MUKJIZAT
Peristiwa yang membangkitkan kekaguman atau perasaan tercengang; kejadian di dunia fisik yang mengungguli semua kekuatan manusia atau alam yang diketahui sehingga dianggap berasal dari pribadi adikodrati. Dalam Kitab-Kitab Ibrani, kata moh·fethʹ, yang kadang-kadang diterjemahkan ”mukjizat”, juga berarti ”pertanda”, ”keajaiban”, dan ”tanda”. (Ul 28:46; 1Taw 16:12, Rbi8, ctk.) Kata ini sering kali digunakan bersama kata Ibrani ʼohth, yang artinya ”tanda”.—Ul 4:34.
Dalam Kitab-Kitab Yunani, kata dyʹna·mis, ”kuasa”, diterjemahkan menjadi ”perbuatan-perbuatan yang penuh kuasa”, ’kesanggupan’, ”mukjizat”.—Mat 25:15; Luk 6:19; 1Kor 12:10, TB, AT, KJ, NW, RS.
Sebuah mukjizat tampak memukau dan berada di luar kesanggupan si pengamat untuk melakukan atau bahkan untuk memahaminya sepenuhnya. Mukjizat juga adalah perbuatan yang penuh kuasa, menuntut kuasa atau pengetahuan melebihi yang dimiliki si pengamat. Tetapi dari sudut pandangan pribadi yang menjadi sumber kuasa tersebut, hal itu bukanlah mukjizat. Ia memahaminya dan sanggup melakukannya. Jadi, banyak tindakan yang Allah lakukan memukau bagi manusia yang melihatnya tetapi sebenarnya semata-mata pernyataan kuasa-Nya. Jika seseorang percaya kepada suatu pribadi ilahi, khususnya Allah pencipta, ia tidak dapat secara konsisten menyangkal kuasa Allah untuk melakukan hal-hal yang membangkitkan rasa takjub di mata manusia.—Rm 1:20; lihat KUASA; PEKERJAAN PENUH KUASA.
Apakah mukjizat seiring sejalan dengan hukum alam?
Melalui penelitian dan pengamatan, para peneliti telah mengidentifikasi berbagai hal yang bekerja secara seragam di alam semesta dan telah mengenali hukum-hukum yang meliputi keseragaman semacam itu dalam fenomena alam. Salah satunya adalah ’hukum gravitasi’. Para ilmuwan mengakui kerumitan dan sekaligus keterandalan hukum-hukum ini, dan dengan menyebutnya ”hukum”, menyiratkan keberadaan Pribadi yang memberlakukan hukum-hukum itu. Orang skeptis memandang mukjizat sebagai penyimpangan dari hukum-hukum yang mereka anggap alami, tidak dapat dibatalkan, tidak tergoyahkan; oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa mukjizat tidak pernah terjadi. Hendaknya diingat bahwa bagi mereka, jika sesuatu tidak dapat dipahami dan dijelaskan kepada kita sejauh pemahaman kita terhadap hukum-hukum ini, hal itu tidak dapat terjadi.
Namun, para ilmuwan yang cakap semakin berhati-hati untuk mengatakan bahwa sesuatu itu mustahil. Profesor John R. Brobeck dari University of Pennsylvania menyatakan, ”Seorang ilmuwan tidak dapat lagi mengatakan dengan jujur bahwa sesuatu itu mustahil. Ia hanya dapat mengatakan bahwa itu sukar dipercaya. Tetapi ia bisa mengatakan bahwa sesuatu itu mustahil untuk dijelaskan berdasarkan pengetahuan kita saat ini. Sains tidak dapat mengatakan bahwa semua sifat materi dan semua bentuk energi sudah diketahui. . . . [Mengenai mukjizat] satu hal yang perlu ditambahkan adalah sumber energi yang tidak kita ketahui dalam ilmu biologi dan fisiologi kita. Dalam Alkitab kita, sumber energi ini diidentifikasi sebagai kuasa Allah.” (Time, 4 Juli 1955) Sejak pernyataan ini dibuat, perkembangan ilmiah lebih lanjut telah semakin menandaskannya.
Para ilmuwan tidak sepenuhnya memahami sifat-sifat panas, cahaya, reaksi atom dan nuklir, listrik, atau bentuk materi mana pun bahkan di bawah kondisi normal. Terlebih lagi mereka tidak memahami sifat-sifat ini di bawah kondisi yang tidak biasa atau tidak normal. Misalnya, belum lama ini diadakan penelitian ekstensif di bawah kondisi yang luar biasa dingin, tetapi dalam waktu yang singkat ini, telah diamati banyak reaksi aneh pada unsur-unsur tersebut. Timbal, yang bukan penghantar listrik yang ideal, sewaktu dicelupkan ke dalam helium cair yang didinginkan hingga temperatur −271° C anehnya menjadi superkonduktor dan elektromagnet yang sangat kuat sewaktu sebatang magnet diletakkan di dekatnya. Pada temperatur superdingin tersebut, helium sendiri tampaknya melawan hukum gravitasi dengan perlahan-lahan naik pada sisi gelas percobaan dan melewati bibirnya, meluber keluar dari wadahnya.—Matter, Life Science Library, 1963, hlm. 68, 69.
Ini hanyalah satu dari banyak temuan yang memukau para ilmuwan, yang tampaknya memutarbalikkan gagasan mereka sebelumnya. Kalau begitu, bagaimana dapat dikatakan bahwa Allah melanggar hukum-Nya sendiri dengan mengadakan perbuatan penuh kuasa yang tampak menakjubkan dan seperti mukjizat bagi manusia? Pastilah Pencipta alam semesta dapat sepenuhnya mengendalikan apa yang Ia ciptakan dan dapat memanuver hal-hal ini dalam kerangka hukum yang Ia tanamkan di dalamnya. (Ayb 38) Ia dapat mewujudkan kondisi yang diperlukan untuk melakukan perbuatan-perbuatan ini; Ia dapat mempercepat, memperlambat, memodifikasi, atau menetralkan reaksi-reaksi. Atau para malaikat, dengan kuasa melebihi kuasa manusia, dapat melakukannya sewaktu melaksanakan kehendak Yehuwa.—Kel 3:2; Mz 78:44-49.
Pastilah, ilmuwan tidak melampaui hukum-hukum fisik sewaktu meningkatkan atau menurunkan suhu, menambahkan oksigen, dan sebagainya, untuk mempercepat atau memperlambat suatu proses kimia. Meskipun demikian, orang-orang skeptis mempertanyakan mukjizat Alkitab, termasuk ”mukjizat” penciptaan. Orang-orang tersebut seolah-olah menegaskan bahwa mereka mengenal baik semua kondisi dan proses yang pernah terjadi. Mereka berkeras bahwa kegiatan sang Pencipta harus dibatasi oleh sempitnya pemahaman mereka akan hukum-hukum yang mengendalikan hal-hal fisik.
Kelemahan di pihak para ilmuwan ini diakui oleh seorang profesor fisika plasma asal Swedia yang menyatakan, ”Tidak seorang pun mempertanyakan ketaatan atmosfer bumi pada hukum-hukum mekanika dan fisika atom. Demikian pula, akan luar biasa sulit bagi kita untuk mencari tahu bagaimana hukum-hukum ini beroperasi di bawah situasi apa pun yang berkaitan dengan fenomena atmosferis.” (Worlds-Antiworlds, karya H. Alfvén, 1966, hlm. 5) Sang profesor menerapkan gagasan ini pada asal mula alam semesta. Allah menetapkan hukum-hukum fisik yang mengatur bumi, matahari, dan bulan, dan dalam kerangka hukum-hukum itu, manusia sanggup melakukan hal-hal yang mengagumkan. Pastilah, Allah dapat menggunakan hukum-hukum itu untuk menghasilkan sesuatu di luar dugaan manusia; tidak ada masalah bagi-Nya untuk membelah L. Merah sehingga ”air merupakan dinding” di kedua sisinya. (Kel 14:22) Meskipun bagi manusia berjalan di atas air adalah prestasi yang mencengangkan, betapa mudahnya hal itu dapat dicapai dengan kuasa ”Pribadi yang membentangkan langit seperti kasa halus, yang membentangkannya seperti kemah tempat tinggal”. Selanjutnya, Allah digambarkan menciptakan, dan memiliki kendali atas, semua benda langit, dan dikatakan bahwa ”karena energi dinamisnya yang berlimpah, dan kekuasaannya sangat besar, tidak satu pun dari mereka tidak hadir”.—Yes 40:21, 22, 25, 26.
Karena untuk mengakui keberadaan hukum, seperti hukum gravitasi, kita harus terlebih dahulu mengakui adanya pembuat hukum dengan kecerdasan dan kuasa yang unggul dan adimanusiawi, mengapa kita mempertanyakan kesanggupannya untuk melakukan hal-hal yang mengagumkan? Mengapa mencoba membatasi lingkup kerjanya dalam lingkup pengetahuan dan pengalaman manusia yang luar biasa sempitnya? Patriark Ayub melukiskan bahwa Allah seolah-olah membiarkan orang-orang ini pergi ke dalam kegelapan dan kebodohan karena mereka mengadu hikmat mereka dengan hikmat-Nya.—Ayb 12:16-25; bdk. Rm 1:18-23.
Keterpautan Allah pada Hukum Moral-Nya. Allah pencipta bukanlah Allah yang bertindak semaunya, melanggar hukum-hukum-Nya sendiri dengan seenaknya. (Mal 3:6) Fakta ini dapat terlihat dalam keterpautan Allah pada hukum moral-Nya, yang selaras dengan hukum fisik-Nya tetapi lebih unggul dan lebih mulia. Dalam keadilan, Ia tidak dapat membiarkan ketidakadilbenaran. ”Matamu terlalu murni untuk melihat apa yang buruk; dan memandang kesusahan engkau tidak dapat,” kata nabi-Nya. (Hab 1:13; Kel 34:7) Ia menyatakan hukum-Nya kepada Israel, ”Jiwa ganti jiwa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki.” (Ul 19:21) Sewaktu Ia ingin mengampuni orang tak berdaya, yang bertobat atas dosa yang menyebabkan kematian mereka, Allah harus memiliki dasar hukum guna berpaut pada hukum-Nya. (Rm 5:12; Mz 49:6-8) Ia terbukti berpaut erat pada hukum, sampai-sampai mengorbankan Putra satu-satunya yang diperanakkan sebagai tebusan bagi dosa umat manusia. (Mat 20:28) Rasul Paulus menandaskan bahwa, ”melalui kelepasan oleh tebusan yang dibayar oleh Kristus Yesus”, Yehuwa dapat ”mempertunjukkan keadilbenarannya . . . supaya ia adil-benar, yaitu pada waktu menyatakan adil-benar orang yang mempunyai iman kepada Yesus”. (Rm 3:24, 26) Jika kita memahami bahwa Allah, karena respek pada hukum moral-Nya, tidak menahan diri untuk mengorbankan Putra yang Ia kasihi, pastilah kita dapat bernalar bahwa Ia tidak pernah perlu ”melanggar” hukum fisik-Nya guna melakukan apa pun yang diinginkan dalam ciptaan fisik.
Bertentangan dengan Pengalaman Manusia? Sekadar menyatakan bahwa mukjizat tidak terjadi tidak membuktikan bahwa hal itu tidak terjadi. Peristiwa bersejarah apa pun yang dicatat mungkin dipertanyakan kebenarannya oleh seseorang yang hidup dewasa ini, karena ia tidak mengalaminya dan tidak ada saksi mata yang masih hidup untuk meneguhkan hal itu. Tetapi hal itu tidak mengubah fakta sejarah. Ada yang menolak catatan-catatan tentang mukjizat karena, kata mereka, hal itu bertentangan dengan pengalaman manusia, yakni pengalaman manusia yang mereka akui benar berdasarkan pengamatan, buku, dan sebagainya. Jika para ilmuwan benar-benar menerapkan pandangan ini, mereka akan mengadakan jauh lebih sedikit riset dan pengembangan terhadap hal-hal dan proses baru. Misalnya, mereka tidak akan melanjutkan riset untuk menyembuhkan penyakit yang ”tidak tersembuhkan”, atau untuk mengadakan perjalanan luar angkasa ke planet-planet atau bahkan lebih jauh di alam semesta. Tetapi mereka mengadakan penyelidikan dan adakalanya membawa umat manusia ke pengalaman-pengalaman yang sama sekali baru. Apa yang dicapai dewasa ini akan mencengangkan orang pada zaman dahulu, dan sebagian besar pengalaman sehari-hari yang biasa bagi manusia modern akan dipandang sebagai mukjizat oleh mereka.
Tidak ”Dijelaskan” dengan Logika. Beberapa penentang catatan Alkitab berpendapat bahwa mukjizat dalam Alkitab dapat dijelaskan secara ilmiah dan logis sebagai peristiwa alam biasa dan bahwa para penulis Alkitab hanya mengait-ngaitkan peristiwa ini dengan campur tangan Allah. Memang, peristiwa-peristiwa seperti gempa bumi digunakan. (1Sam 14:15, 16; Mat 27:51) Tetapi hal itu sendiri tidak membuktikan bahwa Allah tidak punya andil dalam peristiwa-peristiwa ini. Mengingat bahwa hal-hal itu saja sudah merupakan perbuatan penuh kuasa (misalnya, gempa bumi yang disebutkan sebelumnya), terlebih lagi jika ditinjau dari segi waktu, sangat kecil kemungkinan bahwa hal itu terjadi semata-mata secara kebetulan. Sebagai gambaran: Ada yang berpendapat bahwa manna yang disediakan bagi orang Israel dapat ditemukan di gurun berupa getah yang manis serta lengket pada pohon tamariska dan semak-semak. Bahkan seandainya sanggahan yang penuh keraguan ini benar, penyediaan manna bagi Israel itu masih merupakan mukjizat jika dilihat dari segi waktunya, karena tidak muncul di atas tanah pada hari ketujuh setiap minggu. (Kel 16:4, 5, 25-27) Selain itu, meskipun berbelatung dan berbau busuk jika disimpan hingga hari berikutnya, hal itu tidak terjadi sewaktu disimpan untuk dimakan pada hari Sabat. (Kel 16:20, 24) Dapat juga dikatakan bahwa uraian tentang manna ini sebagai getah yang keluar dari pohon-pohon tampaknya tidak sepenuhnya cocok dengan uraian Alkitab tentang manna. Manna dalam Alkitab ditemukan di atas tanah dan mencair di bawah panas matahari; manna dapat ditumbuk dalam lumpang, digiling dalam kilangan, direbus, atau dipanggang.—Kel 16:19-23; Bil 11:8; lihat MANNA.
Kredibilitas Kesaksian. Agama Kristen terjalin erat dengan mukjizat kebangkitan Yesus Kristus. (1Kor 15:16-19) Bukti bahwa mukjizat itu terjadi tidak lemah tetapi ampuh—ada lebih dari 500 saksi mata yang meneguhkan bahwa hal itu terjadi.—1Kor 15:3-8; Kis 2:32.
Motif orang-orang yang mempercayai mukjizat kebangkitan Yesus sebagai hal yang benar harus juga dipertimbangkan. Banyak orang telah mengalami penindasan dan kematian demi kepercayaan mereka—yang bersifat agama, politik, dan yang lainnya. Tetapi orang Kristen yang mengalami penderitaan tersebut tidak menerima keuntungan materi ataupun politik. Bukannya memperoleh kuasa, kekayaan, dan kedudukan terkemuka, mereka sering kali kehilangan semua hal ini. Mereka memberitakan kebangkitan Yesus, tetapi tidak menggunakan kekerasan dalam bentuk apa pun untuk menyebarkan kepercayaan mereka atau untuk membela diri. Dan seseorang yang membaca argumen mereka dapat melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang masuk akal, tidak fanatik. Mereka dengan pengasih mencoba membantu sesama mereka.
Karakteristik Mukjizat dalam Alkitab. Karakteristik yang patut diperhatikan dari mukjizat dalam Alkitab adalah sifatnya yang terbuka dan diketahui umum, kesederhanaannya, tujuan dan motifnya. Ada yang dilakukan secara pribadi atau di hadapan kelompok kecil (1Raj 17:19-24; Mrk 1:29-31; Kis 9:39-41), tetapi sering kali di hadapan umum, di depan ribuan atau bahkan jutaan pengamat. (Kel 14:21-31; 19:16-19) Pekerjaan Yesus dilakukan secara terbuka dan di hadapan umum—tidak ada yang dirahasiakan; dan ia menyembuhkan semua orang yang datang kepadanya, tidak gagal dengan dalih bahwa ada yang kurang beriman.—Mat 8:16; 9:35; 12:15.
Kesederhanaan menandai pengobatan yang bersifat mukjizat maupun kendali atas unsur-unsur alam. (Mrk 4:39; 5:25-29; 10:46-52) Kontras dengan prestasi ilmu gaib yang dicapai dengan peralatan khusus, penataan panggung, pencahayaan, dan ritual, mukjizat dalam Alkitab pada umumnya diadakan tanpa pertunjukan yang mencolok, sering kali sebagai tanggapan terhadap suatu pertemuan yang kebetulan, suatu permintaan, dan dilakukan di jalan umum atau tempat yang tidak dipersiapkan sebelumnya.—1Raj 13:3-6; Luk 7:11-15; Kis 28:3-6.
Motif orang yang mengadakan mukjizat tidak untuk menonjolkan diri secara egois atau memperkaya seseorang, tetapi terutama untuk memuliakan Allah. (Yoh 11:1-4, 15, 40) Mukjizat bukan tindakan misterius yang dilakukan sekadar untuk memuaskan keingintahuan dan membingungkan orang. Mukjizat selalu membantu orang lain, adakalanya secara langsung dalam segi jasmani dan selalu dalam segi rohani, memalingkan orang-orang ke ibadat sejati. Sebagaimana ”memberikan kesaksian tentang Yesus, itulah yang mengilhami penubuatan [”adalah roh nubuat”, Rbi8, ctk.]”, demikian pula, banyak mukjizat menunjukkan bahwa Yesus adalah pribadi yang diutus Allah.—Pny 19:10.
Mukjizat dalam Alkitab tidak hanya melibatkan benda-benda hidup, tetapi juga benda-benda mati, seperti menenangkan angin dan laut (Mat 8:24-27), menghentikan dan memulai hujan (1Raj 17:1-7; 18:41-45), dan mengubah air menjadi darah atau anggur (Kel 7:19-21; Yoh 2:1-11). Mukjizat juga mencakup segala macam penyembuhan jasmani, seperti kusta ”yang tidak dapat disembuhkan” (2Raj 5:1-14; Luk 17:11-19) dan kebutaan sejak lahir. (Yoh 9:1-7) Keanekaragaman mukjizat ini meneguhkan kredibilitas mukjizat sebagai perbuatan yang didukung sang Pencipta, karena masuk akal bahwa hanya sang Pencipta yang dapat mengerahkan pengaruh dalam semua bidang pengalaman manusia dan atas segala bentuk materi.
Tujuan dalam Sidang Kristen Masa Awal. Mukjizat memiliki sejumlah tujuan yang penting. Yang paling mendasar, mukjizat turut meneguhkan fakta bahwa seseorang menerima kuasa dan dukungan dari Allah. (Kel 4:1-9) Sehubungan dengan Musa maupun Yesus, orang-orang menarik kesimpulan yang tepat ini. (Kel 4:30, 31; Yoh 9:17, 31-33) Melalui Musa, Allah berjanji bahwa seorang nabi akan datang. Mukjizat Yesus membantu para pengamat mengidentifikasi dia sebagai nabi itu. (Ul 18:18; Yoh 6:14) Sewaktu Kekristenan masih muda, mukjizat bekerja bersama dengan beritanya untuk membantu orang-orang melihat bahwa Allah ada di balik Kekristenan dan telah berpaling dari sistem Yahudi sebelumnya. (Ibr 2:3, 4) Pada waktunya, karunia-karunia mukjizat yang ada pada abad pertama itu akan berlalu. Karunia-karunia itu hanya dibutuhkan saat sidang Kristen masih bayi.—1Kor 13:8-11.
Sewaktu membaca sejarah Kisah Para Rasul, kita melihat bahwa roh Yehuwa bekerja dengan perkasa dan cepat, membentuk sidang-sidang, membuat Kekristenan berdiri teguh. (Kis 4:4; psl. 13, 14, 16-19) Hanya dalam beberapa tahun saja antara tahun 33 dan tahun 70 M, ribuan orang percaya telah dikumpulkan ke dalam banyak sidang dari Babilon sampai Roma, dan mungkin bahkan lebih jauh ke barat. (1Ptr 5:13; Rm 1:1, 7; 15:24) Menarik untuk diperhatikan bahwa kala itu hanya ada sedikit salinan Tulisan-Tulisan Kudus. Biasanya hanya orang berada yang memiliki gulungan atau buku, apa pun jenisnya. Di negeri-negeri non-Yahudi, tidak ada pengetahuan tentang Alkitab atau Allah dalam Alkitab, Yehuwa. Hampir semuanya harus dilakukan secara lisan. Tidak tersedia ulasan, konkordansi, dan ensiklopedia Alkitab. Jadi, karunia-karunia mukjizat berupa pengetahuan istimewa, hikmat, berbicara dalam berbagai bahasa, dan daya pengamatan akan ucapan terilham sangat penting bagi sidang pada waktu itu. (1Kor 12:4-11, 27-31) Namun, seperti yang ditulis rasul Paulus, sewaktu tidak diperlukan lagi, karunia-karunia itu akan berlalu.
Sebagai Pertanda. Mukjizat bisa juga berfungsi sebagai pertanda, yakni sesuatu yang menjadi petunjuk situasi atau peristiwa di masa depan; juga sesuatu yang mencengangkan. Sewaktu merujuk ke Yoel 2:30, yang menubuatkan ”mukjizat-mukjizat [bentuk jamak kata Ibr. moh·fethʹ] di langit dan di bumi”, rasul Petrus berbicara tentang ”mukjizat-mukjizat [bentuk jamak kata Yn. teʹras] di langit di atas dan tanda-tanda [bentuk jamak kata se·meiʹon] di bumi”. (Kis 2:14, 19) Dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen, teʹras secara konsisten digunakan bersama kata se·meiʹon (”tanda”), kedua istilah ini digunakan dalam bentuk jamak.—Kis 7:36; 14:3; 15:12; 2Kor 12:12.
Pada dasarnya, teʹras memaksudkan tindakan atau hal apa pun yang menimbulkan rasa heran, itulah sebabnya kata ini dengan tepat diterjemahkan menjadi ”keajaiban-keajaiban” dalam beberapa kasus. (Mat 24:24; Yoh 4:48) Apabila unsur masa depannya lebih jelas, ”pertanda” lebih cocok. Bukti bahwa Yesus itu ”Pribadi yang Diutus” Allah adalah ”perbuatan-perbuatan penuh kuasa dan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda yang Allah lakukan melalui dia”. (Kis 2:22) Penyembuhan dan kebangkitan yang bersifat mukjizat yang ia lakukan tidak hanya menimbulkan rasa heran, tetapi juga menjadi pertanda akan apa yang bakal ia lakukan dalam skala yang lebih besar di masa depan. (Yoh 6:54; bdk. Yoh 1:50, 51; 5:20, 28.) Beberapa tindakannya merupakan pertanda kegiatannya di masa depan sebagai Imam Besar Allah, mengampuni dosa dan bertindak sebagai Hakim. (Mat 9:2-8; Yoh 5:1-24) Yang lain menjadi bukti wewenangnya di masa depan dan kuasa untuk menindak Setan dan hantu-hantunya, melemparkan mereka ke jurang yang tidak terduga dalamnya. (Mat 12:22-29; Luk 8:27-33; bdk. Pny 20:1-3.) Semua tindakan tersebut menunjuk ke Pemerintahan Mesianiknya di masa depan sebagai Raja Terurap dari Kerajaan Allah.
Dengan cara yang serupa, murid-murid Yesus, sebagai saksi-saksi pengajaran dan kebangkitannya, mendapat dukungan Allah dengan ”tanda-tanda maupun mukjizat-mukjizat dan berbagai perbuatan yang penuh kuasa”. (Ibr 2:3, 4; Kis 2:43; 5:12) Ini membuktikan interaksi Allah dengan sidang Kristen yang baru dibentuk itu dan menjadi pertanda penggunaan sidang itu di masa depan untuk melaksanakan kehendak dan maksud-tujuan-Nya.—Bdk. Yoh 14:12.
Sebagaimana nabi-nabi palsu muncul di Israel, demikian juga kemurtadan yang telah dinubuatkan dalam sidang Kristen akan menghasilkan ”manusia pelanggar hukum” yang kehadirannya akan dibuktikan melalui ”bekerjanya Setan dengan segala macam perbuatan penuh kuasa dan tanda-tanda dusta dan mukjizat-mukjizat”. (2Tes 2:3-12) Maka bukti yang terkumpul untuk mendukung gerakan orang murtad tidak lemah atau sepele, tetapi akan memanifestasikan keperkasaan Setan. Namun, mukjizat-mukjizat itu adalah tanda-tanda yang bersifat dusta, entah penuh tipu daya sejak awalnya ataupun menyesatkan pada akhirnya. Meskipun tampak memanifestasikan kebaikan dan berkat Allah, hal-hal itu dalam kenyataannya menyimpangkan orang-orang dari sumber dan jalan menuju kehidupan.—Bdk. 2Kor 11:3, 12-15; lihat TANDA No. 3.
Situasi yang Berbeda Dewasa Ini. Kita tidak melihat Allah melakukan mukjizat atau tanda-tanda semacam itu melalui tangan hamba-hamba-Nya orang Kristen dewasa ini, karena semua hal yang dibutuhkan sudah ada dan tersedia bagi penduduk dunia yang melek huruf, dan untuk membantu mereka yang tidak dapat membaca tetapi mau mendengarkan, ada orang-orang Kristen yang matang yang memiliki pengetahuan dan hikmat yang diperoleh melalui pemelajaran dan pengalaman. Allah tidak perlu melakukan mukjizat pada masa sekarang guna membuktikan bahwa Yesus Kristus adalah pembebas yang Allah lantik, atau guna menyediakan bukti bahwa Ia mendukung hamba-hamba-Nya. Bahkan jika Allah terus memberikan hamba-hamba-Nya kesanggupan untuk mengadakan mukjizat, hal itu tidak akan meyakinkan semua orang, karena bahkan tidak semua saksi mata mukjizat Yesus tergugah untuk menerima ajarannya. (Yoh 12:9-11) Di pihak lain, Alkitab memperingatkan para pencemooh bahwa masih ada tindakan memukau yang akan Allah lakukan sewaktu membinasakan sistem dewasa ini.—2Ptr 3:1-10; Pny psl. 18, 19.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa orang yang menyangkal keberadaan mukjizat tidak percaya akan Allah dan Pencipta yang tidak kasatmata atau mereka percaya bahwa Ia tidak lagi menggunakan kuasa-Nya dengan cara yang adikodrati sejak penciptaan. Tetapi ketidakpercayaan mereka tidak membuat Firman Allah tidak berlaku. (Rm 3:3, 4) Kisah-kisah dalam Alkitab tentang mukjizat Allah dan tujuan baik yang dicapainya, yang selalu selaras dengan kebenaran dan prinsip yang terdapat dalam Firman-Nya, menumbuhkan keyakinan akan Allah. Kisah-kisah itu memberikan jaminan yang kuat bahwa Allah mempedulikan umat manusia dan bahwa Ia dapat dan akan melindungi orang-orang yang melayani Dia. Mukjizat-mukjizat memiliki pola yang khas, dan catatan tentangnya membina iman bahwa Allah akan campur tangan dengan cara yang bersifat mukjizat, menyembuhkan dan memberkati umat manusia yang setia, di masa depan.—Pny 21:4.