang,” kata pekerja Betel Kyaw Win. ”Kami bertanya-tanya apakah kami harus membatalkan kebaktian distrik mendatang. Tetapi, dengan beriman kepada Yehuwa, kami mendekati komandan pasukan militer Divisi Yangon dan meminta izin untuk mengadakan kebaktian 1.000 orang. Dua hari kemudian, kami mendapat izin! Saat kami tunjukkan izin tadi kepada kalangan berwenang di daerah-daerah lain, mereka pun setuju untuk mengizinkan kebaktian di daerah mereka. Dengan bantuan Yehuwa, seluruh rangkaian kebaktian sukses besar!”
Tidak Mengabaikan Pertemuan Kristen
Setelah masa-masa perlawanan rakyat pada 1988, keadaan ekonomi di Birma semakin memburuk. Namun, saudara-saudari di sana terus menunjukkan iman yang dalam kepada Allah dengan terus mendahulukan kepentingan Kerajaan dalam kehidupan mereka.—Mat. 6:33.
Misalnya, perhatikan contoh Cin Khan Dal, yang tinggal dengan keluarganya di desa terpencil di Sagaing. ”Kami ingin menghadiri kebaktian distrik di Tahan. Perjalanannya dua hari dengan kapal dan truk,” jelasnya. ”Tetapi, jika kami pergi, ayam-ayam kami tidak ada yang jaga. Namun, kami tetap menaruh keyakinan kepada Yehuwa dan menghadiri kebaktian. Saat pulang, ternyata 19 ayam kami hilang—suatu kerugian ekonomi yang besar. Tetapi, satu tahun kemudian, ayam kami telah bertambah menjadi lebih dari 60 ekor. Dan, ketika banyak ayam lainnya di desa kami mati karena penyakit, tidak ada satu pun ayam kami yang mati.”
Pasangan lainnya yang tetap fokus secara rohani adalah Aung Tin Nyunt dan istrinya, Nyein Mya, yang tinggal bersama kesembilan anaknya di Kyonsha, sebuah desa kecil berjarak 64 kilometer di sebelah barat laut Yangon. Aung Tin Nyunt mengenang, ”Biasanya, keluarga kami hanya makan bubur dan sayuran. Kami tidak punya uang ataupun barang untuk dijual. Tetapi, kami tidak depresi. Saya bilang ke keluarga saya, ’Yesus tidak memiliki tempat untuk menaruh kepalanya. Jadi, kalaupun saya harus tinggal di bawah pohon atau mati karena kelaparan, saya akan terus menyembah Allah dengan setia.’
”Yehuwa adalah penolongku; aku tidak akan takut. Apa yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?”—Ibr. 13:6
”Tetapi, suatu hari, kami sama sekali tidak punya makanan di rumah. Istri dan anak-anak menatap saya dengan wajah khawatir. ’Jangan khawatir,’ saya meyakinkan mereka. ’Allah akan membantu kita.’ Setelah berdinas pada pagi hari, saya kemudian membawa anak-anak untuk mencari ikan. Tetapi, kami hanya mendapat ikan untuk satu kali makan. Kami kemudian meninggalkan keranjang ikan di sungai, dekat bunga-bunga teratai. Saya berkata kepada anak-anak, ’Nanti kita bisa kembali lagi, setelah berhimpun.’ Siang itu anginnya kencang. Ketika kami kembali, ternyata ada banyak ikan yang berlindung dari angin di bawah bunga-bunga teratai tadi. Jadi, kami menurunkan keranjang kami dan menangkap banyak ikan, yang lalu kami jual untuk membeli makanan seminggu penuh.”
Saksi-Saksi Yehuwa di Myanmar telah berulang kali merasakan benarnya janji Allah yang menghangatkan hati, ”Aku tidak akan membiarkan engkau atau meninggalkan engkau.” Jadi, mereka bisa berkata, ”Yehuwa adalah penolongku; aku tidak akan takut. Apa yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?”—Ibr. 13:5, 6.
Peningkatan Mutu Publikasi
Sejak 1956, masyarakat Myanmar telah menikmati makanan rohani yang rutin berupa Menara Pengawal edisi bahasa Birma. Walaupun peperangan etnik, pertikaian sipil, dan pergolakan ekonomi terus terjadi, tidak ada satu edisi pun yang tidak diterbitkan. Bagaimana majalah ini diproduksi?
Selama bertahun-tahun, kantor cabang mengirimkan beberapa salinan naskah terjemahan majalah yang diketik ke lembaga sensor pemerintah. Setelah majalah itu lulus sensor, kantor cabang mengajukan permohonan untuk membeli kertas cetak. Setelah mendapatkannya, seorang saudara membawa kertas tadi beserta majalah yang telah diketik ke percetakan komersial, yang akan menyusun huruf demi huruf di setiap halaman dengan tangan dalam karakter bahasa Myanmar (Birma). Lalu, saudara itu memeriksa keakuratan naskahnya, dan kemudian tukang cetak mencetak majalah itu dengan mesin yang sudah tua. Setelah itu, majalah-majalah dikirim ke lembaga sensor untuk mendapatkan surat legalisasi agar dapat diterbitkan. Jelaslah, prosedur yang melelahkan ini memakan waktu berminggu-minggu, dan kualitas kertas serta cetakannya pun tidak terlalu bagus.
Pada 1989, kantor cabang menerima sistem penerbitan baru yang benar-benar mengubah proses pencetakan mereka. Dikembangkan dan dibuat di kantor pusat, Sistem Penyusunan Huruf dan Tata-Letak-Gambar Elektronik Multibahasa (MEPS) menggunakan komputer, perangkat lunak, dan penyusun huruf-dan-tata-letak-gambar untuk menghasilkan teks yang siap dicetak ke dalam 186 bahasa—termasuk Myanmar!g
”Yang pertama menggunakan komputer untuk mengomposisi dan menerbitkan publikasi di Myanmar jelaslah Saksi-Saksi Yehuwa,” kata Mya Maung, yang bekerja di kantor cabang. ”Sistem MEPS, yang menggunakan karakter Myanmar yang indah yang dibuat di kantor cabang kami, telah menghasilkan perubahan dalam industri percetakan lokal. Orang-orang bingung karena kami bisa membuat karakter huruf dengan sangat rapi!” MEPS juga mendukung metode pencetakan offset—metode pencetakan baru yang meningkatkan kualitas majalah. Terlebih lagi, MEPS dapat mengakomodasi gambar-gambar yang bermutu tinggi, yang benar-benar meningkatkan daya tarik visual Menara Pengawal.
Pada 1991, pemerintahan Myanmar menyetujui penerbitan Sedarlah! dan saudara-saudara sangat bersukacita. Masyarakat pun ikut senang! Seorang pejabat tinggi dari Departemen Penerangan mewakili banyak pembaca ketika ia mengatakan, ”Sedarlah! berbeda dengan majalah keagamaan lainnya. Topiknya banyak, menarik, dan mudah dimengerti. Saya sangat menyukainya.”
Selama 20 tahun terakhir, jumlah majalah tercetak bertambah lebih dari 900 persen!
Selama 20 tahun terakhir, jumlah majalah yang dicetak oleh kantor cabang Myanmar setiap bulan telah meningkat dari 15.000 hingga lebih dari 141.000, peningkatan sekitar 900 persen! Sekarang, Menara Pengawal serta Sedarlah! sudah umum di Yangon dan dinikmati oleh orang-orang di seluruh negeri.
Kantor Cabang Baru Dibutuhkan
Setelah perlawanan rakyat tahun 1988, kalangan berwenang militer Myanmar mengundang organisasi sosial dan religius di Myanmar untuk mendaftarkan diri ke pemerintah. Tentu saja, kantor cabang senang melakukannya. Dua tahun kemudian, pada 5 Januari 1990, pemerintah dengan resmi mendaftarkan ”Lembaga Saksi-Saksi Yehuwa (Menara Pengawal)” di Myanmar.
Pada saat itu, saudara-saudara telah memindahkan kantor cabang dari Jalan 39 ke rumah bertingkat dua di tanah seluas setengah hektar di Jalan Inya, di kawasan yang cukup makmur di sebelah utara pusat kota. Tetapi, semua ruangan di tempat baru itu sekarang sudah penuh. Viv Mouritz, yang pada waktu itu mengunjungi Myanmar sebagai pengawas zona, mengenang, ”Kedua puluh lima anggota keluarga Betel bekerja dalam keadaan yang sulit. Tidak ada kompor gas di dapur—seorang saudari memasak dengan kompor listrik sederhana. Di bagian pencucian baju tidak ada mesin cuci, jadi seorang saudari mencuci baju di sebuah lubang di lantai. Saudara-saudara ingin membeli kompor dan mesin cuci, tetapi barang-barang itu tidak bisa diimpor.”
Jelaslah, saudara-saudara membutuhkan kantor cabang yang baru. Maka, Badan Pimpinan memberi izin untuk menghancurkan rumah dua tingkat yang ada sekarang lalu menggantinya dengan tempat tinggal serta kantor empat lantai di lokasi yang sama. Tetapi, sebelum saudara-saudara dapat menjalankan rencana ini, ada beberapa rintangan besar yang harus dilalui. Pertama, harus ada persetujuan dari enam tingkat pemerintahan. Kedua, kontraktor bangunan setempat tidak mengerti caranya membangun dengan rangka baja, jadi mereka tidak bisa melakukan pekerjaan itu. Ketiga, para sukarelawan Saksi dari luar negeri tidak bisa masuk ke negeri itu. Dan yang terakhir, bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan tidak ada di Myanmar, dan itu juga tidak bisa diimpor. Tidak heran, proyek ini kelihatannya mustahil. Namun, seperti yang sudah-sudah, saudara-saudara percaya kepada Yehuwa. Jika Yehuwa mau, kantor cabang yang baru pasti bisa dibangun!—Mz. 127:1.
’Bukan dengan Kekuatan, Tetapi dengan Roh-Ku’
Kyaw Win, dari Departemen Hukum kantor cabang, melanjutkan ceritanya, ”Permohonan pembangunan kami berjalan lancar dan disetujui oleh lima dari enam tingkat pemerintahan, termasuk Departemen Urusan Agama. Kemudian, Komite Pengembangan Kota Yangon mengatakan bahwa bangunan bertingkat empat terlalu tinggi, maka permohonan kami ditolak. Ketika kami minta izin lagi, itu ditolak lagi. Panitia Cabang menyarankan saya untuk bertekun. Maka, saya berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Yehuwa dan mengajukan permohonan untuk ketiga kalinya. Dan ternyata, itu disetujui!
”Kami kemudian mendekati Departemen Imigrasi. Mereka mengatakan bahwa orang asing bisa masuk ke negeri itu dengan visa turis hanya selama tujuh hari. Tetapi, ketika kami menjelaskan bahwa sukarelawan asing kami adalah para ahli yang akan mengajarkan teknik konstruksi modern kepada penduduk setempat, mereka memberikan para sukarelawan visa enam bulan!
”Kami kemudian pergi ke Departemen Perdagangan, dan ternyata semua kegiatan impor telah dibekukan. Namun, saat kami jelaskan tujuan proyek ini kepada para pejabat, mereka memberi kami izin untuk mengimpor bahan bangunan senilai lebih dari satu juta dolar AS. Bagaimana dengan pajak impor? Kunjungan kami ke Departemen Keuangan menghasilkan pembebasan pajak atas bahan-bahan yang akan diimpor! Dalam hal ini dan hal lainnya, kami merasakan benarnya pernyataan Allah, ’”Bukan dengan pasukan militer, ataupun dengan kekuatan, tetapi dengan rohku,” kata Yehuwa yang berbala tentara.’”—Za. 4:6.
Pada 1997, para sukarelawan telah siap di lokasi konstruksi. Saudara-saudara dari Australia menyumbang sebagian besar bahan-bahan bangunan, sedangkan persediaan lainnya berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bruce Pickering, yang mengawasi proyek ini, mengenang, ”Beberapa saudara dari Australia terlebih dahulu membuat bagian-bagian dari seluruh rangka bajanya dan kemudian pergi ke Myanmar untuk menyatukannya bagian per bagian. Hebatnya, tidak ada satu pun lubang sekrup yang meleset!” Para sukarelawan lainnya datang dari Amerika Serikat, Fiji, Inggris, Jerman, Selandia Baru, dan Yunani.
Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, para penyiar setempat bisa dengan leluasa bergaul dengan saudara-saudari dari negeri lain. ”Kami sangat senang; rasanya seperti mimpi,” kenang Donald Dewar. ”Kerohanian, kasih, dan semangat rela berkorban dari saudara-saudari itu sangat menguatkan kami.” Seorang saudara lain menambahkan, ”Kami juga belajar teknik konstruksi yang berharga. Penyiar yang dulu hanya menggunakan lilin, sekarang belajar cara memasang lampu listrik. Yang lain lagi, yang tadinya hanya biasa menggunakan kipas tangan, sekarang belajar cara memasang AC. Kami bahkan belajar cara menggunakan alat konstruksi listrik!”
Sebaliknya, para sukarelawan asing tersebut sangat tersentuh melihat iman dan kasih yang ditunjukkan saudara-saudari Myanmar. ”Mereka miskin, tetapi sangat baik hati,” kata Bruce Pickering. ”Banyak yang mengundang kami ke rumah mereka untuk makan bersama. Makanan itu sebenarnya bisa untuk keluarga mereka selama beberapa hari. Teladan mereka mengingatkan kami tentang apa yang benar-benar penting dalam kehidupan—keluarga, iman, persaudaraan kita, berkat Allah.”
Pada 22 Januari 2000, fasilitas kantor cabang baru ini ditahbiskan pada pertemuan khusus di Teater Nasional. Saudara-saudara setempat sangat senang karena John E. Barr, anggota Badan Pimpinan, memberikan khotbah penahbisan.
Membangun Balai-Balai Kerajaan Baru
Saat pembangunan kantor cabang yang baru hampir selesai, saudara-saudara berfokus pada kebutuhan mendesak lainnya—Balai Kerajaan. Pada 1999, Nobuhiko dan Aya Koyama datang dari Jepang. Nobuhiko membantu membentuk Bagian Pembangunan Balai Kerajaan di cabang. Ia mengenang, ”Kami para saudara mulai dengan memeriksa lokasi-lokasi perhimpunan di seluruh negeri. Kami harus bepergian dengan bus, pesawat, motor, sepeda, kapal, dan berjalan kaki. Sering kali, kami butuh izin perjalanan dari pemerintah, karena ada banyak daerah yang tidak boleh dimasuki orang asing. Setelah kami tahu lokasi mana saja yang membutuhkan balai, Badan Pimpinan dengan baik hati memberikan dana pembangunan dari program untuk negeri-negeri yang sumber dayanya terbatas.
”Setelah kami mengumpulkan tim sukarelawan, mereka pergi ke Shwepyitha, di pinggiran kota Yangon, untuk membangun balai baru pertama. Saudara-saudara setempat dan asing bekerja sama dalam proyek itu. Para polisi setempat tercengang dan mereka beberapa kali menghentikan pembangunan itu untuk bertanya kepada atasan mereka apakah pekerjaan bersama itu boleh dilakukan. Orang-orang lain memuji saudara-saudara. ’Saya melihat orang asing membersihkan toilet!’ seru seorang pria. ’Belum pernah saya lihat orang asing melakukan pekerjaan semacam itu. Kalian memang beda!’
”Sementara itu, tim pembangunan lainnya mulai mengerjakan balai baru di Tachileik, sebuah kota di perbatasan Myanmar-Thailand. Banyak Saksi dari Thailand setiap hari melewati perbatasan untuk bekerja bersama saudara-saudara Myanmar dalam proyek itu. Dua kelompok tersebut bekerja bahu-membahu walau bahasa mereka berbeda. Sungguh kontras, ketika balai itu selesai, pasukan Myanmar dan Thailand di perbatasan malah mulai berperang. Bom dan peluru berseliweran di sekitar balai, tetapi balai terluput. Ketika perang mulai mereda, 72 orang berkumpul di balai itu untuk membaktikan bangunan itu bagi Yehuwa, Allah kedamaian.”
Sejak 1999, tim-tim pembangunan Balai Kerajaan telah membangun lebih dari 65 Balai Kerajaan di seluruh negeri
Sejak 1999, tim-tim pembangunan Balai Kerajaan telah membangun lebih dari 65 Balai Kerajaan baru di seluruh negeri. Apa pengaruhnya bagi penyiar setempat? Seperti banyak orang lainnya, seorang saudari bersyukur sambil menangis sukacita, dengan mengatakan, ”Saya tidak pernah membayangkan bahwa kami akan punya balai baru yang sangat indah! Sekarang, saya akan berusaha lebih keras lagi untuk mengundang para peminat datang ke perhimpunan. Saya berterima kasih kepada Yehuwa dan organisasi-Nya karena kebaikan hati yang mereka tunjukkan untuk kami!”
Utusan Injil Tiba
Selama tahun 1990-an, setelah puluhan tahun terisolasi, Myanmar secara bertahap mulai membuka diri terhadap dunia luar. Sebagai tanggapan, kantor cabang meminta izin kepada pemerintah agar utusan injil boleh masuk lagi ke negeri itu. Akhirnya, pada Januari 2003, lulusan Gilead Hiroshi dan Junko Aoki tiba dari Jepang, utusan injil pertama yang masuk ke Myanmar dalam 37 tahun.
”Karena orang asing hanya sedikit di negeri ini, kami harus bijaksana agar kalangan berwenang tidak salah paham dengan pekerjaan pengabaran kami,” kata Hiroshi. ”Jadi kami mulai dengan menemani saudara-saudari setempat ke kunjungan kembali dan PAR. Kami segera sadar bahwa orang Myanmar senang berbicara tentang hal-hal rohani. Pada pagi pertama dalam dinas, kami memulai lima PAR baru!”
”Kami sering merasakan tangan Yehuwa membimbing kami,” kata Junko. ”Suatu waktu, ketika pulang dengan sepeda motor sehabis memberikan PAR dekat Mandalay, ban kami bocor. Kami mendorong motor ke pabrik dekat situ dan meminta bantuan untuk memperbaiki ban. Satpam tempat itu memperbolehkan Hiroshi dan motor kami masuk, tetapi saya harus menunggu di pos. Satpam itu tampak curiga.
”’Kalian sedang apa di sini?’ tanyanya.
”’Mengunjungi teman-teman,’ jawab saya.
”’Untuk apa?’ ia mendesak. ’Pertemuan agama?’
”Karena tidak yakin akan motifnya, saya tidak jawab pertanyaannya.
”’Terus terang saja!’ desaknya. ’Kamu dari organisasi mana?’
”Saya mengambil Menara Pengawal dari tas dan menunjukkan itu kepadanya.
”’Tuh, kan!’ ia berseru senang. Sambil berpaling ke teman-teman kerjanya, ia mengatakan, ’Lihat! Malaikat telah membocorkan ban supaya Saksi-Saksi Yehuwa sampai ke kita!’
”Pria itu merogoh tasnya lalu mengeluarkan Alkitab dan salah satu risalah kita. Ia telah belajar dengan para Saksi di daerah lain tetapi kehilangan kontak ketika ia pindah ke Mandalay. Kami langsung memulai PAR dengannya di sana. Belakangan, beberapa teman kerjanya juga mulai belajar.”
Pada 2005, empat utusan injil lainnya tiba di Myanmar, kali ini dari Sekolah Pelatihan Pelayanan (kini disebut Sekolah Alkitab bagi Saudara Lajang) di Filipina. Salah satu saudara itu, Nelson Junio, menghadapi tantangan yang dialami banyak utusan injil—rindu kampung halaman. ”Saya sering menangis dan berdoa sebelum tertidur,” katanya. ”Kemudian seorang saudara yang baik hati menunjukkan Ibrani 11:15, 16 kepada saya. Ayat itu menceritakan tentang Abraham dan Sara yang tidak terus memikirkan untuk pulang ke rumah mereka di Ur tetapi tetap fokus untuk melayani Allah. Setelah membaca ayat itu, saya tidak menangis lagi. Saya mulai menganggap tempat penugasan saya sebagai rumah saya.”
Teladan bagi Banyak Orang
Pada abad pertama, rasul Paulus menasihati Timotius, ”Perkara-perkara yang engkau dengar dariku . . . percayakanlah perkara-perkara ini kepada pria-pria yang setia, yang selanjutnya akan cukup cakap untuk mengajar orang-orang lain.” (2 Tim. 2:2) Dengan mencamkan prinsip ini, para utusan injil membantu agar sidang-sidang setempat di Myanmar semakin selaras dengan prosedur teokratis yang digunakan oleh umat Yehuwa di seluruh dunia.
Misalnya, para utusan injil memerhatikan bahwa banyak penyiar setempat mengajar PAR untuk menjawab dengan mengulangi kata-kata yang ada di buku—suatu metode yang digunakan di kebanyakan sekolah di Myanmar. ”Kami dengan sabar mengimbau para penyiar untuk menggunakan pertanyaan sudut pandang agar mengetahui pikiran dan perasaan sang pelajar,” kata Joemar Ubiña. ”Para penyiar mau menerapkan saran tersebut dan menjadi pengajar yang lebih efektif.”
Para utusan injil juga memerhatikan bahwa banyak sidang hanya punya satu penatua atau hamba pelayanan. Beberapa dari saudara terlantik itu, walau beriman dan bekerja keras, cenderung memperlakukan kawanan secara otoriter. Tentu saja, sifat manusia seperti itu juga pasti ada di abad pertama. Saat itu, rasul Petrus mendesak para penatua, ”Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada dalam pemeliharaanmu, tidak . . . memerintah atas mereka yang adalah milik pusaka Allah, tetapi menjadi teladan bagi kawanan itu.” (1 Ptr. 5:2, 3) Bagaimana para utusan injil membantu saudara-saudara mereka? ”Kami berusaha untuk memberikan teladan dengan bersikap sangat baik hati, lembut, dan mudah didekati,” kata Benjamin Reyes. Teladan mereka akhirnya membuahkan hasil. Banyak penatua mengubah sikap mereka dan mulai mengurus kawanan dengan lebih beriba hati.
Terjemahan yang Lebih Bermutu Membuahkan Hasil
Selama bertahun-tahun, saudara-saudari di Myanmar menggunakan Alkitab abad ke-19 yang diterjemahkan oleh salah seorang misionaris susunan Kristen dengan bantuan para biksu Buddha. Terjemahan ini menggunakan banyak kata-kata bahasa Pali yang sudah ketinggalan zaman dan sangat sulit dimengerti. Jadi, ketika Kitab-Kitab Yunani Kristen Terjemahan Dunia Baru dalam bahasa Myanmar dirilis pada 2008, saudara-saudari luar biasa senang. ”Para hadirin bertepuk tangan lama sekali, dan beberapa bahkan menangis bersukacita ketika menerima buku itu,” kenang Maurice Raj. ”Terjemahan yang baru itu jelas, sederhana, dan akurat. Bahkan orang Buddha menganggap itu mudah dimengerti!” Segera setelah terjemahan itu dirilis, jumlah PAR di negeri itu meningkat sebanyak 40 persen.
Seperti bahasa-bahasa lainnya, bahasa Myanmar memiliki dua bentuk—bentuk formal yang berasal dari bahasa Pali dan Sanskerta serta bentuk sehari-hari yang digunakan dalam percakapan. Keduanya digunakan dalam tulisan dan juga dalam percakapan. Kebanyakan publikasi lama kita menggunakan bentuk yang formal, yang sekarang sulit dimengerti oleh semakin banyak orang. Karena alasan itulah, kantor cabang belum lama ini mulai menerjemahkan publikasi ke dalam bahasa Myanmar sehari-hari, yang mudah dimengerti oleh kebanyakan orang.
Dampak dari publikasi baru ini langsung terlihat. Pengawas Departemen Penerjemahan, Than Htwe Oo, menjelaskan, ”Orang-orang biasanya mengatakan, ’Bacaan kalian berkualitas tinggi, tapi saya tidak bisa mengerti isinya.’ Sekarang mereka senang ketika menerima majalah ini dan langsung membacanya. Banyak orang mengatakan, ’Bacaan ini sangat mudah dimengerti!’” Bahkan komentar di perhimpunan pun meningkat, karena para hadirin sekarang mengerti dengan jelas apa yang tertulis dalam publikasi kita.
Sekarang, Departemen Penerjemahan Myanmar terdiri atas 26 penerjemah sepenuh waktu yang bekerja dalam tiga tim bahasa—Myanmar, Hakha Chin, dan Sgaw Kayin. Publikasi juga telah diterjemahkan ke dalam 11 bahasa setempat lainnya.
Siklon Nargis
Pada 2 Mei 2008, Siklon Nargis, sebuah badai dahsyat dengan angin berkecepatan 240 kilometer per jam, menghantam Myanmar, memorakporandakan daerah-daerah dari Delta Ayeyarwady sampai perbatasan Thailand. Lebih dari dua juta orang menjadi korban dari siklon ini dan ada 140.000 yang meninggal atau hilang.
Ribuan Saksi-Saksi Yehuwa terimbas siklon ini, tetapi hebatnya, tak satu pun terluka. Banyak yang selamat karena berlindung di Balai Kerajaan mereka yang baru. Di Bothingone, sebuah desa pesisir di Delta Ayeyarwady, ada 20 Saksi dan 80 penduduk desa lainnya yang berlindung di dalam rongga atap Balai Kerajaan sementara air terus naik hingga nyaris mencapai langit-langit, dan kemudian surut.
Kantor cabang segera mengutus tim bantuan kemanusiaan ke daerah-daerah yang paling terimbas di Delta Ayeyarwady. Melewati daerah yang porak-poranda dan mayat yang bergelimpangan, tim itu akhirnya sampai di desa itu dengan membawa makanan, minuman, dan obat-obatan. Mereka adalah tim bantuan kemanusiaan pertama yang sampai di daerah itu. Setelah memberikan bahan-bahan bantuan kepada saudara-saudari setempat, tim itu menguatkan mereka dengan khotbah Alkitab dan membagikan Alkitab serta publikasi, karena semua barang milik mereka telah hilang terbawa siklon.
Untuk mengatur bantuan besar-besaran, kantor cabang membentuk Panitia Penanggulangan Bencana di Yangon dan Pathein. Panitia ini mengorganisasi ratusan sukarelawan untuk membagikan air, beras, dan kebutuhan dasar lainnya kepada para korban. Mereka juga membentuk tim konstruksi keliling untuk membangun kembali rumah Saksi yang rusak atau hancur karena siklon.
Salah seorang sukarelawan, Tobias Lund, mengatakan, ”Istri saya, Sofia, dan saya bertemu dengan May Sin Oo, satu-satunya penyiar di keluarganya, yang sedang menjemur Alkitab-nya di antara reruntuhan rumahnya. Ia tersenyum ketika melihat kami, tetapi air mata membasahi pipinya. Tidak lama kemudian, salah satu tim konstruksi keliling kami tiba, membawa helm, peralatan listrik, dan bahan-bahan bangunan. Mereka kemudian mulai membangun rumah baru untuk keluarga itu. Para tetangga terheran-heran! Orang-orang berjongkok selama berhari-hari di sekitar lokasi proyek, yang menjadi pusat tontonan di daerah itu. Orang-orang yang menonton mengatakan, ’Kami belum pernah melihat yang seperti ini! Organisasi kalian benar-benar bersatu dan penuh kasih. Kami juga mau menjadi Saksi-Saksi Yehuwa.’ Orang tua May Sin Oo dan saudara-saudaranya sekarang menghadiri perhimpunan, dan seluruh keluarga membuat kemajuan rohani yang baik.”
Pekerjaan kemanusiaan terus berlangsung selama berbulan-bulan. Saudara-saudara membagikan berton-ton kebutuhan dasar dan memperbaiki atau membangun kembali 160 rumah dan 8 Balai Kerajaan. Siklon Nargis memang membawa bencana dan kesukaran bagi Myanmar, tetapi justru di situlah orang-orang melihat sesuatu yang sangat berharga—yakni ikatan kasih yang mempersatukan umat Allah dan memuliakan nama Yehuwa.
Peristiwa yang Tak Terlupakan
Pada awal 2007, kantor cabang Myanmar menerima surat yang penuh kejutan. ”Badan Pimpinan meminta kami untuk mengatur kebaktian internasional di Yangon,” kata Jon Sharp, yang pada tahun sebelumnya sudah mulai melayani di cabang tersebut bersama istrinya, Janet. ”Kebaktian tahun 2009 akan dihadiri ratusan delegasi asing dari sepuluh negara—sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah kantor cabang kami!”
Jon melanjutkan, ”Kami jadi bertanya-tanya, ’Apakah ada tempat di sini yang bisa menampung pertemuan sebesar itu? Apakah penyiar dari daerah terpencil akan datang? Mereka akan tinggal di mana? Transportasinya bagaimana? Apa mereka bisa menyediakan makanan bagi keluarga mereka? Juga, bagaimana dengan kalangan berwenang Myanmar? Apa mereka mau mengizinkan pertemuan seperti itu?’ Sepertinya, ada banyak sekali rintangan. Meskipun demikian, kami mengingat perkataan Yesus, ’Hal-hal yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah.’ (Luk. 18:27) Jadi, dengan percaya kepada Allah, kami mulai membuat rencana yang spesifik.
”Tak lama kemudian, kami menemukan tempat yang cocok—Stadion Indoor Nasional Myanmar yang ber-AC dan berkapasitas 11.000 orang dekat pusat kota. Kami langsung mengajukan permohonan ke kalangan berwenang untuk memakai tempat itu. Tetapi, berbulan-bulan kemudian, ketika kebaktian tinggal beberapa minggu lagi, permohonan kami belum juga disetujui. Kami kemudian menerima berita yang sangat mengguncang: Manajer stadion ternyata telah menjadwalkan turnamen kickboxing pada tanggal yang sama dengan kebaktian kami! Karena sudah tidak ada waktu untuk mencari tempat lain, kami dengan sabar bernegosiasi dengan penyelenggara acara dan sejumlah pejabat untuk menyelesaikan masalah ini. Akhirnya, penyelenggara mengakui bahwa ia bisa menunda turnamen itu hanya jika ke-16 pemain kickboxing profesional yang telah di-booking untuk acara itu setuju untuk mengubah kontrak mereka. Ketika para pemain mendengar bahwa Saksi-Saksi Yehuwa akan menggunakan stadion untuk pertemuan istimewa, semua pemain tadi setuju untuk mengubah kontrak mereka.”
”Tetapi,” kata Kyaw Win, anggota Panitia Cabang lainnya, ”kami masih butuh izin dari pemerintah untuk menggunakan stadion, dan permohonan kami telah ditolak empat kali! Setelah berdoa kepada Yehuwa, kami mengadakan pertemuan dengan jenderal yang menguasai setiap stadion di Myanmar. Kebaktian hanya tinggal dua minggu lagi dan saat itulah untuk pertama kalinya kami diberi izin untuk menemui pejabat pemerintah pada tingkat setinggi itu. Kami sungguh senang karena ia menyetujui permohonan kami!”
Ribuan delegasi, yang tidak mengetahui masalah menegangkan ini, mulai berdatangan dari luar negeri dan seputar Myanmar ke Yangon dengan pesawat, kereta api, kapal, bus, truk, dan jalan kaki. Banyak keluarga di Myanmar menabung selama berbulan-bulan untuk hadir. Banyak saudara yang bercocok tanam, yang lain memelihara babi, beberapa menjahit baju, dan ada juga yang mendulang emas di sungai. Kebanyakan dari mereka belum pernah ke kota besar atau melihat orang asing.
Lebih dari 1.300 delegasi dari sebelah utara Myanmar berkumpul di Stasiun Kereta Mandalay untuk naik kereta khusus yang dicarter guna membawa mereka ke Yangon. Salah satu kelompok dari Naga Hills telah melakukan perjalanan selama enam hari, sambil menggendong dua penyiar yang kursi rodanya rusak di awal perjalanan. Ratusan lainnya berkemah di peron kereta, sambil mengobrol, tertawa, dan menyanyikan lagu-lagu Kerajaan. ”Semua sangat senang,” kata Pum Cin Khai, yang membantu mengurus transportasi. ”Kami menyediakan makanan, minuman, dan kasur lipat bagi mereka. Saat kereta akhirnya datang, para penatua membantu setiap kelompok menempati gerbongnya masing-masing. Akhirnya, dari pengeras suara terdengar seruan: ’Kereta Saksi-Saksi Yehuwa akan berangkat!’ Saya melihat ke peron untuk memastikan apakah masih ada yang tertinggal. Kemudian saya melompat naik ke kereta!”
Sementara itu, di Yangon, hampir 700 delegasi asing mulai menempati hotel-hotel. Tetapi, di mana delegasi Myanmar yang berjumlah lebih dari 3.000 akan tinggal? ”Yehuwa membuka hati Saksi-Saksi di Yangon untuk mengurus kebutuhan saudara-saudari mereka,” kata Myint Lwin, yang bekerja di Departemen Pemondokan. ”Beberapa keluarga menampung hingga 15 orang. Mereka membayar biaya pendaftaran tamu mereka ke kalangan berwenang dan menyediakan sarapan juga transportasi pulang-pergi ke stadion setiap hari. Puluhan delegasi tinggal di Balai Kerajaan; ratusan lainnya tidur di sebuah pabrik besar. Namun, walau semua upaya ini sudah dilakukan, masih ada sekitar 500 delegasi yang membutuhkan pemondokan. Kami menjelaskan masalah ini kepada manajemen stadion, dan mereka mengizinkan para delegasi tidur di stadion—sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya!”
”Yehuwa membuka hati Saksi-Saksi di Yangon untuk mengurus kebutuhan saudara-saudari mereka”
Karena kondisi stadion kurang bagus, lebih dari 350 sukarelawan bekerja selama sepuluh hari untuk mempersiapkannya. ”Kami perbaiki saluran air, listrik, dan sistem pendingin udaranya serta mengecat dan membersihkan seluruh stadion,” kata Htay Win, pengawas kebaktian. ”Pekerjaan besar-besaran ini menghasilkan kesaksian yang bagus. Pejabat militer yang berwenang atas stadion itu mengatakan, ’Terima kasih! Terima kasih! Saya berdoa kepada Tuhan supaya kalian pakai stadion saya tiap tahun!’”
Lebih dari 5.000 orang menghadiri kebaktian itu, pada 3-6 Desember 2009. Pada hari terakhir, banyak delegasi mengenakan pakaian tradisional, sehingga terciptalah pemandangan yang memukau dari pakaian yang berwarna-warni. ”Semua saling berpelukan dan menangis—bahkan sebelum acara dimulai!” kata seorang saudari. Setelah Gerrit Lösch dari Badan Pimpinan menyampaikan doa penutup, hadirin bertepuk tangan dan melambai-lambaikan tangan selama beberapa menit. Seorang saudari yang berusia 86 tahun mengungkapkan apa yang juga dirasakan oleh banyak hadirin, ”Rasanya seperti sudah di dunia baru!”
Banyak pejabat pemerintah juga terkesan. ”Pertemuan ini unik,” kata seorang pejabat. ”Tidak ada yang berbicara kasar, merokok, atau mengunyah buah pinang. Kelompok-kelompok etnik bersatu. Saya belum pernah melihat perkumpulan seperti ini!” Maurice Raj mengatakan, ”Bahkan seorang komandan militer di Yangon mengatakan bahwa dia dan rekan-rekannya belum pernah melihat pertemuan yang luar biasa seperti ini.”
Banyak delegasi setuju bahwa mereka telah menyaksikan sesuatu yang istimewa. Seorang saudara setempat mengatakan, ”Sebelum kebaktian, kami hanya mendengar tentang persaudaraan internasional kita. Sekarang kami sudah merasakannya! Kami tidak akan pernah melupakan kasih yang ditunjukkan oleh saudara-saudari kita.”
”Sebelum kebaktian, kami hanya mendengar tentang persaudaraan internasional kita. Sekarang kami sudah merasakannya!”
”Putih dan Siap untuk Dipanen”
Hampir 2.000 tahun yang lalu, Yesus berkata kepada murid-muridnya, ”Layangkanlah pandanganmu dan lihatlah ladang-ladang, yang sudah putih dan siap untuk dipanen.” (Yoh. 4:35) Hal yang sama terjadi atas Myanmar dewasa ini. Sekarang, negara itu mempunyai 3.790 penyiar, dengan rasio 1 penyiar banding 15.931 penduduk—benar-benar ladang yang luas untuk dipanen. Dan, dengan 8.005 orang yang hadir di Peringatan 2012, potensi pertumbuhan sangat besar!
Sebagai bukti lebih lanjut, perhatikan Negara Bagian Rakhine, daerah pesisir yang berbatasan dengan Bangladesh yang penduduknya hampir empat juta orang tetapi belum ada Saksi-nya. ”Setiap bulan, kami menerima banyak surat dari orang-orang di daerah ini yang meminta majalah dan bantuan rohani,” kata Maurice Raj. ”Juga, semakin banyak orang Buddha di Myanmar, terutama kaum muda, yang menunjukkan minat akan kebenaran. Jadi, kami terus memohon kepada Pemilik panen agar mengutus lebih banyak pekerja.”—Mat. 9:37, 38.
”Kami terus memohon kepada Pemilik panen agar mengutus lebih banyak pekerja”
Hampir 100 tahun yang lalu, dua perintis pemberani membawa kabar baik ke negeri yang kebanyakan orangnya beragama Buddha ini. Sejak saat itu, ribuan orang dari berbagai latar belakang etnik telah menerima dan membela kebenaran. Meski menghadapi konflik yang hebat, pergolakan politik, kemiskinan di mana-mana, penindasan agama, isolasi dari dunia luar, dan bencana alam, Saksi-Saksi Yehuwa di Myanmar telah menunjukkan pengabdian yang tak tergoyahkan kepada Allah Yehuwa dan Putra-Nya, Yesus Kristus. Mereka tetap bertekad untuk memberitakan kabar baik Kerajaan dan untuk ”bertekun sepenuhnya dan berpanjang sabar dengan sukacita”.—Kol. 1:11.
a Sebelumnya, Myanmar dikenal dengan nama Birma, atau Burma, yang diambil dari nama Bamar, kelompok etnik terbesar di Myanmar. Pada 1989, negeri ini dinamakan Republik Persatuan Myanmar, untuk menggambarkan banyaknya kelompok etnik di negeri itu. Kita akan menggunakan nama Birma untuk kejadian-kejadian sebelum 1989, dan nama Myanmar untuk kejadian setelah tahun itu.
b Orang Anglo-India adalah campuran antara orang Inggris dan India. Di bawah pemerintahan Inggris, ribuan orang India bermigrasi ke Birma, yang kala itu dianggap bagian dari ”India Inggris”.
c Bertram Marcelline adalah orang pertama yang dibaptis sebagai Saksi Yehuwa di Birma. Ia terus setia sampai kematiannya pada akhir 1960 di Birma.
d Saat itu, kira-kira setara dengan 95 dolar AS, jumlah yang cukup besar.
e Lihat 1966 Yearbook of Jehovah’s Witnesses, halaman 192.
f Diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa tetapi sekarang sudah tidak dicetak lagi.
g Sekarang, MEPS mengakomodasi lebih dari 600 bahasa.
Yehuwa Membuka Jalan
MAURICE RAJ
LAHIR 1933
BAPTIS 1949
PROFIL Telah lebih dari 50 tahun dalam dinas sepenuh waktu di Myanmar, sebagian besar sebagai pengawas cabang. Ia masih melayani sebagai anggota panitia cabang.h
◆ PADA 1988, ribuan orang membanjiri jalan-jalan, mengguncang Yangon melalui protes unjuk rasa yang penuh kekerasan untuk menuntut reformasi politik. Karena negara itu di ambang kekacauan, angkatan bersenjata melancarkan kudeta militer, menegakkan hukum militer di sebagian besar negeri itu. Ribuan pengunjuk rasa dibunuh.
Pada bulan yang sama, kami harus menyerahkan laporan cabang tahunan ke kantor pusat sedunia di New York, tetapi semua saluran komunikasi umum telah diputus, sehingga kami tidak bisa mengirim laporan ke luar negeri. Kemudian, saya dengar Kedutaan Besar AS akan mengirim surat diplomatik ke luar negeri melalui helikopter. Saya berpikir bahwa laporan ini bisa diikutsertakan dengan surat-surat tadi, jadi saya mengenakan pakaian dan dasi yang paling bagus dan kemudian pergi ke kedutaan.
Ketika saya mengemudi melewati jalanan yang dibasahi hujan, saya melihat bahwa kota itu sangat sepi. Tidak lama kemudian, ada barikade kayu besar yang memblokir jalan, jadi saya memarkir mobil dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Ketika mendekati gerbang kedutaan, saya melihat ratusan orang berteriak-teriak minta masuk, tetapi dihalangi oleh para marinir yang berwajah garang. Saya berhenti sejenak untuk berdoa dalam hati. Seorang pelajar melihat pakaian saya yang rapi dan berteriak, ”Orang ini pasti pejabat kedutaan.” Mendengar hal itu, saya mendesak maju menembus kerumunan orang itu. Ketika saya sampai di depan gerbang kedutaan yang terkunci, seorang marinir yang bertubuh besar memerhatikan saya dengan penuh curiga.
”Kamu siapa,” katanya dengan kasar, ”mau apa?”
”Saya mau bertemu dengan duta besar,” jawab saya. ”Saya punya pesan yang sangat penting untuk dikirim ke Amerika.”
Dia memelototi saya cukup lama. Tiba-tiba ia membuka gerbang, menarik saya masuk, dan kemudian membanting gerbang itu sampai tertutup di depan massa yang terus merangsek.
”Ikuti saya,” ujarnya dengan kasar.
Di depan pintu kedutaan, marinir itu menyerahkan saya kepada seorang pejabat yang tampak kelelahan, yang bertanya saya mau apa.
”Saya dari kantor lokal Lembaga Menara Pengawal,” jawab saya. ”Dan saya membawa laporan penting yang harus sampai ke kantor pusat New York dalam bulan ini. Apakah Bapak bisa tolong kirim ini bersamaan dengan surat-surat dari kedutaan?” Sambil memberikan amplop saya yang sangat berharga itu, saya menambahkan, ”Mohon maaf, saya tidak punya prangko.”
Sambil memberikan amplop saya yang sangat berharga itu, saya menambahkan, ”Mohon maaf, saya tidak punya prangko”
Pejabat itu kebingungan, dan mengajukan beberapa pertanyaan. Kemudian ia meyakinkan saya bahwa ia akan meneruskan laporan itu. Saya belakangan mendengar bahwa laporan itu sampai tepat waktu di kantor pusat.
h Kisah hidup Saudara Raj muncul dalam Menara Pengawal 1 Desember 2010..
Hakim Jujur Terima Kebenaran
MANG CUNG
LAHIR 1934
BAPTIS 1981
PROFIL Kepala sekolah dan hakim terkemuka yang belakangan menjadi perintis yang bersemangat.
◆ KETIKA seorang perintis pertama kali menawarkan saya majalah Menara Pengawal, saya mengatakan, ”Saya tidak punya waktu untuk baca. Saya terlalu sibuk.” Tetapi, karena saya perokok berat, saya pikir kertas dari majalah itu bisa digunakan untuk melinting tembakau saya. Jadi saya terima.
Ketika saya robek satu lembar untuk melinting tembakau, rasanya sayang kalau lembar itu tidak saya baca dulu. Inilah untuk pertama kalinya saya mengenal dan menyukai Menara Pengawal. Apa yang saya baca memotivasi saya untuk berhenti merokok dan menyelaraskan hidup dengan standar-standar Allah lainnya. Tidak lama kemudian, saya dibaptis.
Setelah saya dibaptis, saya kembali ke kampung halaman. Pastor dan para penatua gereja menawarkan saya uang supaya saya mau kembali ke agama saya yang sebelumnya. Karena saya menolak, mereka berbohong kepada orang-orang dengan mengatakan bahwa saya mau dibaptis karena dibayar Saksi. Meskipun difitnah, saya tidak terintimidasi. Saya bangga mengenal dan melayani Allah yang sejati.
Yehuwa Memberkati Ketekunan Saya
AH SHE
LAHIR 1952
BAPTIS 1998
PROFIL Mantan pengkhotbah Katolik ini telah menerima kebenaran.
◆ SELAMA bertahun-tahun, saya menjadi pengkhotbah Katolik di jantung Segitiga Emas. Ketika saya bertemu dengan Saksi-Saksi Yehuwa dan melihat keterampilan mereka dalam menggunakan Alkitab, saya setuju untuk belajar dengan mereka.
Tak lama kemudian, saya berkhotbah di gereja setiap Minggu pagi dan, siangnya, menghadiri perhimpunan di Balai Kerajaan. Tidak lama kemudian, saya mulai memasukkan ajaran Alkitab yang benar ke dalam khotbah-khotbah di gereja, yang membuat kesal para anggota jemaat, terutama sang imam! Ketika saya mengundurkan diri dari jabatan pengkhotbah, para anggota jemaat membawa saya ke pengadilan agar saya diusir dari desa. Tetapi, pejabat pengadilan mengatakan bahwa saya bisa beribadat dengan bebas. Namun, istri saya tetap menentang. ”Pergi! Pergi dari sini dengan tas dan Alkitabmu!” jeritnya. Walaupun dia marah-marah, saya tidak pernah membalas, dan saya terus menafkahi dia dan anak-anak. Saya senang sekali karena Yehuwa memberkati ketekunan saya. Sekarang, istri saya, Cherry, dan anak-anak kami juga melayani Yehuwa dengan bahagia.
Hilang Sudah Kecurigaan Saya
GREGORY SARILO
LAHIR 1950
BAPTIS 1985
PROFIL Mantan pekerja gereja yang menduga bahwa Saksi-Saksi Yehuwa adalah nabi-nabi palsu.
◆ SELAMA bertahun-tahun, saya adalah penganut saleh Katolik Roma yang memimpin kegiatan gereja di desa saya. Sementara itu, saya melihat bahwa para pemimpin gereja mengizinkan amoralitas, mempersembahkan korban animisme, dan mempraktekkan spiritisme. Karena jijik dengan kemunafikan mereka, saya mengundurkan diri dari pekerjaan di gereja, tetapi masih berpegang pada kepercayaan Katolik saya.
Pada 1981, saya bertemu dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Karena kagum oleh pengetahuan Alkitab mereka, saya mulai belajar, tetapi saya sangat mencurigai ajaran mereka dan selalu bersikap kritis. Mereka dengan lembut menjawab berbagai pertanyaan saya dari Alkitab.
Saya menghadiri kebaktian distrik untuk melihat apakah Saksi Yehuwa memang semuanya diajar hal yang sama. Pada istirahat siang, saya sadar bahwa tas saya yang berisi KTP, uang, dan barang berharga lainnya tertinggal di bawah kursi. Saya pikir tas itu pasti sudah dicuri. Tetapi saudara-saudara meyakinkan saya, ”Jangan khawatir. Pasti tidak ada yang curi.” Saya berlari ke tempat duduk, dan ternyata tas saya masih ada! Sejak saat itu, hilang sudah kecurigaan saya kepada Saksi-Saksi Yehuwa.
Saya Menemukan ”Kekayaan yang Unggul”
SA THAN HTUN AUNG
LAHIR 1954
BAPTIS 1993
PROFIL Mantan biksu Buddha dan tentara. Setelah menerima kebenaran, ia melayani sebagai perintis selama bertahun-tahun.
◆ SAYA berasal dari keluarga Buddhis dan pernah menjadi biksu Buddha. Saya tidak percaya adanya Allah atau Pencipta. Kemudian, seorang teman ”Kristen” mengundang saya ke gerejanya, dan di sana saya mendengar bahwa manusia memiliki Bapak di surga. Saya sangat ingin kenal dan dekat dengan Bapak surgawi ini.
Setelah menyelesaikan masa pelayanan sebagai biksu, saya bergabung dengan militer. Selama bertugas, saya menulis buku harian. Saya selalu mulai menulis dengan kata-kata ”Allah Bapak di surga”. Belakangan, saya mencoba keluar dari militer untuk menjadi pastor gereja, tetapi atasan saya tidak mengizinkan saya mengundurkan diri. Belakangan, saya dipromosikan menjadi kapten, jabatan yang membuat saya terkemuka, berpengaruh, dan kaya. Tetapi, di lubuk hati, saya lapar secara rohani.
Pada 1982, saya menikahi Htu Aung. Kakak perempuannya, yang adalah seorang Saksi Yehuwa, memberi kami buku Dari Firdaus Hilang Sampai Firdaus Dipulihkan. Buku itu mengatakan bahwa nama Allah adalah Yehuwa. Tetapi saya ragu. Saya mengatakan kepada Htu Aung, ”Kalau kamu bisa tunjukkan nama Yehuwa di Alkitab Myanmar, saya akan jadi Saksi Yehuwa!” Ia mencari di Alkitab tetapi tidak dapat menemukannya. Namun, teman Saksi-nya, Mary, tidak butuh waktu lama. Ia langsung menunjukkan nama Yehuwa kepada saya! Akhirnya, saya mulai menghadiri perhimpunan bersama istri serta anak-anak saya dan juga mau menerima pelajaran Alkitab.
Seiring dengan bertambahnya pengetahuan Alkitab saya, keinginan saya untuk melayani Allah semakin kuat. Pada 1991, saya mengajukan permohonan lagi untuk keluar dari militer—kali ini untuk menjadi Saksi Yehuwa. Dua tahun kemudian, saya akhirnya diberhentikan. Pada tahun yang sama, Htu Aung dan saya dibaptis.
Untuk menafkahi keluarga, saya menjual makanan di pasar. Kerabat dan teman mengatakan bahwa saya sudah gila meninggalkan karier militer yang menjanjikan untuk melakukan pekerjaan rendahan. Tetapi, saya ingat bahwa untuk melayani Allah, Musa meninggalkan istana Firaun dan menjadi gembala. (Kel. 3:1; Ibr. 11:24-27) Akhirnya, saya mencapai cita-cita saya—saya menjadi perintis biasa.
Beberapa teman militer menjadi perwira tinggi dan kaya raya. Tetapi, saya telah menemukan ”kekayaan yang unggul”, yaitu berkat-berkat karena mengenal dan melayani Bapak surgawi saya. (Ef. 2:7) Sekarang, beberapa keponakan saya melayani dalam dinas sepenuh waktu, dan anak sulung saya melayani di Betel Myanmar.
Kebaikan Hati Mematahkan Perlawanan Saya
ZAW BAWM
LAHIR 1954
BAPTIS 1998
PROFIL Mantan pengedar narkoba dan penentang kabar baik yang hatinya tersentuh oleh kebaikan hati Kristen.
◆ KETIKA Lu Mai, istri saya, mulai belajar dengan Saksi-Saksi Yehuwa, saya menentang dia habis-habisan. Saya melempar publikasi Alkitab-nya ke toilet dan mengusir para Saksi dari rumah saya.
Belakangan, saya mulai menjual narkoba, dan akibatnya saya dijebloskan ke penjara. Setelah sehari di sana, Lu Mai mengirim Alkitab beserta surat yang menguatkan berisi banyak referensi ayat. Ia kemudian terus mengirim surat-surat yang menguatkan. Saya segera sadar bahwa seandainya saya dari dulu mengikuti nasihat Alkitab, saya tidak akan masuk penjara.
Ketika di penjara, saya mendapat dua pengunjung yang tidak diduga-duga. Pria-pria ini, yang adalah Saksi-Saksi Yehuwa, menjelaskan bahwa istri saya meminta mereka untuk mengunjungi dan menguatkan saya. Mereka menempuh perjalanan selama dua hari untuk menemui saya. Kunjungan mereka sangat menyentuh hati saya. Saya punya banyak kerabat, tetapi tidak ada yang berkunjung—hanya orang-orang yang dulu sangat saya benci yang berkunjung.
Tidak lama kemudian, saya masuk rumah sakit karena tifoid dan tidak mampu membayar biaya perawatan. Pada saat itu, saya dijenguk lagi oleh orang yang tidak saya duga—seorang Saksi yang diminta berkunjung oleh istri saya. Karena tergerak oleh keibaan hati, ia membayar biaya perawatan saya. Saya sadar dan malu, sehingga saya berikrar untuk menjadi Saksi Yehuwa. Lima tahun kemudian, ketika saya dibebaskan dari penjara, saya menepati janji saya.
Saya Akan Mendaki Seperti Rusa Jantan
LIAN SANG
LAHIR 1950
BAPTIS 1991
PROFIL Mantan tentara yang kehilangan kedua kakinya akibat perang. Ia sekarang melayani sebagai hamba pelayanan.
◆ SAYA dilahirkan dan dibesarkan di Matupi, desa pegunungan terpencil di Negara Bagian Chin. Keluarga kami menyembah nat, makhluk-makhluk gaib yang kuat yang konon tinggal di hutan dan gunung tertentu di daerah kami. Ketika salah seorang keluarga kami sakit, kami menaruh makanan di altar rumah dan memanggil nat untuk memakan makanan tadi. Kami percaya bahwa setelah itu, nat tersebut akan memberikan kesembuhan.
Ketika saya berusia 21, saya bergabung dengan militer. Pada tahun-tahun berikutnya, saya ikut dalam 20 pertempuran. Pada 1977, para pemberontak komunis menyerang perkemahan kami dekat Muse, kota di Negara Bagian Shan. Pertempuran itu berlangsung selama 20 hari. Akhirnya, kami meluncurkan serangan balik besar-besaran, dan saya menginjak ranjau darat. Saya menatap kaki saya dan hanya melihat tulang. Kaki saya terasa panas, dan saya haus sekali, tetapi saya tidak gentar. Saya segera dibawa ke rumah sakit, dan kaki saya pun diamputasi. Empat bulan kemudian, saya keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah.
Di Firdaus, saya tidak hanya akan mendaki seperti rusa jantan, tetapi akan berlari dan melompat karena sukacita!
Saya dan istri saya, Sein Aye, pindah ke Sagaing, sebuah kota dekat Mandalay. Saya menganyam kursi bambu untuk mencari nafkah. Lalu, saya bertemu dengan seorang pastor gereja Baptis yang mengatakan bahwa sudah kehendak Allah kaki saya hilang. Belakangan, saya dan Sein Aye bertemu Rebecca, seorang perintis, yang mengatakan bahwa di bumi Firdaus nanti, saya akan memiliki kaki lagi. Tak lama kemudian, kami pun giat belajar Alkitab dengan Rebecca, bukan dengan pastor tadi!
Sekarang, hampir 30 tahun setelah itu, Sein Aye dan saya, bersama ketujuh anak-anak kami yang terbaptis, tinggal di desa kecil dekat Pyin Oo Lwin, sebuah kota indah di puncak bukit, sekitar 65 kilometer dari Mandalay. Saya melayani sebagai hamba pelayanan di Sidang Pyin Oo Lwin, dan tiga anak saya melayani sebagai perintis biasa. Saya dan Sein Aye telah berjuang keras untuk membesarkan anak-anak kami dalam kebenaran dan merasa diberkati karena mereka mengikuti semua pengarahan rohani kami.
Saya rutin berdinas di desa saya dengan menggunakan kursi roda, dan pergi ke perhimpunan dengan dibonceng motor. Saya juga ”berjalan”, dengan menggunakan dua balok kayu.
Ayat kesukaan saya adalah Yesaya 35:6, yang mengatakan, ”Pada waktu itu, orang timpang akan berjalan mendaki seperti rusa jantan.” Saya sangat menanti-nantikan saat ketika saya memiliki kaki lagi! Pada waktu itu, saya tidak hanya akan mendaki seperti rusa jantan, tetapi akan berlari dan melompat karena sukacita!
Para Pengawas Keliling yang Bekerja Keras
Dari ujung ke ujung negeri yang penuh keanekaragaman ini, para pengawas keliling telah bekerja keras untuk menguatkan saudara-saudari mereka. Bagaimana mereka melakukan pekerjaan ini? Mari kita ikuti perjalanan salah seorang pengawas keliling yang mengunjungi sidang-sidang terpencil di Naga Hills. Seorang pengawas wilayah bernama Myint Lwin, yang pergi dengan istrinya, Lal Lun Mawmi, menulis, ”Sekitar pukul sepuluh pagi, saya dan istri berangkat dari Kalaymyo, berdesak-desakan di belakang truk pikap. Kami menyelipkan kaki di antara tumpukan kotak-kotak barang dan sayuran. Di sekitar kami, para penumpang lain bergelantungan di belakang atau duduk di atap. Truk itu terguncang-guncang di jalan yang berlubang-lubang, dan debu tebal beterbangan di mana-mana. Kami menggunakan masker agar tidak tersedak debu.
”Dua jam kemudian, kami tiba di Kalaywa, sebuah kota di pinggir sungai, untuk mencari kapal. Selama menunggu, kami mengabar kepada para pemilik toko dan penumpang lainnya, yang kebanyakan belum pernah mendengar tentang Saksi-Saksi Yehuwa. Kapal kami sampai, para penumpangnya turun, dan para penumpang baru cepat-cepat mencari tempat duduk yang kosong. Hampir 100 orang berdesak-desakan masuk ke kapal, yang saking penuhnya sampai-sampai nyaris terbalik. Kami memasukkan botol-botol plastik ke dalam tas agar bisa dijadikan pelampung jika kami tercebur ke sungai.
”Lima jam kemudian, kami sampai di kota Mawlaik, tempat kami bermalam di sebuah penginapan kecil. Keesokan paginya, kami pergi lagi pada pukul lima. Saat itu adalah musim kemarau sehingga sungainya dangkal, jadi kapal kami tersangkut beting pasir empat kali. Para pria, termasuk saya, harus turun dan mendorongnya. Kami sampai di Homalin 14 jam kemudian, dalam keadaan sangat lelah. Sidang setempat sudah menunggu kedatangan kami. Ketika kami melihat wajah mereka yang bersukacita, kami merasa disegarkan. Malam ini, kami akan menikmati pergaulan yang hangat bersama mereka. Besok, kami akan melanjutkan perjalanan ke Khamti, yang jaraknya sekitar 15 jam.
”Kami berangkat pagi-pagi lagi. Hari ini, kapal kami tidak terlalu penuh, dan pemandangannya juga berbeda. Kami menyusuri sungai ke arah hulu melewati ratusan penduduk desa yang sedang mendulang emas. Ketika kami akhirnya tiba di Khamti, dengan badan kaku dan pegal-pegal, tidak ada orang di sana yang menyambut kami. Surat pemberitahuan tentang kunjungan kami pasti tidak sampai. Jadi, kami naik ojek untuk pergi ke Balai Kerajaan setempat, yang di sampingnya ada kamar, dan kami langsung tidur.
”Pagi berikutnya, kami menyambut ke-25 penyiar setempat, yang datang ke Balai Kerajaan untuk pertemuan dinas. Kebanyakan adalah orang Naga, kelompok etnik yang tinggal di pegunungan yang memanjang hingga India. Kami semua pergi ke daerah dinas. Kota itu bisa dibilang dikelilingi oleh sungai, di antara bukit-bukit yang menjulang. Saya dan rekan dinas sampai ke sebuah rumah bambu dan berseru mengucapkan salam. Seorang pria dari etnik Naga keluar dan mengundang kami masuk. Ia dan istrinya menyimak baik-baik berita Kerajaan dan dengan senang hati menerima bacaan kami. Banyak orang Naga mengaku Kristen dan menunjukkan minat yang besar akan kabar baik. Sore harinya, kami menghadiri perhimpunan yang pertama dalam minggu itu.
Ketika kami melihat wajah mereka yang bersukacita, kami merasa disegarkan
”Seminggu kemudian, kami menyeberangi sungai ke Sinthe, sebuah kota kecil yang memiliki 12 penyiar. Kami juga mengunjungi tiga kelompok terpencil, yang terjauh berjarak sebelas kilometer. Kami berjalan ke setiap kelompok untuk mengabar, dan saya memberikan khotbah. Para penyiar di sini sangat miskin dan kebanyakan menderita malaria dan tuberkulosis. Mereka juga mengalami tentangan agama yang sengit. Walaupun demikian, mereka penginjil yang bersemangat. Pada hari Minggu, kami senang ketika melihat 76 orang menghadiri khotbah umum, termasuk banyak hadirin yang harus berjalan berjam-jam untuk tiba di sana.
”Tidak terasa, kami sudah harus pergi lagi. Rasanya berat meninggalkan saudara-saudari terkasih ini yang telah berkali-kali membuktikan kasih mereka kepada Yehuwa. Saat perahu kami menyusuri sungai ke hilir, kami mengenang iman mereka yang kuat. Walaupun mereka miskin, mereka kaya secara rohani! Kami tidak sabar untuk mengunjungi mereka lagi.”
Seluruh Dunia Pun Akan Saya Kabari!
SAGAR RAI
LAHIR 1928
BAPTIS 1968
PROFIL Seorang prajurit yang mendapat banyak penghargaan yang menerima kebenaran dan terus mengabar walaupun ada tentangan yang kuat dari komunitasnya.
◆ SAYA dilahirkan di Negara Bagian Shan, daerah pegunungan di timur laut Myanmar. Keluarga saya orang Gurkha dari Nepal, dan kami beragama Hindu. Tetapi, kami juga menganut animisme tradisional. Sesuai tradisi Gurkha yang kuat, saya menjadi tentara, seperti ayah saya dan keempat kakak laki-laki saya. Saya berdinas militer dalam pasukan Birma selama 20 tahun dan ikut dalam banyak sekali pertempuran. Hebatnya, saya tidak pernah terluka parah.
Ketika saya pertama kali membaca Menara Pengawal, saya mengetahui dari Alkitab bahwa hanya ada satu Allah yang benar—Yehuwa. Saya penasaran. Sebagai orang Hindu, yang saya tahu Allah itu banyak sekali! Saya mencari nama Yehuwa di beberapa kamus dalam berbagai bahasa—bahasa Nepali, Hindi, Birma, dan Inggris. Setiap kamus meneguhkan bahwa Yehuwa adalah Allah yang disebutkan Alkitab.
Belakangan, saya serta istri saya, Jyoti, pindah ke Pathein, dan di sana utusan injil Frank Dewar menawarkan pelajaran Alkitab. Saya menerima, dan Jyoti juga. Kami segera yakin bahwa Yehuwa adalah satu-satunya Allah yang benar dan memutuskan untuk menyembah Dia saja. Kami membuang berhala-berhala kami ke Sungai Pathein supaya tidak bisa dipakai orang lain.—Ul. 7:25; Pny. 4:11.
Tidak lama kemudian, saya meninggalkan militer dan pulang ke kampung halaman dengan anak-anak dan istri saya. Di sana, kami bergabung dengan sekelompok kecil Saksi, yang mengajari kami caranya mengabar. Belakangan, kami mengumpulkan bahan-bahan dari hutan untuk membangun Balai Kerajaan kecil di depan rumah saya. Ini menyebabkan komite komunitas Gurkha marah. Mereka memprotes, ”Siapa yang suruh kamu membangun ’gereja’ Kristen di lingkungan Hindu? Kamu tidak boleh menginjil kepada orang yang sudah punya agama.”
Komite Gurkha mengadukan hal ini kepada kalangan berwenang setempat, yang kemudian menanyai saya, ”Pak Rai, apakah Bapak menginjil di komunitas Bapak dan menghasut orang-orang untuk menjadi Kristen?”
”Saya ini Saksi Yehuwa,” jawab saya. ”Jangankan di komunitas ini, seluruh dunia pun akan saya kabari! Tapi, orang mau ganti agama atau tidak, itu terserah mereka.”
Selama 40 tahun terakhir, saya dan Jyoti telah membantu lebih dari 100 orang belajar kebenaran
Syukurlah, kalangan berwenang mengizinkan kami untuk terus mengabar dengan leluasa.
Selama 40 tahun terakhir, saya dan Jyoti telah membantu lebih dari 100 orang belajar kebenaran. Banyak dari mereka sekarang melayani sebagai perintis istimewa, pengawas keliling, atau dalam dinas Betel. Kami juga senang karena hampir semua anak kami dan keluarga mereka melayani Yehuwa dengan setia.
Lokasi ”Kerajaan Yehuwa” Tidak Ketemu
SOE LWIN
LAHIR 1960
BAPTIS 2000
PROFIL Mantan penganut Buddha yang membaca tentang ”Kerajaan Yehuwa” dan ingin mengunjunginya.
◆ KETIKA sedang berjalan ke tempat kerja di kota Tachileik, dekat perbatasan Thailand, saya memungut beberapa majalah Menara Pengawal yang dibuang di jalan. Majalah itu membahas tentang berkat-berkat indah di bawah Kerajaan Yehuwa. Saya orang Buddha, dan belum pernah dengar tentang Yehuwa, jadi saya menyimpulkan bahwa ”Kerajaan Yehuwa” pastilah sebuah negeri di Afrika. Saya mencari lokasi ”Kerajaan Yehuwa” di atlas tetapi tidak ketemu. Saya bertanya kepada orang lain, tetapi mereka tidak tahu juga.
Belakangan, saya tahu bahwa seorang pria muda di tempat kerja saya sedang belajar dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Saya berkata kepadanya, ”Kamu bisa tolong kasih tahu saya lokasi Kerajaan Yehuwa?” Ketika tahu bahwa Kerajaan Yehuwa adalah pemerintahan surgawi yang akan membuat bumi menjadi Firdaus, saya kagum dan senang. Saya memotong rambut, berhenti mengunyah buah pinang serta menggunakan narkoba, dan meninggalkan tradisi Buddhis saya. Sekarang, saya lebih bersemangat lagi untuk hidup di bawah Kerajaan Allah.—Mat. 25:34.