Pasal Delapan
Sang Pencipta Menyingkapkan Diri-Nya—Demi Manfaat Kita!
DI TENGAH-TENGAH guntur dan kilat, kira-kira tiga juta orang berdiri di hadapan sebuah gunung yang menjulang tinggi di Semenanjung Sinai. Awan menyelubungi Gunung Sinai, dan tanah pun bergetar. Pada peristiwa yang tak terlupakan ini, Musa membawa bangsa Israel purba ke suatu hubungan resmi dengan Sang Pencipta langit dan bumi.—Keluaran, pasal 19; Yesaya 45:18.
Namun, mengapa, Sang Pencipta jagat raya menyingkapkan diri-Nya dengan cara istimewa pada satu bangsa saja, suatu bangsa yang relatif kecil? Musa menyediakan pemahaman ini, ”Karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu.”—Ulangan 7:6-8.
Pernyataan tersebut menyingkapkan bahwa Alkitab memuat keterangan yang jauh lebih banyak bagi kita selain fakta-fakta tentang asal mula jagat raya dan kehidupan di atas bumi. Ada banyak hal yang diceritakannya tentang cara Sang Pencipta berurusan dengan manusia—pada masa lampau, sekarang, dan di masa depan. Alkitab adalah buku yang paling banyak dipelajari dan paling banyak beredar di dunia, maka setiap orang yang menghargai pendidikan hendaknya mengenal baik isinya. Mari kita melihat suatu tinjauan tentang apa yang dapat kita temukan di dalam Alkitab dengan memusatkan perhatian pertama-tama pada bagian yang sering disebut Perjanjian Lama. Dengan melakukan hal itu, kita juga akan memperoleh pemahaman yang bernilai tentang kepribadian Sang Pencipta jagat raya dan Pengarang Alkitab.
Di pasal 6, ”Catatan Penciptaan dari Zaman Purba—Dapatkah Anda Mempercayainya?”, kita melihat bahwa hanya catatan Alkitab tentang penciptaan yang memuat fakta-fakta tentang nenek moyang kita yang pertama—asal mula kita. Buku pertama dalam Alkitab ini memuat lebih banyak hal lagi. Hal-hal apa saja?
Mitologi Yunani dan mitologi lain melukiskan suatu masa manakala dewa-dewi dan pribadi setengah dewa berurusan dengan manusia. Juga, para ahli antropologi melaporkan bahwa di seluruh bola bumi terdapat legenda-legenda tentang air bah zaman purba yang melenyapkan sebagian besar umat manusia. Anda mungkin saja akan meremehkan mitos-mitos demikian. Namun, tahukah Anda bahwa hanya buku Kejadian yang menyingkapkan kepada kita fakta-fakta sejarah mendasar yang belakangan diulangi dalam mitos-mitos dan legenda-legenda seperti itu?—Kejadian, pasal 6, 7.a
Dalam buku Kejadian, Anda juga akan membaca tentang pria dan wanita—orang-orang yang benar-benar ada, yang memiliki perasaan seperti kita—yang tahu bahwa Sang Pencipta ada dan yang melaksanakan kehendak-Nya dalam kehidupan mereka. Besar manfaatnya bagi kita bila mengenal pria-pria seperti Abraham, Ishak, dan Yakub, yang termasuk di antara ”nenek moyang” yang disebutkan Musa. Sang Pencipta mengenal Abraham dan menyebutnya, ”sahabatku”. (Yesaya 41:8, Bahasa Indonesia Sehari-hari; Kejadian 18:18, 19) Mengapa? Yehuwa telah mengamati dan memiliki keyakinan bahwa Abraham adalah pria beriman. (Ibrani 11:8-10, 17-19; Yakobus 2:23) Pengalaman Abraham memperlihatkan bahwa Allah mudah didekati. Keperkasaan dan kapasitas-Nya luar biasa, namun Dia bukan sekadar suatu kekuatan atau penyebab yang bukan suatu pribadi. Dia adalah pribadi yang nyata dengan siapa manusia seperti kita dapat memupuk suatu hubungan yang penuh respek—demi manfaat kekal kita.
Yehuwa berjanji kepada Abraham, ”Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat.” (Kejadian 22:18) Janji ini membangun, atau memperluas, janji yang dibuat pada zaman Adam tentang ”benih” yang akan datang. (Kejadian 3:15, NW) Ya, apa yang Yehuwa katakan kepada Abraham meneguhkan harapan bahwa seseorang—sang Benih—akhirnya akan muncul dan menyediakan berkat bagi segala bangsa. Anda akan mendapati hal ini menjadi tema utama yang diulang-ulang di seluruh Alkitab, dengan demikian menandaskan bahwa buku ini bukan suatu koleksi berbagai macam tulisan manusia. Dan dengan mengetahui tema Alkitab, Anda akan dibantu untuk menyadari bahwa Allah menggunakan satu bangsa purba—dengan tujuan untuk memberkati segala bangsa.—Mazmur 147:19, 20.
Fakta bahwa Yehuwa memiliki tujuan ini sewaktu berurusan dengan Israel menunjukkan bahwa ’Dia tidak berat sebelah’. (Kisah 10:34; Galatia 3:14) Lagi pula, bahkan sewaktu Allah memiliki hubungan khusus dengan keturunan Abraham, orang-orang dari bangsa-bangsa lain boleh datang dan melayani Yehuwa juga. (1 Raja 8:41-43) Dan, sebagaimana yang dapat kita lihat kemudian, sikap Allah yang tidak berat sebelah demikian, masih sama dewasa ini, sehingga kita semua—tidak soal apa latar belakang nasional atau etnik kita—dapat mengenal dan menyenangkan Dia.
Kita dapat belajar banyak dari sejarah bangsa yang dengannya Sang Pencipta berurusan selama berabad-abad. Marilah kita membagi sejarahnya menjadi tiga bagian. Sewaktu memeriksa bagian-bagian ini, perhatikan bagaimana Yehuwa hidup selaras dengan makna dari nama-Nya, ”Dia yang Menyebabkan Menjadi”, dan bagaimana kepribadian-Nya diperlihatkan melalui cara-cara-Nya berurusan dengan orang-orang yang benar-benar pernah ada.
Bagian Satu—Suatu Bangsa yang Diperintah oleh Pencipta
Keturunan Abraham menjadi budak di Mesir. Pada akhirnya, Allah mengangkat Musa, yang menuntun mereka ke kemerdekaan pada tahun 1513 SM. Sewaktu Israel menjadi suatu bangsa, Allah adalah penguasanya. Namun, pada tahun 1117 SM, bangsa tersebut menginginkan seorang raja manusia.
Perkembangan apa yang membuat bangsa Israel berada bersama Musa di Gunung Sinai? Buku Kejadian di dalam Alkitab memberi tahu kita latar belakangnya. Sebelumnya, sewaktu Yakub (yang juga disebut Israel) tinggal di timur laut Mesir, kelaparan timbul di seluruh dunia yang sudah dikenal pada masa itu. Kepedulian terhadap keluarganya menyebabkan Yakub mencari makanan dari Mesir, yang memiliki cukup persediaan biji-bijian di tempat-tempat penyimpanan. Ia mendapati bahwa pengelola pangannya ternyata putranya sendiri, Yusuf, yang ia sangka telah meninggal bertahun-tahun sebelumnya. Yakub dan keluarganya pindah ke Mesir dan diundang untuk bermukim di sana. (Kejadian 45:25–46:5; 47:5-12) Akan tetapi, setelah kematian Yusuf, Firaun yang baru memperbudak keturunan Yakub dan ”memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata”. (Keluaran 1:8-14) Anda dapat membaca kisah yang jelas ini dan lebih banyak lagi dalam buku yang kedua dari Alkitab, Keluaran.
Orang-orang Israel menderita perlakuan yang kejam selama beberapa dekade, dan ”teriak mereka minta tolong karena perbudakan itu sampai kepada Allah”. Berpaling kepada Yehuwa adalah haluan yang bijaksana. Dia berminat pada keturunan Abraham dan bertekad untuk menggenapi maksud-tujuan-Nya yaitu, menyediakan berkat di masa depan bagi segala bangsa. Yehuwa ’mendengar Israel mengerang dan Dia memperhatikan mereka’, hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa Sang Pencipta bersimpati terhadap orang-orang yang tertindas dan menderita. (Keluaran 2:23-25) Dia memilih Musa untuk membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan. Namun, sewaktu Musa dan saudaranya, Harun, datang kepada Firaun Mesir untuk memintanya agar mengizinkan bangsa yang diperbudak ini pergi, ia menanggapi dengan sikap menantang, ”Siapakah TUHAN [Yehuwa] itu yang harus kudengarkan firman-Nya untuk membiarkan orang Israel pergi?”—Keluaran 5:2.
Dapatkah Anda membayangkan Sang Pencipta jagat raya diintimidasi oleh tantangan seperti itu, sekalipun tantangan tersebut diajukan oleh penguasa angkatan militer yang terbesar pada saat itu? Allah menimpakan serangkaian tulah kepada Firaun dan orang-orang Mesir. Akhirnya, setelah tulah kesepuluh, Firaun mau membebaskan orang-orang Israel. (Keluaran 12:29-32) Oleh karena itu, keturunan Abraham mengenal Yehuwa sebagai pribadi yang nyata—pribadi yang memerdekakan pada waktu-Nya yang tepat. Ya, seperti yang diperlihatkan oleh nama-Nya, Yehuwa dengan cara yang dramatis, menjadi penggenap janji-janji-Nya. (Keluaran 6:3) Namun, baik Firaun maupun orang-orang Israel masih harus belajar lebih banyak lagi sehubungan dengan nama tersebut.
Hal ini terjadi karena Firaun segera berubah pikiran. Ia memimpin bala tentaranya dengan menggebu-gebu, mengejar budak-budak yang pergi, menyusul mereka di dekat Laut Merah. Orang-orang Israel terjebak di antara laut dan bala tentara Mesir. Kemudian, Yehuwa turun tangan dengan cara membuka jalan melewati Laut Merah. Firaun seharusnya sadar bahwa hal ini merupakan suatu pertunjukan kuasa Allah yang tidak terkalahkan. Sebaliknya, ia memimpin pasukannya mengejar orang-orang Israel—dan akhirnya tenggelam dengan bala tentaranya sewaktu Allah mengembalikan laut ke posisi normalnya. Catatan di buku Keluaran tidak mengatakan secara terperinci cara Allah melakukan hal ini. Dengan tepat kita dapat menyebutnya sebagai mukjizat, karena perbuatan dan pemilihan waktunya di luar kendali manusia. Tentu saja, perbuatan demikian bukan di luar kesanggupan Pribadi yang menciptakan jagat raya serta segenap hukumnya.—Keluaran 14:1-31.
Peristiwa ini mempertunjukkan kepada orang-orang Israel—dan itu hendaknya menandaskan kepada kita juga—bahwa Yehuwa adalah Juru Selamat yang bertindak selaras dengan nama-Nya. Akan tetapi, dari kisah ini, lebih banyak lagi yang hendaknya kita sadari tentang jalan-jalan Allah. Misalnya, Dia melaksanakan keadilan terhadap suatu bangsa yang menindas, seraya memperlihatkan kebaikan hati yang penuh kasih kepada umat-Nya yang melaluinya sang Benih akan datang. Sehubungan dengan sang Benih, apa yang kita baca dalam buku Keluaran jelaslah lebih daripada sekadar sejarah zaman purba; apa yang kita baca berkaitan dengan maksud-tujuan Allah untuk membuat berkat-Nya tersedia bagi semua orang.
Menuju Negeri Perjanjian
Setelah meninggalkan Mesir, Musa dan bangsa tersebut berjalan melewati gurun menuju Gunung Sinai. Apa yang terjadi di sana menentukan cara Allah berurusan dengan bangsa ini selama berabad-abad selanjutnya. Dia menyediakan hukum. Tentu saja, berabad-abad sebelum ini, Sang Pencipta telah merumuskan hukum-hukum yang mengatur materi dalam jagat raya kita, hukum-hukum yang masih berlaku hingga sekarang. Namun, di Gunung Sinai, Dia menggunakan Musa untuk menyediakan hukum-hukum nasional. Kita dapat membaca apa yang Allah lakukan dan kaidah hukum yang Dia sediakan dalam buku Keluaran dan tiga buku berikutnya—Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Para sarjana percaya bahwa Musa juga yang menulis buku Ayub. Kita akan membahas beberapa dari antara isinya yang penting di Pasal 10.
Bahkan sampai hari ini, jutaan orang di seluas dunia mengetahui dan berupaya mengikuti Sepuluh Hukum, petunjuk moral utama dari segenap kaidah hukum ini. Namun, kaidah tersebut, memuat lebih banyak lagi perintah yang dikagumi keunggulannya. Jelaslah, banyak peraturan berpusat pada kehidupan orang Israel pada saat itu, seperti peraturan-peraturan tentang higiene, sanitasi, dan penyakit. Meskipun pada mulanya ditetapkan bagi orang-orang zaman purba, hukum-hukum itu mencerminkan pengetahuan akan fakta-fakta ilmiah yang baru ditemukan para ahli sekitar abad yang lalu. (Imamat 13:46, 52; 15:4-13; Bilangan 19:11-20; Ulangan 23:12, 13) Seseorang sebaiknya bertanya pada diri sendiri: Bagaimana mungkin hukum-hukum bagi Israel purba mencerminkan pengetahuan dan hikmat yang jauh mengungguli apa yang dikenal bangsa-bangsa yang sezaman dengan mereka? Jawaban yang masuk akal adalah hukum-hukum tersebut berasal dari Sang Pencipta.
Hukum-hukum ini juga membantu memelihara silsilah keluarga dan menetapkan kewajiban agama untuk diikuti orang-orang Israel sampai sang Benih muncul. Karena setuju untuk melakukan semua yang Allah minta, mereka bertanggung jawab untuk hidup selaras dengan Hukum tersebut. (Ulangan 27:26; 30:17-20) Memang, mereka tidak dapat menjalankan Hukum secara sempurna. Namun, kita dapat mengambil hikmah dari fakta ini. Seorang ahli hukum belakangan menjelaskan bahwa Hukum itu ”membuat pelanggaran nyata, sampai tiba benih itu yang kepadanya janji telah dibuat”. (Galatia 3:19, 24) Maka, kaidah hukum menjadikan mereka suatu bangsa yang terpisah, mengingatkan mereka tentang kebutuhan akan Benih, atau Mesias, dan mempersiapkan mereka untuk menyambutnya.
Orang-orang Israel, yang sedang berkumpul di Gunung Sinai, setuju untuk menaati kaidah Hukum Allah. Dengan demikian, mereka berada di bawah apa yang Alkitab sebut sebagai suatu perjanjian, atau suatu kesepakatan. Perjanjian diadakan antara bangsa tersebut dan Allah. Meskipun mereka dengan rela memasuki perjanjian ini, mereka terbukti sebagai bangsa yang tegar tengkuk. Misalnya, mereka membuat sebuah anak lembu emas sebagai gambaran Allah. Perbuatan mereka merupakan suatu dosa karena penyembahan berhala merupakan pelanggaran langsung terhadap Sepuluh Hukum. (Keluaran 20:4-6) Selain itu, mereka mengeluh tentang makanan yang disediakan untuk mereka, memberontak melawan pemimpin (Musa) yang Allah lantik, dan menyerahkan diri mereka pada hubungan yang amoral dengan perempuan-perempuan asing yang menyembah berhala. Namun, mengapa hal ini hendaknya menarik minat kita, yang hidup jauh sekali setelah zaman Musa?
Sekali lagi, ini bukan sebuah sejarah belaka. Kisah Alkitab tentang tindakan-tindakan Israel yang tidak tahu berterima kasih dan tanggapan Allah terhadap mereka memperlihatkan bahwa Dia benar-benar peduli. Alkitab mengatakan bahwa orang-orang Israel menguji Yehuwa ”berulang kali”, dan ”menyusahkan” serta ”menyakiti”-Nya. (Mazmur 78:40, 41) Oleh karena itu, kita dapat merasa pasti bahwa Sang Pencipta memiliki perasaan dan bahwa Dia peduli akan apa yang manusia lakukan.
Dari sudut pandangan manusia, seseorang mungkin berpikir bahwa perbuatan salah Israel akan mendorong Allah untuk mengakhiri perjanjian-Nya dan mungkin memilih bangsa lain untuk menggenapi janji-Nya. Namun, Dia tidak melakukan itu. Sebaliknya, Dia hanya menghukum orang yang melakukan kesalahan terang-terangan tetapi mengulurkan belas kasihan kepada bangsa-Nya yang tidak patuh secara keseluruhan. Ya, Allah senantiasa loyal pada janji yang dibuat-Nya kepada sahabat-Nya yang setia, Abraham.
Tidak lama kemudian, Israel mendekati tanah Kanaan, yang Alkitab sebut sebagai Negeri Perjanjian. Negeri ini dihuni oleh orang-orang yang sangat kuat yang berkubang dalam praktek-praktek yang bejat secara moral. Sang Pencipta telah membiarkan 400 tahun berlalu tanpa campur tangan dengan mereka, namun kini, dengan adil Dia memilih untuk mengembalikan negeri tersebut kepada Israel purba. (Kejadian 15:16; lihat juga ”Allah yang Cemburu—Dalam Arti Apa?”, halaman 132-3.) Sebagai persiapan, Musa mengutus 12 mata-mata ke negeri tersebut. Sepuluh di antaranya tidak memperlihatkan iman akan kuasa Yehuwa yang menyelamatkan. Laporan mereka menggerakkan bangsa tersebut untuk menggerutu terhadap Allah dan berkomplot untuk kembali ke Mesir. Sebagai akibatnya, Allah menghukum bangsa tersebut untuk mengembara di padang belantara selama 40 tahun.—Bilangan 14:1-4, 26-34.
Apa yang dicapai oleh vonis tersebut? Sebelum kematiannya, Musa memperingatkan putra-putra Israel untuk mengingat tahun-tahun manakala Yehuwa telah merendahkan hati mereka. Musa memberi tahu mereka, ”Haruslah engkau insaf, bahwa TUHAN, Allahmu, mengajari engkau seperti seseorang mengajari anaknya.” (Ulangan 8:1-5) Meskipun tindakan mereka menghina Dia, Yehuwa menopang mereka, mempertunjukkan bahwa mereka bergantung pada-Nya. Misalnya, mereka tetap hidup karena Dia menyediakan bagi bangsa tersebut manna, suatu bahan yang dapat dimakan yang rasanya seperti kue madu. Jelaslah, mereka seharusnya belajar banyak dari pengalaman mereka di padang belantara. Pengalaman itu seharusnya membuktikan bahwa adalah penting untuk menaati Allah mereka yang berbelaskasihan dan bergantung pada-Nya.—Keluaran 16:13-16, 31; 34:6, 7.
Setelah kematian Musa, Allah menugasi Yosua memimpin Israel. Pria yang gagah berani dan loyal ini membawa bangsa tersebut ke Kanaan dan dengan berani memulai penaklukan negeri itu. Dalam waktu singkat, Yosua menaklukkan 31 raja dan menduduki sebagian besar Negeri Perjanjian. Anda dapat menemukan sejarah yang menarik ini dalam buku Yosua.
Pemerintahan Tanpa Seorang Raja Manusia
Selama melintasi padang gurun dan selama tahun-tahun awal di Negeri Perjanjian, bangsa ini dipimpin oleh Musa dan kemudian Yosua. Orang-orang Israel tidak membutuhkan seorang raja manusia, karena Yehuwa adalah Yang Berdaulat atas mereka. Dia menyediakan para tua-tua yang dilantik untuk mendengarkan kasus-kasus pengadilan di gerbang-gerbang kota. Mereka memelihara ketertiban dan membantu orang-orang secara rohani. (Ulangan 16:18; 21:18-20) Buku Rut memberi kita gambaran sepintas yang menarik tentang bagaimana para tua-tua tersebut menangani suatu kasus pengadilan berdasarkan hukum di Ulangan 25:7-9.
Selama bertahun-tahun, bangsa tersebut sering membuat Allah tidak senang dengan cara berulang-ulang tidak menaati-Nya dan berpaling kepada dewa-dewi Kanaan. Namun, sewaktu mereka berada dalam keadaan terjepit dan meminta pertolongan dari Yehuwa, Dia mengingat mereka. Dia mengangkat hakim-hakim untuk mengambil pimpinan dalam membebaskan Israel, menyelamatkan mereka dari bangsa-bangsa tetangga yang menindas. Buku Hakim-Hakim secara gamblang memperlihatkan tindakan 12 dari antara para hakim yang berani ini.—Hakim 2:11-19; Nehemia 9:27.
Kisahnya mengatakan, ”Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (Hakim 21:25) Bangsa tersebut memiliki standar-standar yang dipaparkan di dalam Hukum, maka dengan bantuan para tua-tua dan instruksi dari para imam, bangsa tersebut memiliki dasar untuk ’berbuat apa yang benar menurut pandangan mereka’ dan terlindung dengan melakukannya. Selain itu, kaidah Hukum menetapkan agar ada sebuah tabernakel, atau bait yang dapat dipindah-pindahkan, tempat korban-korban dipersembahkan. Ibadat yang sejati dipusatkan di sana, sehingga membantu mempersatukan bangsa tersebut selama waktu itu.
Bagian Dua—Kemakmuran di Bawah Raja-Raja
Sewaktu Samuel menjadi seorang hakim di Israel, bangsa tersebut menuntut adanya seorang raja manusia. Tiga raja pertama—Saul, Daud, dan Salomo—masing-masing bertakhta selama 40 tahun, dari tahun 1117 SM sampai tahun 997 SM. Israel mencapai puncak kekayaan dan kemuliaannya, dan Sang Pencipta mengambil langkah-langkah yang penting dalam mempersiapkan jabatan raja untuk Benih yang akan datang.
Sebagai hakim dan nabi, Samuel memperhatikan betul kesejahteraan rohani Israel, namun putra-putranya berbeda. Bangsa tersebut akhirnya menuntut Samuel demikian, ”Maka angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain.” Yehuwa menjelaskan makna tuntutan mereka, ”Dengarkanlah perkataan bangsa itu . . . sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka.” Yehuwa memberi tahu di muka akibat menyedihkan oleh karena perubahan ini. (1 Samuel 8:1-9) Namun, untuk memenuhi tuntutan mereka, Dia menetapkan seorang pria yang bersahaja bernama Saul sebagai raja atas Israel. Meskipun pada mulanya tampak baik, Saul, setelah menjadi raja, memperlihatkan kecenderungan untuk sulit diatur dan melangkahi perintah-perintah Allah. Nabi Allah mengumumkan bahwa jabatan raja akan diberikan kepada seorang pria yang berkenan di hati Yehuwa. Ini hendaknya menandaskan kepada kita betapa Sang Pencipta sangat menghargai ketaatan yang dari hati.—1 Samuel 15:22, 23.
Daud, yang akan menjadi raja Israel berikutnya, adalah putra bungsu sebuah keluarga dari suku Yehuda. Sehubungan dengan pilihan yang mengejutkan ini, Allah memberi tahu Samuel, ”Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Samuel 16:7) Bukankah membesarkan hati bahwa Sang Pencipta melihat batin kita, bukan penampilan luar? Namun, Saul memiliki gagasannya sendiri. Sejak Allah memilih Daud sebagai calon raja, Saul terobsesi—digerakkan oleh gagasan untuk melenyapkan Daud. Yehuwa tidak membiarkan hal itu terjadi, dan akhirnya Saul dan putra-putranya mati dalam pertempuran melawan bangsa yang senang berperang, bangsa Filistin.
Daud memerintah sebagai raja dari kota Hebron. Kemudian, ia merebut Yerusalem dan memindahkan ibu kotanya ke sana. Ia juga meluaskan perbatasan Israel sampai ke batas-batas negeri yang Allah telah janjikan akan diberikan kepada keturunan Abraham. Anda dapat membaca periode ini (dan sejarah raja-raja yang memerintah belakangan) dalam enam buku sejarah dalam Alkitab.b Buku-buku ini menyingkapkan bahwa kehidupan Daud tidak bebas dari problem. Misalnya, ia menyerah pada hasrat manusia, ia melakukan perzinaan dengan Batsyeba yang cantik dan kemudian melakukan perbuatan-perbuatan salah lain dengan maksud menutupi dosanya. Sebagai Allah keadilan, Yehuwa tidak dapat begitu saja mengabaikan kekeliruan Daud. Namun, karena pertobatan Daud yang sepenuh hati, Allah tidak menuntut agar sanksi Hukum diberlakukan secara kaku; tetapi, Daud tetap harus menghadapi banyak problem keluarga sebagai akibat dosa-dosanya.
Pada waktu melewati semua krisis ini, Daud mengenal Allah sebagai suatu pribadi—pribadi yang mempunyai perasaan. Ia menulis, ”TUHAN dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya, . . . mendengarkan teriak mereka minta tolong.” (Mazmur 145:18-20) Ketulusan dan pengabdian Daud sangat nyata dalam nyanyian indah yang ia gubah, yang membentuk kira-kira setengah dari buku Mazmur. Jutaan orang telah mendapatkan penghiburan dan anjuran dari syair ini. Pertimbangkan keakraban Daud dengan Allah, seperti yang tercermin dalam Mazmur 139:1-4, ”TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. . . . Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, Ya TUHAN.”
Daud khususnya menyadari kuasa Allah yang menyelamatkan. (Mazmur 20:6; 28:9; 34:7, 9; 37:39) Setiap kali ia merasakannya, kepercayaannya pada Yehuwa bertambah. Anda dapat melihat bukti-bukti hal itu di Mazmur 30:5; 62:8; dan 103:9. Atau, bacalah Mazmur 51, yang digubah Daud setelah ia ditegur karena berdosa dengan Batsyeba. Alangkah menyegarkan untuk mengetahui bahwa kita dapat dengan mudah menyatakan diri kita kepada Sang Pencipta, merasa yakin bahwa Dia tidak angkuh tetapi dengan rendah hati bersedia mendengarkan! (Mazmur 18:35; 69:33; 86:1-8) Daud mencapai penghargaan demikian tidak hanya melalui pengalaman. ”Aku merenungkan segala pekerjaan-Mu”, ia menulis, ”aku memikirkan perbuatan tangan-Mu.”—Mazmur 63:6; 143:5.
Yehuwa mengadakan suatu perjanjian khusus dengan Daud untuk suatu kerajaan abadi. Daud mungkin tidak mengerti sepenuhnya maksud perjanjian itu, namun dari perincian yang belakangan dicatat di dalam Alkitab, kita dapat melihat Allah memberikan petunjuk bahwa Benih yang dijanjikan akan datang melalui garis keturunan Daud.—2 Samuel 7:16.
Raja Salomo yang Bijaksana dan Makna Kehidupan
Putra Daud, Salomo, terkenal karena hikmatnya, dan kita dapat memperoleh manfaat dari hikmatnya dengan membaca buku-buku yang sangat praktis yaitu, Amsal dan Pengkhotbah.c (1 Raja 10:23-25) Khususnya buku Pengkhotbah, berguna bagi orang-orang yang mencari makna kehidupan mereka, sama seperti Raja Salomo yang bijaksana. Sebagai raja Israel pertama yang lahir dalam keluarga kerajaan, Salomo memiliki banyak kesempatan di hadapannya. Ia juga melaksanakan proyek-proyek pembangunan yang megah, di mejanya terhidang beraneka ragam makanan, dan ia menikmati musik serta pergaulan dengan teman-teman yang terpandang. Namun, ia menulis, ”Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.” (Pengkhotbah 2:3-9, 11) Apa kesimpulan yang dicapai Salomo?
Salomo menulis, ”Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat.” (Pengkhotbah 12:13, 14) Selaras dengan apa yang ia tulis, Salomo terlibat dalam suatu proyek tujuh tahun untuk pembangunan bait yang mulia, tempat orang-orang dapat menyembah Allah.—1 Raja, pasal 6.
Selama bertahun-tahun, pemerintahan Salomo penuh perdamaian dan kelimpahan. (1 Raja 4:20-25) Namun, tidak seperti Daud, hatinya terhadap Yehuwa terbukti tidak sepenuhnya. Salomo mengambil banyak istri asing dan membiarkan mereka mencondongkan hatinya kepada allah-allah mereka. Yehuwa pada akhirnya mengatakan, ”Aku akan mengoyakkan kerajaan itu dari padamu . . . satu suku akan Kuberikan kepada anakmu oleh karena hamba-Ku Daud dan oleh karena Yerusalem yang telah Kupilih.”—1 Raja 11:4, 11-13.
Bagian Tiga—Kerajaan Dibagi
Setelah kematian Salomo, pada tahun 997 SM, sepuluh suku di utara memisahkan diri. Sepuluh suku ini membentuk kerajaan Israel, yang ditaklukkan orang-orang Asiria pada tahun 740 SM. Raja-raja di Yerusalem memerintah atas dua suku. Kerajaan ini, Yehuda, bertahan sampai Babilon menaklukkan Yerusalem pada tahun 607 SM dan menawan penduduknya. Yehuda dibiarkan telantar selama 70 tahun.
Sewaktu Salomo mati, Rehabeam, putranya, berkuasa dan menindas bangsa tersebut. Keadaan ini menyebabkan munculnya suatu pemberontakan, dan sepuluh suku memisahkan diri untuk menjadi kerajaan Israel. (1 Raja 12:1-4, 16-20) Selama bertahun-tahun, kerajaan di sebelah utara ini tidak berpaut kepada Allah yang benar. Penduduknya sering sujud di hadapan berhala-berhala berbentuk anak lembu emas atau terjerumus ke dalam ibadat palsu dalam bentuk-bentuk lain. Beberapa dari antara para raja dibunuh dan dinasti mereka digulingkan oleh para perebut kekuasaan. Yehuwa memperlihatkan pengekangan diri yang besar, berulang-kali mengutus nabi-nabi untuk memperingatkan bangsa tersebut bahwa tragedi akan terjadi jika mereka melanjutkan kemurtadan mereka. Buku Hosea dan Amos ditulis oleh nabi-nabi yang beritanya berpusat pada kerajaan sebelah utara ini. Akhirnya, pada tahun 740 SM, orang-orang Asiria mendatangkan tragedi yang telah dinubuatkan oleh nabi-nabi Allah.
Di selatan, 19 raja penerus dari keluarga Daud memerintah atas Yehuda sampai tahun 607 SM. Raja Asa, Yosafat, Hizkia, dan Yosia memerintah seperti bapak leluhur mereka, Daud, dan mereka memperoleh perkenan Yehuwa. (1 Raja 15:9-11; 2 Raja 18:1-7; 22:1, 2; 2 Tawarikh 17:1-6) Sewaktu raja-raja ini memerintah, Yehuwa memberkati bangsa tersebut. The Englishman’s Critical and Expository Bible Cyclopædia mengamati, ”Ciri khas konservatif yang utama dari Y[ehuda] adalah baitnya yang ditetapkan oleh Allah, keimamannya, hukum tertulisnya, dan pengakuan akan satu Allah yang benar, Yehuwa, sebagai raja teokratis yang sesungguhnya. . . . Keterpautan pada hukum sedemikian. . . menghasilkan deretan raja yang terdiri dari banyak raja yang bijaksana dan baik . . . Oleh karena itu, Y[ehuda] bertahan lebih lama daripada saudara perempuannya, yaitu, kerajaan utara yang lebih banyak penduduknya.” Raja-raja yang baik ini, jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan raja-raja yang tidak mengikuti haluan Daud. Namun, Yehuwa mengatur segala sesuatu agar ’hamba-Nya, Daud, selalu mempunyai keturunan di hadapan-Nya di Yerusalem, kota yang Dia pilih bagi-Nya supaya nama-Nya tinggal di sana’.—1 Raja 11:36.
Menuju Kebinasaan
Manasye merupakan salah satu raja Yehuda yang berpaling dari ibadat yang sejati. ”Ia mempersembahkan anaknya sebagai korban dalam api, melakukan ramal dan telaah, dan menghubungi para pemanggil arwah dan para pemanggil roh peramal. Ia melakukan banyak yang jahat di mata TUHAN, sehingga ia menimbulkan sakit hati-Nya.” (2 Raja 21:6, 16) Raja Manasye membujuk bangsanya untuk ”melakukan yang jahat lebih dari pada bangsa-bangsa yang telah dipunahkan TUHAN”. Setelah berulang kali memperingatkan Manasye dan umat-Nya, Sang Pencipta menyatakan, ”Aku akan menghapuskan Yerusalem seperti orang menghapus pinggan.”—2 Tawarikh 33:9, 10; 2 Raja 21:10-13.
Sebagai pendahuluan, Yehuwa membiarkan orang-orang Asiria menangkap Manasye dan membelenggunya dengan rantai tembaga. (2 Tawarikh 33:11) Dalam pembuangan, Manasye menyadari kesalahannya dan ”sangat merendahkan diri di hadapan Allah nenek moyangnya”. Bagaimana reaksi Yehuwa? ”[Allah] mendengarkan permohonannya. Ia membawanya kembali ke Yerusalem dan memulihkan kedudukannya sebagai raja. Dan Manasye mengakui, bahwa TUHAN itu Allah.” Raja Manasye dan cucunya, Raja Yosia, melaksanakan reformasi yang dibutuhkan. Namun, bangsa itu tidak secara permanen berpaling dari kemerosotan besar-besaran di bidang moral dan agama.—2 Tawarikh 33:1-20; 34:1–35:25; 2 Raja, pasal 22.
Yang menarik, Yehuwa mengutus nabi-nabi yang bergairah untuk menyatakan pandangan-Nya mengenai apa yang sedang terjadi.d Yeremia menyampaikan firman Yehuwa, ”Dari sejak waktu nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir sampai waktu ini, Aku mengutus kepada mereka hamba-hamba-Ku, para nabi, hari demi hari, terus-menerus.” Tetapi, bangsa tersebut tidak mau mendengarkan Allah. Mereka bertindak lebih jahat daripada nenek moyang mereka! (Yeremia 7:25, 26) Allah memperingatkan mereka berulang-ulang ”karena ia beriba hati terhadap umatnya”. Mereka tetap tidak menghiraukan. Maka, Ia membiarkan orang-orang Babilon membinasakan Yerusalem dan menelantarkan negeri itu pada tahun 607 SM. Selama 70 tahun negeri itu ditelantarkan.—2 Tawarikh 36:15, 16, NW; Yeremia 25:4-11.
Tinjauan singkat mengenai tindakan-tindakan Allah ini hendaknya membantu kita menyadari keprihatinan Yehuwa dan cara berurusan-Nya yang adil dengan bangsa-Nya. Ia tidak menarik diri dan hanya menunggu untuk melihat apa yang akan dilakukan orang-orang, seolah-olah Ia acuh tak acuh. Dengan aktif Ia berupaya membantu mereka. Anda dapat mengerti mengapa Yesaya mengatakan, ”Ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! . . . kami sekalian adalah buatan tangan-Mu.” (Yesaya 64:8) Maka, banyak orang dewasa ini menyebut Sang Pencipta sebagai ”Bapak”, karena Ia menanggapi seperti seorang ayah manusia yang penuh kasih dan memiliki minat. Akan tetapi, Ia juga sadar bahwa kita harus bertanggung jawab atas haluan kita sendiri serta akibat-akibatnya.
Setelah bangsa tersebut mengalami periode penawanan selama 70 tahun di Babilon, Allah Yehuwa menggenapi nubuat-Nya untuk memulihkan Yerusalem. Bangsa tersebut dibebaskan dan diizinkan kembali ke tanah air mereka untuk ’mendirikan rumah TUHAN, yang ada di Yerusalem’. (Ezra 1:1-4; Yesaya 44:24–45:7) Sejumlah buku dalam Alkitabe membahas tentang pemulihan ini, pembangunan kembali bait, atau peristiwa-peristiwa selanjutnya. Salah satu buku, Daniel, khususnya menarik karena buku ini menubuatkan dengan tepat kapan sang Benih, atau Mesias, akan muncul, dan buku ini menubuatkan perkembangan dunia pada zaman kita.
Bait tersebut akhirnya dibangun kembali, namun Yerusalem berada dalam keadaan yang mengenaskan. Dinding-dinding dan gerbang-gerbangnya tinggal puing-puing. Maka, Allah mengangkat pria-pria seperti Nehemia untuk menganjurkan dan mengorganisasi orang-orang Yahudi. Sebuah doa yang dapat kita baca dalam Nehemia pasal 9 meringkaskan dengan bagus cara Yehuwa berurusan dengan orang-orang Israel. Doa ini memperlihatkan Yehuwa sebagai ”Allah yang sudi mengampuni, yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya”. Doa ini juga memperlihatkan bahwa Yehuwa bertindak selaras dengan standar keadilan-Nya yang sempurna. Bahkan bila Ia memiliki alasan yang sah untuk menjalankan kuasa-Nya dalam melaksanakan penghakiman, Ia bersedia untuk melembutkan keadilan dengan kasih. Hikmat dibutuhkan agar Ia dapat bertindak dengan cara seimbang dan mengagumkan seperti ini. Jelaslah, cara Sang Pencipta berurusan dengan bangsa Israel hendaknya membuat kita tertarik kepada-Nya dan memotivasi kita untuk berminat melakukan kehendak-Nya.
Sewaktu bagian Alkitab ini (Perjanjian Lama) berakhir, Yehuda, dengan baitnya di Yerusalem, dipulihkan namun berada di bawah pemerintahan orang kafir. Maka, bagaimana perjanjian Allah dengan Daud tentang suatu ”benih” yang akan memerintah ”selama-lamanya” dapat digenapi? (Mazmur 89:3, 4; 132:11, 12) Orang-orang Yahudi masih menantikan munculnya ”Mesias sang Pemimpin” yang akan membebaskan umat Allah dan mendirikan suatu kerajaan teokratis (yang diperintah Allah) di bumi. (Daniel 9:24, 25, NW) Namun, apakah itu adalah maksud-tujuan Yehuwa? Jika tidak, bagaimana Mesias yang dijanjikan akan mewujudkan pembebasan? Dan bagaimana hal itu mempengaruhi kita dewasa ini? Pasal berikut akan membahas soal penting ini.
[Catatan Kaki]
a Nama buku-buku Alkitab dicetak dengan huruf tebal sebagai bantuan untuk mengidentifikasi isinya.
b Buku-buku ini adalah 1 Samuel, 2 Samuel, 1 Raja, 2 Raja, 1 Tawarikh, dan 2 Tawarikh.
c Ia juga menulis Kidung Agung, puisi cinta yang menyoroti loyalitas seorang wanita muda kepada seorang gembala yang sederhana.
d Sejumlah buku dalam Alkitab memuat berita-berita nubuat terilham seperti itu. Yaitu: Yesaya, Yeremia, Ratapan, Yehezkiel, Yoel, Mikha, Habakuk, Zefanya. Buku Obaja, Yunus, dan Nahum berfokus pada bangsa-bangsa di sekitarnya yang tindakannya mempengaruhi umat Allah.
e Buku-buku sejarah dan nubuat ini mencakup Ezra, Nehemia, Ester, Hagai, Zakharia dan Maleakhi.
[Kotak di hlm. 126, 127]
Mukjizat—Dapatkah Anda Mempercayainya?
”Adalah konyol untuk menggunakan lampu listrik dan telegrap serta memanfaatkan penemuan modern dalam bidang medis dan pembedahan, dan pada waktu yang sama mempercayai makhluk-makhluk roh serta mukjizat di dalam dunia Perjanjian Baru.” Kata-kata teolog Jerman bernama Rudolf Bultmann ini mencerminkan perasaan banyak orang pada masa ini terhadap mukjizat. Apakah demikian pula perasaan Anda terhadap mukjizat yang dicatat di dalam Alkitab, seperti mukjizat pembelahan Laut Merah oleh Allah?
The Concise Oxford Dictionary mendefinisikan ”mukjizat” sebagai ”peristiwa luar biasa yang disebabkan oleh suatu agen supernatural”. Peristiwa luar biasa demikian mencakup interupsi terhadap tatanan alam, sehingga banyak orang cenderung tidak percaya akan mukjizat. Akan tetapi, apa yang tampaknya melanggar hukum alam dapat dengan mudah dijelaskan dengan mengingat hukum-hukum alam lain yang terlibat.
Sebagai ilustrasi, New Scientist melaporkan bahwa dua ahli fisika di Universitas Tokyo menaruh sebuah medan magnet yang sangat kuat ke dalam sebuah tabung horisontal yang sebagian diisi dengan air. Airnya segera mengumpul di ujung-ujung tabung, sehingga bagian tengah tabung, kering. Fenomena ini, yang ditemukan pada tahun 1994, dapat terjadi karena air adalah bahan diamagnetik yang lemah, menyingkir dari medan magnet. Fenomena yang telah diteguhkan bahwa air selalu berpindah dari medan magnet sangat tinggi ke medan magnet lebih rendah telah dijuluki Efek Musa. New Scientist menulis, ”Mendorong air adalah perkara mudah—jika Anda memiliki magnet yang cukup besar. Dan jika Anda memilikinya, maka hampir segala sesuatu mungkin terjadi.”
Tentu saja, orang tidak dapat mengatakan dengan pasti proses mana yang Allah gunakan sewaktu membelah Laut Merah bagi orang-orang Israel. Namun, Sang Pencipta mengetahui segala hukum alam sampai ke segala perinciannya. Ia dapat dengan mudah mengendalikan aspek tertentu dari satu hukum dengan menggunakan hukum-hukum lain yang diciptakan-Nya. Bagi manusia, hasilnya dapat tampak seperti mukjizat, khususnya jika mereka tidak sepenuhnya mengerti hukum-hukum yang tersangkut.
Sehubungan dengan mukjizat-mukjizat di dalam Alkitab, Akira Yamada, profesor emeritus dari Universitas Kyoto di Jepang, mengatakan, ”Meskipun benar untuk mengatakan bahwa [suatu mukjizat] sekarang tidak dapat dimengerti dari sudut pandangan sains yang dipelajari seseorang (atau dari status quo sains), adalah keliru untuk menyimpulkan bahwa mukjizat tidak terjadi semata-mata berdasarkan fisika modern yang mutakhir atau bibliografi modern yang mutakhir. Sepuluh tahun lagi, sains modern akan menjadi sains masa lalu. Semakin cepat sains maju semakin besar kemungkinannya para ilmuwan dewasa ini akan menjadi sasaran gurauan seperti, ’Para ilmuwan sepuluh tahun yang lalu dengan serius mempercayai ini dan itu.’”—Gods in the Age of Science.
Sebagai Pencipta, yang sanggup mengkoordinasi semua hukum alam, Yehuwa dapat menggunakan kuasa-Nya untuk melakukan mukjizat.
[Kotak di hlm. 132, 133]
Allah yang Cemburu—Dalam Arti Apa?
”Karena TUHAN, yang nama-Nya Cemburuan, adalah Allah yang cemburu.” Kita dapat membaca komentar tersebut dalam Keluaran 34:14, namun apa artinya?
Kata Ibrani yang diterjemahkan ”cemburu” dapat berarti ”menuntut pengabdian yang eksklusif, tidak mentoleransi persaingan”. Dalam arti positif yang mendatangkan manfaat bagi ciptaan-Nya, Yehuwa cemburu sehubungan dengan nama dan ibadat-Nya. (Yehezkiel 39:25) Kegairahan-Nya untuk menggenapi apa yang dicerminkan nama-Nya mengartikan bahwa Ia akan melaksanakan maksud-tujuan-Nya bagi umat manusia.
Misalnya, pertimbangkan vonis-Nya atas orang-orang yang tinggal di negeri Kanaan. Seorang sarjana memberikan uraian yang mengejutkan ini, ”Ibadat bagi Baal, Astoret, dan dewa-dewa Kanaan lainnya terdiri dari pesta-pesta liar yang sangat tidak terkendali; kuil-kuil mereka menjadi pusat kejahatan. . . . Orang Kanaan melakukan ibadat, dengan pemuasan hawa nafsu amoral, . . . dan kemudian, dengan membunuh anak-anak sulung mereka, sebagai korban kepada dewa-dewa yang sama ini.” Para ahli arkeologi telah menemukan guci-guci yang berisi sisa-sisa anak-anak yang telah dikorbankan. Meskipun Allah memperhatikan kekeliruan orang-orang Kanaan sejak zaman Abraham, Ia memperlihatkan kesabaran terhadap mereka selama 400 tahun, memberi mereka banyak waktu untuk berubah.—Kejadian 15:16.
Apakah orang-orang Kanaan menyadari seriusnya kekeliruan mereka? Mereka memiliki hati nurani manusiawi, yang diakui oleh para ahli hukum sebagai suatu dasar universal untuk moralitas dan keadilan. (Roma 2:12-15) Meskipun demikian, orang-orang Kanaan berkukuh dalam praktek-praktek pengorbanan anak-anak mereka dan praktek-praktek seks yang bejat.
Yehuwa dengan keadilan-Nya yang seimbang menentukan bahwa negeri tersebut perlu dibersihkan. Ini bukanlah suatu genosida. Orang-orang Kanaan, baik secara perorangan seperti Rahab maupun secara kelompok seperti orang-orang Gibeon, yang dengan sukarela menerima standar-standar moral Allah yang tinggi, diluputkan. (Yosua 6:25; 9:3-15) Rahab menjadi salah satu mata rantai dalam silsilah kerajaan yang menuntun kepada Mesias, dan keturunan orang-orang Gibeon mendapat hak istimewa untuk melayani di bait Yehuwa.—Yosua 9:27; Ezra 8:20; Matius 1:1, 5-16.
Oleh karena itu, sewaktu seseorang memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas berdasarkan fakta, akan lebih mudah untuk melihat Yehuwa sebagai Allah yang mengagumkan dan adil, yang memperlihatkan kecemburuan secara benar sehingga mendatangkan manfaat bagi makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang setia.
[Gambar di hlm. 123]
Sang Pencipta membebaskan suatu bangsa yang diperbudak dan menggunakan mereka untuk melaksanakan maksud-tujuan-Nya
[Gambar di hlm. 129]
Di Gunung Sinai bangsa Israel purba memasuki suatu hubungan perjanjian dengan Sang Pencipta
[Gambar di hlm. 130]
Menjalankan hukum-hukum yang tiada duanya dari Sang Pencipta membantu umat-Nya untuk menikmati Negeri Perjanjian
[Gambar di hlm. 136]
Anda dapat mengunjungi daerah di sebelah selatan tembok Yerusalem yang dijadikan Raja Daud sebagai ibu kotanya