Pasal 1
Mengapa Yehuwa Harus Memiliki Saksi-Saksi?
SAKSI-SAKSI YEHUWA dikenal di seluruh dunia karena kegigihan mereka untuk berbicara kepada orang-orang di mana saja tentang Allah Yehuwa dan Kerajaan-Nya. Mereka juga memiliki reputasi sebagai umat yang berpegang pada kepercayaan mereka meskipun harus menghadapi segala bentuk tentangan, bahkan kematian.
”Korban utama dari penganiayaan yang bersifat agama di Amerika Serikat pada abad kedua puluh ini adalah Saksi-Saksi Yehuwa,” demikian menurut buku The Court and the Constitution, oleh Archibald Cox (1987). ”Saksi-Saksi Yehuwa . . . telah diserang dan dianiaya oleh pemerintah-pemerintah di seputar dunia,” kata Tony Hodges. ”Pada zaman Nazi Jerman, mereka digiring dan dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi. Selama Perang Dunia Kedua, Lembaga [Menara Pengawal] dilarang di Australia dan Kanada. . . . Sekarang [pada tahun 1970-an] Saksi-Saksi Yehuwa dikejar-kejar di Afrika.”—Jehovah’s Witnesses in Africa, Edisi 1985.
Mengapa mereka dianiaya? Apa tujuan pengabaran mereka? Apakah Saksi-Saksi Yehuwa benar-benar menerima penugasan dari Allah? Lagi pula, mengapa Yehuwa perlu memiliki saksi-saksi—apalagi saksi-saksi manusia yang tidak sempurna? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas berhubungan dengan sengketa-sengketa yang sedang disidangkan dalam kasus pengadilan universal—benar-benar kasus paling menentukan yang pernah diperdebatkan. Kita harus memeriksa sengketa-sengketa ini agar dapat mengerti mengapa Yehuwa memiliki saksi-saksi dan mengapa saksi-saksi ini rela menanggung bahkan tentangan yang paling hebat.
Kedaulatan Yehuwa Ditantang
Sengketa-sengketa penting ini menyangkut sahnya kedaulatan, atau kekuasaan tertinggi, dari Allah Yehuwa. Ia adalah Penguasa Alam Semesta oleh karena kedudukan-Nya sebagai Pencipta, Keilahian-Nya, dan Kemahakuasaan-Nya. (Kej. 17:1; Kel. 6:2; Why. 4:11) Karena itu, Ia memiliki kekuasaan yang sah atas segala yang ada di surga dan di atas bumi. (1 Taw. 29:12, catatan kaki NW) Namun Ia selalu menjalankan kedaulatan-Nya dengan kasih. (Bandingkan Yeremia 9:24.) Maka, apa yang Ia minta sebagai balasan dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang cerdas? Agar mereka mengasihi Dia dan memperlihatkan penghargaan atas kedaulatan-Nya. (Mzm. 84:11) Namun, ribuan tahun yang lalu, suatu tantangan dilontarkan terhadap kedaulatan Yehuwa yang sah. Cara bagaimana? Oleh siapa? Kejadian, buku pertama dari Alkitab, memberikan keterangan mengenai hal ini.
Buku itu melaporkan bahwa Allah menciptakan pasangan manusia pertama, Adam dan Hawa, dan memberi mereka suatu rumah berupa taman yang indah. Ia juga memberikan perintah ini kepada mereka, ”Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kej. 2:16, 17) Apa gerangan ”pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu”, dan memakan buahnya mengartikan apa?
Pohon itu adalah pohon harfiah, tetapi Allah menggunakannya untuk suatu maksud simbolik. Karena Ia menyebutnya ”pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” dan karena Ia melarang pasangan manusia pertama memakan buahnya, pohon itu cocok melambangkan hak Allah untuk menentukan bagi manusia apa yang ”baik” (yang menyenangkan Allah) dan apa yang ”jahat” (yang tidak menyenangkan Allah). Dengan demikian, kehadiran pohon ini menguji respek manusia terhadap kedaulatan Allah. Menyedihkan, pasangan manusia pertama tidak menaati Allah dan memakan buah yang terlarang. Mereka gagal dalam ujian yang sederhana tetapi penting ini mengenai ketaatan dan penghargaan.—Kej. 3:1-6.
Tindakan yang kelihatannya kecil ini merupakan pemberontakan terhadap kedaulatan Yehuwa. Mengapa demikian? Memahami caranya manusia seperti kita ini dibuat adalah kunci untuk mengerti arti dari apa yang Adam dan Hawa lakukan. Ketika Yehuwa menciptakan pasangan manusia pertama, Ia memberi mereka pemberian yang luar biasa—kehendak bebas. Untuk melengkapi pemberian ini, Yehuwa memberi mereka kesanggupan mental yang mencakup daya persepsi, penalaran, dan pertimbangan. (Ibr. 5:14) Mereka tidak seperti robot yang tak dapat berpikir; tidak juga seperti binatang, yang bertindak terutama dengan naluri. Namun, kebebasan mereka bersifat relatif, dibatasi oleh aturan dari hukum-hukum Yehuwa. (Bandingkan Yeremia 10:23, 24.) Adam dan Hawa memilih untuk memakan buah yang terlarang. Dengan demikian mereka menyalahgunakan kebebasan mereka. Apa yang menuntun mereka kepada haluan ini?
Alkitab menjelaskan bahwa suatu makhluk roh ciptaan Allah, atas kehendaknya sendiri telah mengambil haluan melawan dan menentang Allah. Makhluk ini, yang belakangan dikenal sebagai Setan, berbicara melalui seekor ular di Eden dan membuat Hawa dan, melalui dia, Adam berpaling dari ketundukan kepada kedaulatan Allah. (Why. 12:9) Dengan makan dari pohon itu, Adam dan Hawa menempatkan pertimbangan mereka di atas pertimbangan Allah, dengan demikian menunjukkan bahwa mereka ingin menilai sendiri apa yang baik dan apa yang jahat.—Kej. 3:22.
Jadi sengketa yang timbul adalah, Apakah Yehuwa memiliki hak untuk memerintah atas umat manusia, dan apakah Ia menjalankan kedaulatan-Nya demi kepentingan terbaik dari warga-warga-Nya? Sengketa ini tersirat dengan jelas dari kata-kata Ular kepada Hawa, ”Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” Secara tidak langsung maksudnya adalah bahwa Allah dengan curang menahan sesuatu yang baik dari perempuan itu dan suaminya.—Kej. 3:1.
Pemberontakan di Eden menimbulkan sengketa lain: Apakah manusia dapat setia kepada Allah di bawah ujian? Sengketa yang ada kaitannya ini jelas diperlihatkan 24 abad kemudian sehubungan dengan Ayub yang setia. Setan, ’suara’ di balik ular itu, menantang Yehuwa secara terang-terangan, dengan berkata, ”Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?” Setan menuduh, ”Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu.” Dengan demikian Setan mengisyaratkan bahwa kesalehan Ayub bermotifkan sifat mementingkan diri. Ia selanjutnya menuduh, ”Kulit ganti kulit! Orang akan memberikan segala yang dipunyainya ganti nyawanya.” Karena sebagaimana telah dinyatakan Yehuwa, ’tidak ada seorang pun di bumi seperti Ayub,’ Setan sebenarnya menyatakan bahwa ia dapat memalingkan setiap hamba Allah dari Dia. (Ayb. 1:8-11; 2:4) Dengan demikian, semua hamba Allah secara tidak langsung ditantang berkenaan integritas dan loyalitas mereka kepada kedaulatan-Nya.
Sekali muncul, sengketa-sengketa itu harus diselesaikan. Berlalunya waktu—sudah kira-kira 6.000 tahun sekarang—dan kegagalan yang menyedihkan dari pemerintahan-pemerintahan manusia dengan jelas menunjukkan bahwa manusia membutuhkan kedaulatan Allah. Namun apakah mereka menginginkannya? Apakah ada manusia yang akan menunjukkan pengakuan sepenuh hati kepada kedaulatan Yehuwa yang adil-benar? Ya! Yehuwa mempunyai saksi-saksi-Nya! Namun sebelum kita meninjau kesaksian mereka, pertama-tama, mari kita periksa apa yang tercakup dalam hal menjadi seorang saksi.
Apa Artinya Menjadi Seorang Saksi
Kata-kata dari bahasa asli yang diterjemahkan sebagai ”saksi” memberikan pengertian tentang apa artinya menjadi saksi bagi Yehuwa. Dalam Kitab-Kitab Ibrani, kata benda yang diterjemahkan ”saksi” (ʽedh) berasal dari kata kerja (ʽudh) yang berarti ”kembali” atau ”mengulangi, melakukan lagi”. Mengenai kata benda (ʽedh), buku Theological Wordbook of the Old Testament mengatakan, ”Seorang saksi adalah seseorang yang, dengan cara mengulang, dengan tandas menegaskan kesaksiannya. Kata [ʽedh] dikenal baik dalam bahasa pengadilan.” Buku A Comprehensive Etymological Dictionary of the Hebrew Language for Readers of English menambahkan, ”Makna asli [dari kata kerja ʽudh] kemungkinan adalah ’ia berkata berulang kali dan dengan penuh ketegasan’.”
Dalam Alkitab Kristen, kata Yunani yang diterjemahkan ”saksi” (marʹtys) dan ”memberi kesaksian” (mar·ty·reʹo) juga memiliki konotasi hukum, walaupun belakangan kata-kata itu memiliki makna yang lebih luas. Menurut buku Theological Dictionary of the New Testament, ”konsep saksi [digunakan] baik dalam arti saksi mengenai fakta-fakta yang dapat dipastikan, maupun dalam arti saksi mengenai kebenaran, yaitu memberi tahu dan mengakui keyakinan-keyakinan.” Jadi seorang saksi menceritakan fakta-fakta langsung dari apa yang ia ketahui secara pribadi, atau ia menyatakan pandangan atau kebenaran yang ia yakini.a
Haluan yang setia dari umat Kristen abad pertama memberi makna lebih jauh kepada kata ”saksi”. Banyak orang Kristen masa awal tersebut memberi kesaksian di bawah penganiayaan dan menghadapi kematian. (Kis. 22:20; Why. 2:13) Sebagai hasilnya, menjelang kira-kira abad kedua M., kata Yunani untuk saksi (marʹtys, yang juga menjadi akar kata ”martyr”) memperoleh makna yang diterapkan kepada orang-orang yang bersedia ”memeteraikan seriusnya kesaksian atau pengakuan mereka dengan kematian”. Mereka tidak disebut saksi karena mereka mati; mereka mati karena mereka adalah saksi-saksi yang loyal.
Maka, siapakah saksi-saksi dari Yehuwa masa awal? Siapa yang bersedia menyatakan ”berulang kali dan dengan penuh ketegasan”—dengan kata-kata dan cara hidup mereka—bahwa Yehuwa adalah Penguasa yang sah dan layak? Siapa yang bersedia memelihara integritas kepada Allah, bahkan sampai mati?
Saksi-Saksi dari Yehuwa Masa Awal
Rasul Paulus berkata, ”Kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan [Yn., neʹfos, menunjukkan awan tebal] yang mengelilingi kita.” (Ibr. 12:1) ’Awan tebal’ saksi-saksi ini mulai terbentuk tidak lama setelah pemberontakan melawan kedaulatan Allah di Eden.
Di Ibrani 11:4, Paulus menunjuk Habel sebagai saksi Yehuwa yang pertama, dengan berkata, ”Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati.” Dengan cara bagaimana Habel melayani sebagai saksi bagi Yehuwa? Jawabannya berkisar pada alasannya sehingga persembahan Habel ”lebih baik” daripada persembahan Kain.
Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa Habel memberikan persembahan yang benar dengan motif yang benar dan mendukungnya dengan perbuatan-perbuatan yang benar. Sebagai pemberiannya, ia memberikan suatu korban darah yang menggambarkan kehidupan dari anak sulung kawanan ternaknya yang terbaik—sedangkan Kain mempersembahkan hasil bumi yang tak bernyawa. (Kej. 4:3, 4) Korban Kain tidak disertai motif iman, hal yang membuat persembahan Habel dapat diterima. Kain harus memperbaiki ibadatnya. Namun sebaliknya, ia menunjukkan sikap hatinya yang tidak baik dengan menolak nasihat dan peringatan Allah dan dengan membunuh Habel yang setia.—Kej. 4:6-8; 1 Yoh. 3:11, 12.
Habel mempertunjukkan iman yang tidak dimiliki orang-tuanya. Dengan haluannya yang setia, ia memperlihatkan keyakinannya bahwa kedaulatan Yehuwa adalah adil-benar dan layak. Selama kurang lebih satu abad masa hidupnya, Habel memperlihatkan bahwa seorang manusia dapat setia kepada Allah sampai sejauh memeteraikan kesaksiannya dengan kematian. Selain itu darah Habel terus ’berbicara’, karena catatan terilham mengenai kematiannya sebagai martir terpelihara dalam Alkitab untuk generasi-generasi yang akan datang!
Kira-kira lima abad setelah kematian Habel, Henokh mulai ”hidup bergaul [”berjalan”, NW] dengan Allah”, menempuh haluan yang selaras dengan standar-standar Yehuwa tentang apa yang baik dan jahat. (Kej. 5:24) Menjelang waktu itu, penolakan kedaulatan Allah telah mengakibatkan berkembangnya praktek-praktek yang tidak saleh di antara umat manusia. Henokh yakin bahwa Penguasa Tertinggi akan bertindak melawan orang-orang yang tidak saleh, dan roh Allah menggerakkan dia untuk mengumumkan kebinasaan mereka di kemudian hari. (Yud. 14, 15) Henokh tetap menjadi saksi yang setia bahkan sampai mati, karena Yehuwa ”mengambilnya”, tampaknya untuk menyelamatkan dia dari kematian yang mengerikan di tangan musuh-musuhnya. (Ibr. 11:5, NW) Maka nama Henokh dapat ditambahkan kepada daftar yang terus bertambah dari ’awan banyak saksi’ pada zaman pra-Kristen.
Semangat ketidaksalehan terus meliputi kehidupan manusia. Selama masa hidup Nuh, yang lahir kira-kira 70 tahun setelah kematian Henokh, para malaikat yang adalah putra-putra Allah datang ke bumi, sudah tentu dengan menjelma dalam bentuk manusia, dan hidup bersama sebagai suami-istri dengan wanita-wanita yang menarik. Keturunan yang mereka hasilkan dikenal sebagai Nefilim; mereka ini adalah raksasa-raksasa di antara umat manusia. (Kej. 6:1-4) Apa akibat persatuan yang tidak wajar antara makhluk roh dan manusia serta keturunan bastar yang kemudian dihasilkan? Catatan yang terliham menjawab, ”Ketika dilihat [Yehuwa], bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata. Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi.” (Kej. 6:5, 12) Betapa menyedihkan bahwa bumi, tumpuan kaki Allah, ”penuh dengan kekerasan”.—Kej. 6:13; Yes. 66:1.
Bertentangan dengan itu, ”Nuh adalah seorang yang benar”, seorang yang ”tidak bercela di antara orang-orang sezamannya”. (Kej. 6:9) Ia memperlihatkan ketundukan kepada kedaulatan Allah dengan melakukan ’tepat seperti yang Allah perintahkan’. (Kej. 6:22) Bertindak dalam iman, ia ”mempersiapkan [”membangun”, NW] bahtera untuk menyelamatkan keluarganya”. (Ibr. 11:7) Namun Nuh bukan hanya seorang pembangun; sebagai ”pemberita kebenaran”, ia memperingatkan orang-orang akan kebinasaan yang akan datang. (2 Ptr. 2:5) Akan tetapi, walaupun Nuh bersaksi dengan berani, generasi yang jahat itu ”tidak memperhatikan sampai air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua”.—Mat. 24:37-39, NW.
Setelah zaman Nuh, Yehuwa memiliki saksi-saksi di antara para datuk sesudah Air Bah. Abraham, Ishak, Yakub, dan Yusuf disebut sebagai bagian awal dari awan saksi pra-Kristen. (Ibr. 11:8-22; 12:1) Mereka mempertunjukkan dukungan mereka kepada kedaulatan Yehuwa, melakukan hal itu dengan memelihara integritas. (Kej. 18:18, 19) Jadi, mereka menyumbang kepada penyucian nama Yehuwa. Mereka tidak mencari perlindungan dari kerajaan-kerajaan dunia, sebaliknya mereka ”mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini”, dengan iman ”menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah”. (Ibr. 11:10, 13) Mereka menerima Yehuwa sebagai Penguasa mereka, menjadikan harapan mereka bagaikan sauh kepada Kerajaan surgawi yang dijanjikan sebagai pernyataan dari kedaulatan-Nya yang sah.
Pada abad ke-16 SM, keturunan Abraham diperbudak dan memerlukan pembebasan dari belenggu Mesir. Ketika itulah Musa dan Harun saudaranya memainkan peranan utama dalam ’peperangan para dewa’. Mereka menghadap Firaun dan menyampaikan ultimatum dari Yehuwa, ”Biarkanlah umatKu pergi.” Namun Firaun yang congkak mengeraskan hatinya; ia tidak mau kehilangan bangsa yang besar yang menjadi budak-budak pekerja. ”Siapakah [Yehuwa] itu,” jawabnya, ”yang harus kudengarkan firmanNya untuk membiarkan orang Israel pergi? Tidak kenal aku [Yehuwa] itu dan tidak juga aku akan membiarkan orang Israel pergi.” (Kel. 5:1, 2) Dengan jawaban yang menghina itu, Firaun, yang dipercayai sebagai dewa dalam bentuk manusia, menolak untuk mengakui Keilahian Yehuwa.
Karena sengketa mengenai keilahian muncul, Yehuwa selanjutnya mulai membuktikan bahwa Dia adalah Allah yang sejati. Firaun, melalui imam-imam ahli sihirnya, menggalang kekuatan gabungan dari dewa-dewa Mesir untuk melawan kekuatan Yehuwa. Namun Yehuwa mengirimkan sepuluh tulah, yang masing-masing diumumkan oleh Musa dan Harun, untuk memperlihatkan kekuasaan-Nya atas elemen-elemen dan makhluk-makhluk di bumi dan juga keunggulan-Nya atas dewa-dewa Mesir. (Kel. 9:13-16; 12:12) Setelah tulah kesepuluh, Yehuwa membawa umat Israel ke luar Mesir dengan ”tangan yang kuat”.—Kel. 13:9.
Dituntut keberanian dan iman yang besar di pihak Musa, orang yang ’paling lembut hati di antara semua orang’, untuk menghadap Firaun, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. (Bil. 12:3) Namun, Musa tidak pernah mengencerkan pesan yang Yehuwa perintahkan kepadanya untuk disampaikan kepada Firaun. Bahkan ancaman kematian tidak dapat membungkamkan kesaksiannya! (Kel. 10:28, 29; Ibr. 11:27) Musa adalah seorang saksi dalam makna yang sesungguhnya dari kata itu; ia memberi kesaksian ”berulang kali dan dengan tegas” tentang Keilahian Yehuwa.
Setelah pembebasan tersebut dari Mesir pada tahun 1513 SM, Musa menulis kitab Kejadian. Maka, mulailah suatu zaman baru—zaman penulisan Alkitab. Karena jelas bahwa Musa yang menulis kitab Ayub, ia telah memiliki sebagian pengertian tentang sengketa antara Allah dan Setan. Tetapi, seraya penulisan Alkitab berkembang, sengketa-sengketa berkenaan kedaulatan Allah dan integritas manusia akan dicatat dengan jelas; dengan demikian siapa saja yang terlibat dapat memperoleh pengetahuan sepenuhnya mengenai sengketa-sengketa besar yang tersangkut. Sementara itu, pada tahun 1513 SM, Yehuwa meletakkan dasar untuk membentuk suatu bangsa yang terdiri dari saksi-saksi.
Suatu Bangsa yang Terdiri dari Saksi-Saksi
Pada bulan ketiga setelah Israel meninggalkan Mesir, Yehuwa membawa mereka ke dalam suatu hubungan perjanjian yang eksklusif dengan-Nya, membuat mereka menjadi ’harta kesayangan-Nya’. (Kel. 19:5, 6) Melalui Musa, Ia sekarang berurusan dengan mereka sebagai bangsa, memberikan kepada mereka suatu pemerintahan teokratis yang didasarkan atas perjanjian Hukum sebagai undang-undang nasional mereka. (Yes. 33:22) Mereka adalah umat pilihan Yehuwa, diorganisasi untuk mewakili Dia sebagai Tuhan mereka yang Berdaulat.
Akan tetapi, selama berabad-abad kemudian, bangsa ini tidak selalu mengakui kedaulatan Yehuwa. Setelah mapan di Tanah Perjanjian, Israel kadang-kadang berpaling kepada penyembahan dewa-dewa hantu dari bangsa-bangsa. Karena kegagalan mereka untuk menaati Dia sebagai Penguasa yang sah, Yehuwa membiarkan mereka dijarah, sehingga memberi kesan bahwa dewa-dewa dari bangsa-bangsa lebih kuat daripada Yehuwa. (Yes. 42:18-25) Namun pada abad kedelapan SM, Yehuwa secara terus terang menantang dewa-dewa dari bangsa-bangsa untuk menghapuskan kesan yang salah itu dan menjawab pertanyaan, Siapa Allah yang sejati?
Melalui nabi Yesaya, Yehuwa mengeluarkan tantangan, ”Siapakah di antara mereka [dewa-dewa dari bangsa-bangsa] yang dapat memberitahukan hal-hal [nubuat] ini [dengan tepat], yang dapat mengabarkan kepada kita hal-hal yang dahulu [yaitu hal-hal yang akan terjadi di masa depan]? Biarlah mereka [sebagai dewa-dewa] membawa saksi-saksinya, supaya mereka nyata benar; biarlah orang [dari segala bangsa] mendengarnya dan berkata: ’Benar demikian!’” (Yes. 43:9) Ya, biarlah dewa-dewa dari bangsa-bangsa menyediakan saksi-saksi yang dapat memberi kesaksian mengenai nubuat dewa-dewa mereka, ”Benar demikian!” Namun tidak ada satu dewa pun yang dapat menyediakan saksi-saksi yang benar untuk keilahian mereka!
Yehuwa membuat jelas kepada Israel tanggung jawab mereka dalam menyelesaikan soal, Siapa Allah yang sejati? Ia berfirman, ”Kamu inilah saksi-saksiKu, . . . dan hambaKu yang telah Kupilih, supaya kamu tahu dan percaya kepadaKu dan mengerti, bahwa Aku tetap Dia. Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi. Aku, Akulah [Yehuwa] dan tidak ada juruselamat selain dari padaKu. Akulah yang memberitahukan, menyelamatkan dan mengabarkan, dan bukannya allah asing yang ada di antaramu. Kamulah saksi-saksiKu, . . . dan Akulah Allah.”—Yes. 43:10-12.
Maka umat Yehuwa, orang-orang Israel merupakan bangsa yang terdiri dari saksi-saksi. Mereka dapat dengan tandas menegaskan bahwa kedaulatan Yehuwa adalah sah dan layak. Atas dasar pengalaman mereka yang lampau, mereka dapat menyatakan dengan yakin bahwa Yehuwa adalah Penolong yang Agung dari umat-Nya dan Allah dari nubuat yang sejati.
Memberi Kesaksian mengenai Mesias
Walaupun ada kesaksian yang limpah dari ’awan tebal’ saksi-saksi pra-Kristen, kebenaran pihak Allah mengenai sengketa-sengketa ini belum diselesaikan sepenuhnya. Mengapa? Karena pada waktu yang telah Allah tentukan sendiri, setelah ditunjukkan dengan jelas bahwa manusia membutuhkan pemerintahan Yehuwa dan bahwa mereka tidak memerintah sendiri dengan sukses, Yehuwa harus melaksanakan penghakiman atas semua orang yang menolak untuk respek kepada wewenang-Nya yang sah. Selanjutnya, sengketa-sengketa yang timbul menjangkau lebih jauh daripada lingkungan manusia. Karena satu malaikat telah memberontak di Eden, soal integritas kepada kedaulatan Allah menjangkau dan melibatkan makhluk-makhluk surgawi Allah. Karena itu, Yehuwa bermaksud agar seorang putra rohani datang ke bumi, dan di sana Setan akan mendapat kesempatan penuh untuk menguji dia. Putra rohani itu akan diberi kesempatan untuk menyelesaikan, dengan cara yang sempurna, pertanyaan, Apakah ada yang akan setia kepada Allah di bawah cobaan apa pun yang dihadapkan kepadanya? Jadi setelah membuktikan loyalitasnya, putra Allah ini akan diberi kekuasaan sebagai pribadi besar yang membenarkan Yehuwa, yang akan membinasakan yang jahat dan melaksanakan sepenuhnya maksud-tujuan yang semula dari Allah berkenaan bumi.
Namun, dengan cara bagaimana pribadi ini akan dinyatakan identitasnya? Di Eden, Yehuwa telah menjanjikan suatu ”benih” yang akan menghancurkan kepala Musuh yang seperti ular itu dan membenarkan kedaulatan Allah. (Kej. 3:15, NW) Melalui nabi-nabi Ibrani, Yehuwa menyediakan banyak rincian mengenai ”benih” Mesias itu—latar belakang dan kegiatannya, bahkan waktu manakala ia akan muncul.—Kej. 12:1-3; 22:15-18; 49:10; 2 Sam. 7:12-16; Yes. 7:14; Dan. 9:24-27; Mi. 5:1.
Menjelang pertengahan abad kelima SM, dengan selesainya penulisan Kitab-Kitab Ibrani, nubuat-nubuat telah tersedia, menantikan kedatangan sang Mesias untuk menggenapinya. Kesaksian dari saksi ini—yang sebenarnya, adalah saksi Allah yang paling besar—akan dibahas dalam pasal berikutnya.
[Catatan Kaki]
a Sebagai contoh, beberapa orang Kristen pada abad pertama dapat memberi kesaksian tentang fakta-fakta sejarah mengenai Yesus—tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitannya—dari apa yang mereka ketahui secara langsung. (Kis. 1:21, 22; 10:40, 41) Namun, orang-orang yang belakangan menaruh iman kepada Yesus dapat memberi kesaksian dengan menyatakan kepada orang lain pentingnya arti kehidupan, kematian, dan kebangkitannya.—Kis. 22:15.
[Blurb di hlm. 11]
Manusia dapat memilih untuk mendapat manfaat dari kedaulatan Yehuwa. Namun pertama-tama mereka harus mendengar tentang hal tersebut
[Blurb di hlm. 13]
Habel adalah saksi Yehuwa yang pertama
[Blurb di hlm. 14]
Henokh memberi kesaksian tentang penghakiman Allah terhadap orang-orang yang tidak saleh
[Blurb di hlm. 17]
Yehuwa membuat jelas kepada segenap bangsa tanggung jawab mereka sebagai saksi-saksi-Nya
[Blurb di hlm. 18]
”Kamulah saksi-saksiKu, . . . dan Akulah Allah”
[Gambar di hlm. 10]
Peristiwa di Eden menimbulkan sengketa-sengketa penting, Apakah kedaulatan Yehuwa adil-benar? Apakah makhluk-makhluk ciptaan-Nya akan setia kepada-Nya?
[Gambar di hlm. 15]
Nuh adalah pemberita kebenaran sebelum Allah membinasakan dunia dengan perantaraan suatu air bah
[Gambar di hlm. 16, 17]
Musa dan Harun memberi kesaksian dengan penuh ketegasan kepada Firaun tentang Keilahian Yehuwa