Pasal 29
”Sasaran Kebencian oleh Segala Bangsa”
SELAMA malam terakhir Yesus berada bersama rasul-rasulnya sebelum kematiannya, ia mengingatkan mereka, ”Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya. Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu; jikalau mereka telah menuruti firmanKu, mereka juga akan menuruti perkataanmu. Tetapi semuanya itu akan mereka lakukan terhadap kamu karena namaKu, sebab mereka tidak mengenal Dia, yang telah mengutus Aku.”—Yoh. 15:20, 21.
Yang Yesus pikirkan bukanlah sekadar kejadian-kejadian secara kebetulan mengenai tidak adanya toleransi. Hanya tiga hari sebelumnya, ia berkata, ”kamu akan menjadi sasaran kebencian oleh segala bangsa oleh karena namaku.”—Mat. 24:9, NW.
Namun, Yesus menasihatkan para pengikutnya bahwa sewaktu menghadapi penganiayaan, mereka tidak boleh menghadapinya dengan menggunakan senjata jasmani. (Mat. 26:48-52) Mereka tidak boleh mencerca orang-orang yang menganiaya mereka atau berupaya membalas dendam. (Rm. 12:14; 1 Ptr. 2:21-23) Bukankah tidak mungkin, bahwa pada suatu waktu bahkan para penganiaya tersebut akan menjadi orang-orang percaya? (Kis. 2:36-42; 7:58–8:1; 9:1-22) Pembalasan apa pun harus diserahkan kepada Allah.—Rm. 12:17-19.
Telah diketahui umum bahwa umat Kristen masa awal dianiaya secara kejam oleh pemerintahan Romawi. Namun patut diperhatikan juga bahwa penganiaya Yesus Kristus yang paling aktif adalah para pemimpin agama dan bahwa Pontius Pilatus, gubernur Romawi, membiarkan Yesus dihukum mati atas tuntutan mereka. (Luk. 23::13-25) Sesudah kematian Yesus sekali lagi para pemimpin agama berada di baris depan sebagai penganiaya pengikut-pengikut Yesus. (Kis. 4:1-22; 5:17-32; 9:1, 2) Bukankah hal itu juga menjadi pola pada masa-masa belakangan?
Para Pemimpin Agama Menghendaki Debat Umum
Karena sirkulasi tulisan-tulisan C. T. Russell dengan cepat mencapai puluhan juta eksemplar dalam banyak bahasa, para pemimpin agama Katolik dan Protestan tidak dapat begitu saja mengabaikan ucapan-ucapannya. Mereka marah karena penelanjangan ajaran-ajaran mereka yang tidak berdasarkan Alkitab, dan frustrasi karena kehilangan anggota-anggota mereka, sehingga banyak di antara para pemimpin agama itu menggunakan mimbar untuk mencela tulisan-tulisan Russell. Mereka memerintahkan kawanan mereka agar tidak menerima lektur yang disebarkan oleh Siswa-Siswa Alkitab. Sejumlah orang dari antara mereka berupaya menghasut para pejabat resmi untuk menghentikan pekerjaan ini. Di beberapa tempat di Amerika Serikat—antara lain Tampa, Florida; Rock Island, Illinois; Winston-Salem, Karolina Utara; dan Scranton, Pennsylvania—mereka memimpin pembakaran buku-buku tulisan Russell di depan umum.
Beberapa di antara para pemimpin agama merasa perlu menghancurkan pengaruh Russell dengan mengekspos dia dalam debat umum. Dekat kantor pusat kegiatan Russell, sekelompok pemimpin agama mengajukan Dr. E. L. Eaton, pastor Gereja Metodis Episkopal North Avenue di Allegheny, Pennsylvania, sebagai juru bicara mereka. Pada tahun 1903 Eaton mengusulkan suatu debat umum, dan Saudara Russell menerima undangan itu.
Enam pokok bahasan dikemukakan sebagai berikut, Saudara Russell menegaskan, namun Dr. Eaton menyangkal, bahwa jiwa orang mati tidak sadar; bahwa ”kedatangan kedua” dari Kristus sebelum Milenium dan bahwa tujuan ”kedatangan kedua” maupun Milenium Kristus adalah untuk memberkati semua keluarga di bumi; juga bahwa hanya orang-orang kudus ”zaman Injil” yang termasuk dalam kebangkitan pertama namun kumpulan besar orang akan mendapat kesempatan untuk diselamatkan oleh kebangkitan yang terjadi setelahnya. Dr. Eaton menegaskan, namun Saudara Russell menyangkal, bahwa tidak akan ada masa pencobaan sesudah kematian bagi siapa pun; bahwa semua yang diselamatkan akan masuk surga; dan bahwa orang jahat yang tidak dapat diinsafkan lagi akan mengalami siksaan kekal. Suatu rangkaian yang terdiri dari enam debat mengenai pokok-pokok bahasan ini diadakan, setiap debat dilangsungkan di hadapan orang-orang yang memadati Balai Carnegie di Allegheny pada tahun 1903.
Apa yang ada di balik tantangan untuk berdebat itu? Ditinjau berdasarkan perspektif sejarah, Albert Vandenberg belakangan menulis, ”Debat-debat tersebut dilangsungkan dan rohaniwan aliran Protestan yang berbeda-beda bertindak sebagai moderator dalam setiap diskusi. Selain itu, para rohaniwan dari berbagai gereja di daerah itu duduk di panggung pembicara bersama Pendeta Eaton, kemungkinan untuk memberi dukungan teks dan moral kepadanya. . . . Bahwa suatu persekutuan tidak resmi bahkan dapat terbentuk di antara para pemimpin agama Protestan menandakan bahwa mereka sebenarnya takut akan potensi Russell untuk menobatkan anggota-anggota agama mereka.”—”Charles Taze Russell: Pittsburgh Prophet, 1879-1909”, dimuat dalam The Western Pennsylvania Historical Magazine, Januari 1986, hlm. 14.
Perdebatan seperti itu relatif sedikit. Mereka tidak memperoleh hasil yang diinginkan oleh persekutuan pemimpin agama. Beberapa jemaat Dr. Eaton sendiri, karena terkesan oleh apa yang mereka dengar selama rangkaian debat pada tahun 1903, meninggalkan gerejanya dan memilih untuk bergabung dengan Siswa-Siswa Alkitab. Bahkan seorang pemimpin agama yang hadir mengakui bahwa Russell telah ’mengarahkan pipa air ke neraka dan memadamkan apinya’. Meskipun demikian, Saudara Russell sendiri merasa bahwa perkara kebenaran dapat ditangani lebih baik dengan mengerahkan waktu dan upaya untuk kegiatan-kegiatan lain daripada perdebatan.
Para pemimpin agama tidak berhenti menyerang. Sewaktu Saudara Russell berkhotbah di Dublin, Irlandia, dan di Otley, Yorkshire, Inggris, mereka menempatkan pria-pria di antara hadirin untuk meneriakkan sanggahan dan tuduhan palsu melawan Russell secara pribadi. Saudara Russell dengan tangkas menangani situasi-situasi tersebut, senantiasa mengandalkan Alkitab sebagai wewenang bagi jawaban-jawabannya.
Para pemimpin agama Protestan, tidak soal dari aliran mana, bergabung dengan apa yang dikenal sebagai Perserikatan Evangelis. Wakil-wakil mereka di banyak negeri beragitasi (berpidato dengan berapi-api untuk mempengaruhi massa) menentang Russell serta orang-orang yang menyebarkan lekturnya. Sebagai contoh, di Texas (AS), Siswa-Siswa Alkitab mendapati bahwa setiap pengkhotbah, bahkan di kota-kota yang paling kecil dan distrik-distrik pedesaan, diperlengkapi dengan rangkaian tuduhan palsu yang sama terhadap Russell dan pemutarbalikan yang sama tentang apa yang diajarkannya.
Akan tetapi, kadang-kadang serangan-serangan melawan Russell ini menghasilkan hal-hal yang tidak diharapkan oleh para pemimpin agama. Di New Brunswick, Kanada, ketika seorang pengkhotbah menggunakan mimbar untuk berkhotbah dengan kata-kata yang menghina Russell, ada seorang pria di antara hadirin yang secara pribadi telah membaca lektur yang ditulis oleh Saudara Russell. Ia merasa muak ketika pengkhotbah dengan sengaja mulai menyatakan hal-hal yang palsu. Kira-kira pada pertengahan khotbah, pria itu berdiri, memegang tangan istrinya, dan berseru kepada ketujuh putrinya yang turut menyanyi dalam paduan suara, ”Mari, anak-anak, kita pulang saja.” Kesembilan orang itu berjalan ke luar, dan sang pemimpin agama memandang seraya pria yang telah membangun gereja dan adalah penyumbang dana utama dari jemaat itu pergi. Tidak lama sesudah itu sidang jemaat tersebut menjadi berantakan, dan sang pengkhotbah pergi.
Mengambil Langkah Mengejek dan Memfitnah
Dalam upaya mereka yang nekad untuk memadamkan pengaruh C. T. Russell dan rekan-rekannya, para pemimpin agama melecehkan pengakuannya sebagai seorang rohaniwan Kristen. Dengan alasan-alasan yang serupa, para pemimpin agama Yahudi abad pertama memperlakukan rasul Petrus dan rasul Yohanes sebagai ”orang biasa yang tidak terpelajar”.—Kis. 4:13.
Saudara Russell bukan lulusan dari salah satu sekolah teologi Susunan Kristen. Namun dengan berani ia mengatakan, ”Kami menantang [para pemimpin agama] untuk membuktikan bahwa mereka pernah menerima pelantikan Ilahi atau bahwa mereka pernah memikirkan hal itu. Mereka semata-mata memikirkan tentang pelantikan, atau wewenang, dalam ruang lingkup sekte, masing-masing dari sekte atau golongannya sendiri. . . . Pelantikan, atau wewenang dari Allah kepada seseorang untuk mengabar adalah dengan pencurahan Roh Kudus atas dirinya. Siapa pun yang menerima Roh Kudus menerima kuasa dan wewenang untuk mengajar dan berkhotbah dalam nama Allah. Siapa pun yang tidak menerima Roh Kudus tidak memiliki wewenang atau persetujuan Ilahi atas khotbahnya.”—Yes. 61:1, 2.
Agar reputasinya diragukan, beberapa pemimpin agama memberitakan dan mempublikasikan dusta-dusta keji mengenai dia. Salah satu yang sering mereka gunakan—sampai sekarang—menyangkut situasi perkawinan Saudara Russell. Kesan yang ingin mereka sampaikan ialah bahwa Russell tidak bermoral. Apa fakta-faktanya?
Pada tahun 1879, Charles Taze Russell menikahi Maria Frances Ackley. Mereka memiliki hubungan yang baik selama 13 tahun. Kemudian pujian yang bersifat menjilat terhadap Maria dan sorotan orang lain terhadap harga dirinya mulai merongrong hubungan tersebut; namun ketika tujuan para penjilat itu menjadi jelas, ia tampaknya memperoleh kembali keseimbangannya. Sesudah seorang bekas rekan menyebarkan dusta tentang Saudara Russell, ia bahkan meminta izin kepada suaminya untuk mengunjungi sejumlah sidang guna menyangkal tuduhan-tuduhan itu, karena Saudara Russell dituduh telah menganiaya dia. Akan tetapi, sambutan baik yang diberikan kepadanya dalam perjalanan tersebut pada tahun 1894 rupanya telah menyumbang kepada perubahan secara bertahap dalam pandangan mengenai dirinya sendiri. Ia berupaya memperoleh suara yang lebih banyak bagi dirinya sendiri dalam mengarahkan apa yang akan muncul dalam Watch Tower.a Ketika ia menyadari bahwa tidak satu pun tulisannya akan dimuat kecuali jika suaminya, sang redaktur majalah, menyetujui isinya (atas dasar keselarasannya dengan Alkitab), ia menjadi sangat gelisah. Saudara Russell berupaya sungguh-sungguh untuk membantu istrinya, tetapi pada bulan November 1897, sang istri meninggalkan dia. Meskipun demikian, Saudara Russell memberikan kepadanya tempat tinggal dan tunjangan hidup. Bertahun-tahun kemudian, sesudah proses perkara pengadilan yang diadukan oleh sang istri pada tahun 1903, pengadilan memberikan keputusan kepadanya pada tahun 1908, bukan perceraian mutlak, melainkan perpisahan, dengan hak mendapat tunjangan.
Setelah gagal memaksa suaminya tunduk kepada permintaan-permintaannya, ia berupaya keras untuk mendiskreditkan nama suaminya setelah ia meninggalkannya. Pada tahun 1903, ia menerbitkan sebuah risalah yang memuat, bukan kebenaran-kebenaran Alkitab, melainkan gambaran yang sangat keliru tentang Saudara Russell. Ia berupaya memperoleh bantuan dari rohaniwan-rohaniwan berbagai aliran agama untuk menyebarkan risalah-risalah itu di tempat-tempat Siswa-Siswa Alkitab mengadakan perhimpunan-perhimpunan istimewa. Para rohaniwan tersebut patut dipuji karena tidak banyak yang rela digunakan secara demikian pada waktu itu. Akan tetapi, para pemimpin agama lain sejak itu telah memperlihatkan semangat yang berbeda.
Sebelumnya, Maria Russell, secara lisan dan tulisan, telah mencela mereka yang menuduh Saudara Russell melakukan hal-hal yang tidak terpuji dan tuduhan inilah yang kini ia sendiri lontarkan terhadapnya. Dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang belum dibuktikan kebenarannya dalam proses persidangan pada tahun 1906 (dan pernyataan-pernyataan yang dihapus dari catatan atas perintah pengadilan), beberapa penentang agama dari Saudara Russell telah mempublikasikan tuduhan-tuduhan yang dirancang untuk memberi kesan bahwa ia seorang yang amoral dan karenanya tidak layak menjadi rohaniwan Allah. Akan tetapi, catatan pengadilan jelas memperlihatkan bahwa tuduhan-tuduhan demikian adalah palsu. Pengacaranya sendiri bertanya kepada Ny. Russell apakah ia percaya bahwa suaminya bersalah karena zina. Ia menjawab, ”Tidak.” Patut diperhatikan juga bahwa ketika sebuah panitia yang terdiri dari penatua-penatua Kristen mendengar tuduhan-tuduhan Ny. Russell melawan suaminya pada tahun 1897, ia tidak menyebut apa-apa tentang hal-hal yang belakangan dinyatakannya dalam pengadilan guna meyakinkan juri bahwa ada dasar untuk mensahkan perceraian, walaupun peristiwa-peristiwa yang dituduhkan itu terjadi sebelum pertemuan tersebut.
Sembilan tahun setelah Ny. Russell pertama kali membawa perkara ini ke pengadilan, Hakim James Macfarlane menulis sepucuk surat jawaban kepada seseorang yang berusaha memperoleh tembusan dokumen pengadilan agar salah seorang rekannya dapat mengekspos Russell. Hakim itu dengan terus terang berkata kepadanya bahwa keinginannya itu hanya akan membuang waktu dan uang saja. Suratnya berbunyi, ”Alasan untuk permohonan beliau dan surat keputusan berdasarkan keputusan juri adalah ’penghinaan’ dan bukan zina dan sepanjang pengetahuan saya, tidak ada kesaksian yang menunjukkan bahwa Russell menempuh ’kehidupan zina dengan orang ketiga (orang yang disebutkan telah berzina dengan tertuduh)’. Dalam kenyataannya, tidak ada orang ketiga.”
Pengakuan yang sudah terlambat dari Maria Russell sendiri datang pada saat pemakaman Saudara Russell di Balai Carnegie di Pittsburgh pada tahun 1916. Dengan mengenakan kerudung, ia berjalan menyusuri gang antara deretan tempat duduk menuju ke peti jenazah dan meletakkan di sana seikat bunga bakung lembah. Pada bunga itu terikat sebuah pita dengan kata-kata, ”Kepada Suamiku yang Kukasihi.”
Jelaslah bahwa para pemimpin agama telah menggunakan taktik serupa seperti yang digunakan oleh padanan mereka pada abad pertama. Dahulu, mereka berupaya merusak reputasi Yesus dengan menuduh bahwa ia makan bersama pedosa-pedosa dan bahwa ia sendiri adalah seorang pedosa dan penghujah. (Mat. 9:11; Yoh. 9:16-24; 10:33-37) Tuduhan-tuduhan demikian tidak mengubah kebenaran tentang Yesus, tetapi justru mengekspos bahwa bapa rohani mereka yang menggunakan fitnah demikian—dan mengekspos bahwa bapa rohani mereka yang menggunakan taktik yang sama dewasa ini—adalah si Iblis, yang namanya berarti ”Pendusta”.—Yoh. 8:44.
Menggunakan Demam Perang untuk Mencapai Tujuan Mereka
Dengan adanya demam nasionalisme yang menyapu dunia selama perang dunia pertama, senjata baru ditemukan dan digunakan untuk melawan Siswa-Siswa Alkitab. Permusuhan para pemimpin agama Protestan dan Katolik Roma dapat dilampiaskan di balik perisai patriotisme. Mereka menarik keuntungan dari histeria masa perang untuk mencap Siswa-Siswa Alkitab sebagai orang-orang yang suka menghasut—tuduhan sama yang dilontarkan terhadap Yesus Kristus dan rasul Paulus oleh para pemimpin agama abad pertama di Yerusalem. (Luk. 23:2, 4; Kis. 24:1, 5) Tentu saja, supaya para pemimpin agama dapat melontarkan tuduhan demikian, mereka sendiri harus menjadi pejuang aktif dari kekuatan perang, tetapi hal itu agaknya tidak menjadi masalah bagi kebanyakan dari antara mereka, sekalipun itu berarti pemuda-pemuda harus dikirim untuk membunuh anggota-anggota agama mereka sendiri di negeri lain.
Pada bulan Juli 1917, sesudah Russell meninggal, Lembaga Menara Pengawal mengumumkan terbitnya buku The Finished Mystery, sebuah pembahasan mengenai Wahyu dan Yehezkiel serta Kidung Agung. Buku tersebut dengan terus terang membeberkan kemunafikan para pemimpin agama Susunan Kristen! Buku itu disebarluaskan dalam waktu yang relatif singkat. Menjelang akhir bulan Desember 1917 dan awal tahun 1918, Siswa-Siswa Alkitab di Amerika Serikat dan Kanada juga menyebarkan 10.000.000 risalah The Bible Students Monthly yang memuat berita yang pedas. Risalah berukuran tabloid dengan empat halaman ini berjudul ”Kejatuhan Babel”, dan ada judul kecil ”Mengapa Susunan Kristen Harus Menderita Sekarang—Hasil Akhirnya”. Risalah tersebut mengidentifikasi organisasi agama Katolik maupun Protestan sebagai Babel zaman modern, yang harus segera jatuh. Untuk mendukung kata-kata tersebut, risalah itu memuat kembali pembahasan The Finished Mystery mengenai nubuat-nubuat yang menyatakan penghakiman ilahi terhadap ”Babel yang Mistik”. Pada halaman belakang terdapat gambar kartun yang memperlihatkan sebuah tembok yang runtuh. Batu-batu besar dari tembok diberi nama seperti ”Doktrin Tritunggal (’3 X 1 = 1’)”, ”Jiwa yang Tak Berkematian”, ”Teori Siksaan Kekal”, ”Protestanisme—kredo, golongan pemimpin agama, dsb.”, ”Romaisme—golongan paus, golongan kardinal, dsb., dsb.”—dan semuanya itu berjatuhan.
Para pemimpin agama geram karena penyingkapan demikian, sama seperti para pemimpin agama Yahudi dahulu ketika Yesus menyingkapkan kemunafikan mereka. (Mat. 23:1-39; 26:3, 4) Di Kanada para pemimpin agama cepat bereaksi. Pada bulan Januari 1918, lebih dari 600 pemimpin agama di Kanada menandatangani sebuah petisi yang memohon kepada pemerintah agar memberangus publikasi-publikasi dari International Bible Students Association. Sebagaimana dilaporkan dalam surat kabar Winnipeg Evening Tribune, sesudah Charles G. Paterson, pastor dari Gereja St. Stephen di Winnipeg, mengecam The Bible Students Monthly, yang memuat artikel ”Kejatuhan Babel” dari mimbar, Jaksa Agung Johnson menghubungi dia untuk memperoleh satu eksemplar. Tidak lama kemudian, pada tanggal 12 Februari 1918, suatu dekrit pemerintah Kanada menyatakan bila seseorang didapati memiliki buku The Finished Mystery atau risalah yang ditunjukkan di atas dapat terkena hukuman denda dan pemenjaraan.
Pada bulan itu juga, tanggal 24 Februari, Saudara Rutherford, presiden yang baru terpilih dari Lembaga Menara Pengawal, berbicara di Amerika Serikat di Temple Auditorium di Los Angeles, Kalifornia. Pokok pembicaraannya mencengangkan, ”Dunia Telah Berakhir—Jutaan Orang yang Sekarang Hidup Mungkin Tidak Pernah Mati”. Dalam mengemukakan bukti bahwa dunia sebagaimana dikenal hingga waktu itu benar-benar telah berakhir pada tahun 1914, ia menunjuk kepada peperangan yang ketika itu sedang berlangsung, bersama dengan bencana kelaparan yang menyertainya, dan mengidentifikasikannya sebagai bagian dari tanda yang dinubuatkan oleh Yesus. (Mat. 24:3-8) Kemudian ia memusatkan perhatian kepada para pemimpin agama, dengan berkata,
”Sebagai suatu golongan, menurut Alkitab, para pemimpin agama adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab di bumi atas peperangan besar yang kini melanda umat manusia. Selama 1.500 tahun mereka telah mengajarkan kepada orang-orang doktrin setan tentang hak ilahi bagi raja-raja untuk memerintah. Mereka telah memadukan politik dan agama, gereja dan negara; telah terbukti tidak loyal kepada hak istimewa yang diberikan Allah untuk mengumumkan berita tentang kerajaan Mesias, dan telah merelakan diri untuk menganjurkan para penguasa agar percaya bahwa raja memerintah dengan hak ilahi dan oleh karena itu apa pun yang dilakukannya adalah benar.” Dengan menunjukkan akibatnya, ia berkata, ”Raja-raja yang ambisius di Eropa mempersenjatai diri untuk berperang, karena mereka ingin merebut daerah bangsa-bangsa lain; dan para pemimpin agama memberkati mereka dan berkata, ’Berbuatlah sesuka Anda, Anda tidak dapat berbuat salah; apa pun yang Anda lakukan adalah baik.’” Namun bukan hanya para pemimpin agama di Eropa yang melakukan hal tersebut, dan para pengkhotbah di Amerika mengetahuinya.
Laporan yang panjang lebar tentang khotbah ini dimuat keesokan harinya dalam surat kabar Morning Tribune di Los Angeles. Para pemimpin agama begitu marah sehingga asosiasi rohaniwan mengadakan pertemuan pada hari itu juga dan mengutus presiden mereka ke para manajer surat kabar itu dan memberitahukan bahwa mereka sangat tidak senang. Setelah itu, terdapat masa yang penuh gangguan terus-menerus yang dilancarkan kepada kantor-kantor Lembaga Menara Pengawal oleh anggota-anggota biro intelijen pemerintah.
Selama masa dengan perasaan nasionalisme yang meluap-luap ini, suatu konferensi para pemimpin agama diadakan di Philadelphia, di Amerika Serikat, dan pada konferensi tersebut sebuah resolusi diambil yang meminta diadakannya revisi atas Undang-Undang Spionase sehingga mereka yang dituduh melanggarnya dapat diadili oleh mahkamah militer dan diancam dengan hukuman mati. John Lord O’Brian, asisten khusus jaksa agung untuk urusan perang, dipilih untuk mengajukan perkara itu kepada Senat. Presiden Amerika Serikat tidak mengizinkan rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang. Namun Mayor Jenderal James Franklin Bell, dari Angkatan Bersenjata AS, dalam luapan amarah membocorkan kepada J. F. Rutherford dan W. E. Van Amburgh mengenai apa yang telah terjadi pada konferensi itu dan niat untuk menggunakan rancangan undang-undang tersebut melawan para pengurus Lembaga Menara Pengawal.
Berkas-berkas resmi dari pemerintahan AS menunjukkan bahwa sedikitnya sejak tanggal 21 Februari 1918 dan seterusnya, John Lord O’Brian secara pribadi terlibat dalam upaya menyusun suatu kasus hukum melawan Siswa-Siswa Alkitab. Dokumen Kongres tertanggal 24 April dan 4 Mei memuat memorandum-memorandum dari John Lord O’Brian yang dengan sengit berargumen bahwa jika hukum mengizinkan ucapan tentang ”apa yang benar, dengan motif yang baik, dan untuk tujuan yang dapat dibenarkan”, sebagaimana dinyatakan dalam apa yang dinamakan Amandemen Prancis untuk Undang-Undang Spionase dan sebagaimana telah didukung oleh Senat AS, maka ia tidak dapat menuntut Siswa-Siswa Alkitab dengan sukses.
Di Worcester, Massachusetts, ”Pdt.” B. F. Wyland selanjutnya mengeksploitasi demam perang dengan menegaskan bahwa Siswa-Siswa Alkitab melancarkan propaganda untuk musuh. Ia menerbitkan sebuah artikel dalam surat kabar Daily Telegram dengan pernyataan, ”Salah satu kewajiban patriotik Anda yang dihadapkan kepada Anda sebagai warga negara adalah pemberangusan International Bible Students Association, yang berkantor pusat di Brooklyn. Dengan berkedok agama, mereka telah melancarkan propaganda Jerman di Worcester dengan menjual buku mereka, ’The Finished Mystery’.” Dengan terus terang ia mengatakan kepada kalangan berwenang bahwa mereka wajib menangkap Siswa-Siswa Alkitab dan mencegah pertemuan-pertemuan mereka selanjutnya.
Pada musim semi dan musim panas tahun 1918 terjadilah penganiayaan di banyak tempat terhadap Siswa-Siswa Alkitab, di Amerika Utara maupun di Eropa. Penghasutnya antara lain para pemimpin agama gereja Baptis, Metodis, Episkopal, Luteran, Katolik Roma dan gereja-gereja lainnya. Lektur Alkitab dirampas oleh para petugas tanpa surat perintah, dan banyak Siswa-Siswa Alkitab dipenjarakan. Yang lain-lain dikejar oleh gerombolan, dipukul, dicambuk, dilumuri dengan ter dan ditempeli bulu ayam, atau dihajar hingga tulang rusuk patah atau kepala terluka. Beberapa menjadi cacat seumur hidup. Pria dan wanita Kristen ditahan dalam penjara tanpa tuduhan atau tanpa diadili. Lebih dari seratus kasus spesifik mengenai perlakuan yang memalukan demikian dilaporkan dalam The Golden Age tanggal 29 September 1920.
Dituduh Sebagai Mata-Mata
Puncak serangan terjadi pada tanggal 7 Mei 1918, ketika surat perintah federal dikeluarkan di Amerika Serikat untuk menangkap J. F. Rutherford, presiden Watch Tower Bible and Tract Society, dan rekan-rekannya yang terdekat.
Sehari sebelumnya, di Brooklyn, New York, dua dakwaan diajukan terhadap Saudara Rutherford dan rekan-rekannya. Jika hasil-hasil yang diinginkan tidak diperoleh dari kasus yang satu, maka dakwaan lainnya dapat ditempuh. Dakwaan pertama, yang memberikan tuntutan terhadap lebih banyak orang, mencakup empat tuduhan: Dua tuduhan tentang berkomplot untuk melanggar Undang-Undang Spionase tertanggal 15 Juni 1917; dan dua tuduhan tentang upaya untuk melaksanakan rencana-rencana mereka yang tidak sah atau memang telah melakukannya. Mereka dituduh berkomplot untuk menimbulkan pembangkangan terhadap perintah dan penolakan tugas di kalangan angkatan bersenjata Amerika Serikat dan bahwa mereka berkomplot untuk menghalangi pengerahan dan pendaftaran pria-pria untuk dinas demikian pada waktu negara sedang berperang, juga bahwa mereka telah berupaya untuk melakukan atau memang telah melakukan kedua hal ini. Dakwaan itu secara khusus menyebutkan penerbitan dan pengedaran buku The Finished Mystery. Dakwaan kedua menafsirkan bahwa pengiriman sebuah cek ke Eropa (yang dimaksudkan untuk digunakan dalam pekerjaan pendidikan Alkitab di Jerman) berlawanan dengan kepentingan Amerika Serikat. Ketika para terdakwa dibawa ke pengadilan, maka dakwaan pertama, yakni dakwaan dengan empat tuduhan, yang dituduhkan.
Namun dakwaan lain terhadap C. J. Woodworth dan J. F. Rutherford di bawah Undang-Undang Spionase pada waktu itu sedang ditangguhkan di Scranton, Pennsylvania. Namun, menurut sepucuk surat dari John Lord O’Brian tertanggal 20 Mei 1918, anggota-anggota dari Departemen Kehakiman khawatir bahwa Hakim Distrik AS, Witmer yang menangani pengadilan kasus itu, tidak akan setuju apabila mereka menggunakan Undang-Undang Spionase untuk memberangus kegiatan orang-orang yang, karena keyakinan agama yang tulus, mengatakan hal-hal yang mungkin ditafsirkan oleh orang lain sebagai propaganda anti perang. Maka Departemen Kehakiman menangguhkan kasus Scranton, menunggu hasil kasus di Brooklyn. Pemerintah juga mengendalikan situasi sehingga Hakim Harland B. Howe, dari Vermont, yang diketahui oleh John Lord O’Brian setuju dengan pendiriannya mengenai perkara-perkara demikian, ditunjuk sebagai hakim yang menangani kasus Pengadilan Distrik AS, untuk Distrik New York Bagian Timur. Pengadilan kasus itu mulai berlangsung pada tanggal 5 Juni, dengan Isaac R. Oeland dan Charles J. Buchner, seorang Katolik Roma, sebagai jaksa penuntut. Selama pengadilan berlangsung, Saudara Rutherford memperhatikan bahwa para imam Katolik sering berunding dengan Buchner dan Oeland.
Seraya kasus itu berjalan, ditunjukkan bahwa para pengurus Lembaga dan para penyusun buku itu tidak berniat mencampuri upaya negara untuk berperang. Bukti yang diajukan selama pengadilan menunjukkan bahwa rencana penulisan buku itu—sesungguhnya, penulisan hampir seluruh manuskripnya—telah terjadi sebelum Amerika Serikat menyatakan perang (pada tanggal 6 April 1917) dan bahwa kontrak asli untuk penerbitan telah ditandatangani sebelum Amerika Serikat mensahkan undang-undang (pada tanggal 15 Juni) yang dikatakan telah dilanggar oleh mereka.
Pihak penuntut menonjolkan bagian-bagian yang ditambahkan kepada buku itu yang dibuat selama bulan April dan Juni 1917, pada saat tahap pemrosesan buku itu dan pembacaan proofs (cetakan percobaan). Ini mencakup sebuah kutipan dari John Haynes Holmes, seorang pemimpin agama yang telah menyatakan dengan tegas bahwa perang merupakan pelanggaran atas Kekristenan. Sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang pembela, komentar pemimpin agama itu, yang diterbitkan di bawah judul A Statement to My People on the Eve of War masih dijual di pasaran Amerika Serikat pada saat pengadilan berlangsung. Sang pemimpin agama ataupun si penerbit tidak diadili karena hal itu. Namun justru Siswa-Siswa Alkitab yang merujuk kepada khotbahnya yang dianggap bersalah karena perasaan yang tercetus di dalamnya.
Buku ini tidak mengatakan kepada masyarakat di dunia bahwa mereka tidak berhak terlibat dalam peperangan. Namun, dalam menjelaskan nubuat, buku itu memang mengutip petikan-petikan dari terbitan The Watch Tower tahun 1915 untuk menunjukkan betapa tidak konsistennya para pemimpin agama yang mengaku sebagai rohaniwan Kristus namun bertindak sebagai agen perekrut tenaga untuk negara yang sedang berperang.
Sewaktu diberitahu bahwa pemerintah keberatan terhadap buku itu, Saudara Rutherford segera mengirim telegram kepada percetakan untuk menghentikan produksinya, dan bersamaan waktu, seorang wakil Lembaga diutus ke seksi intelijen Angkatan Bersenjata AS untuk mencari tahu apa yang menjadi keberatan mereka. Ketika diberi tahu bahwa karena perang yang saat itu sedang berlangsung, halaman 247-53 dari buku itu dianggap tidak dapat disetujui, maka Lembaga memberi petunjuk agar halaman-halaman tersebut disingkirkan dari semua buku sebelum ditawarkan kepada umum. Dan sewaktu pemerintah memberi tahu para jaksa distrik bahwa peredaran selanjutnya merupakan pelanggaran atas Undang-Undang Spionase (walaupun pemerintah menolak menyatakan pendapatnya kepada Lembaga atas buku itu dalam bentuknya yang sudah berubah), Lembaga memberikan pengarahan agar semua pengedaran buku itu kepada umum ditangguhkan.
Mengapa Hukumannya Begitu Berat?
Tanpa mempedulikan semua ini, pada tanggal 20 Juni 1918, juri memberikan keputusan bersalah kepada setiap terdakwa atas setiap tuduhan dalam dakwaan. Keesokan harinya, tujuhb orang dari antara mereka dihukum dengan empat masa hukuman yang masing-masing 20 tahun lamanya, dan yang harus dijalani bersamaan waktu. Pada tanggal 10 Juli, kedelapan orang ituc dijatuhi hukuman empat masa hukuman, masing-masing selama 10 tahun yang dijalani bersamaan waktu. Seberapa beratkah hukuman-hukuman tersebut? Dalam sebuah memo kepada jaksa agung pada tanggal 12 Maret 1919, presiden AS Woodrow Wilson mengakui bahwa ”masa-masa pemenjaraan itu jelas berlebihan.” Kenyataannya, oknum yang menembak di Sarajevo yang membunuh putra mahkota Kekaisaran Austria-Hongaria—yang insidennya telah memicu peristiwa-peristiwa yang menjerumuskan bangsa-bangsa ke kancah Perang Dunia I—tidak dihukum lebih berat. Hukumannya dipenjarakan 20 tahun—bukan empat masa hukuman yang masing-masing 20 tahun lamanya, sebagaimana halnya Siswa-Siswa Alkitab!
Motivasi apa yang ada di balik masa hukuman penjara yang begitu berat atas Siswa-Siswa Alkitab? Hakim Harland B. Howe menyatakan, ”Menurut pendapat Pengadilan, propaganda agama yang dengan penuh gairah didukung dan disebarkan oleh para terdakwa ini ke seluruh negeri maupun di kalangan sekutu kita, merupakan bahaya yang lebih besar daripada satu divisi Angkatan Bersenjata Jerman. . . . Seorang yang memberitakan agama biasanya memiliki banyak pengaruh, dan jika ia tulus, justru menjadi lebih efektif. Hal ini memberatkan, sebaliknya daripada meringankan kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh karena itu, sebagai satu-satunya hal bijaksana yang dapat dilakukan terhadap orang-orang demikian, maka Mahkamah telah memutuskan bahwa hukumannya harus berat.” Akan tetapi, patut pula diperhatikan, bahwa sebelum menjatuhkan hukuman, Hakim Howe mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pembela bagi para terdakwa telah mempertanyakan dan memperlakukan secara pedas bukan hanya para penegak hukum pemerintahan melainkan ”semua rohaniwan di seluruh negeri”.
Keputusan itu segera ditanggapi dengan naik banding kepada pengadilan banding AS tingkat wilayah. Namun permohonan bebas dengan uang jaminan sambil menantikan pemeriksaan naik banding tersebut ditolak secara sewenang-wenang oleh Hakim Howe,d dan pada tanggal 4 Juli, sebelum permohonan bebas dengan uang jaminan yang ketiga dan terakhir ini dapat diperiksa, tujuh orang saudara yang pertama dengan tergesa-gesa dipindahkan ke rumah tahanan federal di Atlanta, Georgia. Sesudah itu, diperlihatkan adanya 130 kesalahan dalam prosedur pengadilan yang sarat akan prasangka itu. Upaya berbulan-bulan dikerahkan untuk mempersiapkan surat-surat yang diperlukan guna pemeriksaan naik banding. Sementara itu, perang berakhir. Pada tanggal 19 Februari 1919, kedelapan saudara dalam penjara mengirimkan imbauan untuk klemensi eksekutif kepada Woodrow Wilson, presiden Amerika Serikat. Surat-surat lain yang mendesak agar saudara-saudara itu dibebaskan, dikirim oleh sejumlah besar warga negara kepada jaksa agung yang baru diangkat. Kemudian, pada tanggal 1 Maret 1919, sebagai jawaban atas pertanyaan dari jaksa agung, Hakim Howe merekomendasikan ”peringanan segera” dari hukuman penjara. Sementara ini akan meringankan hukuman, hal itu juga akan berpengaruh dalam hal mengukuhkan kesalahan para terdakwa. Sebelum hal ini dapat dilakukan, para pembela saudara-saudara menyampaikan surat perintah pengadilan kepada jaksa AS yang membawa kasus itu ke hadapan pengadilan banding.
Sembilan bulan sesudah Rutherford dan rekan-rekannya dihukum—dan dengan berlalunya perang—pada tanggal 21 Maret 1919, pengadilan banding memerintahkan agar delapan orang terdakwa seluruhnya dibebaskan dengan uang jaminan, dan pada tanggal 26 Maret, mereka dibebaskan di Brooklyn dengan uang jaminan sebesar 10.000 dolar masing-masing. Pada tanggal 14 Mei 1919, pengadilan banding tingkat wilayah AS di New York menetapkan, ”Para terdakwa dalam kasus ini tidak menjalani pengadilan yang tidak memihak dan tidak berat sebelah yang seharusnya menjadi hak mereka, dan untuk alasan itu keputusannya diubah.” Kasus itu dilimpahkan kembali agar dapat diadakan pengadilan baru. Akan tetapi, pada tanggal 5 Mei 1920, setelah para terdakwa, karena menerima panggilan, muncul di pengadilan, lima kali, jaksa penuntut di pihak pemerintah, dalam sidang terbuka di Brooklyn, mengumumkan bahwa tuntutan ditarik kembali.e Mengapa? Sebagaimana tersingkap dalam surat-surat yang disimpan dalam Arsip Nasional AS, Departemen Kehakiman takut bahwa jika permasalahan itu dikemukakan kepada suatu juri yang tidak berat sebelah, sedangkan histeria perang sudah tidak ada lagi, dalam kasus itu mereka akan kalah. Jaksa AS yakni L. W. Ross menyatakan dalam sepucuk surat kepada jaksa agung, ”Saya pikir, demi hubungan kita dengan masyarakat umum, adalah lebih baik jika atas prakarsa kita sendiri” menyatakan bahwa kasus itu tidak akan dituntut lebih lanjut.
Pada hari yang sama, tanggal 5 Mei 1920, dakwaan alternatif yang telah dimasukkan pada bulan Mei 1918 terhadap J. F. Rutherford dan empat orang rekannya juga dibatalkan demi hukum.
Siapa yang Sebenarnya Menghasut?
Apakah semua ini benar-benar hasil hasutan para pemimpin agama? John Lord O’Brian menyangkalnya. Tetapi fakta-faktanya diketahui benar oleh mereka yang hidup pada waktu itu. Pada tanggal 22 Maret 1919 Appeal to Reason, sebuah surat kabar yang terbit di Girard, Kansas, memprotes, ”Para pengikut Pastor Russell, Dikejar oleh Kedengkian Para Pemimpin Agama ’Ortodoks’, Dihukum dan Dipenjarakan Tanpa Pembebasan Dengan Uang Jaminan, Walaupun Mereka Berupaya Sedapat Mungkin untuk Memenuhi Ketentuan-Ketentuan Hukum Spionase. . . . Kami menyatakan bahwa, tidak soal apakah Undang-Undang Spionase secara teknis dibenarkan menurut konstitusi atau menurut etika atau tidak, para pengikut Pastor Russell ini dihukum secara keliru di bawah ketentuan-ketentuannya. Suatu penelitian dengan pandangan terbuka terhadap bukti ini akan dengan cepat meyakinkan siapa pun bahwa orang-orang ini bukan saja tidak berniat untuk melanggar undang-undang itu, tetapi mereka memang tidak melanggarnya.”
Bertahun-tahun kemudian, dalam buku Preachers Present Arms, Dr. Ray Abrams mengamati, ”Adalah penting bahwa begitu banyak pemimpin agama ambil bagian secara agresif dalam usaha melenyapkan para pengikut Russell [sebagai julukan yang menghina bagi Siswa-Siswa Alkitab]. Pertengkaran dan kebencian agama yang sudah sekian lama berlangsung, yang di masa damai sama sekali tidak dipertimbangkan oleh pengadilan, kini mendapat kesempatan untuk diajukan ke meja hijau di bawah serangan histeria masa perang.” Ia juga menyatakan, ”Suatu analisis dari seluruh kasus menghasilkan kesimpulan bahwa gereja-gereja dan para pemimpin agama sejak semula berada di belakang gerakan untuk membasmi Russellites (para pengikut Russell).”—Hlm. 183-5.
Akan tetapi, berakhirnya perang tidak mengakhiri penganiayaan terhadap Siswa-Siswa Alkitab. Itu hanya membuka suatu era baru dalam sejarah penganiayaan terhadap mereka.
Para Imam Melancarkan Tekanan Terhadap Polisi
Dengan berakhirnya peperangan, permasalahan lain dikobarkan oleh para pemimpin agama untuk sedapat mungkin menghentikan kegiatan Siswa-Siswa Alkitab. Di Bavaria Katolik dan di daerah-daerah lain di Jerman, sejumlah besar penangkapan dilakukan pada tahun 1920-an di bawah undang-undang perdagangan keliling. Namun ketika kasus-kasus itu mulai ditangani oleh pengadilan tingkat banding, hakim-hakim biasanya berpihak kepada Siswa-Siswa Alkitab. Akhirnya, setelah pengadilan-pengadilan dibanjiri oleh ribuan kasus demikian, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan suatu surat edaran pada tahun 1930 kepada semua pejabat polisi yang menyuruh mereka untuk tidak lagi memprakarsai tindakan hukum terhadap Siswa-Siswa Alkitab atas dasar undang-undang perdagangan keliling. Demikianlah, selama waktu yang singkat, tekanan dari sumber ini mengendur, dan Saksi-Saksi Yehuwa melangsungkan kegiatan mereka dalam skala yang luar biasa di ladang Jerman.
Para pemimpin agama juga mempunyai pengaruh yang kuat di Romania selama tahun-tahun tersebut. Mereka berhasil mengupayakan diterbitkannya dekrit-dekrit yang melarang lektur dan kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa. Namun para imam khawatir bahwa orang-orang mungkin masih membaca lektur yang sudah terlanjur mereka miliki dan akibatnya mereka akan mengetahui ajaran-ajaran yang tidak berdasarkan Alkitab dan pengakuan palsu dari gereja. Untuk mencegah hal ini, para imam benar-benar pergi bersama para petugas polisi dari rumah ke rumah untuk mencari lektur apa saja yang telah disebarkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Mereka bahkan akan menanyai anak-anak kecil yang polos apakah orang-tua mereka telah menerima lektur demikian. Jika lektur ditemukan, orang-orang itu diancam dengan pemukulan dan pemenjaraan jika mereka berani menerimanya lagi. Di beberapa desa, imam juga adalah wali kota dan penegak hukum, dan hanya ada sedikit sekali keadilan bagi siapa pun yang tidak melakukan apa yang dikatakan imam.
Catatan beberapa pejabat Amerika dalam hal melakukan kehendak para pemimpin agama selama kurun waktu ini tidaklah lebih baik. Setelah kunjungan Uskup Katolik O’Hara ke La Grange, Georgia, misalnya, walikota dan jaksa kota menangkap puluhan Saksi-Saksi Yehuwa pada tahun 1936. Selama mereka dalam penjara, mereka harus tidur bersama tumpukan kotoran hewan di kasur yang penuh percikan kencing sapi, diberi makanan yang sudah berulat, dan dipaksa bekerja di jalan dalam kelompok-kelompok orang tahanan.
Juga di Polandia, para pemimpin agama Katolik menggunakan setiap sarana yang dapat mereka pikirkan untuk merintangi pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa. Mereka menghasut orang-orang untuk melakukan kekerasan, membakar lektur Saksi-Saksi Yehuwa di muka umum, mencerca mereka sebagai Komunis, dan menggiring mereka ke pengadilan atas tuduhan bahwa lektur mereka ”melanggar kesucian”. Akan tetapi, tidak semua pejabat bersedia mengikuti kemauan mereka. Jaksa negara dari pengadilan banding di Posen (Poznan), misalnya, menolak untuk mengadili salah seorang di antara Saksi-Saksi Yehuwa yang telah diadukan oleh para pemimpin agama atas tuduhan bahwa ia menyebut para pemimpin agama Katolik sebagai ”organisasi Setan”. Jaksa negara sendiri mengemukakan bahwa roh yang amoral yang menyebar ke seluruh Susunan Kristen dari takhta kepausan Alexander VI (tahun 1492-1503 M), adalah memang roh dari suatu organisasi yang bersifat seperti Setan. Dan ketika para pemimpin agama menuduh salah seorang di antara Saksi-Saksi Yehuwa telah menghujah Allah karena menyebarkan lektur Menara Pengawal, jaksa negara dari pengadilan banding di Thorn (Toruń) menuntut pembebasan, dengan berkata, ’Saksi-Saksi Yehuwa berpendirian tepat seperti umat Kristen yang pertama. Walau disalahartikan dan dianiaya, mereka menganut cita-cita yang sangat luhur dalam suatu organisasi dunia yang korup dan bobrok.’
Arsip pemerintah Kanada menyingkapkan bahwa adalah sebagai tanggapan atas surat dari istana Kardinal Katolik Villeneuve, di Quebec, kepada Menteri Kehakiman, Ernest Lapointe, bahwa Saksi-Saksi Yehuwa dilarang di Kanada pada tahun 1940. Pejabat-pejabat pemerintah lainnya sesudah itu meminta penjelasan lengkap tentang alasan-alasan bagi tindakan tersebut, namun jawaban Lapointe sama sekali tidak memuaskan banyak anggota Parlemen Kanada.
Di belahan bumi lainnya, terjadi persekongkolan serupa oleh para pemimpin agama. Dalam arsip pemerintah Australia terdapat sepucuk surat dari uskup agung Katolik Roma di Sydney kepada Jaksa Agung W. M. Hughes yang mendesak agar Saksi-Saksi Yehuwa dinyatakan tidak sah. Surat tersebut ditulis pada tanggal 20 Agustus 1940, hanya lima bulan sebelum larangan diberlakukan. Sesudah meninjau kembali apa yang diduga menjadi dasar bagi larangan itu, Tn. Justice Williams dari Pengadilan Tinggi Australia belakangan berkata bahwa itu membawa ”dampak yaitu menjadikan pembelaan akan prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin agama Kristen tidak sah dan setiap kebaktian gereja yang diselenggarakan oleh mereka yang percaya akan kelahiran Kristus suatu pertemuan yang tidak sah.” Pada tanggal 14 Juni 1943, Pengadilan memutuskan bahwa larangan itu tidak konsisten dengan hukum Australia.
Di Swiss, sebuah surat kabar Katolik meminta agar kalangan berwenang menyita lektur Saksi-Saksi yang dianggap gereja menyakitkan hati. Mereka mengancam bahwa jika hal ini tidak dilakukan, mereka sendiri yang akan menjalankan hukum. Dan di banyak tempat di dunia, itulah yang mereka lakukan!
Para Pemimpin Agama Menggunakan Kekerasan
Para pemimpin agama Katolik di Prancis merasa bahwa mereka masih menguasai masyarakat dengan kuat, dan mereka bertekad agar tidak sesuatu pun menggugat monopoli tersebut. Selama tahun 1924-25, Siswa-Siswa Alkitab di banyak negeri menyebarkan risalah Ecclesiastics Indicted (Kependetaan Didakwa). Pada tahun 1925, J. F. Rutherford dijadwalkan untuk berkhotbah di Paris mengenai pokok ”Kepalsuan Kaum Pemimpin Agama Disingkapkan”. Mengenai apa yang terjadi pada perhimpunan itu, seorang saksi mata melaporkan, ”Ruangan penuh sesak. Saudara Rutherford tampil di panggung, dan ada sambutan tepuk tangan yang hangat. Ia mulai berbicara, ketika tiba-tiba kira-kira 50 imam dan anggota Aksi Katolik, dipersenjatai dengan tongkat, menyerbu ke dalam ruangan sambil menyanyikan La Marseillaise (lagu kebangsaan Prancis). Mereka melemparkan risalah-risalah dari tingkat atas. Seorang imam naik ke atas panggung. Dua pria muda mendorongnya kembali ke bawah. Tiga kali, Saudara Rutherford meninggalkan panggung dan kemudian kembali. Akhirnya ia pergi dan tidak kembali. . . . Meja-meja tempat lektur kita dipamerkan dijungkirbalikkan dan buku-buku kita terlempar ke mana-mana. Semua serba kacau!” Namun itu bukan satu-satunya insiden.
Jack Corr, sewaktu sedang memberi kesaksian di Irlandia, sering kali merasakan kemarahan para pemimpin agama Katolik. Pada suatu kesempatan satu gerombolan, yang dihasut oleh imam paroki, menyeretnya dari tempat tidur pada tengah malam dan kemudian membakar semua lekturnya di alun-alun kota. Di Roscrea, di Kabupaten Tipperary, Victor Gurd dan Jim Corby tiba di tempat penginapan mereka dan mendapati bahwa para penentang telah mencuri lektur mereka, menyiramnya dengan bensin, dan membakarnya. Di sekeliling nyala api itu berdirilah polisi setempat, para pemimpin agama, dan anak-anak dari daerah itu, sambil menyanyi ”Iman Para Leluhur Kami”.
Sebelum Saksi-Saksi Yehuwa bertemu di Madison Square Garden di New York pada tahun 1939, ancaman dilancarkan oleh para pengikut imam Katolik Charles Coughlin bahwa kebaktian itu akan dibubarkan. Polisi diberi tahu. Pada tanggal 25 Juni, Saudara Rutherford berkhotbah kepada 18.000 orang atau lebih di auditorium itu, dan juga kepada sejumlah besar pendengar radio di seluruh dunia, mengenai pokok ”Pemerintahan dan Perdamaian”. Sesudah ceramah itu mulai, 200 atau lebih orang Katolik Roma dan Nazi, yang dipimpin oleh beberapa imam Katolik, berkerumun di atas balkon. Pada waktu tanda terdengar, mereka memekik keras ”Heil Hitler!” dan ”Viva Franco!” Mereka menggunakan segala macam bahasa yang tidak senonoh dan mengancam serta menyerang banyak petugas tata tertib yang bertindak mengatasi gangguan itu. Gerombolan pengacau itu tidak berhasil membubarkan pertemuan. Saudara Rutherford terus berbicara dengan penuh kuasa dan tanpa gentar. Pada waktu kegaduhan memuncak, ia menyatakan, ”Perhatikan hari ini kaum Nazi dan Katolik yang ingin membubarkan pertemuan ini, tetapi karena kemurahan Allah mereka tidak dapat melakukannya.” Hadirin memberikan dukungan dengan acap kali memberikan tepuk tangan yang riuh. Gangguan itu menjadi bagian yang permanen dari rekaman suara yang dibuat pada peristiwa tersebut, dan itu telah didengar oleh orang-orang di banyak bagian dunia.
Akan tetapi, bila mungkin, seperti pada zaman Inkwisisi, para pemimpin agama Katolik Roma memanfaatkan Negara untuk menekan siapa pun yang berani mempermasalahkan ajaran dan praktek gereja.
Perlakuan Brutal Dalam Kamp Konsentrasi
Pada diri Adolf Hitler kaum pemimpin agama mempunyai sekutu yang rela. Selama tahun 1933, tahun yang sama saat suatu konkordat antara Vatikan dan Jerman Nazi ditandatangani, Hitler melancarkan suatu kampanye untuk membasmi Saksi-Saksi Yehuwa di Jerman. Menjelang tahun 1935, mereka dilarang di seluruh negeri. Namun siapa yang menghasut semua ini?
Seorang imam Katolik, dalam tulisannya di Der Deutsche Weg (sebuah surat kabar berbahasa Jerman yang terbit di Lodz, Polandia), dalam terbitannya tanggal 29 Mei 1938 mengatakan, ”Kini ada satu negara di bumi yang melarang . . . apa yang dinamakan Siswa-Siswa Alkitab [Saksi-Saksi Yehuwa]. Itulah Jerman! . . . Sewaktu Adolf Hitler mulai berkuasa, dan Episkopat Katolik Jerman mengulangi permintaan mereka, Hitler berkata, ’Apa yang dinamakan Siswa-Siswa Alkitab yang Sungguh-Sungguh [Saksi-Saksi Yehuwa] ini adalah pengacau-pengacau; . . . Saya menganggap mereka tukang obat; saya tidak mengizinkan orang-orang Katolik Jerman dinodai secara demikian oleh Rutherford si Hakim Amerika ini; saya membubarkan [Saksi-Saksi Yehuwa] di Jerman.’”—Cetak miring dari red.
Apakah hanya Episkopat Katolik Jerman yang menginginkan tindakan demikian? Seperti dilaporkan dalam Oschatzer Gemeinnützige tanggal 21 April 1933, dalam suatu khotbah melalui radio pada tanggal 20 April, rohaniwan Luteran bernama Otto berbicara tentang ”kerja sama yang paling erat” di pihak Gereja Luteran Jerman dari Negara Bagian Saxony dengan para pemimpin politik negara itu, dan kemudian ia menyatakan, ”Hasil-hasil pertama dari kerja sama ini sudah dapat dilaporkan berupa larangan yang pada hari ini dikenakan kepada Perkumpulan Siswa-Siswa Alkitab Internasional yang Sungguh-Sungguh [Saksi-Saksi Yehuwa] dan subdivisi di Saxony.”
Setelah itu, Negara Nazi itu melampiaskan salah satu penganiayaan yang paling biadab terhadap orang-orang Kristen dalam sejarah yang tercatat. Ribuan Saksi-Saksi Yehuwa—dari Jerman, Austria, Polandia, Cekoslowakia, Belanda, Prancis, dan negara-negara lain—dijebloskan ke dalam kamp-kamp konsentrasi. Di sini mereka mendapat perlakuan yang paling kejam dan sadis yang dapat dibayangkan. Bukan sesuatu yang luar biasa bila mereka dimaki-maki dan ditendang, kemudian dipaksa menekuk lutut, meloncat, merangkak selama berjam-jam terus-menerus, hingga mereka pingsan atau ambruk karena kelelahan, sementara para penjaga tertawa dengan gembira. Beberapa dipaksa untuk berdiri di halaman tanpa busana atau berpakaian tipis di tengah musim salju. Banyak yang dicambuk sampai pingsan dan punggung mereka berlumuran darah. Yang lain digunakan sebagai kelinci percobaan dalam eksperimen medis. Beberapa, dengan lengan diikat di belakang punggung, digantung pada pergelangan tangan mereka. Meskipun lemah akibat lapar dan tidak berpakaian secara memadai dalam cuaca beku, mereka dipaksa melakukan pekerjaan berat, selama berjam-jam, sering menggunakan tangan mereka sendiri sebagai sekop dan perkakas lain yang dibutuhkan. Dengan demikian pria maupun wanita diperlakukan sewenang-wenang. Usia mereka berkisar dari belasan hingga tujuh puluhan tahun. Para penyiksa mereka meneriakkan kata-kata tantangan terhadap Yehuwa.
Dalam upaya mematahkan semangat Saksi-Saksi, komandan kamp di Sachsenhausen memerintahkan agar August Dickmann, seorang Saksi muda, dieksekusi di hadapan semua tahanan, dengan Saksi-Saksi Yehuwa di barisan depan agar merasakan dampak yang sesungguhnya. Sesudah itu, para tahanan lain dibubarkan, namun Saksi-Saksi Yehuwa harus tetap tinggal. Dengan lantang sang komandan bertanya kepada mereka, ’Siapa yang sekarang siap untuk menandatangani deklarasi?’—deklarasi yang mengingkari iman dan menyatakan kesediaan untuk menjadi tentara. Tidak ada seorang pun dari antara 400 lebih Saksi-Saksi memberi tanggapan. Kemudian dua orang melangkah ke depan! Bukan, bukan untuk menandatangani, melainkan untuk meminta agar tanda tangan mereka yang diberikan kira-kira setahun yang lalu dibatalkan.
Dalam kamp Buchenwald, tekanan serupa dilancarkan. Opsir Nazi bernama Rödl memberi tahu Saksi-Saksi, ”Jika ada di antara kamu yang menolak untuk bertempur melawan Prancis atau Inggris, kamu semua harus mati!” Dua kompi SS yang bersenjata lengkap sedang menunggu di pos pintu gerbang. Tidak seorang pun di antara Saksi-Saksi yang menyerah. Perlakuan yang kasar menyusul, tetapi ancaman sang opsir tidak dijalankan. Namun setelah diketahui umum bahwa, seraya Saksi-Saksi dalam kamp melakukan hampir apa pun jenis pekerjaan yang ditugaskan, walaupun dihukum dengan kelaparan terus-menerus dan kerja lembur, mereka dengan tegas menolak untuk melakukan apa pun yang mendukung perang atau yang dimaksudkan untuk melawan sesama tahanan.
Apa yang mereka alami sukar dilukiskan. Ratusan dari mereka meninggal. Sesudah mereka yang selamat dibebaskan dari kamp-kamp seusai perang, seorang Saksi pria dari Flanders menulis, ”Hanya keinginan yang tak tergoyahkan untuk hidup, berharap dan mengandalkan Dia, Yehuwa, yang adalah mahakuasa, dan kasih akan sang Teokrat, yang memungkinkan untuk tekun menahan semua ini dan meraih kemenangan.—Roma 8:37.”
Orang-tua dipisahkan dari anak-anak mereka. Pasangan suami-istri dipisahkan, dan ada yang tidak pernah lagi saling mendengar berita. Tidak lama sesudah menikah, Martin Poetzinger ditangkap dan digiring ke kamp yang terkenal mengerikan di Dachau, kemudian ke Mauthausen. Istrinya, Gertrud, meringkuk di Ravensbrück. Mereka tidak bertemu satu sama lain selama sembilan tahun. Mengenang kembali pengalaman-pengalamannya di Mauthausen, ia belakangan menulis, ”Gestapo mencoba setiap metode untuk memaksa kami mengingkari iman kami kepada Yehuwa. Kelaparan, persahabatan palsu, kebrutalan, berdiri terentang berhari-hari, digantung di sebuah tonggak setinggi tiga meter dengan pergelangan tangan dipelintir di belakang punggung, didera—semua ini dan metode-metode lain yang terlalu hina untuk disebutkan telah diupayakan.” Namun ia tetap loyal kepada Yehuwa. Ia juga berada di antara mereka yang selamat, dan belakangan ia melayani sebagai anggota Badan Pimpinan Saksi-Saksi Yehuwa.
Dipenjarakan Karena Iman Mereka
Saksi-Saksi Yehuwa tidak berada dalam kamp-kamp konsentrasi karena mereka penjahat. Bila para opsir mencari seseorang untuk mencukur orang-orang ini, mereka mempercayakan seorang Saksi memegang pisau cukur, karena mereka tahu bahwa tidak ada Saksi yang akan pernah menggunakan alat demikian sebagai senjata untuk mencelakakan manusia lain. Ketika para opsir SS di kamp pembantaian Auschwitz membutuhkan seseorang untuk membersihkan rumah mereka atau mengurus anak-anak mereka, mereka memilih Saksi-Saksi, karena mereka tahu bahwa orang-orang ini tidak akan berusaha meracuni mereka atau berupaya melarikan diri. Ketika kamp Sachsenhausen dikosongkan sewaktu perang usai, para pengawal memarkir sebuah mobil station wagon yang berisi barang jarahan mereka di tengah-tengah rombongan Saksi-Saksi. Mengapa? Karena mereka tahu bahwa Saksi-Saksi tidak akan mencuri barang-barang mereka.
Saksi-Saksi Yehuwa dipenjarakan karena iman mereka. Berulang kali mereka dijanjikan akan dibebaskan dari kamp-kamp hanya dengan syarat menandatangani suatu pernyataan yang menyangkal kepercayaan-kepercayaan mereka. Tentara SS berupaya mati-matian membujuk atau memaksa Saksi-Saksi agar mau menandatangani pernyataan demikian. Inilah yang mereka inginkan di atas segala-galanya.
Semua kecuali beberapa orang di antara Saksi-Saksi membuktikan integritas mereka yang tak terpatahkan. Namun mereka lebih daripada sekadar menderita karena loyalitas mereka kepada Yehuwa dan pengabdian mereka kepada nama Kristus. Mereka berbuat lebih daripada sekadar menahan siksaan berat yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mempertahankan ikatan persatuan rohani yang kuat.
Semangat mereka bukanlah semangat untuk menyelamatkan diri dengan cara apa pun. Mereka menunjukkan kasih yang rela berkorban terhadap satu sama lain. Bila salah seorang di antara mereka menjadi lemah, yang lain membagikan jatah makanan mereka yang memang amat sedikit itu. Bila tidak tersedia perawatan medis sama sekali, mereka dengan pengasih mengurus satu sama lain.
Meskipun semua upaya dikerahkan oleh para penganiaya untuk mencegahnya, namun bahan untuk pengajaran Alkitab tetap sampai ke tangan Saksi-Saksi—tersembunyi dalam paket-paket hadiah dari luar, melalui mulut-mulut para tahanan yang baru tiba, bahkan tersembunyi dalam kaki kayu seorang tahanan baru, atau dengan cara-cara lain sewaktu mereka melakukan tugas pekerjaan di luar kamp. Salinan-salinan disampaikan secara estafet; kadang-kadang diperbanyak secara sembunyi-sembunyi dengan mesin-mesin yang justru berada di kantor-kantor para pejabat kamp. Walaupun terancam bahaya besar, beberapa perhimpunan Kristen diadakan bahkan di dalam kamp-kamp.
Saksi-Saksi terus mengabarkan bahwa Kerajaan Allah merupakan satu-satunya harapan bagi umat manusia—dan mereka melakukannya dalam kamp-kamp konsentrasi! Di Buchenwald, sebagai hasil kegiatan yang terorganisasi, ribuan penghuni kamp mendengar kabar baik. Di kamp Neuengamme, dekat Hamburg, suatu kampanye pemberian kesaksian yang intensif direncanakan secara cermat dan dilaksanakan pada awal tahun 1943. Kartu-kartu kesaksian disiapkan dalam berbagai bahasa yang digunakan dalam kamp. Upaya-upaya dilakukan untuk mencapai setiap tahanan. Penyelenggaraan dibuat untuk pengajaran Alkitab yang tetap tentu secara pribadi dengan orang-orang yang berminat. Saksi-Saksi begitu bergairah dalam pengabaran mereka sehingga beberapa tahanan politik mengeluh, ”Ke mana pun kalian pergi, yang kalian bicarakan hanyalah tentang Yehuwa!” Ketika perintah datang dari Berlin untuk memencarkan Saksi-Saksi ke antara tahanan-tahanan lain dengan maksud melemahkan mereka, ini justru memungkinkan mereka untuk memberi kesaksian kepada lebih banyak orang.
Mengenai 500 atau lebih Saksi-Saksi wanita yang setia di Ravensbrück, seorang kemenakan perempuan dari Jenderal Charles de Gaulle dari Prancis menulis sesudah ia sendiri dibebaskan, ”Saya betul-betul kagum kepada mereka. Mereka berasal dari berbagai kebangsaan: Jerman, Polandia, Rusia dan Ceko, dan telah bertekun menghadapi penderitaan yang sangat hebat demi kepercayaan mereka. . . . Mereka semua menunjukkan keberanian yang sangat besar dan sikap mereka pada akhirnya membangkitkan bahkan respek pasukan SS. Mereka sebenarnya dapat segera dibebaskan jika mereka menyangkal iman mereka. Namun, sebaliknya, mereka tidak menghentikan pertahanan, bahkan berhasil memasukkan buku-buku dan risalah-risalah ke dalam kamp.”
Seperti Yesus Kristus, mereka membuktikan diri telah mengalahkan dunia yang berupaya menjadikan mereka serupa dengan karakternya yang bersifat setan. (Yoh. 16:33) Christine King, dalam buku New Religious Movements, A Perspective for Understanding Society, berkata tentang mereka, ”Saksi-Saksi Yehuwa mengajukan tantangan kepada konsep totaliter masyarakat baru, dan tantangan ini, maupun kegigihannya untuk bertahan, secara demonstratif mengganggu para arsitek tatanan baru itu. . . . Metode-metode yang sudah lama dipraktekkan berupa penganiayaan, penyiksaan, pemenjaraan dan ejekan tidaklah menghasilkan pertobatan seorang pun di antara Saksi-Saksi kepada pendirian Nazi dan pada kenyataannya menghasilkan serangan balik terhadap para penghasut mereka. . . . Di antara dua penuntun yang bersaing ini yang ingin memenangkan loyalitas, pertarungannya sengit, bahkan lebih, karena Nazi yang secara fisik lebih kuat dalam banyak hal kurang yakin, kurang berakar pada ketegasan dari keyakinan mereka sendiri, kurang pasti akan kemampuan bertahan dari Pemerintahan 1.000 tahun mereka. Saksi-Saksi tidak meragukan fondasi mereka sendiri, sebab iman mereka telah nyata sejak zaman Habel. Sementara Nazi harus membungkam oposisi dan meyakinkan para pendukung mereka, sering meminjam bahasa dan perumpamaan dari sekte kekristenan yang fanatik, Saksi-Saksi yakin mengenai loyalitas total dan tidak terpatahkan dari para anggota mereka, bahkan sampai mati.”—Diterbitkan pada tahun 1982.
Pada akhir perang, lebih dari seribu Saksi selamat keluar dari kamp-kamp, dengan iman mereka tetap utuh dan kasih mereka seorang terhadap yang lain tetap kuat. Seraya tentara-tentara Rusia kian mendekat, para pengawal cepat mengosongkan Sachsenhausen. Mereka mengelompokkan para tahanan menurut kebangsaan. Namun Saksi-Saksi Yehuwa tetap tinggal bersama sebagai satu kelompok—230 orang di antara mereka di kamp ini. Karena pasukan Rusia berada dekat di belakang mereka, para pengawal menjadi gempar. Tidak ada makanan, dan para tahanan dalam keadaan lemah; namun, siapa pun yang tertinggal di belakang atau ambruk karena kepayahan ditembak mati. Ribuan orang yang berada dalam keadaan demikian berserakan di sepanjang jalan yang dilalui barisan. Namun Saksi-Saksi saling membantu sehingga bahkan yang paling lemah pun tidak ada yang tergeletak di jalan! Padahal beberapa berusia antara 65 dan 72 tahun. Di sepanjang jalan tahanan-tahanan lain berusaha untuk mencuri makanan, dan banyak yang ditembak ketika sedang melakukannya. Sebaliknya, Saksi-Saksi Yehuwa memanfaatkan kesempatan untuk menceritakan kepada orang-orang di sepanjang rute pengungsian tentang maksud-tujuan Yehuwa yang pengasih, dan beberapa di antara orang-orang ini, karena bersyukur atas berita yang menyejukkan hati, memberikan makanan kepada mereka dan saudara-saudara Kristen mereka.
Para Pemimpin Agama Terus Berupaya Melawan
Setelah Perang Dunia II, para pemimpin agama di bagian timur Cekoslowakia terus menghasut agar Saksi-Saksi Yehuwa dianiaya. Selama masa Nazi berkuasa, Saksi-Saksi dituduh Komunis; sekarang mereka menyatakan bahwa Saksi-Saksi melawan pemerintah Komunis. Kadang-kadang, bila Saksi-Saksi Yehuwa mengadakan kunjungan ke rumah orang-orang, para imam mendesak guru-guru untuk membiarkan ratusan anak ke luar sekolah untuk melempari Saksi-Saksi dengan batu.
Sama halnya, di Santa Ana, El Salvador, para imam Katolik melancarkan hasutan terhadap Saksi-Saksi pada tahun 1947. Ketika saudara-saudara sedang mengadakan Pelajaran Watchtower mingguan mereka, anak-anak lelaki melemparkan batu-batu melalui pintu yang terbuka. Lalu datanglah arak-arakan yang dipimpin oleh imam-imam. Beberapa membawa obor; yang lain membawa patung. ”Hidup Sang Perawan!” seru mereka. ”Semoga Yehuwa mati!” Selama kurang lebih dua jam gedung itu dilempari batu.
Pada pertengahan tahun 1940-an, Saksi-Saksi Yehuwa di Quebec, Kanada, juga menjadi sasaran perlakuan kejam yang mengerikan di tangan gerombolan Katolik dan juga para pejabat. Utusan-utusan dari istana uskup setiap hari berkunjung ke kepolisian untuk meminta agar polisi mengenyahkan Saksi-Saksi. Sering kali, sebelum penangkapan dilakukan, polisi tampak muncul dari pintu belakang gereja. Pada tahun 1949, utusan-utusan injil dari Saksi-Saksi Yehuwa dihalau ke luar dari Joliette, Quebec, oleh gerombolan Katolik.
Namun tidak semua orang di Quebec setuju dengan apa yang sedang dilakukan. Dewasa ini, ada sebuah Balai Kerajaan Saksi-Saksi Yehuwa yang indah di salah satu jalan raya utama di Joliette. Bekas seminari di situ telah ditutup, dibeli oleh pemerintah, dan diubah menjadi sebuah perguruan tinggi untuk lingkungan masyarakat setempat. Dan di Montreal, Saksi-Saksi Yehuwa telah mengadakan kebaktian internasional yang besar, dengan hadirin sebanyak 80.008 pada tahun 1978.
Meskipun demikian, Gereja Katolik telah menggunakan setiap cara yang ada untuk mempertahankan pengawasan yang ketat atas orang-orang. Dengan menekan para pejabat pemerintah, mereka mengatur agar para utusan injil Saksi diperintahkan untuk meninggalkan Italia pada tahun 1949 dan bahwa, bila mungkin, surat izin yang telah diperoleh Saksi-Saksi untuk mengadakan kebaktian-kebaktian di sana dibatalkan selama tahun 1950-an. Meskipun demikian, jumlah Saksi-Saksi Yehuwa terus bertambah, dan menjelang tahun 1992 ada lebih dari 190.000 penginjil Saksi di Italia.
Sebagaimana halnya pada masa Inkwisisi, para pemimpin agama di Spanyol mengajukan pengaduan dan kemudian membiarkan Negara melakukan pekerjaan kotornya. Misalnya, di Barcelona, tempat uskup agung melancarkan suatu perang salib terhadap Saksi-Saksi pada tahun 1954, para pemimpin agama menggunakan mimbar mereka maupun sekolah-sekolah dan radio untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa bila Saksi-Saksi mengunjungi mereka, mereka hendaknya mengundang Saksi-Saksi itu masuk—dan kemudian segera memanggil polisi.
Para imam khawatir jika masyarakat Spanyol belajar Alkitab dan mungkin bahkan memperlihatkan kepada orang lain apa yang telah mereka lihat. Ketika Manuel Mula Giménez dipenjarakan di Granada pada tahun 1960 karena ”kejahatan” yakni mengajar orang lain tentang Alkitab, rohaniwan penjara (seorang imam Katolik) menyuruh agar satu-satunya Alkitab yang ada dalam perpustakaan penjara itu disingkirkan. Dan ketika seorang tahanan lain meminjamkan kepada Manuel sebuah Kitab Injil, Kitab ini dirampas dari tangannya. Namun dewasa ini Alkitab telah mencapai masyarakat umum di Spanyol, mereka telah mendapat kesempatan untuk melihat sendiri isinya, dan menjelang tahun 1992, ada lebih dari 90.000 orang yang telah berpihak kepada ibadat Yehuwa sebagai Saksi-Saksi-Nya.
Di Republik Dominika, para pemimpin agama bekerja sama dengan Diktator Trujillo, dan menggunakan dia untuk mencapai tujuan mereka bahkan seolah-olah ia telah menggunakan mereka demi kepentingannya sendiri. Pada tahun 1950, sesudah artikel-artikel surat kabar yang ditulis oleh imam-imam mengecam Saksi-Saksi Yehuwa, pengawas cabang dari Lembaga Menara Pengawal dipanggil menghadap oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepolisian. Seraya ia menunggu di luar kantor, pengawas cabang itu melihat dua orang imam Jesuit masuk dan kemudian pergi. Segera sesudah itu, ia dipanggil masuk ke dalam kantor Menteri, dan sang Menteri dengan gugup membacakan surat keputusan yang melarang kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa. Sesudah larangan itu dicabut untuk waktu yang singkat pada tahun 1956, para pemimpin agama menggunakan baik radio maupun pers untuk kembali memfitnah Saksi-Saksi. Sidang-sidang jemaat secara keseluruhan ditangkap dan diperintahkan untuk menandatangani sebuah pernyataan yang mengingkari iman mereka dan berjanji untuk kembali ke Gereja Katolik Roma. Ketika Saksi-Saksi menolak, mereka dipukul, ditendang, dicambuk, dan wajah mereka dihajar dengan gagang senapan. Namun mereka tetap teguh, dan jumlah mereka bertambah.
Di Sucre, Bolivia, terjadi lebih banyak kekerasan. Ketika berlangsung suatu kebaktian Saksi-Saksi Yehuwa pada tahun 1955, segerombolan anak Sekolah Katolik Hati Kudus mengepung tempat kebaktian, meneriakkan yel-yel, dan melemparkan batu. Dari gedung gereja di seberang jalan, sebuah pengeras suara yang kuat mendesak semua orang Katolik untuk membela gereja dan ”Sang Perawan” terhadap ”orang-orang Protestan yang murtad”. Uskup dan para imam secara pribadi berupaya mengacaukan perhimpunan namun diperintahkan ke luar dari gedung oleh polisi.
Tahun sebelumnya, ketika Saksi-Saksi Yehuwa mengadakan suatu kebaktian di Riobamba, Ekuador, acara mereka menonjolkan sebuah khotbah umum berjudul ”Kasih, Praktiskah Dalam Suatu Dunia yang Mementingkan Diri?” Namun seorang imam Jesuit telah menghasut umat Katolik, dan mendesak mereka untuk menghalangi perhimpunan tersebut. Maka, seraya khotbah itu berlangsung, terdengarlah segerombolan orang berteriak, ”Hidup Gereja Katolik!” dan, ”Ganyang Orang-Orang Protestan!” Polisi patut dipuji karena menahan mereka, dengan pedang terhunus. Namun gerombolan itu menghujani tempat perhimpunan dengan batu dan, kemudian, gedung tempat tinggal para utusan injil.
Para pemimpin agama Katolik Roma berada dalam barisan depan dari penganiayaan tersebut, namun bukan mereka saja. Para pemimpin agama Ortodoks Yunani sama ganasnya dan menggunakan taktik-taktik yang sama, di daerah-daerah kekuasaan mereka yang lebih terbatas. Selain itu, di tempat-tempat yang mereka anggap mereka dapat melakukannya, banyak di antara para pemimpin agama Protestan telah memperlihatkan semangat yang serupa. Misalnya, di Indonesia mereka telah memimpin gerombolan-gerombolan yang membubarkan pengajaran-pengajaran Alkitab di rumah-rumah pribadi dan yang dengan ganas memukul Saksi-Saksi Yehuwa yang hadir di sana. Di beberapa negara Afrika, mereka telah berupaya mempengaruhi para pejabat agar mengusir Saksi-Saksi Yehuwa ke luar negeri atau agar mencabut kebebasan mereka untuk berbicara tentang Firman Allah kepada orang lain. Meskipun mereka tidak sependapat mengenai hal-hal lain, para pemimpin agama Katolik dan Protestan secara keseluruhan seia sekata berkenaan perlawanan mereka terhadap Saksi-Saksi Yehuwa. Kadang-kadang mereka bahkan bergabung dalam upaya mereka untuk mempengaruhi pejabat-pejabat pemerintah agar menghentikan kegiatan Saksi-Saksi. Di tempat-tempat yang didominasi oleh agama-agama non-Kristen, mereka juga sering memanfaatkan pemerintah untuk mengisolasi umat mereka dari setiap kesempatan yang terbuka bagi ajaran-ajaran yang dapat menyebabkan mereka mempertanyakan agama yang telah mereka anut sejak lahir.
Kadang kala, kelompok-kelompok non-Kristen ini telah menggalang kekuatan dengan mereka yang mengaku Kristen dalam rencana licik untuk mempertahankan status quo agama. Di Dekin, di Dahomey (kini Benin), seorang dukun dan seorang imam Katolik berkomplot bersama untuk meminta para pejabat memberangus kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa pada awal tahun 1950-an. Karena penasaran mereka merekayasa berbagai tuduhan yang diperhitungkan dapat membangkitkan segala macam perasaan bermusuhan. Mereka menuduh Saksi-Saksi mendesak masyarakat agar memberontak terhadap pemerintah, tidak membayar pajak, menjadi penyebab mengapa juju (jimat orang Afrika) tidak mendatangkan hujan, dan bertanggung jawab atas ketidakefektifan doa-doa dari sang dukun. Semua pemimpin agama itu takut kalau penganutnya belajar hal-hal yang akan membebaskan mereka dari kepercayaan takhayul dan dari hidup dalam kepatuhan yang membabi buta.
Akan tetapi, lama-kelamaan pengaruh para pemimpin agama telah menyusut di banyak tempat. Para pemimpin agama kini mendapati bahwa polisi tidak selalu berada di belakang mereka bila mereka mengganggu Saksi-Saksi. Ketika seorang imam Ortodoks Yunani berupaya membubarkan suatu kebaktian Saksi-Saksi Yehuwa dengan kekerasan massa di Larissa, Yunani, pada tahun 1986, jaksa wilayah bersama sepasukan besar polisi turun tangan untuk membela Saksi-Saksi. Dan kadang kala pers cukup blak-blakan dalam mengecam tindakan-tindakan agama yang tidak toleran.
Meskipun demikian, di banyak bagian dunia, sengketa-sengketa lain telah mendatangkan gelombang-gelombang penganiayaan. Salah satu dari sengketa-sengketa ini menyangkut sikap Saksi-Saksi Yehuwa terhadap lambang-lambang nasional.
Karena Mereka Hanya Menyembah Yehuwa
Pada zaman modern di Jerman Nazi inilah Saksi-Saksi Yehuwa pertama kali secara mencolok dihadapkan kepada sengketa-sengketa yang menyangkut upacara nasionalistis. Hitler berupaya mendisiplin bangsa Jerman dengan mewajibkan untuk mengangkat tangan ala Nazi ”Heil Hitler!”. Sebagaimana dilaporkan oleh wartawan Swedia dan penyiar BBC Björn Hallström, ketika Saksi-Saksi Yehuwa di Jerman ditangkap selama era Nazi, tuduhan-tuduhan terhadap mereka biasanya mencakup ”penolakan untuk memberi salut kepada bendera dan mengangkat tangan ala Nazi”. Segera negara-negara lain mulai menuntut agar setiap orang memberi salut kepada bendera mereka. Saksi-Saksi Yehuwa menolak—bukan karena tidak loyal melainkan karena alasan yang menyangkut hati nurani Kristen. Mereka menaruh respek kepada bendera namun menganggap salut kepada bendera sebagai tindakan ibadat.f
Sesudah kurang lebih 1.200 Saksi dipenjarakan di Jerman pada awal era Nazi karena menolak untuk mengangkat tangan ala Nazi dan untuk melanggar kenetralan Kristen mereka, ribuan secara fisik diperlakukan dengan kejam di Amerika Serikat karena mereka tidak mau memberi salut kepada bendera Amerika. Selama pekan 4 November 1935, sejumlah anak sekolah di Canonsburg, Pennsylvania, digiring ke ruang ketel uap sekolah dan dicambuk karena menolak memberi salut. Grace Estep, seorang guru, dicopot dari kedudukannya di sekolah tersebut karena alasan yang sama. Pada tanggal 6 November, William dan Lillian Gobitas menolak untuk memberi salut kepada bendera dan dikeluarkan dari sekolah di Minersville, Pennsylvania. Ayah mereka menggugat ke pengadilan agar anak-anaknya diterima kembali. Baik pengadilan distrik federal maupun pengadilan banding tingkat wilayah mengambil keputusan dalam kasus itu dengan memenangkan Saksi-Saksi Yehuwa. Akan tetapi, pada tahun 1940, karena negara berada di ambang perang, Mahkamah Agung AS, dalam kasus Minersville School District v. Gobitis, dengan keputusan 8 lawan 1, menegaskan wajib salut kepada bendera di sekolah-sekolah negeri. Ini mengakibatkan pecahnya tindak kekerasan di seluruh negeri itu terhadap Saksi-Saksi Yehuwa.
Ada begitu banyak serangan yang disertai kekerasan atas Saksi-Saksi Yehuwa sehingga Ny. Eleanor Roosevelt (istri Presiden F. D. Roosevelt) mengimbau masyarakat agar menghentikannya. Pada tanggal 16 Juni 1940, pembantu jaksa agung AS, Francis Biddle, dalam sebuah siaran radio dari pantai ke pantai, menyebut secara spesifik kekejaman-kekejaman yang dilakukan terhadap Saksi-Saksi dan mengatakan bahwa hal-hal ini tidak akan ditoleransi. Namun ini tidak menghentikan arus tindakan kekejaman.
Dalam setiap kesempatan yang memungkinkan—di jalan-jalan, di tempat-tempat bekerja, ketika Saksi-Saksi mengunjungi rumah-rumah dalam pelayanan mereka—bendera disodorkan ke hadapan mereka, dengan permintaan agar mereka memberi salut kepadanya—kalau tidak diri mereka terancam! Pada akhir tahun 1940, Yearbook of Jehovah’s Witnesses melaporkan, ”Hierarki dan Legiun Amerika, melalui gerombolan-gerombolan yang main hakim sendiri, dengan penuh kekerasan menyebabkan kerusakan yang tak terlukiskan. Saksi-Saksi Yehuwa telah diserang, dipukuli, diculik, dihalau ke luar dari kota, kabupaten dan negara bagian, dilumuri ter dan ditempeli bulu-bulu, dipaksa untuk minum kastroli (obat pencahar), diikat bersama dan dikejar di sepanjang jalan bagaikan hewan dungu, dikebiri dan dibuat cacat, diejek dan dihina oleh massa yang kerasukan, dipenjarakan dalam jumlah ratusan tanpa tuduhan dan ditahan dengan larangan untuk berhubungan dengan orang lain dan juga tidak boleh menggunakan hak untuk berunding dengan sanak-saudara, teman atau pengacara. Ratusan lainnya telah dipenjarakan dan ditahan untuk apa yang disebut alasan keamanan pribadi, ada yang ditembak pada malam hari; beberapa diancam akan digantung dan dipukuli hingga pingsan. Banyak jenis pengeroyokan telah terjadi. Banyak yang pakaiannya dikoyak-koyak, Alkitab mereka dan lektur lain dirampas dan dibakar di muka umum; mobil, trailer, rumah dan tempat kebaktian diobrak-abrik dan dibakar . . . Dalam banyak kejadian yang memungkinkan diadakannya pengadilan dalam lingkungan masyarakat yang dikuasai oleh gerombolan, para pengacara maupun saksi-saksi yang tampil telah dikeroyok dan dipukuli pada waktu mereka hadir di pengadilan. Dalam hampir setiap kasus yang menyangkut pengeroyokan, para pejabat pemerintah tidak berbuat apa-apa dan menolak untuk memberikan perlindungan, dan dalam puluhan kejadian para penegak hukum ikut serta dalam gerombolan dan kadang-kadang benar-benar memimpin gerombolan.” Sejak tahun 1940 hingga 1944, lebih dari 2.500 serangan berupa pengeroyokan menimpa Saksi-Saksi Yehuwa di Amerika Serikat.
Karena dikeluarkannya anak-anak Saksi-Saksi Yehuwa dari sekolah secara besar-besaran, untuk beberapa waktu selama akhir tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an mereka perlu mengelola sekolah-sekolah mereka sendiri di Amerika Serikat dan Kanada agar dapat menyediakan pendidikan bagi anak-anak mereka. Ini dinamakan Sekolah-Sekolah Kerajaan.
Negara-negara lain juga telah menganiaya Saksi-Saksi dengan hebat karena mereka tidak mau memberi salut atau mencium emblem-emblem nasional. Pada tahun 1959, anak-anak Saksi-Saksi Yehuwa di Kosta Rika yang tidak ingin terlibat dalam apa yang dilukiskan oleh hukum sebagai ’ibadat kepada Lambang-Lambang Nasional’ dilarang masuk sekolah. Perlakuan serupa ditimpakan kepada anak-anak Saksi di Paraguay pada tahun 1984. Mahkamah Agung Filipina memutuskan pada tahun 1959 bahwa, walaupun adanya keberatan-keberatan agama, anak-anak dari Saksi-Saksi Yehuwa dapat diwajibkan untuk memberi salut kepada bendera. Meskipun demikian, kalangan berwenang sekolah yang ada di sana, dalam sebagian besar kasus, bekerja sama dengan Saksi-Saksi sehingga anak-anak mereka dapat bersekolah tanpa melanggar hati nurani mereka. Pada tahun 1963, para pejabat di Liberia, Afrika Barat, menuduh Saksi-Saksi bersikap tidak loyal kepada Negara; mereka secara paksa membubarkan sebuah kebaktian yang diselenggarakan oleh Saksi-Saksi di Gbarnga dan menuntut agar setiap orang yang hadir—orang Liberia maupun orang asing—menyatakan sumpah setia kepada bendera nasional. Pada tahun 1976 sebuah laporan berjudul ”Saksi-Saksi Yehuwa di Kuba” menyatakan bahwa selama dua tahun sebelumnya, seribu orang-tua, pria maupun wanita, telah dijebloskan ke penjara karena anak-anak mereka tidak memberi salut kepada bendera.
Tidak setiap orang setuju dengan tindakan-tindakan represif demikian terhadap orang-orang yang, karena alasan hati nurani, dengan penuh respek tidak ambil bagian dalam upacara-upacara patriotik. The Open Forum, yang diterbitkan oleh Cabang dari Perserikatan Kemerdekaan Sipil Amerika di Kalifornia Selatan, menyatakan pada tahun 1941, ”Sudah waktunya kita mulai insaf mengenai masalah salut kepada bendera ini. Saksi-Saksi Yehuwa bukanlah orang-orang Amerika yang tidak loyal. . . . Mereka cenderung untuk tidak melanggar hukum pada umumnya, melainkan menempuh kehidupan yang sopan dan tertib, ikut menyumbang kepada kebaikan umum.” Pada tahun 1976 seorang kolumnis surat kabar di Argentina, dalam Herald Buenos Aires, dengan terus terang mengamati bahwa ”kepercayaan-kepercayaan itu hanya menyakitkan hati bagi mereka yang berpikir bahwa patriotisme terutama merupakan soal melambai-lambaikan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan, bukan soal hati.” Ia menambahkan, ”Hitler dan Stalin menganggap [Saksi-Saksi] tidak dapat dilumatkan, dan memperlakukan mereka dengan buruk sekali. Banyak diktator lain yang mendambakan kepatuhan dari mereka telah berupaya menindas mereka. Dan gagal.”
Sudah dikenal luas bahwa beberapa kelompok agama telah mendukung kekerasan bersenjata melawan pemerintahan yang tidak mereka setujui. Namun di mana pun di bumi tidak ada Saksi-Saksi Yehuwa yang pernah terlibat dalam subversi politik. Hal itu bukan karena mereka tidak loyal—karena mendukung pemerintahan manusia lain—sehingga mereka menolak untuk memberi salut kepada suatu emblem nasional. Mereka mengambil pendirian yang sama di setiap negara tempat mereka tinggal. Sikap mereka bukanlah karena tidak respek. Mereka tidak bersiul atau berteriak mengganggu upacara patriotik; mereka tidak meludahi bendera, menginjaknya, atau membakarnya. Mereka bukan anti-pemerintah. Sikap mereka didasarkan atas ucapan Yesus sendiri, sebagaimana tercatat di Matius 4:10, ”Engkau harus menyembah Tuhan [”Yehuwa”, NW], Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”
Pendirian yang diambil oleh Saksi-Saksi Yehuwa sama seperti yang diambil oleh umat Kristen masa awal di zaman Kekaisaran Romawi. Mengenai umat Kristen masa awal tersebut, buku Essentials of Bible History menyatakan, ”Tindakan ibadat kaisar terdiri dari menaburkan sedikit kemenyan atau memercikkan beberapa tetes anggur ke atas sebuah mezbah yang terletak di depan sebuah patung kaisar. Mungkin karena kita berada jauh dari situasi ini maka kita melihat tindakan itu tidak berbeda dengan . . . mengangkat tangan sebagai salut kepada bendera atau kepada penguasa negara yang terhormat, suatu pernyataan hormat, respek, dan patriotisme. Mungkin cukup banyak orang pada abad pertama merasa demikian namun tidak demikian halnya umat Kristen. Mereka memandang seluruh masalah itu sebagai masalah ibadat agama, yakni mengakui kaisar sebagai suatu ilah dan karena itu menjadi tidak loyal kepada Allah dan Kristus, dan mereka menolak untuk melakukannya.”—Elmer W. K. Mould, tahun 1951, hlm. 563.
Dibenci Karena ”Bukan Bagian dari Dunia”
Karena Yesus berkata bahwa murid-muridnya ”bukan bagian dari dunia”, maka Saksi-Saksi Yehuwa tidak ambil bagian dalam urusan-urusan politiknya. (Yoh. 17:16, NW; 6:15, NW) Dalam hal ini pula, mereka sama seperti umat Kristen masa awal, yang mengenainya para sejarawan berkata,
”Kekristenan masa awal kurang dipahami dan dipandang dengan perasaan kurang senang oleh mereka yang memerintah dunia kafir. . . . Umat Kristen menolak ambil bagian dalam tugas-tugas tertentu dari para warga negara Romawi. . . . Mereka tidak akan memegang jabatan politik.” (On the Road to Civilization—A World History, A. K. Heckel dan J. G. Sigman, tahun 1937, hlm. 237-8) ”Mereka menolak ambil bagian yang aktif dalam administrasi sipil atau pertahanan militer dari kekaisaran. . . . Adalah mustahil bahwa umat Kristen, tanpa mengingkari suatu tugas yang lebih suci, dapat menempati kedudukan sebagai prajurit, pejabat, atau pangeran.”—History of Christianity, Edward Gibbon, tahun 1891, hlm. 162-3.
Pendirian ini tidak dipandang baik oleh dunia, teristimewa di negeri-negeri yang penguasanya menuntut agar setiap orang berpartisipasi dalam kegiatan tertentu sebagai bukti dukungan kepada sistem politik. Hasilnya adalah seperti yang dinyatakan oleh Yesus, ”Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan [bagian, NW] dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.”—Yoh. 15:19.
Di beberapa negeri, memberi suara dalam pemilihan umum politik dianggap wajib. Yang tidak ikut memberi suara diancam dengan hukuman denda, penjara, atau lebih buruk lagi. Namun Saksi-Saksi Yehuwa mendukung Kerajaan Mesias Allah, yang, sebagaimana dikatakan Yesus, ”bukan bagian dari dunia ini”. Oleh sebab itu, mereka tidak berpartisipasi dalam urusan-urusan politik dari bangsa-bangsa di dunia ini. (Yoh. 18:36, NW) Keputusan ini bersifat pribadi; mereka tidak memaksakan pandangan mereka atas orang-orang lain. Di tempat tidak ada toleransi agama, karena Saksi-Saksi tidak mau berpartisipasi; pejabat-pejabat pemerintah telah menggunakan hal ini sebagai dalih untuk menganiaya mereka secara keji. Selama era Nazi, misalnya, hal ini dilakukan di negeri-negeri yang berada di bawah kendali mereka. Hal itu juga telah dilakukan di Kuba. Akan tetapi, para pejabat di banyak negeri telah bersikap lebih toleran.
Namun, di beberapa tempat mereka yang berkuasa telah menuntut agar setiap orang menyatakan dukungan kepada partai politik yang berkuasa dengan memekikkan slogan-slogan tertentu. Karena sesuai dengan hati nurani mereka tidak dapat melakukannya, ribuan Saksi-Saksi Yehuwa di Afrika bagian timur dipukuli, nafkah mereka dirampas, dan mereka diusir dari rumah-rumah mereka selama tahun 1970-an dan 1980-an. Namun Saksi-Saksi Yehuwa di semua negeri, meskipun mereka rajin dan patuh kepada hukum, adalah orang-orang Kristen yang netral sehubungan dengan sengketa-sengketa politik.
Di Malawi, hanya terdapat satu partai politik, dan memiliki kartu partai membuktikan keanggotaan. Walaupun Saksi-Saksi merupakan teladan dalam hal membayar pajak, selaras dengan kepercayaan agama mereka, mereka tidak mau membeli kartu partai politik. Berbuat demikian akan sama dengan mengingkari iman mereka kepada Kerajaan Allah. Karena hal ini, pada akhir tahun 1967, dengan anjuran dari para pejabat pemerintah, geng-geng orang muda di seluruh Malawi melancarkan serangan habis-habisan terhadap Saksi-Saksi Yehuwa yang tidak ada taranya dalam hal kecabulan dan kekejamannya yang sadis. Lebih dari seribu wanita Kristen yang saleh diperkosa. Pakaian beberapa orang dilucuti hingga telanjang di hadapan gerombolan-gerombolan besar, dipukuli dengan tongkat dan kepalan tinju, dan kemudian diserang secara seksual oleh orang-orang secara bergiliran. Kaki dari para pria ditembusi paku dan ruji-ruji roda sepeda, dan kemudian mereka diperintahkan untuk lari. Di seluruh negeri itu rumah, perabotan, pakaian, dan persediaan makanan mereka dihancurkan.
Kembali, pada tahun 1972, ledakan kebrutalan demikian yang diperbarui terjadi setelah sidang tahunan dari Partai Kongres Malawi. Dalam sidang tersebut dengan resmi diputuskan agar Saksi-Saksi Yehuwa dicabut dari segala pekerjaan duniawi dan mengusir mereka dari rumah mereka. Bahkan imbauan para majikan untuk mempertahankan pekerja-pekerja yang terpercaya ini sia-sia. Tempat tinggal, panen, dan binatang piaraan disita atau dimusnahkan. Saksi-Saksi dicegah untuk mengambil air dari sumur desa. Banyak yang dipukuli, diperkosa, dibuat cacat, atau dibunuh. Sepanjang waktu mereka dicemooh dan diejek karena iman mereka. Lebih dari 34.000 orang akhirnya lari ke luar negeri untuk menghindarkan diri agar tidak dibunuh.
Namun itu semua belum cukup. Mula-mula dari satu negara dan kemudian dari negara lain, mereka dipaksa pulang kembali melintasi perbatasan ke tangan penganiaya mereka, sehingga mengalami lebih banyak kekejaman. Namun, meskipun mengalami semua itu, mereka tidak berkompromi, dan mereka tidak meninggalkan iman mereka kepada Allah Yehuwa. Mereka terbukti seperti hamba-hamba Allah yang setia yang mengenainya Alkitab berkata, ”Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan. Dunia ini tidak layak bagi mereka.”—Ibr. 11:36-38.
Dianiaya di Semua Negeri
Apakah relatif hanya beberapa negeri di dunia yang telah mengkhianati pengakuan mereka terhadap kebebasan dengan penganiayaan agama demikian? Sama sekali tidak! Yesus Kristus memperingatkan para pengikutnya, ”Kamu akan menjadi sasaran kebencian oleh semua bangsa oleh karena namaKu.”—Mat. 24:9, NW.
Selama hari-hari terakhir dari sistem perkara ini, sejak tahun 1914, kebencian itu khususnya telah menghebat. Kanada dan Amerika Serikat memulai serangan itu dengan mengenakan larangan atas lektur Alkitab selama perang dunia pertama, dan segera diikuti oleh India, dan Nyasaland (kini bernama Malawi). Selama tahun 1920-an, pembatasan yang sewenang-wenang dikenakan atas Siswa-Siswa Alkitab di Yunani, Hongaria, Italia, Romania, dan Spanyol. Di beberapa tempat ini, penyebaran lektur Alkitab dilarang; kadang-kadang, bahkan pertemuan-pertemuan pribadi dilarang. Lebih banyak negara bergabung dalam serangan itu selama tahun 1930-an, sewaktu larangan-larangan (beberapa atas diri Saksi-Saksi Yehuwa, yang lain atas lektur mereka) dikenakan di Albania, Austria, Bulgaria, Estonia, Latvia, Lituania, Polandia, wilayah-wilayah tertentu di Swiss, negara yang pada waktu itu disebut Yugoslavia, Pantai Emas (kini Ghana), wilayah-wilayah Prancis di Afrika, Trinidad, dan Fiji.
Selama Perang Dunia II, ada larangan atas Saksi-Saksi Yehuwa, pelayanan umum mereka, dan lektur Alkitab mereka di banyak bagian dunia. Ini terjadi bukan hanya di Jerman, Italia, dan Jepang—semuanya berada di bawah pemerintahan diktator—melainkan juga di banyak negeri yang secara langsung atau tidak langsung berada di bawah kekuasaan mereka sebelum atau selama perang tersebut. Termasuk di antaranya adalah Albania, Austria, Belanda, Belgia, Cekoslowakia, Hindia Timur Belanda (kini Indonesia), Korea, dan Norwegia. Selama tahun-tahun perang tersebut, Argentina, Brasil, Finlandia, Hongaria, dan Prancis semuanya mengeluarkan keputusan resmi menentang Saksi-Saksi Yehuwa atau kegiatan mereka.
Inggris tidak secara langsung melarang kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa selama perang, tetapi Inggris mendeportasi pengawas cabang Lembaga Menara Pengawal kelahiran Amerika dan berupaya menghambat kegiatan Saksi-Saksi dengan suatu embargo selama masa perang atas pengiriman lektur Alkitab mereka. Di seluruh Kerajaan Inggris dan Negara-Negara Persemakmuran Inggris, larangan langsung atas Saksi-Saksi Yehuwa atau larangan atas lektur mereka dikenakan. Afrika Selatan, Australia, Bahama, Basutoland (kini Lesotho), Bechuanaland (kini Botswana), Birma (kini Myanmar), Dominika, Fiji, Guiana Inggris (kini Guyana), India, Jamaika, Kanada, Kepulauan Leeward (B.W.I. [British West Indies]), Nigeria, Nyasaland (kini Malawi), Pantai Emas (kini Ghana), Rhodesia Selatan (kini Zimbabwe), Rhodesia Utara (kini Zambia), Sailan (kini Sri Langka), Selandia Baru, Singapura, Siprus, dan Swaziland, semuanya mengambil tindakan demikian untuk menyatakan rasa bermusuhan terhadap hamba-hamba Yehuwa.
Setelah perang usai, penganiayaan beberapa pihak mereda, namun pihak-pihak lain meningkat. Selama 45 tahun berikutnya, selain fakta bahwa Saksi-Saksi Yehuwa tidak mendapat pengakuan resmi di banyak negeri, larangan langsung dikenakan atas diri mereka atau kegiatan mereka di 23 negeri di Afrika, 3 di Amerika Latin, 9 di Asia, 8 di Eropa, dan 4 di negeri-negeri kepulauan tertentu. Sejak tahun 1992, Saksi-Saksi Yehuwa masih dikenakan pembatasan di 24 negeri.
Ini bukan berarti bahwa semua pejabat pemerintah secara pribadi menentang pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa. Banyak pejabat menjunjung tinggi kebebasan beragama dan mengakui bahwa Saksi-Saksi merupakan aset yang berharga bagi masyarakat. Orang-orang ini tidak setuju dengan mereka yang menghasut untuk melancarkan tindakan resmi menentang Saksi-Saksi. Misalnya, sebelum Pantai Gading (kini Côte d’Ivoire) menjadi bangsa yang merdeka, ketika seorang imam Katolik dan seorang rohaniwan Metodis berupaya mempengaruhi seorang pejabat agar mengusir Saksi-Saksi Yehuwa keluar dari negeri itu, mereka mendapati bahwa pejabat-pejabat yang mereka temui tidak bersedia menjadi kaki tangan para pemimpin agama. Ketika seorang pejabat berupaya membentuk undang-undang Namibia, pada tahun 1990, guna mendiskriminasi pengungsi-pengungsi yang dikenal sebagai Saksi-Saksi Yehuwa, Sidang Konstituante tidak mengizinkannya. Dan di banyak negara tempat Saksi-Saksi Yehuwa pernah dilarang, kini mereka menikmati pengakuan resmi.
Namun, dengan berbagai cara, di setiap bagian bumi, Saksi-Saksi Yehuwa dianiaya. (2 Tim. 3:12) Di beberapa tempat, penganiayaan tersebut mungkin datangnya terutama dari penghuni rumah yang kasar, sanak-saudara yang menentang, atau rekan kerja atau teman sekelas yang memperlihatkan diri tidak takut kepada Allah. Akan tetapi, tidak soal siapa penganiaya itu atau bagaimana cara mereka berupaya membenarkan perbuatan mereka, Saksi-Saksi Yehuwa memahami apa yang sesungguhnya ada di belakang penganiayaan atas umat Kristen sejati.
Sengketa
Publikasi-publikasi Menara Pengawal sudah lama menegaskan bahwa kitab pertama Alkitab dalam bahasa lambang telah menubuatkan permusuhan, atau kebencian, Setan si Iblis dan mereka yang berada di bawah kekuasaannya terhadap organisasi surgawi Yehuwa dan wakil-wakilnya di bumi. (Kej. 3:15; Yoh. 8:38, 44; Why. 12:9, 17) Khususnya sejak tahun 1925, The Watch Tower telah memperlihatkan dari Alkitab bahwa hanya terdapat dua organisasi utama—milik Yehuwa dan milik Setan. Dan, sebagaimana dinyatakan dalam 1 Yohanes 5:19, ”seluruh dunia”—yakni seluruh umat manusia di luar organisasi Yehuwa—”berada di bawah kuasa si jahat”. Itulah sebabnya semua orang Kristen sejati mengalami penganiayaan.—Yoh. 15:20.
Namun mengapa Allah mengizinkannya? Apakah ada hal baik yang tercapai? Yesus Kristus menjelaskan bahwa sebelum ia sebagai Raja surgawi membinasakan Setan dan organisasinya yang jahat, akan ada pemisahan orang-orang dari segala bangsa, seperti seorang gembala dari Timur Tengah memisahkan domba-domba dari kambing-kambing. Orang-orang akan diberi kesempatan untuk mendengar tentang Kerajaan Allah dan mengambil pendirian untuk berpihak padanya. Ketika para pemberita Kerajaan tersebut dianiaya, pertanyaan ini bahkan semakin ditonjolkan: Apakah mereka yang mendengar tentang Kerajaan Allah akan berbuat baik kepada ”saudara-saudara” Kristus dan rekan-rekan mereka dan dengan demikian menunjukkan kasih kepada Kristus sendiri? Atau apakah mereka akan bergabung dengan orang-orang yang telah memberi perlakuan yang sangat buruk kepada wakil-wakil dari Kerajaan Allah ini—atau mungkin tetap tinggal diam seraya yang lain berbuat demikian? (Mat. 25:31-46; 10:40; 24:14) Beberapa orang di Malawi dengan jelas melihat siapa yang melayani Allah yang benar dan oleh karena itu memilih untuk berpihak kepada Saksi-Saksi yang dianiaya. Tidak sedikit tahanan dan juga beberapa penjaga di kamp-kamp konsentrasi Jerman berbuat hal yang sama.
Walaupun tuduhan-tuduhan palsu dilontarkan kepada mereka dan mereka dianiaya secara fisik, bahkan dicemooh karena iman mereka kepada Allah, Saksi-Saksi Yehuwa tidak merasa ditinggalkan oleh Allah. Mereka mengetahui bahwa Yesus Kristus mengalami hal yang sama. (Mat. 27:43) Mereka juga mengetahui bahwa karena loyalitas kepada Yehuwa, Yesus membuktikan si Iblis pendusta dan menyumbang kepada pengudusan nama Bapanya. Ini merupakan keinginan setiap Saksi Yehuwa untuk melakukan hal yang sama.—Mat. 6:9.
Sengketanya bukanlah apakah mereka sanggup untuk selamat melampaui siksaan dan luput dari kematian. Yesus Kristus menubuatkan bahwa beberapa dari antara para pengikutnya akan dibunuh. (Mat. 24:9) Ia sendiri dibunuh. Namun ia tidak pernah berkompromi dengan Musuh utama Allah, Setan si Iblis, ”penguasa dunia ini”. Yesus menaklukkan dunia. (Yoh. 14:30; 16:33) Maka, sengketanya adalah, apakah para penyembah Allah yang sejati akan tetap setia kepada-Nya meskipun menghadapi keadaan buruk apa pun yang mungkin mereka derita. Saksi-Saksi Yehuwa zaman modern telah memberikan bukti yang limpah bahwa mereka sehati sepikir dengan rasul Paulus, yang menulis, ”Jika kita hidup, kita hidup bagi Yehuwa, dan juga jika kita mati, kita mati bagi Yehuwa. Karena itu jika kita hidup dan juga jika kita mati, kita adalah milik Yehuwa.”—Rm. 14:8, NW.
[Catatan Kaki]
a Pada waktu itu Siswa-Siswa Alkitab belum memahami dengan jelas apa yang sekarang dimengerti oleh Saksi-Saksi dari Alkitab mengenai posisi pria sebagai pengajar dalam sidang. (1 Kor. 14:33, 34; 1 Tim. 2:11, 12) Akibatnya, Maria Russell telah menjadi rekan redaktur dari Watch Tower dan secara tetap tentu menyumbang artikel untuk kolom-kolomnya.
b Joseph F. Rutherford, presiden Lembaga Menara Pengawal; William E. Van Amburgh, sekretaris-bendahara Lembaga; Robert J. Martin, manajer kantor; Frederick H. Robison, seorang anggota panitia redaksi The Watch Tower; A. Hugh Macmillan, seorang direktur Lembaga; George H. Fisher dan Clayton J. Woodworth, para penyusun The Finished Mystery.
c Giovanni DeCecca, yang bekerja di Departemen Italia di kantor Lembaga Menara Pengawal.
d Hakim tingkat wilayah Martin T. Manton, seorang beragama Katolik Roma yang bergairah, menolak permohonan naik banding kedua untuk pembebasan dengan uang jaminan pada tanggal 1 Juli 1918. Ketika pengadilan banding federal belakangan mengubah hukuman atas para terdakwa, Manton memberikan satu-satunya suara tidak setuju. Patut diperhatikan bahwa pada tanggal 4 Desember 1939, sebuah pengadilan khusus yang berwenang meninjau kembali putusan hakim menguatkan vonis atas Manton karena penyalahgunaan kekuasaan pengadilan, ketidakjujuran, dan penggelapan.
e Bahwa pria-pria ini dipenjarakan secara tidak adil, dan bukan orang-orang hukuman, ditunjukkan oleh fakta bahwa J. F. Rutherford tetap menjadi anggota organisasi para pengacara dalam lingkungan Mahkamah Agung Amerika Serikat sejak menjadi anggota pada bulan Mei 1909 hingga kematiannya pada tahun 1942. Dalam 14 kasus naik banding ke Mahkamah Agung dari tahun 1939 hingga 1942, J. F. Rutherford adalah salah seorang pengacaranya. Dalam kasus yang dikenal sebagai Schneider v. State of New Jersey (pada tahun 1939) dan Minersville School District v. Gobitis (pada tahun 1940), ia secara pribadi menyampaikan argumen lisan di hadapan Mahkamah Agung. Juga, selama Perang Dunia II, A. H. Macmillan, salah seorang di antara mereka yang secara keliru dipenjarakan pada tahun 1918-19, diterima oleh direktur Biro Kepenjaraan federal sebagai tamu tetap bagi penjara-penjara federal di Amerika Serikat guna mengurus kepentingan rohani pemuda-pemuda yang ada di situ karena telah mengambil pendirian kenetralan Kristen.
f The Encyclopedia Americana, Jilid 11, tahun 1942, halaman 316, berkata, ”Bendera, seperti salib, adalah keramat. . . . Ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sikap manusia terhadap lambang-lambang nasional menggunakan kata-kata yang tegas dan ekspresif, seperti, ’Upacara Bendera’, . . . ’Hormat Kepada Bendera,’ ’Setia Kepada Bendara’.” Di Brasil, Diário da Justiça, tanggal 16 Februari 1956, halaman 1904, melaporkan bahwa pada suatu upacara umum, seorang pejabat militer menyatakan, ”Bendera telah menjadi suatu ilah agama patriotik . . . Bendera dipuja dan disembah.”
[Blurb di hlm. 642]
Penganiaya Yesus Kristus yang paling aktif adalah para pemimpin agama
[Blurb di hlm. 645]
”Pelantikan, atau wewenang dari Allah kepada seseorang untuk mengabar adalah dengan pencurahan Roh Kudus atas dirinya”
[Blurb di hlm. 647]
Buku ”The Finished Mystery” dengan terus terang membeberkan kemunafikan para pemimpin agama Susunan Kristen!
[Blurb di hlm. 650]
Pria dan wanita Kristen diserang oleh gerombolan, dijebloskan ke penjara, dan ditahan di situ tanpa tuduhan atau tanpa pengadilan
[Blurb di hlm. 652]
”Masa-masa pemenjaraan itu jelas berlebihan”—Presiden Woodrow Wilson dari AS
[Blurb di hlm. 656]
Hanya ada sedikit sekali keadilan bagi siapa pun yang tidak melakukan apa yang dikatakan imam
[Blurb di hlm. 666]
Para imam mendesak guru-guru untuk membiarkan anak-anak ke luar sekolah untuk melempari Saksi-Saksi dengan batu
[Blurb di hlm. 668]
Para pemimpin agama bergabung untuk menentang Saksi-Saksi
[Blurb di hlm. 671]
Banyak pengeroyokan menimpa Saksi-Saksi Yehuwa di Amerika Serikat
[Blurb di hlm. 676]
Di setiap bagian bumi, Saksi-Saksi Yehuwa dianiaya
[Kotak di hlm. 655]
Pemimpin Agama Memperlihatkan Perasaan Mereka
Reaksi dari majalah-majalah berkala agama terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada J. F. Rutherford dan rekan-rekannya pada tahun 1918 menarik untuk diperhatikan:
◆ ”The Christian Register”, ”Apa yang di sini Pemerintah hantam secara langsung dan memautkan ialah anggapan bahwa gagasan-gagasan agama, betapapun gila dan merusak, dapat disebarluaskan tanpa mendapat hukuman. Anggapan itu adalah kekeliruan yang lama, dan hingga kini kita telah bersikap lalai sama sekali tentang hal itu. . . . Kelihatannya itulah akhir dari Russellisme.”
◆ ”The Western Recorder”, sebuah publikasi Baptis, berkata, ”Tidaklah mengherankan bahwa pemimpin dari aliran yang keras kepala ini harus dipenjarakan dalam salah satu tempat pengasingan bagi para pembangkang. . . . Yang benar-benar menjadi masalah rumit dalam kaitan ini ialah apakah para terdakwa harus dikirim ke sebuah rumah sakit jiwa atau sebuah penjara.”
◆ ”The Fortnightly Review” menarik perhatian kepada komentar surat kabar ”Evening Post” New York, yang mengatakan, ”Kami percaya bahwa guru-guru agama di mana-mana akan memberi perhatian kepada pendapat hakim ini bahwa mengajarkan suatu agama kecuali yang mutlak sesuai dengan hukum-hukum tertulis merupakan kejahatan yang serius yang semakin meningkat kadarnya jika, sebagai rohaniwan injil, Anda kebetulan harus bersikap tulus.”
◆ ”The Continent” dengan menghina menjuluki para tertuduh sebagai ”pengikut-pengikut dari almarhum ’Pastor’ Russell” dan memutarbalikkan kepercayaan mereka dengan mengatakan bahwa mereka mengaku ”bahwa semua kecuali para pedosa sepatutnya dibebaskan dari perang melawan kaisar Jerman.” Majalah ini menyatakan bahwa menurut jaksa agung di Washington DC, ”pemerintah Italia beberapa waktu yang lalu mengeluh kepada Amerika Serikat bahwa Rutherford dan rekan-rekannya . . . telah menyebarkan sejumlah propaganda anti perang di kalangan pasukan Italia.”
◆ Seminggu kemudian ”The Christian Century” mempublikasikan sebagian besar dari kutipan mengenai pokok di atas, memperlihatkan bahwa mereka setuju sepenuhnya.
◆ Majalah Katolik ”Truth” dengan singkat melaporkan hukuman yang dijatuhkan dan kemudian menyatakan perasaan para redakturnya, dengan berkata, ”Lektur dari perkumpulan ini sangat berbau busuk dengan serangan-serangan yang dahsyat atas Gereja Katolik dan para imamnya.” Dalam upaya mencap ”subversif” siapa pun yang kedapatan di depan umum tidak setuju terhadap Gereja Katolik, majalah ini menambahkan, ”Kian hari kian jelas bahwa semangat tidak toleran berkaitan erat dengan semangat subversif.”
◆ Dr. Ray Abrams, dalam bukunya ”Preachers Present Arms”, menyatakan pengamatannya, ”Ketika berita mengenai hukuman dua puluh tahun sampai ke meja para redaktur pers agama, praktis setiap orang dari publikasi-publikasi ini, besar dan kecil, bergembira atas peristiwa itu. Saya tidak berhasil menemukan sepatah pun kata simpati di setiap jurnal agama yang ortodoks.”
[Kotak di hlm. 660]
”Dianiaya Karena Alasan Agama”
”Ada sekelompok orang di Kamp Konsentrasi Mauthausen yang dianiaya hanya karena alasan agama: anggota-anggota dari sekte ’Siswa-Siswa Alkitab yang Sungguh-Sungguh’, atau ’Saksi-Saksi Yehuwa’ . . . Penolakan mereka untuk mengucapkan sumpah setia kepada Hitler dan penolakan mereka untuk memberikan jenis apa pun dari dinas militer—konsekuensi politik dari kepercayaan mereka—adalah alasannya mereka menganiaya.”—”Die Geschichte des Konzentrationslagers Mauthausen” (Sejarah Kamp Konsentrasi Mauthausen), yang didokumentasikan oleh Hans Maršálek, Wina, Austria, tahun 1974.
[Kotak/Gambar di hlm. 661]
Terjemahan dari Pernyataan yang Diupayakan Oleh SS untuk Memaksa Saksi-Saksi Agar Menandatanganinya
Kamp Konsentrasi .......................................
Bagian ke II
PERNYATAAN
Saya, ...................................................
lahir pada ..................................................
di .......................................................
dengan ini memberikan pernyataan sebagai berikut:
1. Saya menyadari bahwa Perkumpulan Siswa-Siswa Alkitab Internasional memberitakan ajaran-ajaran yang salah dan di bawah selubung agama mengejar tujuan-tujuan yang memusuhi Negara.
2. Oleh karena itu saya sama sekali meninggalkan organisasi itu dan membebaskan diri sama sekali dari ajaran-ajaran sekte ini.
3. Dengan ini saya memberikan jaminan bahwa saya tidak pernah lagi akan ambil bagian dalam kegiatan Perkumpulan Siswa-Siswa Alkitab Internasional. Bila siapa pun mendekati saya dengan ajaran Siswa-Siswa Alkitab, atau dengan cara apa pun menyingkapkan hubungan mereka dengan Siswa-Siswa Alkitab tersebut, maka saya akan laporkan dengan segera. Semua lektur dari Siswa-Siswa Alkitab yang dikirim ke alamat saya akan segera saya sampaikan kepada kantor polisi terdekat.
4. Mulai sekarang saya akan menghormati undang-undang Negara, teristimewa di masa perang, dengan senjata di tangan saya akan membela tanah air, dan dalam segala hal saya akan ikut serta dengan masyarakat.
5. Saya telah diberi tahu bahwa saya akan segera ditahan jika saya didapati bertindak melawan pernyataan yang diberikan pada hari ini.
.................................., Tanggal ................ ...........................................................
Tanda Tangan
[Kotak di hlm. 662]
Surat-Surat dari Beberapa Orang yang Dihukum Mati
Dari Franz Reiter (yang menghadapi kematian oleh ”guillotine” [alat pemenggal kepala]) kepada ibunya, pada tanggal 6 Januari 1940, dari pusat tahanan Berlin-Plötzensee,
”Saya sangat yakin dalam kepercayaan saya bahwa saya bertindak benar. Dengan berada di sini, saya masih dapat mengubah pikiran saya, tetapi bagi Allah hal ini akan berarti tidak loyal. Kami semua di sini ingin setia kepada Allah, demi kehormatan-Nya. . . . Dengan apa yang telah saya ketahui, jika saya mengucapkan sumpah [militer], saya melakukan dosa dan layak mati. Hal itu merupakan kejahatan bagi saya. Saya tidak akan mendapat kebangkitan. Namun saya tetap berpaut kepada kata-kata Kristus, ’Barangsiapa akan menyelamatkan kehidupannya akan kehilangan itu; tetapi barangsiapa akan kehilangan kehidupannya demi aku, ia akan menerimanya.’ Dan sekarang, Ibunda tercinta dan semua saudara-saudari, hari ini hukuman diberitahukan kepada saya, dan janganlah gentar, itu adalah hukuman mati, dan pelaksanaannya akan dilakukan besok pagi. Saya memiliki kekuatan dari Allah, sama halnya senantiasa bagi semua umat Kristen sejati di zaman lampau. Para rasul menulis, ’Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi.’ Sama halnya dengan saya. Ini saya buktikan kepada kalian, dan kalian dapat mengenalinya. Yang kusayang, janganlah bersedih. Sebaiknya kalian semua mengetahui Alkitab dengan lebih baik lagi. Jika kalian berdiri teguh hingga mati, kita akan saling berjumpa kembali dalam kebangkitan. . . .
”Ananda Franz
”Sampai jumpa kembali.”
Dari Berthold Szabo, yang ditembak mati oleh sebuah regu tembak, di Körmend, Hongaria, pada tanggal 2 Maret 1945,
”Adikku sayang, Marika!
”Dalam satu setengah jam yang masih tersisa bagi saya, saya akan mencoba menulis kepadamu supaya kamu dapat memberi tahu orang-tua kita mengenai keadaan saya, yang segera menghadapi kematian.
”Saya harap agar mereka memiliki kedamaian dalam pikiran yang saya alami pada saat-saat terakhir di dunia yang penuh bencana ini. Kini sudah pukul sepuluh, dan saya akan dieksekusi pada pukul setengah dua belas; tetapi saya cukup tenang. Kehidupan saya selanjutnya saya serahkan kepada Yehuwa dan Putera Yang Dikasihinya, Yesus Kristus, sang Raja, yang tidak pernah akan melupakan orang-orang yang mengasihi mereka dengan tulus hati. Saya juga tahu akan segera ada kebangkitan bagi mereka yang telah mati atau, lebih baik, yang telah tidur dalam Kristus. Saya juga teristimewa ingin menyebutkan bahwa saya berharap semoga Yehuwa mencurahkan berkat-Nya yang limpah kepada kalian semua untuk kasih yang kalian berikan kepada saya. Tolong sampaikan peluk cium dari saya untuk Ayah dan Ibu, dan Annus juga. Mereka tidak perlu khawatir tentang saya; kita akan segera saling berjumpa kembali. Tangan saya tenang sekarang, dan saya akan beristirahat hingga Yehuwa memanggil saya kembali. Bahkan sekarang saya akan menepati ikrar saya kepada-Nya.
”Kini waktu saya sudah habis. Semoga Allah beserta kalian dan beserta saya.
”Dengan segala kasih sayangku, . . .
”Berthi”
[Kotak di hlm. 663]
Terkenal karena Tabah dan Berani serta Berkeyakinan Teguh
◆ ”Walaupun tampaknya mustahil sama sekali, Saksi-Saksi dalam kamp berhimpun dan berdoa bersama, memproduksi lektur dan berhasil mengajak orang-orang bergabung. Karena dikuatkan oleh persaudaraan mereka, dan, tidak seperti halnya banyak tahanan lain, sadar betul akan alasan-alasan adanya tempat-tempat demikian dan penderitaan demikian yang mereka alami, Saksi-Saksi terbukti sebagai kelompok tahanan yang kecil namun mengesankan, ditandai oleh segitiga ungu dan terkenal akan keberanian dan keyakinan mereka.” Demikian Dr. Christine King menulis, dalam ”The Nazi State and the New Religions: Five Case Studies in Non-Conformity.”
◆ ”Values and Violence in Auschwitz (Nilai-Nilai dan Kekerasan di Auschwitz)”, oleh Anna Pawełczyńska, menyatakan, ”Kelompok tahanan ini merupakan kekuatan ideologi yang mantap dan mereka memenangkan pertarungan mereka melawan Nazisme. Kelompok Jerman dari sekte ini telah merupakan sebuah pulau perlawanan yang tak kunjung menyerah di jantung sebuah negara yang diteror, dan dengan semangat tak gentar itu pula mereka berfungsi di dalam kamp di Auschwitz. Mereka berhasil memenangkan respek dari para sesama tahanan . . . dari petugas-petugas penjara, dan bahkan dari para opsir SS. Setiap orang tahu bahwa tidak ada ’Bible forscher’ (peneliti Alkitab) [Saksi-Saksi Yehuwa] akan melaksanakan suatu perintah yang bertentangan dengan kepercayaan agamanya.
◆ Rudolf Hoess, dalam otobiografinya, yang dipublikasikan dalam buku ”Komandan Auschwitz”, menuturkan tentang eksekusi orang-orang tertentu dari Saksi-Saksi Yehuwa karena menolak untuk melanggar kenetralan Kristen mereka. Ia berkata, ”Saya membayangkan bahwa demikianlah tentunya penampilan para martir Kristen yang pertama sewaktu mereka berada dalam sirkus menunggu binatang-binatang buas mencabik-cabik mereka sampai menjadi potongan-potongan kecil. Roman muka mereka sama sekali berubah, mata mereka memandang ke langit, dan mereka saling berpegangan tangan dan mengangkat tangan mereka dalam doa, mereka menyongsong maut. Semua yang melihat mereka mati sangat tergugah hati, dan bahkan regu eksekusi itu sendiri terpengaruh.” (Buku ini diterbitkan di Polandia dengan judul ”Autobiografia Rudolfa Hössa-komendanta obozu oświęcimskiego”.)
[Kotak di hlm. 673]
”Mereka Tidak Anti Negara”
”Mereka tidak anti negara; mereka hanyalah pro-Yehuwa.” ”Mereka tidak membakar kartu tanda wajib militer, atau memberontak . . . atau ikut dalam suatu bentuk hasutan untuk memberontak.” ”Kejujuran dan integritas Saksi-Saksi merupakan ciri khas yang konstan. Apa pun yang seorang mungkin pikirkan mengenai Saksi-Saksi—dan banyak orang memikirkan banyak hal yang negatif—mereka menempuh kehidupan yang patut menjadi teladan.”—”Telegram”, Toronto, Kanada, bulan Juli 1970.
[Kotak di hlm. 674]
Siapa yang Memimpin?
Saksi-Saksi Yehuwa mengetahui bahwa tanggung jawab mereka untuk mengabar tidak bergantung pada kegiatan Lembaga Menara Pengawal atau suatu badan hukum lainnya. ”Biarlah Lembaga Menara Pengawal dilarang dan kantor-kantor Cabangnya di mancanegara ditutup dengan paksa karena adanya campur tangan negara! Hal itu tidak menghapus atau mencabut perintah ilahi dari para pria dan wanita yang mengabdi untuk melakukan kehendak Allah dan yang kepadanya Ia telah berikan roh-Nya. ’Kabarkan!’ tertulis dengan tegas dalam Firman-Nya. Perintah ini lebih tinggi daripada perintah manusia mana pun.” (”The Watchtower”, 15 Desember 1949) Karena menyadari bahwa perintah-perintah yang mereka terima itu datang dari Allah Yehuwa dan Yesus Kristus, mereka bertekun dalam pengabaran berita Kerajaan tidak peduli perlawanan yang mereka hadapi.
[Kotak di hlm. 677]
Seperti Umat Kristen Masa Awal
◆ ”Saksi-Saksi Yehuwa mempunyai agama yang mereka hayati jauh lebih serius daripada kebanyakan orang. Prinsip-prinsip mereka mengingatkan kita kepada umat Kristen masa awal yang begitu tidak populer dan yang dianiaya dengan begitu kejam oleh orang-orang Romawi.”—”Akron Beacon Journal”, Akron, Ohio, 4 September 1951.
◆ ”Mereka [umat Kristen masa awal] menempuh kehidupan yang tenang, bermoral, benar-benar kehidupan yang patut dicontoh . . . Dalam segala segi kecuali satu hal mengenai pembakaran kemenyan mereka itu merupakan warga negara yang patut diteladani.” ”Meskipun korban kepada Kecemerlangan sang kaisar tetap merupakan ujian berkenaan patriotisme, dapatkah kalangan berwenang negara melecehkan perlawanan yang gigih dari umat Kristen yang begitu tidak-patriotis ini? Masalah yang senantiasa akrab dengan umat Kristen itu tidak jauh berbeda dengan masalah yang, selama tahun-tahun perang, menimpa sekte yang agresif itu yang dikenal sebagai Saksi-Saksi Yehuwa yaitu mengenai memberi salut kepada bendera nasional.”—”20 Centuries of Christianity”, oleh Paul Hutchinson dan Winfred Garrison, tahun 1959, hlm. 31.
◆ ”Mungkin hal yang paling menonjol tentang Saksi-Saksi itu adalah kegigihan mereka untuk memberikan kesetiaan mereka terutama kepada Allah, di atas kekuasaan lain mana pun di dunia.”—”These Also Believe”, oleh Dr. C. S. Braden, tahun 1949, hlm. 380.
[Gambar di hlm. 644]
Surat kabar ”The Pittsburgh Gazette” memberikan publisitas yang luas kepada debat-debat yang timbul karena tantangan Dr. Eaton kepada C. T. Russell
[Gambar di hlm. 646]
Dusta-dusta besar tentang urusan rumah tangga Charles dan Maria Russell disebarluaskan oleh para penentang
[Gambar di hlm. 648]
Kaum pemimpin agama marah sekali ketika 10.000.000 eksemplar risalah ini diedarkan dan membeberkan doktrin-doktrin dan praktek-praktek mereka dalam terang Firman Allah
[Gambar di hlm. 649]
Surat kabar mengobarkan api penganiayaan terhadap Siswa-Siswa Alkitab pada tahun 1918
[Gambar di hlm. 651]
Selama pengadilan di sini terhadap anggota-anggota dari staf kantor pusat Lembaga, banyak perhatian difokuskan kepada buku ”The Finished Mystery”
Pengadilan Federal dan kantor pos, Brooklyn, NY
[Gambar di hlm. 653]
Dijatuhi hukuman yang lebih berat daripada pembunuh yang tembakannya menyulut Perang Dunia I. Dari kiri ke kanan: W. E. Van Amburgh, J. F. Rutherford, A. H. Macmillan, R. J. Martin, F. H. Robison, C. J. Woodworth, G. H. Fisher, G. DeCecca
[Gambar di hlm. 657]
Ketika kebaktian Saksi-Saksi diadakan di New York pada tahun 1939, kira-kira 200 orang yang dipimpin oleh imam-imam Katolik berupaya membubarkannya
[Gambar di hlm. 659]
Selama Perang Dunia II, ribuan Saksi-Saksi Yehuwa dijebloskan ke dalam kamp-kamp konsentrasi ini
Lencana bergambar tengkorak milik penjaga-penjaga SS (kiri)
[Gambar di hlm. 664]
Bagian dari sebuah buku untuk pengajaran Alkitab yang diperkecil secara ”fotografis”, dimasukkan ke dalam kotak korek api, dan diselundupkan bagi Saksi-Saksi di dalam kamp konsentrasi
[Gambar di hlm. 665]
Beberapa Saksi memiliki iman yang bertahan terhadap ujian di kamp-kamp konsentrasi Nazi
Mauthausen
Wewelsburg
[Gambar di hlm. 667]
Kekerasan massa dekat Montreal, Quebec, pada tahun 1945. Kekerasan seperti itu yang digerakkan oleh para pemimpin agama terhadap Saksi-Saksi sering terjadi selama tahun 1940-an dan 1950-an
[Gambar di hlm. 669]
Ribuan Saksi-Saksi Yehuwa (termasuk John Booth, terlihat di sini) ditangkap sewaktu mereka menyebarkan lektur Alkitab
[Gambar di hlm. 670]
Menyusul keputusan Mahkamah Agung terhadap Saksi-Saksi pada tahun 1940, pengeroyokan melanda seluruh Amerika Serikat, perhimpunan-perhimpunan dikacaukan, Saksi-Saksi dipukuli, dan harta milik mereka dihancurkan
[Gambar di hlm. 672]
Di banyak tempat dianggap perlu untuk mendirikan Sekolah-Sekolah Kerajaan karena anak-anak Saksi telah dikeluarkan dari sekolah-sekolah negeri