”Yehuwa, Allah yang Berbelaskasihan dan Murah Hati”
”Yehuwa, Yehuwa, Allah yang berbelaskasihan dan murah hati, lambat marah dan berlimpah dengan kebaikan hati yang penuh kasih dan kebenaran.”—KELUARAN 34:6, NW.
1. (a) Penghiburan apakah yang Alkitab sediakan bagi orang-orang yang telah melihat orang-orang yang mereka kasihi menyimpang dari ibadat murni? (b) Bagaimanakah Yehuwa memandang orang-orang yang bersalah?
”PUTRI saya mengatakan kepada saya bahwa ia tidak mau lagi menjadi bagian dari sidang Kristen,” kata seorang ayah Kristen. ”Selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan sesudahnya, tubuh saya digerogoti rasa nyeri. Lebih baik saya mati saja.” Memang menyedihkan bila melihat orang yang kita kasihi menyimpang dari jalan ibadat yang murni. Apakah saudara pernah mengalami hal serupa? Jika demikian, saudara dapat merasa terhibur karena sebenarnya Yehuwa berempati kepada saudara. (Keluaran 3:7; Yesaya 63:9) Namun, bagaimanakah Allah memandang orang-orang yang bersalah ini? Alkitab memperlihatkan bahwa Yehuwa dengan penuh belas kasihan mengundang mereka untuk memperoleh kembali perkenan-Nya. Ia mengimbau orang-orang Yahudi yang memberontak pada zaman Maleakhi, ”Kembalilah kepada-Ku, maka Aku akan kembali kepadamu.”—Maleakhi 3:7.
2. Bagaimanakah Alkitab memperlihatkan bahwa belas kasihan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kepribadian Yehuwa?
2 Belas kasihan Allah ditandaskan kepada Musa sewaktu ia di Gunung Sinai. Di sana, Yehuwa menyingkapkan diri-Nya sebagai ”Allah yang berbelaskasihan dan murah hati, lambat marah dan berlimpah dengan kebaikan hati yang penuh kasih dan kebenaran”. (Keluaran 34:6, NW) Pernyataan ini menandaskan bahwa belas kasihan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kepribadian Yehuwa. Ia ”menginginkan semuanya mencapai pertobatan”, tulis Petrus, rasul Kristen. (2 Petrus 3:9) Tentu saja, belas kasihan Allah tidak tanpa batas. Musa diberi tahu, ’Allah tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman.’ (Keluaran 34:7; 2 Petrus 2:9) Meskipun demikian, ”Allah adalah kasih”, dan belas kasihan merupakan segi yang menonjol dari sifat ini. (1 Yohanes 4:8; Yakobus 3:17) Yehuwa tidak akan ”bertahan dalam kemarahannya untuk selama-lamanya” dan Ia ”senang akan kebaikan hati yang penuh kasih”.—Mikha 7:18, 19, NW.
3. Bagaimanakah pandangan Yesus berkenaan dengan belas kasihan bertolak belakang dengan pandangan para penulis dan orang-orang Farisi?
3 Yesus adalah cerminan sempurna Bapak surgawinya. (Yohanes 5:19) Perlakuannya yang penuh belas kasihan terhadap para pelaku kesalahan tidak dapat diartikan sebagai menganggap enteng dosa mereka, tetapi sebagai ungkapan perasaan lembut seperti yang dia perlihatkan kepada orang-orang yang sakit jasmani. (Bandingkan Markus 1:40, 41.) Ya, Yesus menempatkan belas kasihan di antara ”perkara-perkara yang lebih berbobot” pada Hukum Allah. (Matius 23:23) Sebaliknya, perhatikan para penulis dan orang-orang Farisi, yang konsep hukumnya berkenaan dengan keadilan biasanya mengesampingkan belas kasihan sama sekali. Ketika mereka melihat Yesus berhubungan dengan para pedosa, mereka mengeluh, ”Pria ini menyambut pedosa-pedosa dan makan bersama mereka.” (Lukas 15:1, 2) Yesus menggunakan tiga ilustrasi untuk menjawab para penuduh, dan tiap-tiap ilustrasi ini menandaskan belas kasihan Allah.
4. Dua ilustrasi apakah yang Yesus ceritakan, dan apa yang ditonjolkan dalam kedua ilustrasi tersebut?
4 Pertama, Yesus menceritakan tentang seorang pria yang meninggalkan 99 domba untuk mencari satu domba yang hilang. Apa yang ia ingin tonjolkan? ”Akan ada lebih banyak sukacita di surga atas seorang pedosa yang bertobat daripada atas sembilan puluh sembilan orang yang adil-benar yang tidak membutuhkan pertobatan.” Selanjutnya, Yesus menceritakan tentang seorang wanita yang mencari uang logam drakhma yang hilang dan bersukacita karena menemukannya. Bagaimana ilustrasi ini diterapkan oleh Yesus? ”Sukacita timbul di antara malaikat-malaikat Allah atas satu pedosa yang bertobat.” Yesus menceritakan ilustrasinya yang ketiga dalam bentuk perumpamaan.a Konon, banyak orang menyatakan perumpamaan ini sebagai cerita pendek terbaik sepanjang masa. Dengan membahas perumpamaan ini, kita akan dibantu untuk menghargai dan meniru belas kasihan Allah.—Lukas 15:3-10.
Putra yang Memberontak Pergi dari Rumah
5, 6. Dalam ilustrasi Yesus yang ketiga, bagaimanakah putra yang lebih muda memperlihatkan sangat kurangnya penghargaan?
5 ”Seorang pria tertentu mempunyai dua putra. Dan yang lebih muda dari antara mereka mengatakan kepada bapaknya, ’Bapak, beri aku bagian dari milik yang menjadi bagianku.’ Lalu ia membagi sarana penghidupannya kepada mereka. Kemudian, tidak banyak hari setelah itu, putra yang lebih muda mengumpulkan segala sesuatu dan mengadakan perjalanan ke luar negeri ke negeri yang jauh, dan di sana menghamburkan miliknya dengan menjalani kehidupan yang mengejar nafsu.”—Lukas 15:11-13.b
6 Putra yang lebih muda menunjukkan sangat kurangnya penghargaan. Pertama, ia menuntut warisannya, kemudian ia menghamburkan miliknya dengan ”menjalani kehidupan yang mengejar nafsu”. Pernyataan ”kehidupan yang mengejar nafsu” diterjemahkan dari suatu kata Yunani yang berarti ”hidup seenaknya”. Seorang ahli mengatakan bahwa kata itu ”menyatakan sama sekali tidak berbudi”. Maka, adalah tepat bila pemuda dalam perumpamaan Yesus ini sering kali dijuluki si pemboros, suatu kata untuk melukiskan orang yang suka berfoya-foya dan menghambur-hamburkan harta.
7. Dewasa ini, siapakah yang menyerupai si pemboros, dan mengapa orang-orang demikian mencari kebebasan di ”negeri yang jauh”?
7 Dewasa ini, apakah ada orang yang menyerupai si pemboros? Ya. Sayang sekali, sejumlah orang, walaupun relatif sedikit, telah meninggalkan ”rumah tangga” yang aman milik Bapak surgawi kita, Yehuwa. (1 Timotius 3:15) Beberapa dari antara mereka merasa bahwa lingkungan rumah tangga Allah terlalu mengekang, dan bahwa mata Yehuwa yang waspada lebih terasa sebagai perintang daripada sebagai perlindungan. (Bandingkan Mazmur 32:8.) Perhatikan kasus seorang wanita Kristen yang telah dibesarkan menurut prinsip-prinsip Alkitab tetapi belakangan terlibat dalam penyalahgunaan alkohol dan obat bius. Sewaktu menengok ke masa lalu yang suram dalam kehidupannya, ia mengatakan, ”Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa mengatur kehidupan saya sendiri. Saya ingin berbuat sesuka hati saya, dan saya tidak mau keinginan saya dihalangi oleh siapa pun.” Seperti si pemboros, wanita muda ini mencari kebebasan. Tragisnya, karena praktek-praktek tidak berdasarkan Alkitab yang dia lakukan, dia dipecat dari sidang Kristen.—1 Korintus 5:11-13.
8. (a) Bantuan apakah yang dapat diberikan kepada orang-orang yang ingin hidup bertentangan dengan standar-standar Allah? (b) Mengapa seseorang harus bertimbang rasa terhadap pilihan pribadi orang lain berkenaan dengan ibadat?
8 Sungguh menyedihkan bila seorang rekan seiman berkeinginan untuk hidup bertentangan dengan standar-standar Allah. (Filipi 3:18) Bila ini terjadi, para penatua dan orang-orang lain yang memenuhi syarat secara rohani berupaya memperbaiki kembali orang yang berbuat salah. (Galatia 6:1) Meskipun demikian, tidak seorang pun dipaksa untuk menerima kuk sebagai seorang murid Kristen. (Matius 11:28-30; 16:24) Jika mereka telah dianggap dewasa secara hukum, anak-anak muda sekalipun harus menentukan pilihannya sendiri berkenaan dengan ibadat. Kita masing-masing adalah makhluk yang bebas memilih, yang akan memberikan pertanggungjawaban pribadi kepada Allah. (Roma 14:12) Tentu saja, kita juga akan ’menuai apa yang kita tabur’—inilah hikmah yang akhirnya didapat oleh si pemboros dalam perumpamaan Yesus.—Galatia 6:7, 8.
Putus Asa di Negeri yang Jauh
9, 10. (a) Perubahan keadaan seperti apakah yang dialami oleh si pemboros, dan bagaimanakah reaksinya sewaktu mengalami keadaan itu? (b) Lukiskan bagaimana beberapa orang dewasa ini yang meninggalkan ibadat sejati mengalami kemalangan yang serupa dengan yang dialami si pemboros.
9 ”Ketika ia telah menghabiskan segala sesuatu, bala kelaparan yang hebat terjadi di seluruh negeri itu, dan ia mulai mengalami kekurangan. Ia bahkan pergi dan mengikat diri kepada salah seorang warga negara negeri itu, dan dia menyuruhnya ke ladangnya untuk menggiring babi. Dan ia biasanya ingin dikenyangkan dengan polong dari pohon keratonia yang sedang dimakan babi, dan tidak seorang pun memberi dia sesuatu.”—Lukas 15:14-16.
10 Meskipun jatuh miskin, belum terpikir oleh si pemboros untuk pulang ke rumah. Sebaliknya, ia menemui seorang warga negara yang kemudian memberinya pekerjaan sebagai gembala babi. Karena Hukum Musa menyatakan babi sebagai binatang yang haram, pekerjaan semacam ini tidak mungkin diterima oleh seorang Yahudi. (Imamat 11:7, 8) Tetapi, seandainya si pemboros saat itu merasa hati nuraninya terganggu, ia pasti harus menekan perasaan itu. Lagi pula, ia tidak dapat berharap bahwa majikannya, yang adalah seorang warga negara setempat, akan mempedulikan perasaan seorang asing yang sudah tidak punya apa-apa lagi. Kemalangan si pemboros ini serupa dengan apa yang dirasakan banyak orang yang meninggalkan jalan lurus ibadat murni dewasa ini. Sering kali, orang-orang demikian terjun dalam kegiatan-kegiatan yang semula mereka anggap bejat. Misalnya, seorang pemuda, sewaktu berusia 17 tahun, memberontak melawan pengajaran Kristen yang telah ia terima sejak kecil. ”Perbuatan amoral dan penyalahgunaan obat bius melenyapkan pengaruh pengajaran Alkitab yang telah bertahun-tahun saya terima,” demikian pengakuannya. Tidak lama kemudian, ia dijebloskan ke penjara karena telah terlibat perampokan bersenjata dan pembunuhan. Meskipun belakangan ia berupaya pulih secara rohani, sungguh mahal harga yang harus dibayarnya untuk ”mendapat kenikmatan sementara dari dosa”!—Bandingkan Ibrani 11:24-26.
11. Bagaimanakah dilema si pemboros menjadi semakin rumit, dan bagaimanakah beberapa orang dewasa ini mendapati bahwa ternyata daya pikat dunia ini adalah ”tipu daya yang kosong”?
11 Dilema yang dihadapi si pemboros semakin rumit oleh karena kenyataan bahwa ”tidak seorang pun memberi dia sesuatu”. Di mana sahabat-sahabat barunya? Karena ia sekarang tidak mempunyai uang sepeser pun, ia seolah-olah menjadi sasaran ’kebencian’ mereka. (Amsal 14:20) Demikian pula dewasa ini, banyak orang yang menyimpang dari iman mendapati bahwa daya pikat dan pandangan dunia ini penuh ”tipu daya yang kosong”. (Kolose 2:8) ”Saya mengalami banyak penderitaan dan sakit hati bila tanpa bimbingan Yehuwa,” kata seorang wanita muda yang pernah meninggalkan organisasi Allah selama beberapa waktu. ”Saya berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan dunia ini, tetapi karena saya tidak benar-benar seperti mereka, mereka menolak saya. Saya merasa seperti anak hilang yang membutuhkan ayah untuk membimbing saya. Pada saat itulah saya sadar bahwa saya membutuhkan Yehuwa. Saya tidak mau lagi hidup terpisah dari-Nya.” Si pemboros dalam contoh Yesus akhirnya menyadari hal yang serupa.
Si Pemboros Sadar Kembali
12, 13. Faktor-faktor apakah telah membantu beberapa orang dewasa ini untuk sadar kembali? (Lihat kotak.)
12 ”Ketika ia sadar kembali, ia mengatakan, ’Betapa banyak orang upahan bapakku yang berlimpah dengan roti, sedangkan aku binasa di sini karena bala kelaparan! Aku akan bangkit dan mengadakan perjalanan ke bapakku dan mengatakan kepadanya, ”Bapak, aku telah melakukan dosa terhadap surga dan terhadap engkau. Aku tidak lagi layak disebut putramu. Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahanmu.”’ Maka bangkitlah ia dan pergi ke bapaknya.”—Lukas 15:17-20.
13 Si pemboros ”sadar kembali”. Selama beberapa waktu, ia mengejar kesenangan sesuka hatinya, seolah-olah berada di alam mimpi. Tetapi sekarang, ia menjadi sungguh-sungguh sadar akan keadaan rohaninya yang sebenarnya. Ya, meskipun ia terjatuh, masih ada harapan bagi pemuda tersebut. Ada sisi positif yang dapat ditemukan dalam dirinya. (Amsal 24:16; bandingkan 2 Tawarikh 19:2, 3.) Bagaimana dengan orang-orang yang meninggalkan kawanan domba Allah dewasa ini? Apakah masuk akal untuk menyimpulkan bahwa mereka semua tidak tertolong, dan bahwa dalam setiap kasus, haluan mereka yang memberontak merupakan bukti bahwa mereka berdosa melawan roh kudus Allah? (Matius 12:31, 32) Tidak selalu. Ada orang-orang yang tersiksa oleh haluan perbuatan salahnya sendiri, dan seraya waktu berjalan, banyak dari antara mereka yang sadar kembali. ”Tak pernah sehari pun saya melupakan Yehuwa,” kata seorang saudari, ketika bercerita tentang masa sewaktu ia menjauh dari organisasi Allah. ”Saya selalu berdoa agar suatu hari nanti, entah dengan cara bagaimana, Ia bersedia menerima saya kembali dalam kebenaran.”—Mazmur 119:176.
14. Keputusan apakah yang dibuat oleh si pemboros, dan bagaimanakah ia menunjukkan kerendahan hati dalam membuat keputusan itu?
14 Tetapi, dalam situasi mereka sekarang, apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang tersesat ini? Dalam perumpamaan Yesus, si pemboros memutuskan untuk pulang ke rumah dan memohon ampun kepada ayahnya. ”Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahanmu,” demikian keputusan yang hendak dinyatakan oleh si pemboros. Seorang upahan adalah buruh harian yang dapat dipecat sewaktu-waktu. Kedudukan ini bahkan lebih rendah daripada seorang budak yang, dalam arti tertentu, dianggap sebagai anggota keluarga sendiri oleh majikannya. Jadi, sedikit pun tak terpikir oleh si pemboros untuk meminta kembali statusnya yang semula sebagai seorang putra. Ia rela menerima posisi terendah untuk membuktikan dari hari ke hari loyalitasnya yang baru kepada ayahnya. Akan tetapi, suatu kejutan menanti si pemboros.
Sambutan yang Menghangatkan Hati
15-17. (a) Bagaimanakah reaksi sang ayah sewaktu melihat putranya? (b) Apa yang hendak diperlihatkan oleh sang ayah dengan menyediakan jubah, cincin, dan kasut untuk putranya? (c) Apa yang hendak dipertunjukkan sang ayah dengan mengadakan sebuah pesta?
15 ”Ketika ia masih jauh, bapaknya melihatnya dan tergerak oleh rasa kasihan, dan dia berlari dan memeluk lehernya dan menciumnya dengan lembut. Lalu putra itu mengatakan kepadanya, ’Bapak aku telah melakukan dosa terhadap surga dan terhadap engkau. Aku tidak lagi layak disebut putramu. Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahanmu.’ Akan tetapi, bapak itu mengatakan kepada budak-budaknya, ’Cepat! bawalah ke luar sebuah jubah, yang terbaik, dan kenakan itu padanya, dan kenakanlah sebuah cincin pada tangannya dan kasut pada kakinya. Dan bawalah lembu jantan muda yang digemukkan, bantailah dan marilah kita makan dan bersukaria, karena putraku ini telah mati dan menjadi hidup kembali; ia telah hilang dan ditemukan.’ Dan mereka mulai bersukaria.”—Lukas 15:20-24.
16 Orang-tua yang pengasih mana pun pasti mengharapkan anaknya pulih secara rohani. Oleh karena itu, kita dapat membayangkan ayah si pemboros setiap hari mengamat-amati jalan setapak di depan rumahnya, harap-harap cemas menanti kepulangan putranya. Sekarang, ia melihat putranya menyusuri jalan setapak itu! Penampilan pemuda itu tentulah telah berubah. Namun, sang ayah masih mengenalinya ketika ia ”masih jauh”. Sang ayah tidak sekadar melihat baju compang-camping yang dikenakan dan semangat yang terpuruk; yang dia lihat adalah putranya, dan ia berlari menyongsongnya!
17 Ketika sang ayah sudah berada di dekat putranya, ia memeluk leher putranya dan dengan lembut menciumnya. Kemudian, ia memerintahkan budak-budaknya untuk menyediakan jubah, cincin, dan kasut bagi putranya. Jubah ini bukanlah sekadar penutup badan, tetapi ”yang terbaik”—barangkali jubah kebesaran penuh sulaman, yang biasanya diberikan kepada tamu-tamu kehormatan. Karena cincin dan kasut tidak biasa dikenakan oleh budak, sang ayah ingin memperlihatkan bahwa putranya disambut sepenuhnya sebagai anggota keluarga. Tetapi, masih ada lagi yang hendak dilakukan sang ayah. Ia memerintahkan agar diadakan pesta untuk merayakan kepulangan putranya. Jelaslah, pria ini mengampuni putranya bukan karena terpaksa, bukan pula karena kepulangan putranya ini membuatnya berkewajiban untuk mengampuni; ia ingin mengampuni seluas-luasnya. Hal itu membuatnya bersukacita.
18, 19. (a) Apakah yang saudara pelajari dari perumpamaan putra yang boros berkenaan dengan Yehuwa? (b) Seperti yang diperlihatkan dalam cara-Nya berurusan dengan Yehuda dan Yerusalem, bagaimanakah Yehuwa ’menantikan’ kepulangan para pedosa?
18 Sampai di sini, apakah yang diajarkan oleh perumpamaan putra yang boros mengenai Allah yang kepada-Nya kita mendapat hak istimewa untuk menyembah-Nya? Pertama, Yehuwa ”berbelaskasihan dan murah hati, lambat marah dan berlimpah dengan kebaikan hati yang penuh kasih dan kebenaran”. (Keluaran 34:6, NW) Ya, belas kasihan adalah sifat Allah yang menonjol. Ini adalah reaksi-Nya yang wajar terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan. Selain itu, perumpamaan Yesus ini mengajar kita bahwa Yehuwa ”siap mengampuni”. (Mazmur 86:5, NW) Dapat diumpamakan seperti Ia sedang mengamat-amati untuk mencari perubahan hati pada umat manusia yang berdosa, yang dapat Ia jadikan dasar untuk mengulurkan belas kasihan.—2 Tawarikh 12:12; 16:9.
19 Misalnya, perhatikan cara Allah berurusan dengan Israel. Nabi Yesaya diilhami Yehuwa untuk melukiskan bahwa Yehuda dan Yerusalem ’tidak sehat dari telapak kaki sampai kepala’. Namun, ia juga mengatakan, ”TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu.” (Yesaya 1:5, 6; 30:18; 55:7; Yehezkiel 33:11) Seperti sang ayah dalam perumpamaan Yesus, Yehuwa seolah-olah ’mengamat-amati jalan setapak’ itu. Ia sangat mengharapkan kepulangan siapa pun yang telah meninggalkan rumah tangga-Nya. Bukankah hal ini yang kita harapkan dari seorang ayah yang pengasih?—Mazmur 103:13.
20, 21. (a) Dengan cara bagaimana banyak orang dewasa ini ditarik oleh belas kasihan Allah? (b) Apakah yang akan dibahas pada artikel berikutnya?
20 Setiap tahun, belas kasihan Yehuwa menarik banyak orang untuk sadar dan kembali ke ibadat sejati. Betapa besar sukacita yang dirasakan oleh orang-orang yang mereka kasihi! Misalnya, perhatikan ayah Kristen yang disebutkan di permulaan. Syukurlah, putrinya memulihkan diri secara rohani dan kini melayani sebagai rohaniwan sepenuh waktu. ”Sayalah orang yang paling berbahagia di sistem perkara tua ini,” kata sang ayah. ”Air mata kesedihan telah berganti dengan air mata sukacita.” Pasti, Yehuwa juga bersukacita!—Amsal 27:11.
21 Tetapi, ada lebih banyak hal yang dapat kita pelajari dari perumpamaan si pemboros. Yesus melanjutkan kisahnya sehingga ia dapat memperbandingkan belas kasihan Yehuwa dengan pandangan yang kaku dan menghakimi yang terdapat di kalangan para penulis dan orang-orang Farisi. Bagaimana cara Yesus membuat perbandingan—dan apa artinya bagi kita—akan dibahas dalam artikel berikut.
[Catatan Kaki]
a Perumpamaan dan ilustrasi lainnya yang terdapat dalam Alkitab tidak selalu berupa kisah nyata. Lagi pula, karena tujuan cerita ini adalah untuk memberikan pelajaran moral, kita tidak perlu mencari padanan simbolis untuk setiap perincian.
b Makna nubuat perumpamaan ini dibahas dalam Menara Pengawal terbitan 15 Februari 1989 (bahasa Inggris), halaman 16, 17.
Pokok-Pokok Tinjauan
◻ Bagaimanakah sikap Yesus berkenaan dengan belas kasihan bertolak belakang dengan sikap orang-orang Farisi?
◻ Dewasa ini, siapakah yang seperti si pemboros, dan bagaimana?
◻ Keadaan-keadaan apakah yang membuat si pemboros sadar kembali?
◻ Bagaimanakah sang ayah memperlihatkan belas kasihan kepada putranya yang bertobat?
[Kotak di hlm. 11]
MEREKA SADAR KEMBALI
Apa yang telah membantu beberapa orang yang pernah dipecat dari sidang Kristen untuk sadar kembali? Komentar-komentar berikut ini memberi penerangan atas masalahnya.
”Di lubuk hati ini, saya masih tahu di mana kebenaran berada. Telah bertahun-tahun saya belajar Alkitab dan menghadiri perhimpunan Kristen, dan hal itu meninggalkan kesan yang dalam pada diri saya. Bagaimana mungkin saya berpaling dari Yehuwa lebih lama lagi? Ia tidak pernah meninggalkan saya; justru sayalah yang meninggalkan-Nya. Akhirnya, saya mengakui betapa bersalah dan keras kepalanya saya dan bahwa Firman Yehuwa-lah yang selalu terbukti benar—’kita menuai apa yang kita tabur’.”—C.W.
”Putri kecil saya mulai belajar berbicara, dan betapa pedihnya hati saya karena saya ingin mengajarinya hal-hal seperti siapakah Yehuwa dan cara berdoa kepada-Nya. Saya tidak dapat tidur, dan pada suatu malam, saya mengendarai mobil ke sebuah taman dan menangis. Saya menangis, dan berdoa kepada Yehuwa setelah sekian lama tidak pernah berdoa kepada-Nya. Saya benar-benar membutuhkan Yehuwa kembali dalam hidup saya dan berharap agar Ia sudi mengampuni saya.”—G.H.
”Bila percakapan mulai mengarah ke soal agama, saya selalu mengatakan kepada orang-orang bahwa seandainya saya harus memilih agama yang mengajarkan kebenaran, saya harus menjadi salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa. Kemudian, saya selalu mengatakan bahwa saya pernah menjadi seorang Saksi-Saksi Yehuwa, namun saya tidak sanggup menjalani kehidupan sebagai seorang Saksi-Saksi Yehuwa, sehingga saya mengundurkan diri. Sewaktu menyadari hal ini, saya sering merasa bersalah dan sedih. Akhirnya, saya mengakui, ’Hidup saya benar-benar sengsara. Saya harus melakukan beberapa perubahan drastis’.”—C.N.
”Tiga puluh lima tahun yang lalu, saya dan suami saya dipecat. Kemudian, pada tahun 1991, kami mendapat kejutan yang menyenangkan yakni kunjungan dua penatua yang memberi tahu kami mengenai kemungkinan untuk kembali kepada Yehuwa. Enam bulan kemudian, kami sangat bersukacita karena telah diterima kembali. Suami saya berusia 79 tahun dan saya berusia 63 tahun.”—C.A.