PASAL TIGA
Dua Kunci untuk Perkawinan yang Langgeng
1, 2. (a) Perkawinan dirancang untuk berlangsung sampai berapa lama? (b) Bagaimana hal ini mungkin?
PADA waktu Allah mempersatukan pria dan wanita yang pertama dalam perkawinan, tidak ada petunjuk bahwa persatuan itu hanya akan berlangsung sementara. Adam dan Hawa akan terus bersama-sama seumur hidup. (Kejadian 2:24) Standar Allah untuk perkawinan yang terhormat adalah dipersatukannya seorang pria dan seorang wanita. Hanya perbuatan seksual yang amoral di salah satu pihak atau keduanya yang menyediakan dasar Alkitab untuk bercerai dengan kemungkinan menikah kembali.—Matius 5:32.
2 Mungkinkah dua pribadi hidup bersama dengan berbahagia untuk waktu yang tidak terbatas panjangnya? Ya, dan Alkitab menunjukkan dua faktor, atau kunci yang sangat penting, yang membantu hal ini dapat terwujud. Jika suami maupun istri menggunakan kunci-kunci ini, mereka akan membuka pintu kepada kebahagiaan dan banyak berkat. Apa kunci-kunci ini?
KUNCI PERTAMA
3. Tiga jenis kasih apa yang hendaknya diperkembangkan oleh suami dan istri?
3 Kunci pertama adalah kasih. Menarik, ada beberapa jenis kasih yang ditunjukkan dalam Alkitab. Yang pertama adalah kasih sayang yang bersifat pribadi dan hangat terhadap seseorang, jenis kasih yang ada di antara sahabat akrab. (Yohanes 11:3) Yang lain adalah kasih yang tumbuh di antara anggota keluarga. (Roma 12:10) Yang ketiga adalah kasih romantis yang dapat seseorang miliki bagi salah seorang dari lawan jenisnya. (Amsal 5:15-20) Tentu saja, semua kasih ini hendaknya diperkembangkan oleh suami dan istri. Namun, ada jenis kasih yang keempat, yang lebih penting daripada yang lainnya.
4. Apa jenis kasih yang keempat?
4 Dalam bahasa asli dari Kitab-Kitab Yunani Kristen, kata untuk jenis kasih yang keempat ini adalah a·gaʹpe. Kata tersebut digunakan di 1 Yohanes 4:8, yang memberi tahu kita, ”Allah adalah kasih.” Sesungguhnya, ”kita mengasihi, karena [Allah] yang pertama-tama mengasihi kita”. (1 Yohanes 4:19) Seorang Kristen memperkembangkan kasih seperti itu pertama-tama kepada Allah Yehuwa dan kemudian kepada sesama manusia. (Markus 12:29-31) Kata a·gaʹpe juga digunakan di Efesus 5:2, yang menyatakan, ”Teruslah berjalan dalam kasih, sebagaimana Kristus juga mengasihi kamu dan menyerahkan dirinya demi kamu.” Yesus mengatakan bahwa jenis kasih ini akan menjadi ciri dari para pengikutnya yang sejati, ”Dengan inilah semua akan mengetahui bahwa kamu adalah murid-muridku, jika kamu mempunyai kasih [a·gaʹpe] di antara kamu sendiri.” (Yohanes 13:35) Perhatikan juga penggunaan a·gaʹpe di 1 Korintus 13:13, ”Tinggal iman, harapan, kasih, ketiga hal ini; namun yang terbesar di antaranya ialah kasih [a·gaʹpe].”
5, 6. (a) Mengapa kasih lebih besar daripada iman dan harapan? (b) Apa beberapa alasan mengapa kasih akan membantu langgengnya perkawinan?
5 Apa yang membuat kasih a·gaʹpe ini lebih besar daripada iman dan harapan? Kasih ini dikendalikan oleh prinsip-prinsip—prinsip-prinsip yang benar—terdapat dalam Firman Allah. (Mazmur 119:105) Ini adalah perhatian yang tidak mementingkan diri untuk berbuat kepada orang lain apa yang benar dan baik dari sudut pandangan Allah, tidak soal si penerima kelihatannya layak mendapatkannya atau tidak. Kasih demikian membuat suami dan istri dapat mengikuti nasihat Alkitab, ”Teruslah bertahan dengan sabar menghadapi satu sama lain dan ampuni satu sama lain dengan lapang hati jika seseorang mempunyai alasan untuk mengeluh terhadap yang lain. Sama seperti Yehuwa dengan lapang hati mengampunimu, demikianlah kamu lakukan juga.” (Kolose 3:13) Pasangan suami-istri yang penuh kasih memiliki dan memperkembangkan ”kasih [a·gaʹpe] yang sangat kuat terhadap satu sama lain, karena kasih menutupi banyak sekali dosa”. (1 Petrus 4:8) Perhatikan bahwa kasih menutupi kesalahan. Kasih tidak menghapus kesalahan, karena mustahil manusia yang tidak sempurna dapat bebas dari kekeliruan.—Mazmur 130:3, 4; Yakobus 3:2.
6 Jika kasih kepada Allah dan kepada satu sama lain tersebut diperkembangkan oleh sepasang suami-istri, perkawinan mereka akan langgeng dan bahagia, karena ”kasih tidak pernah berkesudahan”. (1 Korintus 13:8) Kasih adalah ”ikatan pemersatu yang sempurna”. (Kolose 3:14) Jika saudara sudah menikah, bagaimana saudara dan teman hidup saudara dapat memperkembangkan jenis kasih ini? Bacalah Firman Allah bersama-sama, dan bicarakanlah. Pelajarilah teladan kasih Yesus dan cobalah meniru dia, untuk berpikir dan bertindak seperti dia. Selain itu, hadirilah perhimpunan-perhimpunan Kristen, tempat Firman Allah diajarkan. Dan berdoalah meminta bantuan Allah untuk memperkembangkan jenis kasih yang tinggi ini, yang adalah buah dari roh kudus Allah.—Amsal 3:5, 6; Yohanes 17:3; Galatia 5:22; Ibrani 10:24, 25.
KUNCI KEDUA
7. Apakah respek itu, dan siapa yang hendaknya memperlihatkan respek dalam perkawinan?
7 Jika dua orang yang menikah benar-benar saling mengasihi, maka mereka juga akan memiliki respek kepada satu sama lain, dan respek adalah kunci kedua menuju perkawinan yang bahagia. Respek didefinisikan sebagai ”mempertimbangkan orang lain, menghormati mereka”. Firman Allah memberi nasihat kepada semua orang Kristen, termasuk suami dan istri, ”Dalam memperlihatkan hormat kepada satu sama lain ambillah pimpinan.” (Roma 12:10) Rasul Petrus menulis, ”Kamu suami-suami, teruslah tinggal bersama [istrimu] dengan cara yang sama sesuai dengan pengetahuan, menetapkan kehormatan kepada mereka seperti kepada bejana yang lebih lemah, yang feminin.” (1 Petrus 3:7) Istri dinasihatkan untuk ”memiliki respek yang dalam kepada suaminya”. (Efesus 5:33) Apabila saudara ingin menghormati seseorang, saudara akan ramah terhadap orang tersebut, penuh respek akan martabat dan pandangan-pandangan yang dikemukakannya, dan siap memenuhi permintaan apa pun yang masuk akal yang diajukan kepada saudara.
8-10. Dengan beberapa cara apa respek akan membantu menjadikan ikatan perkawinan stabil dan bahagia?
8 Mereka yang ingin menikmati perkawinan yang bahagia memperlihatkan respek kepada teman hidup mereka dengan ”menaruh perhatian, bukan dengan minat pribadi kepada persoalan [mereka] sendiri saja, tetapi juga dengan minat pribadi kepada persoalan [teman hidup mereka]”. (Filipi 2:4) Mereka tidak memikirkan apa yang baik untuk diri mereka saja—yang adalah mementingkan diri. Sebaliknya, mereka memikirkan apa yang terbaik untuk teman hidup mereka juga. Sesungguhnya, mereka akan memprioritaskannya.
9 Respek akan membantu pasangan suami-istri untuk mengakui adanya perbedaan sudut pandangan. Tidak masuk akal untuk mengharapkan dua orang mempunyai pandangan yang persis sama berkenaan segala sesuatu. Apa yang mungkin penting bagi suami belum tentu sama pentingnya bagi istri, dan apa yang disukai istri belum tentu disukai suami. Tetapi masing-masing harus merespek pandangan dan pilihan pihak yang lain, sepanjang hal-hal ini berada dalam batas-batas hukum dan prinsip Yehuwa. (1 Petrus 2:16; bandingkan Filemon 14.) Selanjutnya, masing-masing harus merespek martabat pihak yang lain dengan tidak menjadikan dia objek dari komentar-komentar atau lelucon yang merendahkan, tidak soal di depan umum atau sendirian.
10 Ya, kasih kepada Allah dan kepada satu sama lain serta saling merespek adalah dua kunci yang sangat penting untuk perkawinan yang sukses. Bagaimana ini dapat diterapkan dalam beberapa bidang yang lebih penting dalam kehidupan perkawinan?
KEKEPALAAN SEPERTI KRISTUS
11. Berdasarkan Alkitab, siapa kepala dalam sebuah perkawinan?
11 Alkitab memberi tahu kita bahwa pria diciptakan dengan sifat-sifat yang akan menjadikan dia kepala keluarga yang sukses. Sebagai kepala, pria akan bertanggung jawab di hadapan Yehuwa atas kesejahteraan rohani dan jasmani dari istri dan anak-anaknya. Ia harus membuat keputusan yang seimbang yang mencerminkan kehendak Yehuwa dan menjadi teladan dari tingkah laku yang saleh. ”Hendaklah istri-istri tunduk kepada suami mereka sebagaimana kepada Tuan, karena suami adalah kepala atas istrinya sebagaimana Kristus juga adalah kepala atas sidang jemaat.” (Efesus 5:22, 23) Akan tetapi, Alkitab mengatakan bahwa suami juga memiliki seorang kepala, Pribadi yang berkuasa atas dia. Rasul Paulus menulis, ”Aku ingin kamu mengetahui bahwa kepala dari setiap pria adalah Kristus; selanjutnya kepala dari seorang wanita adalah pria; selanjutnya kepala dari Kristus adalah Allah.” (1 Korintus 11:3) Suami yang bijaksana belajar caranya menjalankan kekepalaan dengan meniru kepalanya sendiri, Kristus Yesus.
12. Teladan apa yang Yesus berikan sehubungan memperlihatkan ketundukan dan menjalankan kekepalaan?
12 Yesus juga memiliki kepala, Yehuwa, dan ia dengan sepatutnya tunduk kepada-Nya. Yesus mengatakan, ”Aku mencari, bukan kehendakku sendiri, tetapi kehendak dia yang mengutus aku.” (Yohanes 5:30) Benar-benar contoh yang bagus! Yesus adalah ”yang sulung dari semua ciptaan”. (Kolose 1:15) Ia menjadi Mesias. Ia akan menjadi Kepala dari sidang orang-orang Kristen terurap dan Raja yang dipilih untuk Kerajaan Allah, lebih tinggi daripada semua malaikat. (Filipi 2:9-11; Ibrani 1:4) Meskipun memiliki kedudukan yang tinggi dan prospek yang mulia demikian, sebagai pria Yesus tidak kasar, keras kepala, atau terlalu menuntut. Ia bukan penguasa yang lalim, yang terus-menerus mengingatkan para muridnya bahwa mereka harus menaati dia. Yesus pengasih dan penuh belas kasihan, teristimewa kepada mereka yang berbeban berat. Ia mengatakan, ”Marilah kepadaku, kamu semua yang berjerih lelah dan mempunyai tanggungan berat, dan aku akan menyegarkan kamu. Ambillah kuk aku atas kamu dan belajarlah dariku, karena aku berwatak lemah lembut dan rendah hati, dan kamu akan menemukan kesegaran bagi jiwamu. Karena kuk aku menyenangkan dan tanggunganku ringan.” (Matius 11:28-30) Betapa menyenangkan berada bersama dia.
13, 14. Bagaimana suami yang pengasih akan menjalankan kekepalaannya, dengan meniru Yesus?
13 Suami yang mendambakan kehidupan keluarga yang bahagia ada baiknya mempertimbangkan sifat-sifat Yesus yang bagus. Suami yang baik tidak kasar dan diktatoris, menyalahgunakan kekepalaannya sebagai pentung untuk menggertak istrinya. Sebaliknya, ia mengasihi dan menghormati dia. Jika Yesus ”rendah hati”, maka suami memiliki lebih banyak alasan untuk rendah hati karena, tidak seperti Yesus, ia melakukan kesalahan. Apabila ia melakukan kesalahan, ia menginginkan pengertian istrinya. Oleh karena itu, suami yang rendah hati mengakui kesalahannya, walaupun kata-kata, ”Maaf; kamu benar,” mungkin sulit untuk diucapkan. Istri akan lebih mudah merespek kekepalaan dari suami yang bersahaja dan rendah hati daripada suami yang sombong dan keras kepala. Di lain pihak, istri yang penuh respek juga akan meminta maaf apabila ia bersalah.
14 Allah menciptakan wanita dengan sifat-sifat yang baik agar ia dapat menggunakannya untuk menyumbang kepada perkawinan yang bahagia. Suami yang bijaksana akan mengakui hal ini dan tidak akan menghalangi dia. Banyak wanita cenderung memiliki belas kasihan dan kepekaan yang lebih besar, sifat-sifat yang diperlukan untuk mengurus keluarga dan untuk membina hubungan antarmanusia. Biasanya, wanita cukup ahli menata rumahnya menjadi tempat yang menyenangkan untuk dihuni. ”Isteri yang cakap” yang dilukiskan di Amsal pasal 31 memiliki banyak sifat yang sangat bagus serta kesanggupan yang sangat baik, dan keluarganya benar-benar mendapatkan faedah karenanya. Mengapa? Karena hati suaminya ”percaya” kepadanya.—Amsal 31:10, 11.
15. Bagaimana suami dapat memperlihatkan kasih dan respek yang seperti Kristus kepada istrinya?
15 Dalam beberapa kebudayaan, wewenang suami terlalu dilebih-lebihkan, sehingga bahkan mengajukan pertanyaan kepadanya sudah dianggap tidak respek. Ia dapat memperlakukan istrinya hampir seperti budak. Dijalankannya kekepalaan dengan cara yang salah demikian mengakibatkan hubungan yang buruk tidak saja dengan istrinya tetapi juga dengan Allah. (Bandingkan 1 Yohanes 4:20, 21.) Di lain pihak, ada suami yang lalai untuk mengambil pimpinan, membiarkan istri mereka mendominasi rumah tangga. Suami yang dengan sepatutnya tunduk kepada Kristus tidak mengeksploitasi istrinya atau merampas martabatnya. Sebaliknya, ia meniru kasih yang rela berkorban dari Yesus dan melakukan seperti yang dinasihatkan Paulus, ”Suami-suami, teruslah kasihi istrimu, sebagaimana Kristus juga mengasihi sidang jemaat dan menyerahkan dirinya sendiri baginya.” (Efesus 5:25) Kristus Yesus sangat mengasihi para pengikutnya sehingga ia mati demi mereka. Suami yang baik akan berupaya meniru sikap yang tidak mementingkan diri itu, mengupayakan yang baik bagi istrinya, sebaliknya daripada bersikap menuntut kepadanya. Apabila suami tunduk kepada Kristus dan mempertunjukkan kasih dan respek seperti Kristus, istrinya akan dimotivasi untuk menundukkan diri kepadanya.—Efesus 5:28, 29, 33.
KETUNDUKAN ISTRI
16. Sifat-sifat apa yang hendaknya dipertunjukkan istri dalam hubungannya dengan suaminya?
16 Beberapa saat setelah Adam diciptakan, ”[Yehuwa] Allah berfirman: ’Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia [”sebagai pelengkap baginya”, NW].’” (Kejadian 2:18) Allah menciptakan Hawa sebagai ”pelengkap”, bukan sebagai pesaing. Perkawinan seharusnya bukan seperti kapal yang memiliki dua kapten yang bersaingan. Suami harus menjalankan kekepalaan yang pengasih, dan istri harus menyatakan kasih, respek, dan ketundukan yang rela.
17, 18. Dengan cara apa saja istri dapat benar-benar menjadi penolong bagi suaminya?
17 Akan tetapi, istri yang baik tidak hanya tunduk semata-mata. Ia berupaya untuk benar-benar menjadi penolong, mendukung suaminya dalam keputusan-keputusan yang ia ambil. Tentu saja, akan lebih mudah baginya jika ia menyetujui keputusan sang suami. Tetapi sekalipun ia tidak menyetujuinya, dukungannya yang aktif dapat membantu keputusan suami menjadi lebih berhasil.
18 Istri dapat membantu suaminya untuk menjadi kepala yang baik dengan cara-cara lain. Ia dapat menyatakan penghargaan atas upaya suaminya untuk memimpin, sebaliknya daripada mengkritik dia atau membuatnya merasa bahwa dia tidak akan pernah dapat memuaskan istrinya. Pada waktu berurusan dengan suaminya dengan cara yang positif, ia hendaknya ingat bahwa ”roh yang senyap dan lemah lembut . . . sangat bernilai di mata Allah”, bukan saja di mata suaminya. (1 Petrus 3:3, 4; Kolose 3:12) Bagaimana jika suaminya tidak seiman? Tidak soal seiman atau tidak, Alkitab menganjurkan para istri ”untuk mengasihi suami mereka, untuk mengasihi anak-anak mereka, untuk menjadi sehat dalam pikiran, murni, pekerja-pekerja di rumah, baik, menundukkan diri mereka kepada suami mereka sendiri, agar firman Allah jangan dicaci”. (Titus 2:4, 5) Jika timbul persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hati nurani, suami yang tidak seiman lebih besar kemungkinannya untuk merespek kedudukan istrinya apabila hal tersebut dikemukakan dengan ”watak yang lemah lembut dan respek yang dalam”. Beberapa suami yang tidak seiman telah ”dimenangkan tanpa perkataan melalui tingkah laku istri mereka, karena telah menjadi saksi mata dari tingkah laku [mereka] yang murni disertai respek yang dalam”.—1 Petrus 3:1, 2, 15; 1 Korintus 7:13-16.
19. Bagaimana jika suami meminta istrinya melanggar hukum Allah?
19 Bagaimana jika suami meminta istrinya melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah? Jika itu terjadi, sang istri harus ingat bahwa Allah adalah Penguasanya yang utama. Ia akan meniru teladan dari apa yang dilakukan oleh para rasul ketika mereka diminta oleh kalangan berwenang untuk melanggar hukum Allah. Kisah 5:29 menceritakan, ”Petrus dan rasul-rasul yang lain mengatakan, ’Kita harus menaati Allah sebagai penguasa sebaliknya daripada manusia.’”
KOMUNIKASI YANG BAIK
20. Dalam bidang yang sangat penting apa kasih dan respek merupakan hal yang penting?
20 Kasih dan respek penting bagi bidang lain dari perkawinan—komunikasi. Suami yang pengasih akan bercakap-cakap dengan istrinya tentang kegiatan, problem, dan pandangan istrinya berkenaan berbagai persoalan. Istri membutuhkan hal ini. Suami yang menyisihkan waktu untuk berbicara dengan istrinya dan benar-benar mendengarkan apa yang ia katakan mempertunjukkan kasih dan respeknya kepada sang istri. (Yakobus 1:19) Ada istri-istri yang mengeluh bahwa suami mereka jarang sekali bercakap-cakap dengan mereka. Hal itu sungguh menyedihkan. Memang, pada zaman yang sibuk ini, suami mungkin bekerja untuk waktu yang panjang di luar rumah, dan keadaan ekonomi dapat mengakibatkan beberapa istri bekerja juga. Tetapi sepasang suami-istri perlu menyisihkan waktu untuk satu sama lain. Kalau tidak, mereka bisa menjadi tidak bergantung kepada satu sama lain. Hal ini dapat mengakibatkan problem-problem serius jika mereka merasa terpaksa mencari teman yang simpatik di luar penyelenggaraan perkawinan.
21. Bagaimana tutur kata yang baik akan membantu terpeliharanya kebahagiaan perkawinan?
21 Caranya suami dan istri berkomunikasi penting. ”Perkataan yang menyenangkan . . . manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang.” (Amsal 16:24) Tidak soal teman hidup seiman atau tidak, nasihat Alkitab berlaku, ”Hendaklah ucapanmu selalu disertai kemurahan hati, dibumbui dengan garam”, yaitu, yang menyenangkan. (Kolose 4:6) Pada waktu seseorang mengalami suatu hari yang sulit, maka beberapa patah kata yang ramah dan simpatik dari teman hidup akan banyak manfaatnya. ”Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.” (Amsal 25:11) Nada suara dan pilihan kata-kata juga sangat penting. Sebagai contoh, dengan cara yang mengesalkan dan menuntut, yang seorang mungkin mengatakan kepada yang lain, ”Tutup pintunya!” Tetapi betapa jauh lebih ”dibumbui dengan garam”, kata-kata yang diucapkan dengan suara yang tenang dan penuh pengertian, ”Boleh tolong tutup pintunya?”
22. Sikap apa yang diperlukan suami dan istri agar dapat memelihara komunikasi yang baik?
22 Komunikasi yang baik tumbuh subur jika terdapat kata-kata yang diucapkan dengan lembut, pandangan dan isyarat yang ramah, kebaikan hati, pengertian, dan kelembutan. Dengan berupaya keras untuk memelihara komunikasi yang baik, suami maupun istri akan merasa bebas untuk menyatakan kebutuhan mereka, dan mereka dapat menjadi sumber penghiburan dan bantuan bagi satu sama lain pada waktu mengalami kekecewaan dan stres. ”Berbicaralah dengan cara yang menghibur kepada jiwa-jiwa yang masygul,” Firman Allah mendesak. (1 Tesalonika 5:14) Akan ada saatnya ketika suami yang merasa kecil hati namun saat lain istri yang merasa demikian. Mereka dapat ’berbicara dengan cara yang menghibur’, membina satu sama lain.—Roma 15:2.
23, 24. Bagaimana kasih dan respek akan membantu pada waktu terdapat ketidaksepakatan? Berikan sebuah contoh.
23 Suami dan istri yang menyatakan kasih dan respek tidak akan memandang setiap ketidaksepakatan sebagai problem yang berat. Mereka akan berjuang agar tidak ”marah dengan pahit” kepada satu sama lain. (Kolose 3:19) Keduanya harus mengingat bahwa ”jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman”. (Amsal 15:1) Berhati-hatilah agar jangan meremehkan atau menyalahkan teman hidup yang mencurahkan perasaan-perasaannya yang dalam. Sebaliknya, anggaplah pernyataan-pernyataan seperti itu sebagai kesempatan untuk memahami sudut pandangannya. Bersama-sama, cobalah untuk membahas perbedaan-perbedaan dan mencapai kesimpulan yang harmonis.
24 Ingatlah kembali peristiwa ketika Sara menyarankan kepada Abraham, suaminya, jalan keluar untuk suatu problem tertentu dan ini tidak sejalan dengan perasaan Abraham. Namun, Allah memberi tahu Abraham, ”Haruslah engkau mendengarkannya.” (Kejadian 21:9-12) Abraham melakukannya, dan ia diberkati. Demikian pula, jika istri menyarankan sesuatu yang berbeda dari apa yang dipikirkan suaminya, sang suami hendaknya paling tidak mendengarkan. Pada waktu yang sama, istri tidak boleh mendominasi percakapan tetapi hendaknya mendengarkan apa yang dikatakan oleh suaminya. (Amsal 25:24) Karena suami ataupun istri yang selalu berkeras akan caranya sendiri tidak bersifat pengasih dan tidak menaruh respek.
25. Bagaimana komunikasi yang baik akan menyumbang kepada kebahagiaan dalam aspek-aspek yang intim dari kehidupan perkawinan?
25 Komunikasi yang baik juga penting dalam hubungan seksual suatu pasangan. Pementingan diri dan kurangnya pengendalian diri dapat sangat merusak hubungan yang paling intim dalam perkawinan ini. Komunikasi yang terbuka, disertai kesabaran adalah penting. Apabila masing-masing mengupayakan kesenangan dari yang lain tanpa mementingkan diri, seks jarang sekali menjadi problem yang serius. Dalam hal ini sebagaimana juga dalam perkara-perkara lain, ”hendaklah masing-masing terus mencari, bukan keuntungannya sendiri, melainkan keuntungan orang lain”.—1 Korintus 7:3-5; 10:24.
26. Walaupun setiap perkawinan akan mengalami pasang surutnya, bagaimana mendengarkan Firman Allah akan membantu pasangan suami-istri untuk mendapatkan kebahagiaan?
26 Betapa bagus nasihat yang Firman Allah berikan! Memang, setiap perkawinan akan mengalami pasang surutnya. Tetapi apabila suami dan istri menundukkan diri kepada pemikiran Yehuwa, seperti yang disingkapkan dalam Alkitab, dan mendasarkan hubungan mereka atas kasih dan respek, mereka dapat yakin bahwa perkawinan mereka akan langgeng dan bahagia. Dengan demikian, mereka tidak saja menghormati satu sama lain tetapi juga menghormati Pemula perkawinan, Allah Yehuwa.