Apakah Gereja yang Mula-Mula Mengajarkan bahwa Allah adalah Suatu Tritunggal?
Bagian 4—Kapan dan Bagaimana Doktrin Tritunggal Berkembang?
Tiga artikel terdahulu dari serial ini memperlihatkan bahwa doktrin Tritunggal tidak diajarkan oleh Yesus dan murid-muridnya, tidak juga oleh Bapa-Bapa Gereja masa awal. (Menara Pengawal 1 November 1991; 1 Februari 1992; dan 1 April 1992) Artikel terakhir ini akan membahas bagaimana dogma Tritunggal berkembang dan apa peranan Konsili di Nicea tahun 325 M.
PADA tahun 325 M., Kaisar Konstantin dari Roma mengadakan konsili uskup di kota Nicea, Asia Kecil. Tujuannya adalah untuk menuntaskan perdebatan agama yang berlarut-larut tentang hubungan antara Putra Allah dengan Allah Yang Mahakuasa. Mengenai hasil konsili tersebut, Encyclopædia Britannica mengatakan:
”Konstantin sendiri menjadi ketua, dengan aktif memimpin pertemuan dan secara pribadi mengusulkan . . . rumusan penting yang menyatakan hubungan Kristus dengan Allah dalam kredo yang dikeluarkan oleh konsili tersebut, ’dari satu zat [ho·mo·ouʹsi·os] dengan Bapa.’ . . . Karena sangat segan terhadap kaisar, para uskup, kecuali dua orang saja, menandatangani kredo itu, kebanyakan dari mereka dengan sangat berat hati.”1
Apakah turut campurnya penguasa kafir ini disebabkan keyakinannya yang berdasarkan Alkitab? Tidak. A Short History of Christian Doctrine menyatakan, ”Konstantin pada dasarnya tidak mengerti apa-apa tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam teologi Yunani.”2 Yang ia tahu adalah bahwa perdebatan agama mengancam kesatuan dari kekaisarannya, dan ia ingin perdebatan tersebut dituntaskan.
Apakah Konsili Itu Menetapkan Doktrin Tritunggal?
Apakah Konsili Nicea menetapkan, atau meneguhkan, Tritunggal sebagai doktrin Susunan Kristen? Banyak orang menganggap demikianlah halnya. Namun, fakta-fakta menunjukkan sebaliknya.
Kredo yang diumumkan oleh konsili tersebut memang menegaskan sesuatu tentang Putra Allah yang dapat menyebabkan para pendeta memandang sang Putra setara dengan Allah Bapa dalam suatu hal tertentu. Namun, menjadi jelas bila meninjau apa yang tidak dikatakan dalam Kredo Nicea. Menurut apa yang semula dikemukakan, seluruh kredo menyatakan:
”Kami percaya kepada satu Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan tidak kelihatan;
”Dan kepada satu Tuhan Kristus Yesus, Putra Allah, yang diperanakkan dari Bapa, satu-satunya yang diperanakkan, yaitu, dari zat sang Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan bukan diciptakan, dari satu zat dengan sang Bapa, yang melalui-Nya segala sesuatu menjadi ada, yang di surga dan yang di bumi, Dia yang demi kita manusia dan demi keselamatan kita telah turun dan berinkarnasi, menjadi manusia, menderita dan bangkit lagi pada hari ketiga, naik ke surga, dan akan datang untuk menghakimi orang-orang hidup dan orang-orang mati;
”Dan kepada Roh Kudus.”3
Apakah kredo ini mengatakan bahwa Bapa, Putra dan roh kudus adalah tiga pribadi dalam satu Allah? Apakah kredo itu mengatakan bahwa ketiganya setara dalam kekekalan, kekuasaan, kedudukan dan hikmat? Tidak. Dalam kredo ini, sama sekali tidak ada rumus tiga-dalam-satu. Kredo Nicea yang semula tidak menetapkan atau meneguhkan Tritunggal.
Kredo tersebut paling-paling, hanya menyamakan sang Putra dengan sang Bapa dalam hal terbuat ”dari satu zat”. Namun, kredo itu tidak mengatakan hal tersebut sehubungan dengan roh kudus. Yang dikatakan hanyalah ”kami percaya . . . kepada Roh Kudus”. Itu bukan doktrin Tritunggal dari Susunan Kristen.
Bahkan frasa kunci ”dari satu zat” (ho·mo·ouʹsi·os) tidak harus mengartikan bahwa konsili tersebut percaya akan kesetaraan sang Bapa dan sang Putra secara bilangan. New Catholic Encyclopedia menyatakan:
”Benar-benar diragukan apakah Konsili itu bermaksud meneguhkan identitas bilangan dari zat sang Bapa dan sang Putra.”4
Andai kata konsili tersebut memaksudkan bahwa Putra dan sang Bapa secara bilangan adalah satu, itu tetap bukan suatu Tritunggal. Itu hanya dua-dalam-satu Allah, bukan tiga-dalam-satu seperti yang dituntut oleh doktrin Tritunggal.
”Sudut Pandangan Minoritas”
Di Nicea, apakah para uskup pada umumnya percaya bahwa sang Putra setara dengan Allah? Tidak, ada berbagai sudut pandangan yang saling bertentangan. Sebagai contoh, salah satu diajukan oleh Arius, yang mengajarkan bahwa sang Putra memiliki permulaan tertentu dalam waktu dan oleh karenanya, ia tidak setara dengan Allah, melainkan lebih rendah dalam segala hal. Di lain pihak, Athanasius percaya bahwa sang Putra setara dengan Allah dalam hal tertentu. Namun, masih ada pandangan lain.
Berkenaan keputusan konsili untuk menganggap sang Putra terbentuk dari zat yang sama (konsubstansial) dengan Allah, Martin Marty menyatakan, ”Nicea sebenarnya menyatakan sudut pandangan dari suatu minoritas; penyelesaiannya tidak mudah dan tidak dapat diterima oleh banyak orang yang bukan penganut pandangan Arius.”5 Demikian pula, buku A Select Library of Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church menyatakan bahwa ”suatu pendirian dalam doktrin yang telah dirumuskan secara jelas, yang bertentangan dengan Arianisme, diterima oleh suatu minoritas saja, meskipun minoritas ini berhasil mewujudkan keinginan mereka.”6 Dan A Short History of Christian Doctrine menyatakan:
”Apa yang kelihatannya terutama tidak dapat diterima oleh banyak uskup dan teolog dari Timur adalah konsep yang dituangkan ke dalam kredo oleh Konstantin sendiri, yaitu homoousios [”dari satu zat”], yang menjadi objek pertikaian dalam perselisihan selanjutnya antara kaum ortodoks dan bidah.”7
Setelah konsili, perdebatan berlanjut selama puluhan tahun. Orang-orang yang mendukung gagasan bahwa sang Putra setara dengan Allah Yang Mahakuasa bahkan menjadi tidak populer selama beberapa waktu. Misalnya, Martin Marty mengatakan tentang Athanasius, ”Popularitasnya jatuh bangun dan ia begitu sering diasingkan [pada tahun-tahun sesudah konsili] sehingga ia benar-benar menjadi seorang commuter.”8 Athanasius melewatkan waktu bertahun-tahun dalam pembuangan karena para pejabat politik dan gereja menentang pandangannya yang menyetarakan sang Putra dengan Allah.
Maka, sungguh keliru untuk menyatakan bahwa Konsili Nicea pada tahun 325 M. telah menetapkan atau meneguhkan doktrin Tritunggal. Apa yang belakangan menjadi ajaran Tritunggal masih belum ada pada saat itu. Gagasan bahwa Bapa, Putra dan roh kudus masing-masing adalah Allah yang sejati dan setara dalam kekekalan, kekuasaan, kedudukan dan hikmat, namun hanya satu Allah—tiga-dalam-satu Allah—tidak dibentuk oleh konsili tersebut dan tidak juga oleh Bapa-Bapa Gereja masa awal. Sebagaimana dijelaskan oleh The Church of the First Three Centuries:
”Doktrin Tritunggal modern yang populer . . . tidak mendapat dukungan dari tulisan-tulisan Justin [Martyr]: dan pengamatan ini dapat diluaskan kepada semua Bapa pra-Nicea; yaitu, kepada semua penulis Kristen selama tiga abad setelah kelahiran Kristus. Memang benar, mereka berbicara tentang Bapa, Putra dan Roh nubuat atau Roh Kudus, namun bukan sebagai pribadi yang setara, bukan sebagai satu zat secara numerik, bukan sebagai Tiga di dalam Satu, menurut pengertian apa pun yang sekarang diakui oleh para penganut Tritunggal. Faktanya adalah justru kebalikannya. Doktrin Tritunggal, seperti dijelaskan oleh Bapa-Bapa ini, benar-benar berbeda dari doktrin modern. Ini kami nyatakan sebagai suatu fakta yang dapat dibuktikan sebagaimana halnya dengan fakta mana pun dalam sejarah pendapat manusia.”
”Kami menantang siapa pun untuk menunjukkan satu orang saja dari penulis-penulis kenamaan, selama tiga abad pertama, yang menganut doktrin ini [Tritunggal] sebagaimana yang dipercayai dewasa ini.”9
Namun, Nicea memang menjadi suatu titik balik. Ia membuka peluang bagi pengakuan resmi bahwa sang Putra setara dengan sang Bapa, dan melicinkan jalan bagi gagasan Tritunggal di kemudian hari. Buku Second Century Orthodoxy, oleh J. A. Buckley, menyatakan:
”Setidaknya hingga akhir abad kedua, Gereja secara keseluruhan tetap dipersatukan dalam satu pengertian dasar; mereka semua menerima keunggulan sang Bapa. Mereka semua menghormati Allah Bapa Yang Mahakuasa sebagai satu-satunya yang mahatinggi, tidak berubah-ubah, tidak terkatakan dan tanpa permulaan . . .
”Dengan meninggalnya para penulis dan pemimpin abad kedua, Gereja mendapati diri . . . tergelincir, perlahan tetapi pasti, ke arah itu . . . yang pada Konsili di Nicea, telah dicapai titik kulminasi dari seluruh pengikisan bertahap dari iman yang sejati. Di sana, segelintir minoritas yang mudah meledak emosinya, secara licik memaksakan bidahnya kepada mayoritas yang secara pasif setuju saja, dan dengan para penguasa politik di belakangnya, mereka ini memaksa, membujuk dan mengintimidasi orang-orang yang berupaya keras mempertahankan kemurnian iman mereka dari noda apa pun.”10
Konsili Konstantinopel
Pada tahun 381 M., Konsili Konstantinopel meneguhkan Kredo Nicea. Dan konsili itu menambahkan hal-hal lain lagi. Roh kudus disebut sebagai ”Tuhan” dan ”pemberi kehidupan”. Kredo tahun 381 M. yang telah dikembangkan itu (yang pada dasarnya digunakan di gereja-gereja dewasa ini dan yang disebut ”Kredo Nicea”) memperlihatkan bahwa Susunan Kristen berada di ambang perumusan dogma Tritunggal yang lengkap. Namun, konsili ini pun masih belum menyelesaikan doktrin tersebut. New Catholic Encyclopedia mengakui:
”Sungguh menarik bahwa 60 tahun setelah Nicea I, Konsili Konstantinopel I [381 M.] menghindari homoousios sehubungan dengan definisinya tentang keilahian Roh Kudus.”11
”Para sarjana telah dibingungkan oleh pernyataan yang lemah yang tampak dalam kredo ini; sebagai contoh, tidak digunakannya kata homoousios untuk Roh Kudus sebagai sesuatu dari zat yang sama dengan sang Bapa dan Putra.”12
Ensiklopedi yang sama mengakui, ”Homoousios tidak ada di dalam Alkitab.”13 Tidak, Alkitab tidak menggunakan kata tersebut bagi roh kudus ataupun bagi sang Putra untuk menyatakan mereka dari zat yang sama dengan Allah. Itu merupakan istilah yang tidak berdasarkan Alkitab, yang turut membentuk doktrin Tritunggal yang tidak berdasarkan Alkitab, bahkan, bertentangan dengan Alkitab.
Bahkan setelah Konstantinopel, berabad-abad kemudian barulah ajaran Tritunggal diterima di seluruh Susunan Kristen. New Catholic Encyclopedia mengatakan, ”Di Barat . . . orang umumnya membungkam sehubungan dengan Konstantinopel I dan kredonya.”14 Sumber ini memperlihatkan bahwa kredo konsili tersebut baru diakui secara luas di Barat pada abad ketujuh atau kedelapan.
Para sarjana juga mengakui bahwa Kredo Athanasia, yang sering dikutip sebagai dasar definisi dan pendukung Tritunggal, tidak ditulis oleh Athanasius tetapi oleh seorang pengarang yang tidak dikenal, jauh di kemudian hari. The New Encyclopædia Britannica mengomentari:
”Kredo itu baru dikenal oleh Gereja Timur pada abad ke-12. Sejak abad ke-17, para sarjana pada umumnya setuju bahwa Kredo Athanasia tidak ditulis oleh Athanasius (meninggal tahun 373) tetapi mungkin disusun di Perancis Selatan pada abad ke-5. . . . Pengaruh kredo itu tampaknya terutama ada di Perancis Selatan dan Spanyol pada abad ke-6 dan ke-7. Ini digunakan dalam liturgi gereja di Jerman pada abad ke-9 dan kira-kira tidak lama setelah itu di Roma.”15
Bagaimana Tritunggal Berkembang
Doktrin Tritunggal memulai perkembangannya yang lamban selama jangka waktu berabad-abad. Gagasan Allah tiga serangkai dari para filsuf Yunani seperti Plato, yang hidup beberapa abad sebelum Kristus, secara bertahap menyusup ke dalam ajaran gereja. Sebagaimana dikatakan The Church of the First Three Centuries:
”Kami menegaskan bahwa doktrin Tritunggal dibentuk secara bertahap dan baru belakangan terhitung; bahwa ia berasal dari sumber yang sama sekali tidak dikenal dalam Kitab-Kitab Suci Yahudi maupun Kristen; bahwa ia tumbuh, dan dicangkokkan ke dalam kekristenan, melalui tangan Bapa-Bapa pengikut Plato; bahwa pada masa Justin, dan lama sesudahnya, sifat yang khas dan kedudukan yang lebih rendah dari sang Putra diajarkan secara universal; dan bahwa setelah itu, hanya garis besar pertama yang samar-samar dari Tritunggal menjadi kelihatan.”16
Sebelum Plato, allah-allah tiga serangkai, atau trinitas, dikenal luas di Babilon dan Mesir. Dan upaya tokoh-tokoh gereja untuk memikat orang-orang yang tidak percaya di dunia Roma menyebabkan beberapa gagasan tersebut dimasukkan secara bertahap ke dalam kekristenan. Ini akhirnya mengarah kepada diterimanya keyakinan bahwa sang Putra dan roh kudus setara dengan sang Bapa.a
Bahkan, kata ”Tritunggal” pun diterima secara lambat. Pada bagian akhir abad kedua, Theophilus, uskup dari Antiokhia di Siria, menulis dalam bahasa Yunani dan memperkenalkan kata tri·asʹ, yang artinya ”tiga serangkai”, atau ”tritunggal”. Kemudian, Tertullian, seorang penulis Latin di Kartago, Afrika Utara, memperkenalkan dalam tulisannya kata trinitas, yang berarti ”tritunggal”.b Namun, kata tri·asʹ tidak didapati dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen yang terilham, dan kata trinitas tidak didapati dalam Vulgate, Alkitab terjemahan bahasa Latin. Tidak satu pun dari istilah-istilah tersebut didasarkan atas Alkitab. Namun, kata ”Tritunggal” yang didasarkan atas konsep-konsep kafir, menyusup ke dalam lektur-lektur gereja dan setelah abad keempat, menjadi bagian dari dogma mereka.
Jadi, para sarjana sebenarnya tidak memeriksa Alkitab dengan saksama untuk melihat apakah doktrin sedemikian diajarkan di dalamnya. Sebaliknya, politik sekular dan gerejalah yang terutama menetapkan doktrin tersebut. Dalam buku The Christian Tradition, pengarang Jaroslav Pelikan menarik perhatian kepada ”faktor-faktor non-teologis dalam debat itu, yang banyak di antaranya kelihatan selalu siap untuk memutuskan hasilnya, namun akhirnya tetap dibatalkan oleh kekuasaan lain yang sama seperti mereka. Doktrin sering kelihatan sebagai korban—atau produk—dari politik gereja dan dari konflik kepribadian.”17 Profesor E. Washburn Hopkins dari Yale menyatakan sebagai berikut, ”Definisi yang terakhir dan ortodoks dari tritunggal sebagian besar merupakan masalah politik gereja.”18
Betapa tidak masuk akal doktrin Tritunggal dibandingkan dengan pengajaran Alkitab yang sederhana bahwa Allah mahatinggi dan tidak ada yang setara dengan-Nya! Sebagaimana Allah katakan, ”kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami sama?”—Yesaya 46:5.
Apa yang Ditunjukkannya
Apa yang ditunjukkan oleh perkembangan bertahap dari doktrin Tritunggal? Itu merupakan bagian kemurtadan dari kekristenan yang sejati yang Yesus nubuatkan. (Matius 13:24-43) Rasul Paulus juga telah menubuatkan datangnya kemurtadan:
”Waktunya pasti akan datang, bahwa sebaliknya daripada berpuas dengan ajaran yang sehat, orang-orang akan menaruh minat yang sangat besar kepada hal-hal yang paling baru dan akan mengumpulkan guru-guru menurut selera mereka sendiri; dan kemudian, sebaliknya daripada mendengarkan kepada kebenaran, mereka akan berpaling kepada mitos.”—2 Timotius 4:3, 4, Chatolic Jerusalem Bible.
Salah satu mitos adalah ajaran Tritunggal. Beberapa mitos lain yang asing bagi kekristenan juga berkembang secara bertahap, yaitu: jiwa manusia yang tidak berkematian sejak lahir, api penyucian, Limbo (tempat penyucian bagi jiwa orang mati yang belum dibaptis), dan penyiksaan kekal di api neraka.
Maka, apa gerangan doktrin Tritunggal? Itu sesungguhnya adalah doktrin kafir yang menyamar sebagai doktrin Kristen. Itu diperkembangkan oleh Setan untuk memperdayakan orang-orang, untuk menjadikan Allah begitu membingungkan dan misterius bagi mereka. Akibatnya, mereka juga mudah menerima berbagai gagasan agama palsu dan praktik-praktik yang salah lainnya.
”Dari Buahnya”
Di Matius 7:15-19, Yesus mengatakan bahwa saudara dapat membedakan agama yang palsu dan agama yang sejati dengan cara berikut ini:
”Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedangkan pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik . . . Setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api.”
Perhatikan satu contoh. Yesus berkata di Yohanes 13:35, ”Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Juga, di 1 Yohanes 4:20 dan 21, Firman Allah yang terilham menyatakan:
”Jikalau seorang berkata: ’Aku mengasihi Allah’, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.”
Coba terapkan prinsip dasar ini, bahwa kristiani sejati harus memiliki kasih di antara mereka, kepada apa yang terjadi pada dua perang dunia di abad ini, maupun konflik-konflik lainnya. Orang-orang dari agama yang sama dari Susunan Kristen berhadap-hadapan di medan perang dan saling membantai karena perbedaan kebangsaan. Masing-masing pihak mengaku Kristen, dan masing-masing pihak didukung oleh kaum pendetanya sendiri, yang mengaku bahwa Allah berada di pihak mereka. Pembantaian ”orang Kristen” oleh ”orang Kristen” merupakan buah yang buruk. Ini melanggar kasih Kristen, menyangkal hukum-hukum Allah.—Lihat juga 1 Yohanes 3:10-12.
Hari Perhitungan
Maka, kemurtadan dari kekristenan bukan hanya mengarah kepada keyakinan yang tidak saleh, seperti doktrin Tritunggal, tetapi juga kepada praktik-praktik yang tidak saleh. Namun, akan tiba suatu hari perhitungan, seperti Yesus katakan, ”Setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api.” Itulah sebabnya Firman Allah mendesak:
”Pergilah kamu, hai umatKu, pergilah dari padanya [agama palsu] supaya kamu jangan mengambil bagian dalam dosa-dosanya, dan supaya kamu jangan turut ditimpa malapetaka-malapetakanya. Sebab dosa-dosanya telah bertimbun-timbun sampai ke langit, dan Allah telah mengingat segala kejahatannya.”—Wahyu 18:4, 5.
Segera Allah akan ’menggerakkan hati’ para penguasa politik untuk berbalik menentang agama palsu. Mereka akan ”membuat dia menjadi sunyi dan . . . akan memakan dagingnya dan membakarnya dengan api”. (Wahyu 17:16, 17) Agama palsu beserta filsafat-filsafat kafirnya tentang Allah akan dibinasakan untuk selama-lamanya. Sesungguhnya, Allah akan berkata kepada orang-orang yang mempraktikkan agama palsu seperti yang Yesus katakan di zamannya, ”Rumahmu ini akan ditinggalkan.”—Matius 23:38.
Agama yang sejati akan luput dari hukuman Allah, sehingga, akhirnya, segala hormat dan kemuliaan akan diberikan kepada Pribadi yang Yesus katakan sebagai ”satu-satunya Allah yang benar”. Dialah Pribadi yang dinyatakan oleh pemazmur yang mengumandangkan, ”Engkau sajalah yang bernama [Yehuwa], Yang Mahatinggi atas seluruh bumi.”—Yohanes 17:3; Mazmur 83:19.
Referensi:
1. Encyclopædia Britannica, 1971, Jilid 6, halaman 386.
2. A Short History of Christian Doctrine, oleh Bernhard Lohse, 1963, halaman 51.
3. Ibid., halaman 52-3.
4. New Catholic Encyclopedia, 1967, Jilid VII, halaman 115.
5. A Short History of Christianity, oleh Martin E. Marty, 1959, halaman 91.
6. A Select Library of Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church, oleh Philip Schaff dan Henry Wace, 1892, Jilid IV, halaman xvii.
7. A Short History of Christian Doctrine, halaman 53.
8. A Short History of Christianity, halaman 91.
9. The Church of the First Three Centuries, oleh Alvan Lamson, 1869, halaman 75-6, 341.
10. Second Century Orthodoxy, oleh J. A. Buckley, 1978, halaman 114-15.
11. New Catholic Encyclopedia, 1967, Jilid VII, halaman 115.
12. Ibid., Jilid IV, halaman 436.
13. Ibid., halaman 251.
14. Ibid., halaman 436.
15. The New Encyclopædia Britannica, 1985, Edisi ke-15, Micropædia, Jilid 1, halaman 665.
16. The Church of the First Three Centuries, halaman 52.
17. The Christian Tradition, oleh Jaroslav Pelikan, 1971, halaman 173.
18. Origin and Evolution of Religion, oleh E. Washburn Hopkins, 1923, halaman 339.
[Catatan Kaki]
a Untuk keterangan lebih lanjut, lihat brosur Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal? yang diterbitkan oleh the Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.
b Seperti diperlihatkan dalam artikel-artikel terdahulu dari seri ini, meskipun Theophilus dan Tertullian menggunakan kata-kata ini, gagasan Tritunggal yang dipercayai Susunan Kristen dewasa ini tidak terlintas dalam benak mereka.
[Gambar di hlm. 22]
Allah akan menyebabkan para penguasa politik berbalik menentang agama palsu
[Gambar di hlm. 24]
Agama yang sejati akan luput dari penghakiman Allah