KEDAULATAN
Supremasi kekuasaan; kewenangan tertinggi atau kekuasaan seorang tuan, raja, kaisar, atau sejenisnya; kekuasaan yang, pada dasarnya, menentukan pemerintahan suatu negara.
Dalam Kitab-Kitab Ibrani, kata ʼAdho·naiʹ sering muncul, dan ungkapan ʼAdho·naiʹ Yehwihʹ muncul 285 kali. ʼAdho·naiʹ adalah bentuk jamak kata ʼa·dhohnʹ, yang artinya ”tuan; majikan”. Bentuk jamak ʼadho·nimʹ bisa digunakan untuk memaksudkan banyak orang, seperti ”tuan-tuan”, atau ”majikan-majikan”. Tetapi kata ʼAdho·naiʹ tanpa tambahan akhiran selalu dipakai dalam Alkitab untuk Allah, dan bentuk jamak itu digunakan untuk menunjukkan keunggulan atau keagungan. Kata ini paling sering dialihbahasakan menjadi ”Tuan” oleh para penerjemah. Apabila kata ini muncul bersama nama Allah (ʼAdho·naiʹ Yehwihʹ), contohnya di Mazmur 73:28, ungkapan itu diterjemahkan menjadi ”Tuan ALLAH” (AT, KJ, RS; bdk. TB); ”Tuan Allah” (Dy [72:28]); ”Tuan, Majikanku” (Kx [72:28]); ”Tuhan Hua” (TL); ”Tuan Yang Berdaulat Yehuwa” (NW). Di Mazmur 47:9; 138:5; 150:2, Moffatt menggunakan kata ”berdaulat”, tetapi bukan terjemahan dari ʼAdho·naiʹ.
Kata Yunani de·spoʹtes berarti pribadi yang mempunyai wewenang tertinggi, atau kepemilikan mutlak dan kekuasaan tanpa batas. (Vine’s Expository Dictionary of Old and New Testament Words, 1981, Jil. 3, hlm. 18, 46) Kata itu diterjemahkan menjadi ”tuan”, ”majikan”, ”pemilik”, dan apabila digunakan untuk sapaan langsung kepada Allah diterjemahkan menjadi ”Tuan” (KJ, Yg, dan lain-lain), ”Penguasa atas semua” (Kx), ”Tuan Yang Berdaulat” (NW), di Lukas 2:29, Kisah 4:24, dan Penyingkapan 6:10. Di ayat terakhir, Knox, The New English Bible, Moffatt, dan Revised Standard Version menggunakan ”Tuan Yang Berdaulat”; terjemahan karya Young serta Kingdom Interlinear, ”majikan”.
Jadi, meskipun bahasa Ibrani dan Yunani tidak mempunyai kata keterangan yang berarti ”berdaulat”, nuansa maknanya terkandung dalam kata ʼAdho·naiʹ dan de·spoʹtes apabila digunakan dalam Alkitab untuk Allah Yehuwa, yang menunjukkan keunggulan kedudukan-Nya sebagai penguasa.
Kedaulatan Yehuwa. Allah Yehuwa adalah Pribadi Yang Berdaulat di alam semesta (”pribadi yang berdaulat di dunia”, Mz 47:9, Mo) oleh karena kedudukan-Nya sebagai Pencipta, Keilahian-Nya, dan keunggulan-Nya sebagai Pribadi Yang Mahakuasa. (Kej 17:1; Kel 6:3; Pny 16:14) Ia adalah Pemilik segala sesuatu dan Sumber segala wewenang dan kuasa, Penguasa Tertinggi dalam pemerintahan. (Mz 24:1; Yes 40:21-23; Pny 4:11; 11:15) Sang pemazmur bernyanyi tentang Dia, ”Yehuwa sendiri menetapkan takhtanya dengan kokoh di surga; dan kerajaannya berkuasa atas segala sesuatu.” (Mz 103:19; 145:13) Murid-murid Yesus berdoa, menyapa Allah, ”Tuan Yang Berdaulat, engkaulah Pribadi yang menjadikan langit dan bumi.” (Kis 4:24, NW; Mo) Bagi bangsa Israel, ketiga bagian dalam pemerintahan, yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif, semuanya dipegang oleh Allah sendiri. Nabi Yesaya berkata, ”Yehuwa adalah Hakim kita, Yehuwa adalah Pemberi ketetapan bagi kita, Yehuwa adalah Raja kita; ia akan menyelamatkan kita.” (Yes 33:22) Di Ulangan 10:17, Musa memberikan gambaran yang patut diperhatikan tentang Allah sebagai Pribadi Yang Berdaulat.
Karena menempati kedudukan tertinggi, Yehuwa memiliki hak dan wewenang untuk mendelegasikan berbagai tanggung jawab pemerintahan. Daud dijadikan raja Israel, dan Alkitab berbicara tentang ’kerajaan Daud’ seolah-olah itu adalah kerajaan miliknya. Tetapi Daud mengakui Yehuwa sebagai Penguasa Tertinggi, dengan mengatakan, ”Milikmulah, oh, Yehuwa, kebesaran, keperkasaan, keindahan, keunggulan, dan kehormatan; sebab segala sesuatu di surga dan di bumi adalah milikmu. Milikmulah kerajaan, oh, Yehuwa, Pribadi yang juga meninggikan dirimu sebagai kepala atas semua.”—1Taw 29:11.
Para Penguasa di Bumi. Para penguasa bangsa-bangsa di bumi menjalankan kekuasaan yang terbatas dengan izin atau atas toleransi Tuan Yang Berdaulat Yehuwa. Pemerintahan politik tidak menerima wewenang dari Allah, artinya mereka tidak memerintah karena dikaruniai wewenang atau kuasa dari-Nya; hal ini diperlihatkan di Penyingkapan 13:1, 2, yang mengatakan bahwa binatang buas berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh mendapatkan ”kuasanya dan takhtanya dan wewenang yang besar” dari Naga, Setan si Iblis.—Pny 12:9; lihat BINATANG SIMBOLIS.
Jadi, meskipun Allah membiarkan berbagai pemerintahan manusia datang dan pergi, salah satu raja yang perkasa, setelah ditunjukkan fakta tentang kedaulatan Yehuwa melalui pengalamannya sendiri, tergerak untuk mengatakan, ”Kekuasaannya adalah kekuasaan sampai waktu yang tidak tertentu dan kerajaannya ada dari generasi ke generasi. Dan semua penduduk bumi dianggap tidak berarti, dan ia berbuat menurut kehendaknya sendiri di antara bala tentara langit dan penduduk bumi. Dan tidak ada seorang pun yang dapat menahan tangannya atau dapat mengatakan kepadanya, ’Apa yang kaulakukan?’”—Dan 4:34, 35.
Maka, selama Allah berkehendak untuk mengizinkan pemerintahan manusia berkuasa, perintah rasul Paulus kepada orang Kristen tetap berlaku, ”Hendaklah setiap jiwa tunduk kepada kalangan berwenang yang lebih tinggi, sebab tidak ada wewenang kecuali dari Allah; kalangan berwenang yang ada ditempatkan oleh Allah dalam kedudukan mereka yang bersifat relatif.” Sang rasul lebih lanjut menunjukkan bahwa ketika pemerintah demikian menghukum pelaku kejahatan, maka ”kalangan berwenang yang lebih tinggi” atau penguasa itu (kendati bukan penyembah Allah yang setia) secara tidak langsung sedang bertindak sebagai pelayan Allah dalam kapasitas tersebut, yaitu menyatakan kemurkaan ke atas orang yang mempraktekkan apa yang buruk.—Rm 13:1-6.
Mengenai pernyataan bahwa kalangan berwenang itu ”ditempatkan oleh Allah dalam kedudukan mereka yang bersifat relatif”, Alkitab menunjukkan bahwa hal itu tidak berarti Allah yang membentuk pemerintahan-pemerintahan tersebut atau mendukung mereka. Sebaliknya, Ia telah memanuver mereka agar cocok dengan maksud-tujuan-Nya yang baik, sehubungan dengan kehendak-Nya untuk hamba-hamba-Nya di bumi. Musa mengatakan, ”Ketika Yang Mahatinggi memberi bangsa-bangsa suatu milik pusaka, ketika ia memisah-misahkan putra-putra Adam, ia menentukan batas bangsa-bangsa menurut jumlah putra-putra Israel.”—Ul 32:8.
Putra Allah sebagai Raja. Setelah digulingkannya raja terakhir yang duduk di atas ”takhta Yehuwa” di Yerusalem (1Taw 29:23), nabi Daniel mendapat suatu penglihatan yang menggambarkan pelantikan Putra Allah sendiri untuk menjadi Raja di masa kemudian. Kedudukan Yehuwa terlihat jelas ketika Ia, sebagai Pribadi Yang Lanjut Usia, mengaruniakan kekuasaan kepada Putra-Nya. Catatan itu menyatakan, ”Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, dan, lihat di sana! seseorang seperti putra manusia datang dengan awan-awan dari langit; dan ia diperbolehkan menemui Pribadi Yang Lanjut Usia itu, dan ia dibawa ke hadapan Pribadi tersebut. Dan kepadanya diserahkan kekuasaan dan kehormatan dan kerajaan, agar semua orang dari berbagai bangsa, kelompok bangsa dan bahasa melayani dia. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang bertahan untuk waktu yang tidak tertentu, yang tidak akan berlalu, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan binasa.” (Dan 7:13, 14) Jika ayat ini dibandingkan dengan Matius 26:63, 64, jelaslah bahwa ”putra manusia” dalam penglihatan Daniel adalah Yesus Kristus. Ia diperbolehkan datang ke hadirat Yehuwa dan diberi kekuasaan.—Bdk. Mz 2:8, 9; Mat 28:18.
Kedaulatan Yehuwa Ditantang. Kefasikan sudah ada di bumi hampir selama keberadaan manusia menurut kronologi Alkitab. Segenap umat manusia sedang menuju kematian, dan dosa serta pelanggaran terhadap Allah telah berlipat ganda. (Rm 5:12, 15, 16) Karena Alkitab menunjukkan bahwa Allah memberikan awal yang sempurna kepada manusia, timbullah pertanyaan: Bagaimana dosa, ketidaksempurnaan, dan kefasikan dapat muncul? Dan mengapa Allah Yang Mahakuasa membiarkan hal-hal ini berlangsung selama berabad-abad? Jawabannya ada pada tantangan terhadap kedaulatan Allah yang menimbulkan sengketa terhebat yang menyangkut umat manusia.
Apa yang Allah inginkan dari pribadi-pribadi yang melayani Dia. Melalui perkataan dan tindakan-Nya, Allah Yehuwa telah membuktikan selama berabad-abad bahwa Ia adalah Allah kasih dan kebaikan hati yang tidak selayaknya diperoleh, yang menjalankan keadilan dan penghakiman dengan sempurna, dan mengulurkan belas kasihan kepada orang-orang yang berupaya melayani Dia. (Kel 34:6, 7; Mz 89:14; lihat ADIL-BENAR, KEADILBENARAN; BELAS KASIHAN.) Ia memperlihatkan kebaikan hati bahkan kepada orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan fasik. (Mat 5:45; Luk 6:35; Rm 5:8) Ia senang akan fakta bahwa kedaulatan-Nya dijalankan dengan kasih.—Yer 9:24.
Oleh karena itu, pribadi-pribadi yang Ia inginkan di alam semesta-Nya adalah yang melayani Dia karena mengasihi Dia dan sifat-sifat-Nya yang bagus. Mereka pertama-tama harus mengasihi Allah dan kemudian sesama mereka. (Mat 22:37-39) Mereka harus mengasihi kedaulatan Yehuwa; mereka harus menghasratkannya dan memilihnya lebih dari apa pun yang lain. (Mz 84:10) Mereka haruslah pribadi-pribadi yang, bahkan seandainya bisa menjadi independen, akan tetap memilih kedaulatan-Nya karena mereka tahu bahwa kekuasaan-Nya jauh lebih berhikmat, lebih adil-benar, dan lebih baik daripada semua yang lain. (Yes 55:8-11; Yer 10:23; Rm 7:18) Pribadi-pribadi seperti itu melayani Allah bukan hanya karena takut akan kemahakuasaan-Nya dan juga bukan karena alasan-alasan yang mementingkan diri, melainkan karena kasih akan keadilbenaran, keadilan, serta hikmat-Nya dan karena pengetahuan tentang keagungan serta kebaikan hati Yehuwa yang penuh kasih. (Mz 97:10; 119:104, 128, 163) Mereka berseru seperti rasul Paulus, ”Oh, dalamnya kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah! Betapa tidak terselidiki penghakimannya dan tidak terjejaki jalan-jalannya! Sebab ’siapakah yang mengetahui pikiran Yehuwa atau siapakah yang telah menjadi penasihatnya?’ Atau, ’Siapakah yang terlebih dahulu memberi dia, sehingga itu harus dibayarkan kembali?’ Karena dari dia dan oleh dia dan untuk dialah segala sesuatu. Kemuliaan bagi dia untuk selama-lamanya. Amin.”—Rm 11:33-36.
Orang-orang seperti itu mengenal Allah, dan benar-benar mengenal Dia berarti mengasihi Dia serta berpaut pada kedaulatan-Nya. Rasul Yohanes menulis, ”Setiap orang yang tetap berada dalam persatuan dengan dia tidak mempraktekkan dosa; orang yang mempraktekkan dosa tidak melihat dia atau mengenal dia.” Dan, ”Ia yang tidak mengasihi tidak mengenal Allah, karena Allah adalah kasih.” (1Yoh 3:6; 4:8) Yesus mengenal Bapaknya lebih baik daripada siapa pun. Ia berkata, ”Segala perkara telah diserahkan kepadaku oleh Bapakku, dan tidak seorang pun mengenal Putra sepenuhnya kecuali Bapak, dan juga tidak seorang pun mengenal Bapak sepenuhnya kecuali Putra dan siapa pun yang kepadanya Putra bersedia menyingkapkan dia.”—Mat 11:27.
Tidak mengembangkan kasih dan penghargaan. Oleh karena itu, sewaktu tantangan diajukan terhadap kedaulatan Yehuwa, tantangan itu berasal dari pribadi yang, meskipun menikmati manfaat kedaulatan Allah, tidak menghargai dan tidak mengembangkan pengetahuan atau pengenalan akan Allah sehingga kasihnya akan Dia tidak diperdalam. Pribadi ini adalah makhluk roh ciptaan Allah, seorang malaikat. Pada waktu pasangan manusia, Adam dan Hawa, ditempatkan di bumi, pribadi ini melihat suatu kesempatan untuk melancarkan serangan terhadap kedaulatan Allah. Pertama-tama, ia mencoba (dan ternyata berhasil) untuk memalingkan Hawa, kemudian Adam, sehingga tidak tunduk kepada kedaulatan Allah. Ia berharap untuk membentuk kedaulatan saingan.
Mengenai Hawa, orang pertama yang didekati, wanita itu jelas tidak menghargai Pencipta serta Allahnya, dan ia tidak memanfaatkan kesempatan untuk mengenal Dia. Ia mendengarkan perkataan makhluk yang lebih rendah, yang terlihat sebagai ular, tetapi yang sebenarnya adalah malaikat yang memberontak. Dalam Alkitab tidak disinggung bahwa Hawa terkejut mendengar ular itu berbicara. Alkitab memang mengatakan bahwa ular adalah ”yang paling berhati-hati dari antara semua binatang liar di padang yang telah Allah Yehuwa buat”. (Kej 3:1) Tidak disebutkan apakah ular itu memakan buah terlarang dari ”pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” itu lalu sepertinya menjadi lebih berhikmat, dan dapat berbicara. Malaikat pemberontak itu, yang menggunakan ular untuk berbicara kepada Hawa, mengulurkan (sebagaimana yang Hawa kira) kesempatan untuk menjadi independen, ”menjadi seperti Allah, mengetahui yang baik dan yang jahat”, dan berhasil meyakinkan dia bahwa dia tidak akan mati.—Kej 2:17; 3:4, 5; 2Kor 11:3.
Adam, yang juga tidak memperlihatkan penghargaan dan kasih kepada Pencipta dan Penyedianya sewaktu dihadapkan pada pemberontakan dalam rumah tangganya, dan yang tidak memperlihatkan keloyalan untuk membela Allahnya sewaktu diuji, mengalah kepada bujukan Hawa. Ia jelas-jelas tidak beriman kepada Allah dan kesanggupan-Nya untuk memberikan segala hal baik bagi hamba-Nya yang loyal. (Bandingkan dengan apa yang Yehuwa katakan kepada Daud setelah ia berdosa dengan Bat-syeba, di 2Sam 12:7-9.) Adam juga tampaknya kesal terhadap Yehuwa, seperti nyata dari jawabannya sewaktu ditanya tentang perbuatan salahnya, ”Wanita yang kauberikan untuk mendampingi aku, dia memberi aku buah dari pohon itu, maka aku makan.” (Kej 3:12) Tidak seperti Hawa, Adam tidak mempercayai dusta Ular bahwa ia tidak akan mati, tetapi baik Adam maupun Hawa dengan sengaja memilih haluan ingin menentukan segala-galanya bagi diri sendiri, yang berarti pemberontakan melawan Allah.—1Tim 2:14.
Adam tidak dapat berkata, ”Aku sedang dicobai Allah.” Sebaliknya, prinsip inilah yang berlaku: ”Masing-masing dicobai dengan ditarik dan dipikat oleh keinginannya sendiri. Kemudian apabila keinginan itu telah menjadi subur, ia akan melahirkan dosa; selanjutnya apabila dosa telah terlaksana, ia akan menghasilkan kematian.” (Yak 1:13-15) Jadi, ketiga pemberontak itu—si malaikat, Hawa, dan Adam—telah menggunakan kebebasan memilih, yang telah Allah karuniakan kepada mereka, untuk berpaling dari keadaan tanpa dosa kepada haluan dosa yang disengaja.—Lihat DOSA; SEMPURNA, KESEMPURNAAN.
Masalah yang dipersengketakan. Apa yang ditantang? Siapa yang dicela dan dirusak reputasinya akibat tantangan malaikat yang belakangan disebut Setan si Iblis itu, tantangan yang didukung oleh Adam dengan pemberontakannya? Apakah yang ditantang adalah fakta tentang supremasi Yehuwa, eksistensi kedaulatan-Nya? Apakah kedaulatan Allah dalam bahaya? Tidak, karena Yehuwa memiliki wewenang dan kuasa tertinggi, dan tidak ada satu pun di surga atau di bumi yang dapat mengambil hal ini dari tangan-Nya. (Rm 9:19) Oleh karena itu, tantangan itu pastilah tentang keabsahan, kelayakan, dan keadilbenaran kedaulatan Allah—apakah kedaulatan-Nya dijalankan dengan cara yang patut, adil-benar, dan bagi kepentingan rakyat-Nya atau tidak. Hal ini nyata dari cara pendekatan kepada Hawa, ”Apakah memang benar bahwa Allah mengatakan kamu tidak boleh memakan buah dari setiap pohon di taman ini?” Di sini si Ular menyiratkan bahwa hal semacam itu sangat keterlaluan—bahwa Allah terlalu membatasi, menahan sesuatu yang sebenarnya berhak diterima pasangan manusia itu.—Kej 3:1.
Apakah ”pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” itu?
Dengan mengambil buah dari ”pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat”, Adam dan Hawa menyatakan pemberontakan mereka. Sang Pencipta, sebagai Penguasa Universal, bertindak sepenuhnya dalam batas-batas hak-Nya untuk membuat hukum berkenaan pohon tersebut, sebab Adam, sebagai pribadi yang diciptakan, dan bukan penguasa, memiliki keterbatasan-keterbatasan, dan ia perlu mengakui fakta ini. Demi kedamaian dan keharmonisan universal, semua ciptaan yang berakal berkewajiban untuk mengakui dan mendukung kedaulatan sang Pencipta. Adam bisa mempertunjukkan pengakuannya akan fakta ini dengan tidak memakan buah dari pohon tersebut. Sebagai calon bapak semua orang di bumi, ia harus terbukti taat dan loyal, bahkan dalam soal yang paling kecil. Prinsip yang terkait ialah, ”Orang yang setia dalam perkara kecil juga setia dalam perkara besar, dan orang yang tidak adil-benar dalam perkara kecil juga tidak adil-benar dalam perkara besar.” (Luk 16:10) Adam memiliki kesanggupan untuk melakukan ketaatan yang sempurna seperti itu. Buah pohon itu sendiri tentu tidak mengandung sesuatu yang buruk. (Yang dilarang bukan hubungan seks, sebab Allah telah memerintahkan pasangan itu untuk ’memenuhi bumi’. [Kej 1:28] Itu adalah buah pohon yang sesungguhnya, bukan simbolis, sebagaimana dikatakan Alkitab.) Apa yang digambarkan oleh pohon itu dinyatakan dengan jelas di sebuah catatan kaki untuk Kejadian 2:17 dalam The Jerusalem Bible (1966):
”Pengetahuan ini adalah hak istimewa yang Allah simpan bagi diri-Nya sendiri dan yang diambil oleh manusia melalui tindakan dosanya, 3:5, 22. Oleh karena itu, pengetahuan ini bukan kemahatahuan, yang tidak dimiliki oleh manusia yang berdosa; juga bukan pemahaman moral, sebab manusia yang tidak berdosa sudah memilikinya dan Allah tidak dapat menahannya dari seorang makhluk berakal. Itu adalah kesanggupan untuk menentukan bagi diri sendiri apa yang baik dan apa yang jahat dan kesanggupan untuk bertindak selaras dengan hal itu, suatu tuntutan akan kebebasan moral secara total dan dalam hal ini manusia menolak untuk mengakui statusnya sebagai makhluk yang diciptakan. Dosa pertama adalah serangan atas kedaulatan Allah, dosa keangkuhan.”
Hamba-hamba Allah dituduh mementingkan diri. Perwujudan selanjutnya dari sengketa itu dapat dilihat dalam pernyataan Setan kepada Allah mengenai hamba-Nya yang setia bernama Ayub. Setan berkata, ”Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah? Bukankah engkau sendiri yang memasang pagar di sekelilingnya dan di sekeliling rumahnya dan di sekeliling segala sesuatu yang ia miliki di sekelilingnya? Pekerjaan tangannya telah engkau berkati, dan ternaknya telah tersebar luas di bumi. Tetapi kali ini, ulurkanlah kiranya tanganmu dan sentuhlah segala sesuatu yang ia miliki dan lihatlah apakah ia tidak akan mengutuki engkau di mukamu.” Sekali lagi, ia dituduh, ”Kulit ganti kulit, segala sesuatu yang dimiliki orang akan ia berikan ganti jiwanya.” (Ayb 1:9-11; 2:4) Jadi, Setan menuduh Ayub tidak selaras dengan Allah dalam hatinya, karena melayani Allah dengan taat hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mementingkan diri, yaitu demi keuntungan. Dengan demikian, Setan memfitnah Allah sehubungan dengan kedaulatan-Nya, dan hamba-hamba Allah sehubungan dengan integritas kepada kedaulatan itu. Ia seolah-olah mengatakan bahwa tidak seorang pun yang ditempatkan di bumi dapat berintegritas kepada kedaulatan Yehuwa jika ia, Setan, diperbolehkan menguji orang itu.
Yehuwa mengizinkan sengketa itu digabungkan. Akan tetapi, bukan karena Ia tidak merasa yakin akan keadilbenaran kedaulatan-Nya sendiri. Tidak ada yang perlu Ia buktikan bagi diri-Nya sendiri. Karena kasih akan ciptaan-Nya yang cerdas itulah Ia membiarkan waktu berlalu untuk menguji masalah ini. Ia mengizinkan manusia diuji oleh Setan, di hadapan seluruh alam semesta. Dan Ia memberikan hak istimewa kepada ciptaan-Nya untuk membuktikan si Iblis pendusta, dan untuk membersihkan nama Allah, dan juga nama mereka sendiri dari fitnahan. Dalam sikap egoistiknya, Setan ’diserahkan kepada keadaan mental yang tercela’. Dari cara pendekatannya kepada Hawa, jelas sekali bahwa Setan tidak konsisten dalam penalarannya. (Rm 1:28) Ia menuduh Allah tidak adil, tidak adil-benar dalam cara-Nya menjalankan kedaulatan, tetapi pada waktu yang sama ia mengandalkan keadilan Allah: Setan tampaknya berpikir bahwa Allah akan merasa wajib membiarkan ia hidup jika ia dapat membuktikan tuduhannya tentang ketidaksetiaan makhluk-makhluk ciptaan Allah.
Penyelesaian sengketa itu, sangat penting. Penyelesaian sengketa itu sebenarnya adalah soal yang teramat penting bagi semua yang hidup, menyangkut keterkaitan mereka dengan kedaulatan Allah. Sebab, sekali terselesaikan, sengketa semacam itu tidak akan pernah diajukan lagi. Tampaknya jelas bahwa Yehuwa ingin agar semua permasalahan sehubungan dengan sengketa ini benar-benar diketahui dan dipahami. Tindakan yang Allah ambil menimbulkan keyakinan akan sikap-Nya yang tidak berubah, mengokohkan kedaulatan-Nya, membuat kedaulatan-Nya semakin diinginkan dan semakin terpancang kuat dalam pikiran semua yang memilihnya.—Bdk. Mal 3:6.
Sengketa moral. Jadi, yang dipertanyakan bukanlah keperkasaan, soal siapa yang terkuat; ini khususnya adalah sengketa moral. Akan tetapi, karena Allah tidak dapat dilihat dan karena Setan telah mengerahkan segala daya upaya untuk membutakan pikiran manusia, kuasa dan bahkan keberadaan Yehuwa telah sering dipertanyakan. (1Yoh 5:19; Pny 12:9) Manusia telah salah memahami alasan kesabaran serta kebaikan hati Allah, dan pemberontakan mereka telah semakin menjadi-jadi. (Pkh 8:11; 2Ptr 3:9) Oleh karena itu, diperlukan iman, disertai penderitaan, untuk melayani Allah dengan integritas. (Ibr 11:6, 35-38) Meskipun demikian, Yehuwa bermaksud untuk memberitahukan kedaulatan serta nama-Nya kepada semua orang. Di Mesir Ia berfirman kepada Firaun, ”Sebenarnya, untuk alasan ini aku membuat engkau tetap ada, yaitu untuk memperlihatkan kepadamu kuasaku dan agar namaku dinyatakan di seluruh bumi.” (Kel 9:16) Demikian pula, Allah telah memberikan waktu bagi dunia ini serta allahnya, Setan si Iblis, untuk hidup serta mengembangkan kefasikan mereka, dan Ia telah menentukan waktu untuk membinasakan mereka. (2Kor 4:4; 2Ptr 3:7) Doa sang pemazmur yang mengandung nubuat berbunyi, ”Agar mereka tahu bahwa engkau, yang bernama Yehuwa, engkau sajalah Yang Mahatinggi atas seluruh bumi.” (Mz 83:18) Yehuwa sendiri bersumpah, ”Kepadaku semua orang akan bertekuk lutut, semua lidah akan bersumpah, dengan mengatakan, ’Sesungguhnya pada Yehuwa ada keadilbenaran serta kekuatan yang penuh.’”—Yes 45:23, 24.
Seberapa jauh jangkauan sengketa ini. Seberapa jauh jangkauan sengketa ini? Karena manusia telah digoda untuk berdosa, dan karena seorang malaikat telah berdosa, permasalahannya menjangkau dan mencakup makhluk-makhluk surgawi Allah, bahkan satu-satunya Putra Allah yang diperanakkan, pribadi yang terdekat dengan Allah Yehuwa. Pribadi ini, yang selalu melakukan apa yang menyenangkan Bapaknya, tentu ingin sekali membenarkan kedaulatan Yehuwa. (Yoh 8:29; Ibr 1:9) Allah memilih dia untuk melaksanakan tugas ini, dengan mengutusnya ke bumi, dan ia lahir di bumi sebagai anak laki-laki melalui perawan Maria. (Luk 1:35) Ia sempurna, dan ia memelihara kesempurnaan serta keadaan tanpa cela itu sepanjang hidupnya, bahkan sampai mati secara hina. (Ibr 7:26) Sebelum kematiannya ia berkata, ”Sekarang ada penghakiman atas dunia ini; sekarang penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar.” Selain itu, ”Penguasa dunia ini datang. Dan ia tidak berkuasa atas diriku.” (Yoh 12:31; 14:30) Setan tidak dapat menguasai Kristus dalam arti ia tidak dapat mematahkan integritasnya, dan ia divonis gagal, siap untuk dilemparkan ke luar. Yesus telah ”menaklukkan dunia”.—Yoh 16:33.
Yesus Kristus, Pembela keadilbenaran kedaulatan Allah. Jadi, Yesus Kristus, dengan sempurna dan lengkap, membuktikan si Iblis pendusta, secara tuntas menjawab pertanyaan: Apakah ada manusia yang akan setia kepada Allah di bawah ujian atau cobaan apa pun yang ditimpakan kepadanya? Oleh karena itu, Yesus diangkat oleh Allah Yang Berdaulat menjadi Pelaksana maksud-tujuan-Nya, pribadi yang kelak digunakan untuk membinasakan kefasikan, termasuk si Iblis, dari alam semesta ini. Wewenang ini akan ia jalankan, dan ’semua akan bertekuk lutut dan setiap lidah akan mengakui secara terbuka bahwa Yesus Kristus adalah Tuan bagi kemuliaan Allah, sang Bapak’.—Flp 2:5-11; Ibr 2:14; 1Yoh 3:8.
Dengan kewenangan tertinggi yang dikaruniakan kepada Putra, ia memerintah atas nama Bapaknya, ”meniadakan” semua pemerintah dan semua wewenang dan kuasa yang menentang kedaulatan Yehuwa. Rasul Paulus menyingkapkan bahwa Yesus Kristus pada waktu itu akan memberikan penghormatan terbesar bagi kedaulatan Yehuwa, sebab ”apabila segala sesuatu sudah ditundukkan kepadanya, Putra sendiri juga akan menundukkan diri kepada Pribadi yang menundukkan segala sesuatu kepadanya, agar Allah menjadi segala sesuatu bagi setiap orang”.—1Kor 15:24-28.
Buku Penyingkapan memperlihatkan bahwa setelah akhir Pemerintahan Seribu Tahun Kristus, ketika ia menaklukkan semua wewenang yang berupaya menyaingi kedaulatan Yehuwa, si Iblis akan dilepaskan untuk waktu yang singkat. Setan akan mencoba untuk membangkitkan kembali sengketa itu, tetapi ia tidak akan diberi waktu lagi untuk sesuatu yang telah diselesaikan. Setan dan para pengikutnya akan dimusnahkan secara total.—Pny 20:7-10.
Orang-orang lain yang mendukung kedaulatan Allah. Meskipun kesetiaan Kristus telah sepenuhnya membuktikan bahwa Allah-lah yang benar dalam sengketa itu, orang-orang lain diperbolehkan ambil bagian dalam hal ini. (Ams 27:11) Hasil-hasil dari haluan Kristus sebagai pemelihara integritas, termasuk kematiannya sebagai korban, ditunjukkan oleh rasul Paulus, ”Melalui satu tindakan yang menghasilkan pembenaran, segala macam orang dinyatakan adil-benar untuk kehidupan.” (Rm 5:18) Kristus telah dijadikan Kepala atas ”tubuh”, yaitu sidang jemaat (Kol 1:18), yang anggota-anggotanya akan ambil bagian dalam kematiannya sebagai pemelihara integritas, dan ia senang untuk mengajak mereka ambil bagian bersamanya sebagai sesama ahli waris, sebagai rekan raja dalam pemerintahan Kerajaannya. (Luk 22:28-30; Rm 6:3-5; 8:17; Pny 20:4, 6) Orang-orang yang setia pada zaman dahulu, yang mengharap-harapkan persediaan Allah, memelihara integritas sekalipun tidak sempurna secara jasmani. (Ibr 11:13-16) Dan ada banyak lagi yang akan melakukan hal yang sama, mereka yang berlutut untuk dengan sepenuh hati mengakui kedaulatan Allah yang patut dan adil-benar. Sebagaimana lantunan sang pemazmur yang bersifat nubuat, ”Segala yang bernapas memuji Yah. Pujilah Yah, hai, kamu sekalian!”—Mz 150:6.